Anda di halaman 1dari 14

SINOPSIS BUKU

PRANATA HUKUM (SEBUAH TELAAH


SOSIOLOGIS)

BAGIAN 1
CITA HUKUM
1 HUKUM SEBAGAI SISTEM NORMA DAN FUNGSI-FUNGSINYA
Hukum
dalam
perkembangannya
telah
mengarah
kepada
penggunaannya sebagai sarana untuk melakukan perubahan-perubahan
dalam masyarakat. Bertolak dari hal tersebut maka muncul beberapa
problem sebagai berikut :
1) Tujuan apakah yang hendak diwujudkan hukum?
2) Fungsi apa saja yang dapat dilakukan oleh hukum?
3) Bagaimana fungsi hukum itu dijalankan dalam kaitannya dengan sistem
norma?
1.1 Pengertian Hukum
Secara garis besar, pengertian hukum dapat dikelompokan menjadi 3
pengertian dasar, yang buku ini Prof. Esmi lebih memilih menggunakan
Pendapat

Satjipto

Rahardjo

yaitu:

(1)

Hukum

dipandang

sebagai

kumpulan ide atau nilai abstrak. (2) Hukum dilihat sebagai suatu sistem
peraturan yang abstrak. (3) Hukum dipahami sebagai sarana untuk
mengatur masyarakat. Dari uraian diatas, maka hukum diharapkan
dapat menjadi lebih unggul dalam sisi filosofis, normatif, dan sosiologis.
1.2 Tujuan Hukum
Dalam literature dikenal bebarapa teori tentang tujuan hukum dimana
teori

tersebut

merupakan

akumulasi

dari

teori-teori

yang

telah

dikembangkan oleh para pakar hukum sebelumnya. Ringkasan dari 3


teori tujuan hukum tersebut adalah :
1) Teori Etis, teori ini mengemukakan bahwa hukum itu semata-mata
bertujuan untuk menemukan keadilan. Fokus dari teori ini adalah hakikat
keadilan dan norma yang berlaku untuk mewujudkan keadilan tersebut.
2) Teori Utilitas, teori ini berpendapat bahwa hukum harus memberikan
rasa kebahagiaan kepada banyak orang. Kesenangan dan kebahagiaan
khalayak ramai menjadi fokus utama dari teori ini. Penulis sinopsis ini
berpendapat, teori ini menjadi motor penggerak atas dikodifikasikannya
code civil dan code pena oleh Napoleon Bonaparte, beranjak lebih jauh,
teori ini juga dipakai dalam memperbarui Kerajaan-Kerajaan Modern di
Eropa pada abad pertengahan.

3) Teori Campuran, teori campuran yang dimaksud adalah teori yang


menggabungkan teori etis dan utilitas menjadi satu pemahaman.
Disamping mendapatkan keadilan, hukum juga harus memberikan rasa
kesenangan dan ketertiban di masyarakat. Maka hukum menjadi lebih
luwes pada pelaksanaan
1.3 Fungsi-fungsi Hukum
Hoebel menyimpulkan ada empat fungsi dasar hukum, yaitu:
1) Menetapkan hubungan-hubungan antara para anggota masyarakat,
dengan menunjukkan jenis-jenis tingkah laku-tingkah laku apa yang
diperkenankan dan apa pula yang dilarang.
2) Menentukan pembagian kekuasaan dan memerinci siapa saja yang
boleh melakukan serta saiapakah yang harus mentaatinya dan
sekaligus memilihkan sanksi-sanksinya yang tepat dan efektif .
3) Menyelesaikan sengketa
4) Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan
kondisi kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan
kembali hubungan esensial antara anggota-anggota masyarakat.
1.4 Hukum Sebagai Sistem Norma
Dari empat fungsi dasar yang telah disebut sebelumnya, masyarakat
yang telah hidup dalam kompleksitas juga membutuhkan hukum-hukum
tambahan (sekunder) dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Kita
mengenal norma dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Norma
tersebut menjadi pedoman dalam melaksanakan hubungan dengan
makhluk atau orang lain. Norma Hukum merupakan salah satu dari
norma dasar yang dipatuhi oleh masyarakat. Norma hukum juga memiliki
tujuan dalam sistem pelaksanaannya, untuk mencapai tujuan yang
dimaksud, norma tersebut haruslah memperhatikan aspek-aspek berikut
ini :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Keintegrasian
Keteraturan
Keutuhan
Keterorganisasian
Keterhubungan komponen satu dengan yang lainnya.
Ketergantungan komponen satu dengan yang lainnya.

