Anda di halaman 1dari 50

KEPASTIAN HUKUM TERHADAP EKSISTENSI PEGAWAI NON PNS

PADA INSTANSI YANG MENERAPAKAN POLA PENGELOLAAN

KEUANGAN BLU (PPK BLU)

PASCA TERBITNYA PP NO 49 TAHUN 2018 TENTANG MANAJEMEN

PEGAWAI PEMERINTAH DENGAN PERJANJIAN KERJA (PPPK)

(Studi di RSUP Dr. Kariadi)

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Saat ini, untuk memenuhi kebutuhan jumlah Pegawai Negeri Sipil dalam

sebuah instansi pemerintah haruslah mendapatkan persetujuan dari Kementerian

Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Setiap instansi

mengajukan jumlah aparatur yang diperlukan, dan Kemepan-RB akan

menyesuaikan jumlah aparatur dengan anggaran negara dan beberapa rasio

lainnya, seperti jumlah PNS yang pensiun dan jenis instansinya. Namun terkadang

jumlah aparatur yang disetujui tidak sesuai, bahkan lebih sedikit daripada jumlah

yang dibutuhkan, karena APBN atau APBD tidak mencukupi untuk membiayai

PNS, dari gaji sampai biaya pensium. Hal inilah yang memicu munculnya tenaga

lain diluar PNS seperti tenaga kontrak, honorer, Pegawai Non-PNS dalam sebuah

instansi, yang bertujuan mengisi kekosongan beberapa pos yang formasinya tidak

memperoleh persetujuan. Tenaga- tenaga diluar PNS ini dapat berasal dari

perekrutan instansi ataupun mereka melamar secara sukarela untuk mengabdi

sebagai tenaga kontrak maupun honorer.

Bagi instansi-instansi pemerintah yang memiliki tugas pokok dan fungsi

memberikan pelayanan publik secara langsung, akan selalu dituntut untuk


2
berupaya upaya meningkatkan kinerja dan kualitas pelayanan. Hal ini berdampak

pada perlunya penambahan sumber daya manusia pada instansi pemerintah.

Pegawai Negeri Sipil yang bertugas menjalankan salah satu fungsi pemerintah,

yaitu pelayanan, seringkali kewalahan untuk menjalankan fungsinya tersebut

secara maksimal. Oleh karenya keberadaan tenaga diluar PNS dalam

perkembangannya bertujuan untuk membantu kinerja PNS yang mana PNS

tersebut sudah kewalahan dalam menjalankan fungsi dari pemerintah yaitu salah

satunya dalam hal pelayanan publik. Tenaga diluar PNS memegang peranan

penting demi terselenggaranya pelayanan publik yang maksimal bagi masyarakat,

sebab pelayanan publik sangat berhubungan langsung dengan masyarakat itu

sendiri sehingga proses pelayanan publik harus bisa memuaskan masyarakat itu

sendiri.

Seiring perkembangan birokrasi pemerintahan yang terus bertransformasi

untuk mewujudkan birokrasi pemerintah yang mampu memberikan pelayanan

publik secara maksimal pada kenyataannya, dalam melakukan tugas-tugas

pelayanan publik, baik itu pada pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah,

sebagian besar banyak dilakukan dan dikerjakan oleh tenaga diluar PNS yang

mana mereka diangkat oleh masing-masing instansi. Namun demikian,

ketidakjelasan status, lemahnya perlindungan hukum dan ketimpangan

kesejahteraan antara PNS dengan tenaga diluar PNS telah menimbulkan banyak

permasalahan sehingga menjadikan reformasi birokrasi dibidang pengelolaan

kepegawaian menjadi sebuah keniscayaan.

3
Setelah hampir dua dekade akhirnya Pemerintah melakukan perubahan

dalam pengelolaan Aparatur Sipil Negara (ASN). Salah satu perubahan besar ialah

mengenai pembagian jenis kepegawaian yang menjadi salah satu terobosan yang

dilakukan oleh pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang

Aparatur Sipil Negara.

Berdasarkan pasal 6 dan 7 UU No. 5 Tahun 2014, ASN terbagi menjadi

dua jenis Kepegawaian yakni PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang diangkat sebagai

pegawai tetap oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dan memiliki nomor induk

pegawai secara nasional dan PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja)

yang diangkat sebagai pegawai dengan perjanjian kerja oleh Pejabat Pembina

Kepegawaian sesuai dengan kebutuhan instansi Pemerintah dan ketentuan

Undang-Undang. PPPK lahir sebagai jawaban dari kebutuhan yang mendesak

akan sumber daya manusia mumpuni dan profesional yang selama ini

kompetensinya mungkin tidak banyak di dapatkan pada PNS.

PPPK yang berlatar belakang profesional dianggap mampu menyelesaikan

pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus secara cepat dan tuntas sehingga

ketika pekerjaan yang ditangani tersebut selesai maka kontrak PPPK pun dapat

selesai, dengan demikian pemerintah tidak punya beban yang terlalu berat dalam

menanggung aparaturnya.

