BAGIAN 1
CITA HUKUM
1 HUKUM SEBAGAI SISTEM NORMA DAN FUNGSI-FUNGSINYA
Hukum
dalam
perkembangannya
telah
mengarah
kepada
penggunaannya sebagai sarana untuk melakukan perubahan-perubahan
dalam masyarakat. Bertolak dari hal tersebut maka muncul beberapa
problem sebagai berikut :
1) Tujuan apakah yang hendak diwujudkan hukum?
2) Fungsi apa saja yang dapat dilakukan oleh hukum?
3) Bagaimana fungsi hukum itu dijalankan dalam kaitannya dengan sistem
norma?
1.1 Pengertian Hukum
Secara garis besar, pengertian hukum dapat dikelompokan menjadi 3
pengertian dasar, yang buku ini Prof. Esmi lebih memilih menggunakan
Pendapat
Satjipto
Rahardjo
yaitu:
(1)
Hukum
dipandang
sebagai
kumpulan ide atau nilai abstrak. (2) Hukum dilihat sebagai suatu sistem
peraturan yang abstrak. (3) Hukum dipahami sebagai sarana untuk
mengatur masyarakat. Dari uraian diatas, maka hukum diharapkan
dapat menjadi lebih unggul dalam sisi filosofis, normatif, dan sosiologis.
1.2 Tujuan Hukum
Dalam literature dikenal bebarapa teori tentang tujuan hukum dimana
teori
tersebut
merupakan
akumulasi
dari
teori-teori
yang
telah
Keintegrasian
Keteraturan
Keutuhan
Keterorganisasian
Keterhubungan komponen satu dengan yang lainnya.
Ketergantungan komponen satu dengan yang lainnya.
Komponen-komponen
yang
disebutkan
diatas
merupakan
unsur
2.
penyusunan
peraturan
perundang-undangan
yang
bersifat
ini
semua
perencanaan
pembangunan
cenderung
kebijaksanaan
menjadikan
dan
pranata
program-program
hukum
sebagai
sandarannya.
2.2 Peran Produk Hukum
Keberadaan
institusi
pengimplementasikan
hukum
dari
merupakan
suatu
indikator
kebijaksanaan.
atau
Jay
kunci
A.Sigler
negara
saja,
melainkan juga
mendasari
dan mengarahkan
pembentuk
sedangkan
hukum
merupakan
penyataan
dalam
kehidupan
yang
itu
sesungguhnya
lahir
melalui
suatu
proses
yang
membutuhkan waktu yang cukup panjang. Dari proses ini pula akhirnya
dapat diprediksikan, seperti norma yang akan lahir ketika peraturan itu
dibuat, terutama mengenai substansi dari norma-norma hukum terebut.
2.7 Proses Transformasi Sosial Dalam Hukum
Didalam
proses
mengidentifikasi
dan
merumuskan
problem
individu
maupun
kelompok
di
dalam
masyarakat.
Proses
trasformasi dari keinginan-keinginan sosial menjadi peraturan perundangundangan baik dalam konteks politis dan sosiologis tidak hanya terjadi
pada saat pembentukan suatu peraturan dalam tahap bekerjanyapun
proses-proses tersebut berlangsung terus dan mengoreksi secara terusmenerus produk hukum yang telah dihasilkan terebut.
3.
PERGESERAN
PARADIGMA
HUKUM :
DARI PARADIGMA
dapat
berhasil
bila
didukung
oleh
stabilitas
politik
represif
masyarakat
terus
yang
berlanjut
tergusur
perundang-undangan
tidak
dan
seperti
masih
dapat
menangani
banyak
dilakukan
lagi.
secara
demonstrasi,
Pembentukan
cepat,
lebih
disebabkan pola pikir pada aktor yang sulit untuk melakukan perubahan
terhadap cara lama yang mereka pakai selama ini. Akibatnya tingkat
kepercayaan terhadap pemerintah semakin lemah dan luntur.