Komponen-komponen

yang

disebutkan

diatas

merupakan

unsur

terpenting dalam aspek pendekatan keadilan hukum. Komponen tersebut


dapat dibagi menjadi 3 komponen, yaitu :
1. Komponen Struktur, adalah kelembagaan dalam menjalankan fungsi
masing-masing untuk mencapai kinerja hukum yang baik.
2. Komponen Substantif, adalah hasil dari kinerja para aparatur hukum
yang berupa keputusan atau peraturan perundang-undangan.
3. Komponen Kultur, adalah jembatan yang menghubungkan antara
peraturan dan tingkah laku masyarakat. Kultur yang dimaksud adalah
nilai, sikap, persepsi, dan sebagainya dalam menyikapi satu kebijakan
aturan tersebut. Dalam memahami sistem hukum tersebut. Hendaknya
juga memahami asas-asas legalitas, agar kita dapat mengenal apakah

hukum tersebut merupakan suatu sistem atau bukan. Asas-asas tersebut


yaitu :
1.
Sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan, artinya
hukum tidak boleh
mengandung keputusan yang bersifat ad hoc.
2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat harus diumumkan.
3. Peraturan tidak boleh berlaku surut.
4. Peraturan-peraturan disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti.
5.
Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan yang saling
bertentangan.
6. Peraturan tidak boleh melebihi batas tuntutan
7. Peraturan tidak boleh sering diubah-ubah.
8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan
pelaksanaan seharihari.

2.

FUNGSI DARI CITA HUKUM DALAM MELAKUKAN PEMBANGUNAN


HUKUM YANG DEMOKRATIS
Dalam

penyusunan

peraturan

perundang-undangan

yang

bersifat

demokratis harus mempresentasikan peran hukum sebagai alat untuk


mendinamisasikan masayarakat. Dengan demikian fungsi cita hukum
dalam negara yang sedang dalam perubahan dapat mengakomodasikan
semua dinamika masyarakat yang kompleks seperti indonesia. Hukum
merupakan The normative life of the state and its citizens disini hukum
menetukan serta mengatur bagaimana hubungan itu dilakukan dan
bagaimana akibatnya. Hukum memberikan pedoman tingkah laku, baik
yang dilarang maupun yang diijinkan. Penormaan ini dilakukan dengan
membuat kerangka umum dan kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam
berbagai bentuk Peraturan Perundang-Undangan. Dalam konteks yang
demikian itulah hukum dirancang sedemikian rupa agar merupakan
bangunan hukum yang tertib dan teratur. Peraturan PerundanganUndangan yang dibuat hendaknya tidak menimbulkan pertentangan satu
sama lain, dan semua harus bermuara pada cita hukum yang telah
disepakati bersama.
2.1 Elemen- Elemen Pembentukan Hukum
Metoda pembentukan peraturan perUU menentukan apakah suatu
peraturan dapat mencapai sasarannya dengan cara yang sebaik-baiknya.
Untuk itulah maka bantuan dari sosiologi hukum, ilmu-ilmu sosial lainnya
dan ilmu tentang perencanaan sangat diperlukan. Itu artinya, masalah
pengaturan oleh hukum bukanlah semata persoalan-persoalan tentang
legalitas formal yakni tentang bagaimana mengatur sesuatu dengan
prosedur hukum. Melainkan, juga bagaimana mengatur sehingga dalam
masyarakat timbul efek-efek yang memang dikehendaki oleh hukum.
Keadaan tersebut semakin dibutuhkan dalam kehidupan karena dewasa

ini

semua

perencanaan

pembangunan

cenderung

kebijaksanaan
menjadikan

dan

pranata

program-program
hukum

sebagai

sandarannya.
2.2 Peran Produk Hukum
Keberadaan

institusi

pengimplementasikan

hukum
dari

merupakan
suatu

indikator

kebijaksanaan.

atau
Jay

kunci
A.Sigler

mengisyaratkan, bahwa Constitutions, statutes, admnistrative order and


exectutive order are indicators of policy. Only government policies
involve legal obligations. Dalam penjelasan UUD NRI 1945 Ps 1 ayat 3
secara tegas menyatakan bahwa Negara RI adalah negara hukum. Itu
berarti, hukum bukanlah produk yang dibentuk oleh lembaga lembaga
tinggi

negara

saja,

melainkan juga

mendasari

dan mengarahkan

tindakan-tindakan lembaga-lembaga tersebut. Hukum adalah dasar dan


pemberi petunjuk bagi semua kegiatan kemasyarakatn, kebangsaan dan
kenegaraan. Disini Hukum berarti juga Institusi bagi rakyat Indonesia
dalam berpedoman.
2.3 Kejelasan Konsep dan Bahasa Hukum
Untuk melakukan proses perancangan perundang-undangan secara lebih
baik, maka