Tapi benarkah dengan terbitnya PP Nomor 49 Tahun 2018 tentang

Manajemen PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) yang untuk

selanjutnya disebut PP Manajemen PPPK akan menyelesaikan berbagai

4
permasalahahan mengenai status pegawai diluar PNS yang bekerja di instansi-

instansi pemerintah saat ini dan mampu meningkatkan kesejahteraan mereka.

Untuk mengetahui hal tersebut maka kita perlu mengetahui terlebih dahulu sisi

historis lahirnya Jenis Status Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja

(PPPK) terlebih dahulu.

Banyak yang mengasumsikan bahwa sebenarnya kehadiran PPPK tidak

lebih dari “mengganti baju” istilah Pegawai Non PNS, Pegawai Harian Lepas,

Pegawai Tidak Tetap, Pegawai Honorer, atau Staf Kontrak yang selama ini

banyak dipakai oleh instansi baik di pusat maupun di daerah untuk memenuhi

kebutuhan akan sumber daya manusianya dengan cepat.

Pemahaman tersebut tidaklah salah, salah satu landasan pemikiran lahirnya

PPPK adalah karena belum jelasnya konsep pegawai Non-PNS sampai saat ini

serta sistem rekrutmen dan seleksi dalam birokrasi yang rigid, sehingga sulit

untuk merespon kebutuhan pegawai atas pelayanan publik secara cepat. Namun

ide besar dari PPPK ini berlandaskan pada pemahaman bahwa selama ini PNS

menjadi “pemain tunggal” dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan. Padahal

tidak semua urusan pemerintahan sebenarnya harus dikerjakan oleh PNS. Maka

dengan ide pemisahan pekerjaan urusan pemerintahan tersebut PPPK tidak dapat

serta merta dipersamakan dengan Pegawai Tidak Tetap, Pegawai Honorer,

ataupun Staf Kontrak yang selama ini dipersepsikan karena pun desain mengenai

gaji, penghargaan, sistem PHK dan perlindungan serta pengembangan kompetensi

PPPK juga berbeda dari Pegawai Non-PNS selama ini.

5
PPPK adalah sebuah inovasi yang seyogyanya disambut dengan hangat

dalam sistem kepegawaian di birokrasi pemerintahan. PPPK memberikan angin

segar untuk melakukan percepatan pembangunan dan pelayanan publik yang

selama ini banyak terkendala. PPPK sebagai upaya untuk menciptakan berbagai

inovasi di dalam sektor pemerintahan dengan cara pertukaran kompetensi dan

sharing knowledge and experience antara sektor publik dan sektor swasta. Dengan

begitu, masuknya PPPK diharapkan akan memacu adrenalin birokrasi untuk

melakukan percepatan penyelenggaraan ASN.

Saat ini regulasi yang mengatur mengenai manajemen PPPK telah terbit.

Butuh waktu hampir 5 tahun untuk melahirkan PP tentang manajemen PPPK . UU

ASN sudah diterbitkan sejak bulan Januari 2014 sementara PP ini baru

ditandatangani dan ditebitkan pada bulan November 2018 lalu. Perlu diingat,

peraturan ini dibuat untuk memenuhi mandat UU Nomor 5 tahun 2014 tentang

Aparatur Sipil Negara (ASN) khususnya pasal 107, berkaitan dengan manajemen

PPPK yang telah diatur dalam Pasal 95 sampai dengan Pasal 106, yang pada

pokoknya manajemen PPPK harus diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Sebagian kalangan, lahirnya PP Manajemen PPPK ini lebih dari sekadar

mengatur tentang kejelasan nasib dan masa depan berbagai jenis tenaga-tenaga

diluar PNS yang bekerja di Instansi Pemerintahan melainkan juga tentang masa

depan ASN secara umum yang berfungsi sebagai pelayan publik. Dengan tebitnya

PP ini ke depannya, instansi – instansi pemerintah sudah dapat merekrut tenaga-

tenaga profesional di luar PNS dengan mekanisme yang seragam sesuai ketentuan

6
PP Manajemen PPPK tentang seleksi penerimaan PPPK. Artinya Ada ruang dan

peluang yang dibuka bagi mereka yang benar-benar merasa terpanggil untuk

bekerja di birokrasi pemerintahan dan diakui keberadaannya secara hukum selain

yang bersatus sebagai PNS.

Namun, bagi sebagian yang PP Manajemen PPPK dianggap sebuah

inovasi kebijakan yang menimbulkan banyak kerancuan. Munculnya istilah PPPK

sendiri telah banyak menimbulkan perdebatan dan diskusi kritis di kalangan

pemangku kebijakan, pengelola kepegawaian, akademisi, dan masyarakat.

Mengingat kehadiran PPPK ini dianggap tidak lahir pada sesuatu tempat yang

dapat disebut sebagai hal baru.