3.4 Paradigma Kekuasaan dan Tatanan Hukum
Hukum yang dilandasi oleh paradigma kekuasaan menghadirkan hukum
yang tidak demokratis , yaitu suatui sistem hukum yang totaliter.
padahal, Hukum itu bukanlah institusi yang dapat dilepaskan dari konteks
sosialnya,
artinya,
ketentuan
secara
normatif
masih
memerlukan
hukum,
menjadikan
hukum
reformasi
sebagai
haruslah
instistusi
merupakan
yang
usaha
mampu
untuk
menjalankan
penataan
terhadap
tatanan
hukumnya
agar
tidak
serta
karakteristik
lokal.
Akan
tetapi,
hendaknya
juga
global
internasional,
trend,
seperti
yang
deklarasi,
tampak
dalam
konvensi,
instrumen-instrumen
code
of
condact,
dan
sebagainya.
BAGIAN KEDUA
BUDAYA HUKUM
1
Faktor-faktor
nonhukum,
termasuk
kultur
itulah
yang
dengan
masyarakat
lainnya.
Persolan
mendasar
yang
perlu
yang
dihadapi
sangatlah
kompleks,
disatu
sisi
hukum
bukan
hanya
dipakai
untuk
mempertandingkan
pola-pola
berhubungan,
dan
bahkan
ada
yang
memiliki
tingkat
Personel,
Information,
Budget,
Facilityes,
Subtantief
Law,
Mekanik
Masyarakat
solidaritas
dengan
masyarakat
mekanik
Solidaritas
mendasarkan
diri
Organik.
pada
sifat
tersebut.
Sebaliknya
masyarakat
dengan
solidaritas
yang
bersangkutan.
Budaya
hukum
adalah
berbicara
menunjukkan
bahwa
tingkat
kebutaan
Undang-Undang
mengetahui
dengan
pasti
ketentuan
batas
umur
kawin.
yang
diatur
negara
banyak
yang
tidak
mengetahui.
menjelaskan
tentang
bagaimana
sesungguhnya
orang-orang
substantive
dari
budaya
hukum
dari
asumsi-asumsif
system itu ke dalam 3 (tiga) macam yaitu (1) struktur; (2) substansi dan
(3) kultur .
2.6 Menuju Efektifitas Hukum
Suatu sistem hukum yang tidak efektif tentunya akan menghambat
terealisasinya tujuan yang ingin dicapai itu. Sistem hukum dapat
dikatakan efektif bila perilaku-perilaku manusia di dalam masyarakat
sesuai dengan apa yang telah ditentukan dalam peraturan yang berlaku.
Komunikasi hukum merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi
agar hukum berlaku efektif.
2.7 Melembagakan Nilai Hukum Baru
Untuk dapat menanamkan nilai-nilai baru sehingga dapat melembaga
sebagai pola tingkah laku yag baru di masyarakat, maka perlu adanya
proses pelembagaan dan internalisasi dalam rangka pembentukan
kesadaran hukum masyarakat. Efektivitas menanam adalah hasil yang
positif dari penggunaan tenaga manusia, alat-alat, organisasi dan metoda
untuk menanamkan lembaga baru di dalam masyarakat . Penggunaan
tenaga manusia itu disini adalah bagaimana birokrasi itu bekerja. Dalam
proses ini dibutuhkan komitmen yang tulus dan kemampuan yang tinggi
dari para petugas dalam mengiplementasikan kebijaksanaan yang
tertuang dalam hukum itu. Sistem pengawasan yang rapi harus pula
dikembangkan, serta usaha-usaha untuk menyadarkan mereka tentang
unsur-unsur baru terus ditanamkan dan ditegaskan.
3
dengan
ketentuan
hukum.
Kesadaran
hukum
masyarakat
merupakan semacam jembatan yang menghubungkan antara peratranperaturan hukum dengan tingakah laku hukum anggota masyarakatnya.
Lawrence M. Friedman lebih condong menyebutnya sebagai bagian dari
kultur
hukum
yaitu
nilai-nilai,
sikap-sikap
yang
mempengaruhi
bekerjanya hukum.