pembentuk

peraturan perundang-undangan hendaknya

menyadari dan memahami secara sungguh-sungguh dua hal pokok, yaitu


Konsep dan Bahasa, terutama bagaimana mencari kata-kata dan konsep
yang tepat. Kejelasan konsep diperlukan untuk membantu dan menuntun
proses perancangan suatu produk hukum, baik dalam hal pengembangan
subtantive policy maupun dalam mengkomunikasikannya. Konsep dan
Bahasa Hukum juga harus ditelaah dan dikaji dari sudut pandang baik itu
filsafat hukum, teori hukum, sosiologi hukum, sejarah hukum, maupun
dogmatika hukum.
2.4 Memahami Hukum Sebagai Sistem
Jika institusi hukum dipahami sebagai suatu sistem, maka seluruh tata
aturan yang berada didalamnya tidak boleh saling bertentangan. bahkan
lebih dari itu, dalam pembentukan dan penegakan hukum sebagai suatu
sistem, ia selalu menerima masukan dari bidang-bidang yang lain. yang
selanjutnya menghasilkan keluaran yang disalurkan kedalam masyarakat.
Jika dipahami sebagai suatu sistem norma, maka setiap peraturan
perundang-undangan haruslah merupakan suatu jalinan sistem yang
tidak boleh saling bertentangan satu sama lain.
2.5 Cita Hukum: Kunci Pembentukan Hukum
Istilah cita hukum perlu dibedakan dari konsep hukum, karena di dalam
cita bangsa indonesia, baik berupa gagasan, rasa, cipta, pikiran.

sedangkan

hukum

merupakan

penyataan

dalam

kehidupan

yang

berkaitan dengan nilai yang diinginkan dan bertujuan mengabdi kepada


nilai-nilai tersebut. Oleh karena itu, dalam negara republik indonesia
yang memiliki cita hukum pancasila dan sekaligus sebagai norma
fundamental negara, setiap peraturan yang hendak dibuat hendaknya
diwarnai dan dialiri oleh nilai-nilai yang terkandung didalam cita hukum
tersebut.
2.6 Model Pembentukan Hukum Yang Demokratis
Dalam pengertian bahwa sebelum memasuki tahapan yuridis, proses
pembentukan suatu peraturan harus sudah melalui tahapan sosio/politis
secara final. Disanalah kita akan dapat memahami bahwa suatu
peraturan

itu

sesungguhnya

lahir

melalui

suatu

proses

yang

membutuhkan waktu yang cukup panjang. Dari proses ini pula akhirnya
dapat diprediksikan, seperti norma yang akan lahir ketika peraturan itu
dibuat, terutama mengenai substansi dari norma-norma hukum terebut.
2.7 Proses Transformasi Sosial Dalam Hukum
Didalam

proses

mengidentifikasi

dan

merumuskan

problem

kebijaksanaan sangat ditentukan oleh para pelaku yag terlibat, baik


secara

individu

maupun

kelompok

di

dalam

masyarakat.

Proses

trasformasi dari keinginan-keinginan sosial menjadi peraturan perundangundangan baik dalam konteks politis dan sosiologis tidak hanya terjadi
pada saat pembentukan suatu peraturan dalam tahap bekerjanyapun
proses-proses tersebut berlangsung terus dan mengoreksi secara terusmenerus produk hukum yang telah dihasilkan terebut.
3.

PERGESERAN

PARADIGMA

HUKUM :

DARI PARADIGMA

KEKUASAAN MENUJU PARADIGA MORAL


Hal ini menggambarkan tentang kehidupan di Indonesia yang cendenrung
berkiblat pada paradigma kekuasaan. Kehidupan hukum yang demikian
itu, menuntut suatu perombakan mendasar dengan menggantikan
paradigma kekuasaan dengan paradigma moral agar hukum tampil lebih
demokratis dan dapat merespon kebutuhan dan harapan bangsa
Indonesia. Maka yang harus dibahas adalah masalah transportasi hukum
dalam era global. Dalam hal ini, menggambarkan kehidupan hukum di
Indonesia dan menjelaskan hubungan sistem hukum dengan sistem
politik di samping itu, menjelaskan pentignya paradigma pembangunan
hukum agar lebih demokrtis

dan dapat merespons suatu perubahan-

perubahan yang terjadi dalam agenda globalisasi.