Kerancuan tersebut salah satunya tercermin pada munculnya kebingungan

beberapa instansi yang saat ini memiliki rasio jumlah antara pegawai PNS dengan

jumlah pegawai Non PNS yang hampir sama , utamanya pada instansi-instansi

yang telah menerapkan Pola Pengelolaan Keungan Badan Layanan Umum. Dalam

Pasal 96 PP Manajemen PPPK telah menyatakan secara tegas bahwa Pejabat

Pembina Kepegawaian (“PPK”) dan pejabat lain di lingkungan instansi

pemerintah dilarang mengangkat pegawai non-PNS dan/atau non-PPPK untuk

mengisi jabatan Aparatur Sipil Negara (“ASN”). Pelanggaran atas ketentuan ini

akan dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan

Ketentuan lain dalam PP Manajemen PPK juga menjelaskan bahwa Pada

saat PP Manajemen PPPK berlaku, tenaga Non PNS yang masih melaksanakan

tugas pada instansi pemerintah, termasuk pegawai yang bertugas pada lembaga

7
non struktural, instansi pemerintah yang menerapkan pola pengelolaan keuangan

badan layanan umum/badan layanan umum daerah, lembaga penyiaran publik,

dan perguruan tinggi negeri baru, tetap melaksanakan tugasnya paling lama lima

tahun. Dalam jangka waktu lima tahun tersebut, tenaga honorer dapat diangkat

menjadi PPPK apabila memenuhi persyaratan. Namun demikian, tidak benar-

benar jelas apakah “persyaratan” yang dimaksud pada ketentuan di atas hanya

mengacu pada persyaratan calon PPPK atau merujuk pada mekanisme seleksi

PPPK secara keseluruhan.

Beberapa ketentuan tersebutlah yang membuat kegalauan pada Instansi

Pemerintah yang telah menerapkan sistem Pola Pengelolaan Keuangan Badan

Layanan Uumum atau disingkat PPK BLU. BLU atau Badan Layanan Umum

(“BLU”) berdasarkan Pasal 1 angka 23 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004

tentang Perbendaharaan Negara adalah adalah instansi dilingkungan pemerintah

yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa

penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari

keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi

dan produktivitas.” Dari rumusan tersebut jelas bahwa BLU adalah instansi dalam

lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan layanan kepada

masyarakat dengan imbalan uang, namun dalam melaksanakan fungsinya BLU

tidak bertujuan mengutamakan mencari keuntungan. Oleh karena itu jelaslah

terlihat bahwa BLU diperbolehkan mencari keuntungan, meskipun bukan

merupakan tujuan utamanya

8
BLU yang merupakan instansi pemerintah dan termasuk kekayaan negara

yang tidak dipisahkan memiliki perbedaan dengan instansi pemerintah lainnnya

dalam bentuk pengelolaan keuangan. BLU diberikan kewenangan untuk

mengelola sendiri keuangannya berupa pendapatan atas jasa yang dilakukannya

tanpa perlu disetorkan terlebih dahulu ke dalam kas negara/daerah. Selain itu BLU

juga dapat melakukan investasi, memberikan piutang dan meminjam utang serta

melakukan pengadaan barang/jasa tersendiri. Fleksibilitas ini yang didasari

prinsip efisien dan efektif dalam penggunaan uang serta tata kelola seperti

korporasi bisnis tersebut diharapkan memberikan hasil berupa pelayanan yang

cepat, baik, responsif dan profesional kepada masyarakat. BLU diharapkan

mampu merespon segala kebutuhan dalam peningkatan pelayanannya

Bentuk kewenangan lain yang diberikan kepada BLU di luar keuangan

adalah BLU diperbolehkan merekrut pegawai non Pegawai Negeri Sipil (PNS)

secara tetap maupun kontrak. Perekrutan pegawai non PNS ini bukan hanya untuk

tingkat pegawai biasa namun juga pada tingkat pejabat pengelola BLU. Pemimpin

dan pejabat teknis pada BLU dapat diisi dari tenaga-tenaga profesional sesuai

kebutuhan BLU tersebut. Adapim karakteristik BLU yang membedakannya

dengan instansi pemerintah lainnya, yaitu sebagai berikut1 :

1. Berkedudukan sebagai lembaga pemerintah yang tidak dipisahkan dari


kekayaan negara.
2. Menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan masyarakat.
3. Tidak bertujuan untuk mencari laba.