Menurut Sunaryati Hartono, betapapun kesadaran hukum itu berakar di
dalam masyarakat, ia merupakan abstraksi yang lebih rasional daripada
perasaan hukum yang hidup di dalam masyarkat. Dengan kata lain,
kesadaran hukum merupakan suatu pengertian yang menjadi hasil
ciptaan para sarjana hukum. Para sosiolog modern yang berorientasi
empiris cenderung berpendapat bahwa kekuatan pokok kontrol sosial itu
terletak pada adanya kaidah-kaidah kelompok yang telah diresapi
masyarakat. Jadi, jelaslah bahwa masalah kesadaran hukum ini timbul
apabila nilai-nilai yang akan diwujudkan dalam peraturan hukum itu
merupakan nilai-nilai yang baru.
Menghadapi produk hukum yang cenderung memasukan unsur-unsur
baru itu, apakah seorang pemegang peran akan bertindak sesuai dengan
ketentuan hukum seperti itu atau tidak, sangat tergantung pada tiga
variable utama, antara lain :
Dalam proses bekerjanya hukum, setiap anggota masyarakat dipandang
sebagai adressat hukum. Sebagai pemegang peran ia diharapkan oleh
hukum memenuhi harapan-harapan tertentu sebagaimana dicantumkan
di dalam peraturan-peraturan. Chambiliss dan Sediman menyebutkan
adressat Hukum itu sebagai Pemegang Peran (role occupant).
1) apakah normanya telah disampaikan;
2)
menyimpang.
Ciri yang demikian ini mengandung arti bahwa fungsi hukum tidak hanya
sebagai kontrol sosial melainkan sebagai sarana untuk mewujudkan suatu
masyarakat baru yang dicita-citakan. Proses bekerjanya hukum itu sangat
ditentukan oleh beberapa faktor penting, yaitu :
1. Peraturan-peraturan hukumnya;
2. Badan pembuat undang-undang;
3. Badan pelaksana hukum (sanctioning agencies);
4. Masyarakat sebagai sarana pengaturan;
5. Proses penerapan hukumnya;
6. Komunikasi hukumnya;
7. Kompleks kekuatan sosial-politik dan lain-lain yang bekerja atas diri
pembuat undangundang, birokrat (pelaksana hukum) maupun masyarakat sendiri
sebagai pemegang
peraan;
8. Proses umpan balik antara semua komponen tersebut.
Faktor-faktor yang diperlukan untuk mewujudkan cita-cita sebagaimana
tertuang dalam peraturan hukum tersebut perlu dipersiapkan dengan
baik. Artinya apa yang disebut sebagai undang-undang itu hanyalah
sekedar kerangka atau pedoman bertindak, dan oleh karena itu masih
harus dilengkapi dengan segala macam sarana yang dibutuhkan agar
dapat dijalankan dengan semestinya. Menurut A. Podgorecki ada empat
asas pokok yang perlu diperhatikan dalam mewujudkan tujuan sosial
yang dikehendaki, yakni :
1. Suatu penggambaran yang baik mengenai situasi yang dihadapi.
2. Membuat suatu analisa mengenai penilaian-penilaian yang ada dan
menempatkannya dalam suatu urutan hirarki. Analisis disini meliputi
pula perkiraan mengenai apakah cara-cara yang kan dipakai tidak
akan lebih menimbulkan suatu efek yang baik mala memperburuk
keadaan.
3. Melakukan verifikasi hipotesis-hipotesis, seperti apakah suatu cara
yang dipikirkan untuk dilakukan itu pada akhirnya membawa kita
kepada tujuan sebagaimana yang dikehendaki.
4. Pengukuran terhadap efek perturan-peraturan yang ada.
Kesadaran untuk memerlukan hukum sebagai sarana yang sengaja
dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan yang kita kehendaki dinyatakan
pula dalam salah satu keputusan seminar hukum nasional ke III pada
Tahun 1974 di Surabaya. Yang dirumuskan sebagai berikut : Perundangundangan terutama dalam masyarakat dinamis dan yang sedang
berkembang,
merupakan
sarana
untuk
merealisis
kebijaksanaan-