3.1 Dinamika Pembangunan Indonesia

Pembangunan yang menekankan pada bidang ekonomi dan paradigma


pertumbuhan

dapat

berhasil

bila

didukung

oleh

stabilitas

politik

pengusaan sumber daya politik yang begitu besar, menyebabkan


struktur politik di Indonesia sangat ditetukan oleh kemauan politik
presiden. Kunci penentu setiap keputusan politik di indonesia dalah
Presiden, meskipun prosedur formalnya tampak ditetapkan oleh DPR dan
MPR. Kondisi itu pulalah yang memungkinkan pemerintah menempatkan
dirinya pada posisi stratgis untuk menentukan semua kebijaksanaan
negara. Sementara rakyat dengan terpaksa menerimanya tanpa diberi
kesempatan untuk bersuara. Model pembentukan kebijaksanaan seperti
ini jelas sangat elitis, karena hanya merekalah yang tau akan kebutuhan
rakyat dan berusaha memenuhinya, tanpa harus mengikiutsertakan
rakyat karena dianggap pasif, apatis, dan miskin informasi.
3.2 Tipologi Kekuasaan Dan Hukum Zaman Orde Baru
Dinamika pembangunan dengan karakteristik

bahwa produk hukum

selalu dipandang sebagai prodak politik. Hal ini menyebabkan ia


hanyalah sebagai alat untuk mewujudkan tujuan-tujuan politik. Tatanan
hukum yang dikembangkan sangat elitis dan konserfatif karna proses
pembentukannya sangat sentralistik dan tidak partisisptif. Otonomi politik
lebih mendominasi bila dibandingkan dengan yang dimiliki oleh hukum.
Akibatnya hukum sering dikesampingkan demi kepentingan politik,
terutama bila negara disibukkan oleh pembenahan politik secara
mendasar seperti menjaga astatus quo dan stabilitas.
3.3 Tatanan Hukum Pasca Soeharto
Paradigma dan cara- cara lama tetap melekat hampir diseluruh
kelembagaan yang ada, karna pada kenyataanya aspirasi rakyat untuk
menulis suatu perubahan secara total sulit diwujudkan. Penanganan
secara

represif

masyarakat

terus

yang

berlanjut

tergusur

perundang-undangan

tidak

dan

seperti
masih

dapat

menangani

banyak

dilakukan

lagi.

secara

demonstrasi,
Pembentukan
cepat,

lebih

disebabkan pola pikir pada aktor yang sulit untuk melakukan perubahan
terhadap cara lama yang mereka pakai selama ini. Akibatnya tingkat
kepercayaan terhadap pemerintah semakin lemah dan luntur.
3.4 Paradigma Kekuasaan dan Tatanan Hukum
Hukum yang dilandasi oleh paradigma kekuasaan menghadirkan hukum
yang tidak demokratis , yaitu suatui sistem hukum yang totaliter.
padahal, Hukum itu bukanlah institusi yang dapat dilepaskan dari konteks
sosialnya,

artinya,

ketentuan

secara

normatif

masih

memerlukan

penanganan yang panjang untuk mewujudkan tujuannya di dalam


masyarakat. Negara hukum di Indonesia akan terwujud pada bangsa ini

sendiri dan penyebab kemerosotan adalah hegemoni kekuasaan yag


terdiri dari militer, Golkar, dan birokrasi. Saat ini tampa disadari negara
telah berubah dari negara hukum menjadi negara kekuasaan.
3.5 Reformasi dan Pergeseran Paradigma Hukum
Agenda utama yang terpenting adalah memulihkan dan mengembalikan
otentisitas

hukum,

menjadikan

hukum

reformasi
sebagai

haruslah
instistusi

merupakan
yang

usaha

mampu

untuk

menjalankan

pekerjaannya sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zaman. Reformasi


hukum merupakan ON GOING PROCESS dan bukan sekedar perubahan
hukum biasa. Reformasi sesungguhnya merupakan suatu perubahan
seperangkat tata nilai untuk dijadikan dasar bagi suatu sistem hukum.
Perubahan mendasar dimulai dari perangkat nilai dan berlanjut sampai
pada tataran subtansi, struktur dan kultur hukumnya.
3.6 Transformasi Hukum Dalam Era Global
Masyarakat indonesia di dalam rangka membangun hukum nasional
dihadapkan pada tekanan globalisasi perdagangan bebas. Globalisasi
telah merambah hampir semuah ranah kehidupan masyarakat, sehingga
diperkirakan bakal muncul suatu global society dengan klasifikasi global
seperti : Global economi, global education, global human condition,
global humanity, global order, and global global village. Indonesia harus
melakukan

penataan

terhadap

tatanan

hukumnya

agar

tidak

menghambat proses global tersebut. Dalam penataan hukum itu,


indonesia tidak hanya memperhatikan cita hukum dan politik hukum
nasional

serta

karakteristik

lokal.