1
Sie Infokum-Ditama Binbangkum, 2009, Badan Layanan Umum, http//:www.jdih.bpk.go.id.

9
4. Dikelola secara otonom dengan prinsip efisiensi dan produktivitas ala
korporasi.
5. Rencana kerja, anggaran, dan pertanggungjawabannya dikonsolidasikan
pada instansi induk.
6. Penerimaan baik pendapatan maupun sumbangan dapat digunakan secara
langsung.
7. Pegawai dapat terdiri dari pegawai negeri sipil dan bukan pegawai negeri
sipil.
8. BLU bukan subyek pajak.
Bentuk keistimewaan lain BLU, khususnya dalam fleksibilitas pengelolaan
keuangan, yaitu 2 :
1. Pendapatan operasional dapat digunakan langsung sesuai Rencana Bisnis
dan Anggaran (RBA) tanpa terlebih dahulu disetorkan ke rekening kas
negara atau daerah. Namun seluruh pendapatan tersebut, merupakan PNBP
yang wajib dilaporkan dalam Laporan Realisasi Anggaran.
2. Anggaran belanja BLU merupakan anggaran fleksibel berdasarkan
kesetaraan antara volume kegiatan pelayanan dengan jumlah pengeluaran.
3. Dalam rangka pengelolaan kas, BLU dapat merencanakan penerimaan dan
pengeluaran kas, melakukan pemungutan/tagihan, menyimpan kas dan
mengelola rekening bank, melakukan pembayaran, dan mendapatkan
sumber dana untuk menutup defisit jangka pendek.
4. BLU dapat mengelola piutang dan utang sepanjang dikelola dan
diselesaikan secara tertib, efisien, ekonomis, dan transparan, serta
memberikan nilai tambah sesuai praktik bisnis yang sehat.
5. BLU dapat melakukan investasi jangka pendek maupun jangka panjang.
6. Pengadaan barang dan jasa BLU yang sumber dananya berasal dari
pendapatan operasional, hibah tidak terikat, hasil kerjasama dengan pihak
lainnya, dapat dilaksanakan berdasarkan ketentuan pengadaan barang/jasa
yang ditetapkan oleh pimpinan BLU.
2
Direktorat Pembinaan PK BLU Direktorat Jenderal Perbendaharaan Departemen Keuangan RI,
Modul Bimbingan Teknis Penyusunan Persyaratan Adminstratif untuk Menerapkan PPK-BLU,
2008, hal 47.
10
7. BLU dapat mengembangkan kebijakan, sistem, dan prosedur pengelolaan
keuangan.
8. BLU dapat memperkerjakan tenaga profesional non PNS.
9. Pejabat pengelola, dewan pengawas dan pegawai dapat diberikan
remunerasi berdasarkan tingkat tanggung-jawab dan tuntutan
profesionalisme.

Sesuai salah satu keistimewaan instansi BLU diatas adalah bahwa instansi

BLU dapat memperkerjakan atau melakukan rekrutmen tenaga profesional non

PNS. Perekrutan pegawai non PNS ini bukan hanya untuk tingkat pegawai biasa

namun juga pada tingkat pejabat pengelola BLU. Pemimpin dan pejabat teknis

pada BLU dapat diisi dari tenaga-tenaga profesional sesuai kebutuhan BLU

tersebut. Pasal 33 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang

Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum dan penjelasannya menyebutkan

bahwa pejabat pengelola BLU dan pegawai BLU dapat terdiri dari pegawai negeri

sipil dan/atau tenaga profesional non PNS sesuai dengan kebutuhan BLU, dimana

tenaga profesional non PNS tersebut dapat dipekerjakan secara tetap atau

berdasarkan kontrak. Dampaknya adalah kepegawaian pada BLU dapat terdiri

dari PNS, Pegawai Tetap Non PNS, dan Pegawai Kontrak Non PNS.

Ketentuan adanya pegawai non PNS pada BLU merupakan hal baru dalam

kepegawaian negara. Sebelum adanya pegawai BLU, pegawai negara sesuai Pasal

2 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian terdiri dari

Pegawai Negeri yang di dalamnya PNS, Anggota Tentara Nasional Indonesia,

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Tidak Tetap.

11
Dengan demikian undang-undang kepegawaian hanya memberikan dua jenis

kepegawaian yang terdapat pada instansi pemerintah yaitu Pegawai Negeri dan

Pegawai Tidak Tetap.

Contoh Jenis instansi pemerintah BLU disini antara lain rumah sakit,

lembaga pendidikan, pelayanan lisensi, penyiaran, dan lain-lain. Rumah sakit

sebagai salah satu jenis BLU merupakan ujung tombak dalam pembangunan

kesehatan masyarakat. Namun, tak sedikit keluhan selama ini diarahkan pada

kualitas pelayanan rumah sakit yang dinilai masih rendah. Ini terutama rumah

sakit daerah atau rumah sakit milik pemerintah. Penyebabnya sangat klasik, yaitu

masalah keterbatasan dana yang dimiliki oleh rumah sakit umum daerah dan

rumah sakit milik pemerintah, sehingga tidak bisa mengembangkan mutu

layanannya, baik karena peralatan medis yang terbatas maupun persoalan

ketersediaan sumber daya manusia (SDM)3.

Penetapan Rumah Sakit menjadi BLU, merupakan angin segar untuk

memecahkan persoalan ketersediaan sumber daya manusia, terlebih lagi semenjak

adanya moratorium penerimaan PNS, Rumah Sakit BLU tetap dapat melakukan

rekrutmen dan memperoleh pegawai yang berkualitas secara mandiri sesuai

kriteria yang dibutuhkan. Dalam perkembangannya, saat ini di banyak Rumah

Sakit BLU jumlah pegawai BLU semakin banyak bahkan hampir menyamai

jumlah PNS.

3
Anonim.2012.RumahSakitSebagaiBLU (diakses 12 Desember 2019)
12
Salah satu Rumah Sakit bersatus BLU yang memiliki jumlah pegawai

BLU banyak adalah RSUP Dr. Kariadi Semarang. RSUP Dr. Kariadi adalah

Satuan Kerja/Unit Pelaksana Teknis yang berada di bawah dan bertanggungjawab

kepada Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Berdasarkan SK Menkes No. 1243/Menkes/SK/VIII/2005 telah ditetapkan

menjadi Badan Layanan Umum (BLU), dengan menerapkan fleksibilitas

pengelolaan keuangan.

Saat ini RSUP Dr.Kariadi merupakan rumah sakit pusat rujukan di Jawa

Tengah, telah ditunjang dengan sumber daya yang memadai baik dari segi fasilitas

pelayanan maupun segi SDMnya. Faktor ketersediaan dan kemampuan SDM

sangat berpengaruh bagi terciptanya pelayanan kesehatan yang bermutu. RSUP

Dr. Kariadi sangat merasakan manfaat sebagai Rumah Sakit BLU karena bisa

melakukan rekrutmen pegawai sewaktu-waktu untuk memenuhi kebutuhan

pelayanan dengan tetap mengacu pada ketentuan regulasi yang berlaku. Saat ini

SDM RSUP Dr. Kariadi terdiri dari 2 jenis pegawai yaitu Pegawai PNS dan

Pegawai Non-PNS yang mana jumlah keduanya hampir sama. Adapun jumlah

pegawai Non-PNS RSUP Dr. Kariadi saat ini telah mencapai sekitar 1400

pegawai yang terdiri dari Pegawai Tetap Non PNS, Calon Pegawai Tetap Non

PNS dan Pegawai Kontrak.

Setelah keluarnya PP Manajemen PPPK, membuat para pegawai Non-PNS

menjadi resah karena seperti yang telah diterangkan sebelumnya bahwa dalam PP

Manajemen PPPK terdapat ketentuan Pegawai Non-PNS dalam jangka waktu

13
paling lama 5 (lima) tahun masih tepat melaksanakan tugas dan dapat diangkat

menjadi PPPK apabila memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam

Peraturan Pemerintah ini. Ketentuan tersebut jelas membuat cemas para pegawai

Non PNS RSUP Dr. Kariadi mengingat selama ini meskipun bukan PNS, namun

sebagaian besar mereka telah berstatus pegawai tetap Non PNS dan memperoleh

pendapatan yang hampir sama dengan PNS.

Seandainya PP Manajemen PPPK diterapkan di RSUP Dr. Kariadi, maka

dalam jangka waktu 5 tahun atau pada tahun 2024 pegawai Non-PNS harus

beralih status ke Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dan setelah

melalui proses seleksi seperti ketentuan yang ada didalam PP Manajemen PPPK.

Bagi pihak manajemen Rumah Sakit klausul tersebut juga berdampak bagi

pengelolaan pegawai karena mereka wajib memperjuangkan nasib para pegawai

PNS.

14
Pada era globalisasi seperti sekarang ini, tidak dapat dipungkiri bahwa

permasalahan manusia menjadi semakin beragam. Permasalahan tersebut timbul

sebagai akibat dari semakin kompleksnya kebutuhan manusia yang mengikuti

15
arus globalisasi dengan segala perkembangan teknologinya. Manusia akan

memiliki kesempatan lebih banyak untuk bisa berinteraksi dengan dunia luar.

Dalam hal urusan bisnis, mereka membutuhkan layanan yang dapat

mempermudah bisnisnya dari mulai transaksi hingga pengiriman barang.

Jasa pengiriman barang menjadi satu layanan yang sangat dibutuhkan,

terlebih di jaman yang serba canggih ini. Manusia akan selalu mencari

kemudahan-kemudahan karena era globalisasi dengan perkembangan

teknologinya cenderung membuat mereka menyukai hal-hal yang serba instan.

Jasa pengiriman barang dapat menjadi solusi bagi mereka yang menyukai

kemudahan dan kepraktisan dalam hal mengirimkan suatu barang terlebih jika itu

menyangkut keterjangkauan wilayah. Jasa pengiriman barang akan sangat efisien

digunakan untuk mengirim barang ke tempat dimana tidak dapat dijangkau sendiri

oleh masyarakat.

Sebagai pemegang kendali atas sebagian hajat hidup warganya, negara

seharusnya dapat menjadi penyedia layanan jasa pengiriman barang ini.

Kehadiran PT. Pos Indonesia (Persero) sebagai badan usaha milik negara dapat

menjadi sebuah bentuk kehadiran negara dalam memenuhi kebutuhan warga

negaranya. PT. Pos Indonesia (Persero) diharapkan mampu untuk memberikan

layanan publik yang bisa menjadi solusi bagi masyarakat yang memerlukan jasa

pengiriman barang. Terlebih perusahaan ini milik negara maka akan lebih

memudahkan pemerintah untuk mengatur serta mengawasi jalannya bidang usaha

ini.