Akan

tetapi,

hendaknya

juga

memperhatikan kecenderungan yang telah diakui oleh negara yang telah


mengikuti

global

internasional,

trend,

seperti

yang

deklarasi,

tampak

dalam

konvensi,

instrumen-instrumen

code

of

condact,

dan

sebagainya.

BAGIAN KEDUA
BUDAYA HUKUM
1

PERANAN KULTUR HUKUM DALAM PENEGAKAN HUKUM


Kultur Hukum merupakan hubungan antara hukum dengan faktor-faktor
non-hukum lainnya, terutama faktor nilai dan sikap serta pandangan
masyarakat.

Faktor-faktor

nonhukum,

termasuk

kultur

itulah

yang

membuat adanya perbedaan penegakan hukum antara masyarakat yang


satu

dengan

masyarakat

lainnya.

Persolan

mendasar

yang

perlu

mendapat perhatian Pertama, bagaimanakah hubungan antar hukum


dengan struktur masyarakat ? Kedua, fungsi-fungsi apakah yang dapat

dijalankan oleh hukum? Ketiga, bagaimana peran kultur hukum terhadap


bekerjanya hukum?
1.2 Hukum sebagai suatu sistem
Persoalan

yang

dihadapi

sangatlah

kompleks,

disatu

sisi

hukum

dipandang sebagai suatu sistem nilai yang secara keseluruhan dipayungi


oleh sebuah norma dasar yang disebut ground norm atau basic norm
sebagai suatu sistem nilai, maka ground norm itu merupakan sumber
nilai dan juga sebagai pembatas dalam penerapan hukum. Dalam
prospektif yang lain, hukum merupakan bagian dari lingkungan sosialnya
dengan demikian, hukum merupakan salah satu sub sistem diantara sub
sistem sosial lain seperti sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Itu berarti
hukum tidak dapat dilepaspisahkan dengan masyarakat sebagai basis
kerjanya.
1.3 Komponen-Komponen Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Hukum

bukan

hanya

dipakai

untuk

mempertandingkan

pola-pola

hubungan serta kaidah-kaidah yang ada. hukum yang diterima sebagai


konsep yang moderen memiliki fungsi untuk melakukan suatu perubahan
sosial. Hukum senantiasa berhadapan dengan nilai-nilai maupun polapola perilaku yang telah mapan dalam masyarakat. Penegakan hukum
sebagai suatu proses akan melibatkan berbagai macam komponen yang
saling

berhubungan,

dan

bahkan

ada

yang

memiliki

tingkat

ketergantungan yang cukup erat. Akibatnya, ketiadaan salah satu


komponendapat menyebabkan inevisien maupun useles sehingga tujuan
hukum yang di cita-citakan sulit terwujud. Komponen yang dimaksud
seperti

Personel,

Information,

Budget,

Facilityes,

Subtantief

Law,

Procedural Law, Decitoin Rules, and Decition Habits( YeheskielDror ).


1.4 Hukum dan Struktur Masyarakat
Hukum memiliki hubungan timbal balik dengan masyarakatnya, karena
hukum itu sendiri merupakan sarana pengatur masyarakat dan bekerja di
dalam masyarakat. Emile Durkheim membedakan antara masyarakat
Solidaritas

Mekanik

Masyarakat

solidaritas

dengan

masyarakat

mekanik

Solidaritas

mendasarkan

diri

Organik.

pada

sifat

kebersamaan antara anggota-anggotanya. Disini tipe hukumnya bersifat


represif, karena hukum yang demikian itu mampu mempertahankan
kebersamaan

tersebut.

Sebaliknya

masyarakat

dengan

solidaritas

organik, lebih mendasarkan diri pada individualisme dan kebebasan para


anggota-anggotanya. Sistem hukum restitutif merupakan hukum yang
sesuai untuk menjaga kelangsungan masy dengan solidaritas organik.
2