16
PT. Pos Indonesia (Persero) sudah menjadi bagian dari jasa pengiriman

barang di Indonesia sejak tahun 1995.4 Namun dalam suatu bidang usaha tentu

saja tidak bisa terlepas dari kemunculan kompetitor dari pihak swasta. Selain PT.

Pos Indonesia (Persero), terdapat beberapa badan usaha yang menyediakan jasa

pengiriman barang oleh swasta yang juga sudah dikenal luas oleh masyarakat

Indonesia antara lain Tiki dan Tiki JNE. Di luar itu pun sebenarnya masih terdapat

banyak lagi jasa pengiriman barang, namun disini yang akan dibahas penulis

adalah jasa pengiriman barang oleh PT. Pos Indonesia (Persero), Tiki dan Tiki

JNE.

Kehadiran pihak swasta ini membuat masyarakat sebagai konsumen jasa

pengiriman barang semakin memiliki pilihan yang beragam. Bagi pelaku usaha,

banyaknya jasa pengiriman barang membuat para pelaku usaha dalam bidang ini

berlomba-lomba dalam menyediakan jasa pelayanan pengiriman barang yang

maksimal. Hal ini dilakukan semata-mata demi memenangkan pangsa pasar yang

luas. Inovasi demi inovasi serta perbaikan layanan akan terus dilakukan sehingga

konsumen akan puas serta tidak akan ragu-ragu untuk memakai jasa pengiriman

barang tersebut di kemudian hari.

Di Indonesia jasa pengiriman barang dilayani oleh sekitar 3.400

perusahaan. Namun pangsa pasar mayoritas jasa ini dikuasai oleh 3 (tiga) pemain

utama yaitu PT. Pos Indonesia (Persero), Tiki dan Tiki JNE. Pada tahun 2013,

pangsa pasar PT. Pos Indonesia (Persero) sebesar 27%, pangsa pasar Tiki sebesar

4
Unlocking the Unknown People, Network, Technology, Annual Report PT. Pos Indonesia
(Persero), 2016
17
34%, sedangkan pangsa pasar Tiki JNE sebesar 17%.5 Hal ini menggambarkan

bahwa ketiga perusahaan pengiriman barang ini adalah termasuk layanan yang

memiliki konsumen paling diminati di Indonesia.

Dari data tersebut dapat dilihat bahwa pangsa pasar PT. Pos Indonesia

(Persero) masih kalah dengan pangasa pasar yang dimiliki oleh Tiki. Hal ini

mencerminkan bahwa, kehadiran pihak swasta juga mengakibatkan adanya

persaingan atas usaha pemerintah untuk menyelenggarakan fasilitas pengiriman

barang bagi masyarakat. Hadirnya Tiki sebagai kompetitor bagi PT. Pos Indonesia

(Persero) ini mencerminkan bahwa bidang usaha layanan jasa pengiriman barang

di Indonesia bukanlah bidang usaha yang kecil. Sebab jika bidang usaha ini

mempunyai pangsa yang lemah di Indonesia, maka kehadiran pihak swasta

seharusnya bukanlah menjadi masalah bagi penyedia layanan pengiriman barang

yang sudah ada terlebih dahulu dan dikenal luas oleh masyarakat.

Hal ini juga mencerminkan bahwa dengan adanya kompetitor, setiap

pelaku usaha penyedia layanan jasa pengiriman barang akan lebih bersaing demi

mendapatkan tempat di hati konsumennya. Persaingan ini nampak pada layanan-

layanan yang diberikan oleh masing-masing pelaku usaha kepada konsumennya.

Sehingga akan menyebabkan konsumen merasakan kepuasan dalam menggunakan

layanan jasa pengiriman barang yang ditawarkan. Pelaku usaha yang

berkomitmen tentunya akan bertanggung jawab dengan pelayanan yang diberikan

kepada konsumennya. Sebab disamping demi mendapatkan keuntungan dari

pengiriman barang, pelaku usaha juga membangun relasi yang baik dengan
5
Membangun Kepercayaan & Integritas, Annual Report PT. Pos Indonesia (Persero), 2014
18
konsumen agar kelak konsumen tersebut kembali menggunakan jasanya.

Konsumen akan cenderung kembali lagi memakai jasa pelaku usaha jika pelaku

usaha tersebut dapat memenuhi tanggung jawabnya dengan mengirimkan barang

tepat waktu serta tanpa kerusakan sedikitpun.