PENGARUH BUDAYA HUKUM TERHADAP FUNGSI HUKUM

Fungsi Hukum yang diharapkan dewasa ini adalah melakukan usaha


untuk menggerakan rakyat agar bertingkah laku sesuai dengan cara-cara
baru untuk mencapai suatu tujuan yang dicita-citakan. Kesadaran hukum
masyarakat itu, oleh Lawrence M. Friedman terkait erat dengan masalah
budaya hukum. Dimaksudakan dengan budaya hukum disini adalah
berupa kategori nilai-nilai, pandangan-pandangan serta sikap-sikap yang
mempengaruhi bekerjanya hukum.
2.1 Hukum moderen dan Budaya Hukum
Perkembangan struktur sosial Indonesia tidak atau kurang sesuai dengan
hukum moderen yang dikembangkan oleh elit penguasa. Dengan kata
lain, Struktur sosial bangsa Indonesia belum seluruhnya diserap oleh
hukum moderen sebagai basis sosialnya. Akibatnya, banyak contoh yang
menggambarkan tentang kepincangan pelaksanaan hukum moderen
buatan elit pengusa. Kegagalan untuk mewujudkan salah satu dari nilainilai dapat menimbulkan hasil-hasil yang tidak sesuai dengan apa yang
menjadi harapan dari isi peraturan. Namun demikian, sebaik apapun
hukum yag dibuat pada akhirnya sangat ditentukan oleh budaya hukum
masyarakat

yang

bersangkutan.

Budaya

hukum

adalah

berbicara

mengenai bagaimana sikap-sikap, pandangan-pandangan serta nilai-nilai


yang dimilikimoleh masyarakat.
2.2 Kegagalah Hukum Modern : Kasus Bagi Hasil
Temuan FH UNDIP tentang Peranan Kesadaran Hukum Masy dan
Pelaksanaan Undang-Undang bagi hasil (UUPBH) tahun 1976 untuk
mengetahui apa yang dikehendai Undang-Undang, kita dapat melihat
dalam konsiderans UUPBH tersebut Pertama, mengupayakan agar
pembagian hasil tanah antar pemilik dan penggarap dilakukan secara adil
Kedua, mengupayakan agar kedudukan hukum para penggarap dapat
terjamin dengan baik dengan merumuskan secara tegas hak dan
kewajibannya. Dalam UUPBH dintaranya mengatur mengenai : batas
waktu min perjanjian, adanya syarat formal bagi pembuat perjanjian,
masuknya unsur pemerintah kedalam urusan perjanjian, dan adanya
larangan untuk memberikan sesuatu kepada pemilik guna memperoleh
tanah garapan. Hal tsb digunaka sbg Indikator untuk mengetahui
pengetahuan rakyat terhadap isi Undang-Undang, ternyata dari laporan
penelitan

menunjukkan

bahwa

tingkat

kebutaan

Undang-Undang

melampaui 75%. Disini tidaklah terjadi komunikasi antara pembuat


Undang-Undang dengan masyarakat, akibatnya timbul ketidakcocokan
antara tuntutan Undang-Undang dengan praktik yang dijalankan oleh
masyarakat.

2.3 Kegagalan Hukum Modern : Kasus Perkawinan


Berpedoman pada Undang-Undang No 1 th 1974 tentang Perkawinan,
PSHP FH UNAIR melakukan penelitian menegani efektivitas ketentuan
umur minimal untuk kawin (19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk
wanita) di Bangkalan Madura. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui bagaimana bekerjanya ketentuan hukum yang baru itu
khususnya batas umur untuk kawin. Hasil penelitian menunjukkan
masyarakat desa yang dapat menyebut batasan umur kawin dengan
tepat hanya 25,38%. Selebihnya, bahkan sebagian besar kepala desa
tidak

mengetahui

dengan

pasti

ketentuan

batas

umur

kawin.

Relevensinya adalah bagaimana mungkin masyarkat desa mengetahui


pasti batasan umur untuk menikah jika pengetahuan mengenai hukum
perkawinan

yang

diatur

negara

banyak

yang

tidak

mengetahui.

Penelitaian ini juga menemukan bahwa kebiasaan mengawinkan anak di


bawah umur 16 tahun tetap saja dilakukan oleh masyarakat desa di
wilayah Kabupaten Bangkalan. Artinya dengan adanya aturan disini
berusaha merombak cara pandang maupun nilai-nilai yang selama ini
telah berfungsi dengan baik.
2.4 Hukum Sebagai Karya Kebudayaan
Kebudayaan merupakan suatu blue print of behaviour yang memberikan
pedoman tentang apa yang harus dilakukan, boleh dilakukan dan apa
yang dilarang. Nilai sosial dan budaya berperan seabagai pedoman dan
pendorong bagi perilaku manusia di dalam interaksi sosial. Hukum
merupakan kongkretisasi nilai-nilai yang terbentuk dari kebudayaan
suatu masyarakat. Oleh karena setiap masyarakat selalu menghasilkan
kebudayaan, maka hukumpun selalu ada disetiap masyarakat dan tampil
dengan kekhasan masing-masing.
2.5 Komponen Budaya Hukum
Menurut Danile S. Lev, sistem hukum menekankan pada prosedur tetapi
tidak