Namun hal sebaliknya juga dapat terjadi dalam hubungan antar pelaku

usaha penyedia layanan jasa pengiriman barang dengan konsumennya. Seringkali

terdapat kendala yang diakibatkan oleh berbagai masalah teknis dalam proses

pengiriman barang. Mulai dari barang yang hilang, rusak atau mengalami

keterlambatan sampainya barang. Jika terjadi demikian maka konsumen lah yang

akan dirugikan sebab konsumen sudah melakukan kewajibannya yaitu membayar

ongkos kirim namun tidak mendapatkan hak yang semestinya ia dapatkan yaitu

sampainya barang tepat waktu dan tanpa kerusakan.

Dalam transaksi pengiriman barang, terdapat perjanjian antara pelaku

usaha dan pengirim barang. Setiap transaksi perlu memberikan manfaat bagi para

pihak yang membuatnya. Hal ini sesuai dengan asas itikad baik yaitu dimana para

pihak yang melakukan perjanjian harus melakukannya dengan itikad baik tanpa

mencederai isi perjanjian. Atau dengan kata lain para pihak tidak akan saling

mengganggu hak dan kewajiban masing-masing.

Sebagai pengguna jasa pengiriman barang, konsumen perlu mendapat

perlindungan hukum dalam rangka melindungi kepentingannya. Dalam perjanjian

yang dibuat antar pelaku usaha dengan konsumen memuat hak dan kewajiban

yang harus dipenuhi dan didapatkan oleh masing-masing pihak. Namun seperti

19
yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa masih sering ditemui kendala-kendala

dalam proses pengiriman barang. Hal ini berati bahwa isi perjanjian tidak berjalan

sebagaimana dikehendaki oleh para pihak. Bahkan yang sering terjadi adalah

bahwa salah satu pihak merasa dirugikan.

Jika terjadi hal demikian, ini berarti bahwa terdapat salah satu pihak yang

tidak melaksanakan kewajibannya seperti yang sudah diperjanjikan. Ataupun

sebaliknya terdapat pihak yang belum mendapatkan haknya yang disebutkan

dalam perjanjian. Perjanjian yang bersifat timbal balik akan meninmbulkan sisi

aktif dan pasif. Sisi aktif menimbulkan hak bagi kreditor untuk menuntut pe-

menuhan prestasi sedangkan sisi pasif menimbulkan kewajiban bagi debitur untuk

melaksanakan prestasinya.6 Dalam keadaan normal antara prestasi dan kontra

prestasi akan saling bertukar. Namun pada kondisi tertentu maka pertukaran

prestasi ini tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga muncullah peristiwa

yang disebut wanprestasi. Pihak konsumen melakukan wanprestasi dengan tidak

membayar ongkos kirim. Sedangkan pelaku usaha melakukan wanprestasi dalam

perjanjian yaitu dalam bentuk barang hilang, rusak atau keterlambatan pengiriman

barang.

Keterlambatan menjadi masalah yang paling sering dialami oleh

konsumen. Terlebih jika mulai memasuki hari raya ataupun tahun

baru.Terdapatnya wanprestasi pada pelaku usaha mengakibatkan kerugian jatuh

pada pihak konsumen sebagai pengguna jasa. Namun ironisnya konsumen sebagai

pihak yang dirugikan seringkali tidak dapat melakukan upaya ketika haknya tidak
6
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian (Jakarta;Kencana Prenadamedia Group, 2014) hlm. 260
20
dipenuhi oleh pelaku usaha. Konsumen cenderung untuk diam padahal mereka

memiliki hak dan perlindungan hukum sebagai konsumen. Terdapat aturan yang

menegaskan bahwa konsumen patut dilindungi oleh hukum karena kedudukan

konsumen dalam perjanjian pengiriman barang ini lemah jika dibandingkan

dengan pelaku usaha.

Konsumen yang mengalami masalah dalam proses pengiriman terutama

dalam keterlambatan barang dapat mengalami kerugian baik materiil maupun

imateriil. Hal ini antara lain dikarenakan karena jenis barang yang dikirim yang

cenderung cepat untuk kadaluwarsa, ataupun barang menjadi tidak berguna atau

kurang manfaatnya jika diterima tidak tepat waktu. Untuk hal yang demikian

konsumen seharusnya mendapatkan ganti rugi dari pihak pelaku usaha sebagai

upaya perlindungan hukum bagi konsumen.

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa:

“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya


kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.”

Pasal diatas menegaskan bahwa jelas konsumen memiliki hak dan

kepastian hukum untuk dilindungi.

Lebih lanjut pada pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 199 Tentang

Perlindungan Konsumen diatur pula mengenai hak konsumen

Hak konsumen adalah :

21
1. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan
barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa;
4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang
dan/atau jasa yang digunakan;
5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
8. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak
sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya.

Sedangkan mengenai kewajiban pelaku usaha diatur dalam peraturan


yang sama, dalam pasal 7 yaitu:

Kewajiban pelaku usaha adalah :


1. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
3. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif;

22
4. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku;
5. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan
dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang
diperdagangkan;
6. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas
kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan;
7. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai
dengan perjanjian.