menjelaskan

tentang

bagaimana

sesungguhnya

orang-orang

menyelesaikan masalahnya dikehidupan sehari-hari. Budaya hukum di


perinci kedalam nilai-nilai hukum procedural yang mempersoalkan
tentang cara-cara pengaturan masyarakat dan manajemen konflik dan
komponen

substantive

dari

budaya

hukum

dari

asumsi-asumsif

fundamental mengenai distribusi maupun penggunaan sumber-sumber


didalam masyarakat. Dengan budaya hukum dapat dipahami perbedaan
sistem hukum yang satu dengan yang lain. Sedangkan menurut
Lawrence M. Friedman memasukkan komponen budaya Hukum sebagai
bagian integral dari suatu sistem Hukum. Friedman membedakan unsur

system itu ke dalam 3 (tiga) macam yaitu (1) struktur; (2) substansi dan
(3) kultur .
2.6 Menuju Efektifitas Hukum
Suatu sistem hukum yang tidak efektif tentunya akan menghambat
terealisasinya tujuan yang ingin dicapai itu. Sistem hukum dapat
dikatakan efektif bila perilaku-perilaku manusia di dalam masyarakat
sesuai dengan apa yang telah ditentukan dalam peraturan yang berlaku.
Komunikasi hukum merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi
agar hukum berlaku efektif.
2.7 Melembagakan Nilai Hukum Baru
Untuk dapat menanamkan nilai-nilai baru sehingga dapat melembaga
sebagai pola tingkah laku yag baru di masyarakat, maka perlu adanya
proses pelembagaan dan internalisasi dalam rangka pembentukan
kesadaran hukum masyarakat. Efektivitas menanam adalah hasil yang
positif dari penggunaan tenaga manusia, alat-alat, organisasi dan metoda
untuk menanamkan lembaga baru di dalam masyarakat . Penggunaan
tenaga manusia itu disini adalah bagaimana birokrasi itu bekerja. Dalam
proses ini dibutuhkan komitmen yang tulus dan kemampuan yang tinggi
dari para petugas dalam mengiplementasikan kebijaksanaan yang
tertuang dalam hukum itu. Sistem pengawasan yang rapi harus pula
dikembangkan, serta usaha-usaha untuk menyadarkan mereka tentang
unsur-unsur baru terus ditanamkan dan ditegaskan.
3

PEMBINAAN KESADARAN HUKUM


Membina kesadaraan hukum adalah suatu tuntutan pembaharuan sosial
yang dewasa ini menjadi perhatian pemerintah dan mulai digalakan
dalam berbagai usaha pembangunan. Tertib hukum dan penegakan
hukum, penegasan ini dirumuskan sebagai berikut :
1) Pembngunan dibidang hukum didasarkan atas landasa sumber
tertib hukum seperti terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945;
2) Guna meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum dalam
mengayomi masyarakat, yang merupakan syarat bagi terciptanya
stabilitas nasional yang mantap, maka aparatur pemerintah pada
umumnya dan aparatur penegak hukum pada khususnya perlu
terus menerus dibina dan dikembangkan untuk meningkatkan
kemampuan serta kewibawaannya;
3) Pembangunan dan pembinaan dibidang hukum diarahkan agar
hukum mampu
memenuhi kebutuhan sesuai dengan tngkat kemajuan
pembangunan, sehingga dapat diciptakan ketertiban dan kepastian
umum;
4)
Usaha-usaha penertiban badan-badan penegak hukum perlu
dilanjutkan;

5) Usaha meningkatkan kemampuan dan kewibawaan aparat penegak


hukum perlu dilanjutkan;
6) Meningkatkan kesadaran hukum sehingga masyarakat menghayati
hak dan
kewajibannya;
7) Meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum ke
arah tegaknya hukum, keadilan dan pembinaan perlindungan
harkat dan martabt manusia, ketertiban serta kepastian hukum
sesuai dengan UUD 1945.
Kesadaran hukum dalam konteks ini berarti kesadaran untuk bertindak
sesuai

dengan

ketentuan

hukum.

Kesadaran

hukum

masyarakat

merupakan semacam jembatan yang menghubungkan antara peratranperaturan hukum dengan tingakah laku hukum anggota masyarakatnya.
Lawrence M. Friedman lebih condong menyebutnya sebagai bagian dari
kultur

hukum

yaitu

nilai-nilai,

sikap-sikap

yang

mempengaruhi

bekerjanya hukum.
Menurut Sunaryati Hartono, betapapun kesadaran hukum itu berakar di
dalam masyarakat, ia merupakan abstraksi yang lebih rasional daripada
perasaan hukum yang hidup di dalam masyarkat. Dengan kata lain,
kesadaran hukum merupakan suatu pengertian yang menjadi hasil
ciptaan para sarjana hukum. Para sosiolog modern yang berorientasi
empiris cenderung berpendapat bahwa kekuatan pokok kontrol sosial itu
terletak pada adanya kaidah-kaidah kelompok yang telah diresapi
masyarakat. Jadi, jelaslah bahwa masalah kesadaran hukum ini timbul
apabila nilai-nilai yang akan diwujudkan dalam peraturan hukum itu
merupakan nilai-nilai yang baru.
Menghadapi produk hukum yang cenderung memasukan unsur-unsur
baru itu, apakah seorang pemegang peran akan bertindak sesuai dengan
ketentuan hukum seperti itu atau tidak, sangat tergantung pada tiga
variable utama, antara lain :
Dalam proses bekerjanya hukum, setiap anggota masyarakat dipandang
sebagai adressat hukum. Sebagai pemegang peran ia diharapkan oleh
hukum memenuhi harapan-harapan tertentu sebagaimana dicantumkan
di dalam peraturan-peraturan. Chambiliss dan Sediman menyebutkan
adressat Hukum itu sebagai Pemegang Peran (role occupant).
1) apakah normanya telah disampaikan;
2)

apakah normanya serasi dengan tujuan-tujuan yang diterapkan

bagi posisi itu;


3)

apakah si pemegang peran digerakan oleh motivasi yang

menyimpang.

Ciri yang demikian ini mengandung arti bahwa fungsi hukum tidak hanya
sebagai kontrol sosial melainkan sebagai sarana untuk mewujudkan suatu
masyarakat baru yang dicita-citakan. Proses bekerjanya hukum itu sangat
ditentukan oleh beberapa faktor penting, yaitu :
1. Peraturan-peraturan hukumnya;
2. Badan pembuat undang-undang;
3. Badan pelaksana hukum (sanctioning agencies);
4. Masyarakat sebagai sarana pengaturan;
5. Proses penerapan hukumnya;
6. Komunikasi hukumnya;
7. Kompleks kekuatan sosial-politik dan lain-lain yang bekerja atas diri
pembuat undangundang, birokrat (pelaksana hukum) maupun masyarakat sendiri
sebagai pemegang
peraan;
8. Proses umpan balik antara semua komponen tersebut.
Faktor-faktor yang diperlukan untuk mewujudkan cita-cita sebagaimana
tertuang dalam peraturan hukum tersebut perlu dipersiapkan dengan
baik. Artinya apa yang disebut sebagai undang-undang itu hanyalah
sekedar kerangka atau pedoman bertindak, dan oleh karena itu masih
harus dilengkapi dengan segala macam sarana yang dibutuhkan agar
dapat dijalankan dengan semestinya. Menurut A. Podgorecki ada empat
asas pokok yang perlu diperhatikan dalam mewujudkan tujuan sosial
yang dikehendaki, yakni :
1. Suatu penggambaran yang baik mengenai situasi yang dihadapi.
2. Membuat suatu analisa mengenai penilaian-penilaian yang ada dan
menempatkannya dalam suatu urutan hirarki. Analisis disini meliputi
pula perkiraan mengenai apakah cara-cara yang kan dipakai tidak
akan lebih menimbulkan suatu efek yang baik mala memperburuk
keadaan.
3. Melakukan verifikasi hipotesis-hipotesis, seperti apakah suatu cara
yang dipikirkan untuk dilakukan itu pada akhirnya membawa kita
kepada tujuan sebagaimana yang dikehendaki.
4. Pengukuran terhadap efek perturan-peraturan yang ada.
Kesadaran untuk memerlukan hukum sebagai sarana yang sengaja
dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan yang kita kehendaki dinyatakan
pula dalam salah satu keputusan seminar hukum nasional ke III pada
Tahun 1974 di Surabaya. Yang dirumuskan sebagai berikut : Perundangundangan terutama dalam masyarakat dinamis dan yang sedang
berkembang,

merupakan

sarana

untuk

merealisis

kebijaksanaan-

kebijaksanaan Negara dalam bidang-bidang ekonomi, sosial, budaya,


politik, pertahanan dan keamanan nasional sesuai dengan skala prioritas
dan pertahanan pembangunan nasional.

Anda mungkin juga menyukai