Jika hak konsumen dipenuhi dan kewajiban pelaku usaha dilaksanakan

maka akan tercipta sebuah keadilan dan keseimbangan. Ini senada dengan asas-

asas penyelenggaraan pos yang tercantum dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor

38 Tahun 2009 tentang Pos bahwa Pos diselenggarakan atas beberapa asas antara

lain asas kemanfaatan, asas keadilan, asas kepastian hukum dan asas

perlindungan;

Dalam hal pengiriman barang mengalami keterlambatan, konsumen

memerlukan jaminan bahwa jika barang tersebut tidak sampai dengan tepat waktu

maka ia berhak atas bentuk ganti rugi dari pihak pelaku usaha. Sesuai yang

diamanatkan dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos:

“Pengguna layanan pos berhak mendapatkan ganti rugi apabila terjadi:


a. kehilangan kiriman;
b. kerusakan isi paket;

23
c. keterlambatan kiriman; atau

d. ketidaksesuaian antara barang yang dikirim dan yang diterima.”

Berdasarkan uraian diatas dan kedua pasal tersebut, dapat terlihat bahwa

kasus-kasus yang berhubungan dengan pengiriman barang yang merugikan

konsumen dapat dikenakan penggantian kerugian. Oleh karena itu peneliti tertarik

untuk menelaah lebih lanjut mengenai bagaimana pelaksanaan perlindungan

konsumen pengguna jasa layanan pengiriman barang khususnya dalam hal terjadi

keterlambatan pengiriman. Sebab kasus keterlambatan inilah yang paling sering

dihadapi oleh konsumen. Untuk itu peneliti akan menuangkannya dalam bentuk

penulisan tesis dengan judul: PERLINDUNGAN KONSUMEN JASA

PENGIRIMAN BARANG DALAM HAL TERJADI KETERLAMBATAN

PENGIRIMAN BARANG.

B. Permasalahan

1. Bagaimana tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen pengiriman

barang?

2. Bagaimana perlindungan konsumen jika terjadi keterlambatan dalam

pengiriman barang?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan penulisan yang hendak dicapai

adalah:

24
1. Menganalisis pelaksanaan tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen

pengiriman barang

2. Menganalisis dan mengetahui bentuk upaya perlindungan konsumen

terhadap keterlambatan pengiriman barang ditinjau dari pelaku usaha, peran

pemerintah sampai pada tahap penyelesaian.

D. Manfaat penelitian

Berdasarkan tujuan yang telah disebutkan diatas maka diharapkan penulisan

tesis ini dapat memberikan manfaat. Adapun manfaat penulisan ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

Penulisan ini diharapkan berguna untuk menambah bahan literatur bagi

kemajuan ilmu hukum khususnya mengenai perlindungan hukum bagi konsumen

pengguna jasa pengiriman barang.

2. Manfaat Praktis

25
a. Bagi pemerintah, penulisan ini diharapkan dapat memberikan

informasi untuk perumusan kebijakan di masa mendatang yang terkait

mengenai perlindungan konsumen pengiriman barang.

b. Bagi konsumen supaya dapat menjadi pemecahan masalah terutama

bagi para pihak yang terlibat dalam hal pengiriman barang

c. Bagi pelaku usaha agar dapat dijadikan sebagai informasi mengenai

upaya perlindungan hukum bagi konsumen pengguna jasa pengiriman

barang. Selain itu juga dapat dijadikan sebagai dasar untuk membenahi

manajemen pada proses pengiriman barang dengan harapan agar dapat

meningkatkan kualitas layanan dan meningkatkan kepercayaan

konsumen.

d. Bagi pembaca, hasil penelitian diharapkan memberi pengetahuan dan

informasi terkait dengan perjanjian pengiriman barang, perlindungan

konsumen pengguna jasa pengiriman barang.

26
E. Kerangka Pemikiran

1. Kerangka Konseptual

Transaksi Pengiriman Barang


Pelaku
Konsumen
Usaha

Perjanjian Pengiriman Barang


KUHPerdata

Proses Pengiriman Barang

Terjadi Keterlambatan

Perlindungan
Konsumen 27
Tanggung Jawab
Dalam hal
Pelaku Usaha
terjadi
keterlambatan Undang-
Undang
Tahun 1999
Upaya Penyelesaian Sengketa

Ganti Rugi

Proses pengiriman barang dilakukan dengan sebelumnya terdapat perjanjian

antara pihak pelaku usaha dengan konsumen. Perjanjian ini dilakukan atas dasar

saling membutuhkan. Perjanjian ini bersifat tertulis yang biasa disebut dengan

tanda terima kiriman dokumen dan paket. Bentuk perjanjian ini baku, namun isi

perjanjian masih bisa disesuaikan kembali dengan kebutuhan dan kemampuan

para pihak.

Tanda terima kiriman dokumen dan paket inilah yang akan menjadi sumber

hukum antara pelaku usaha dengan konsumen. Sekaligus menjadi dasar adanya

hubungan hukum bagi mereka. Lalu perjanjian ini menyebabkan timbulnya hak

dan kewajiban bagi masing-masing pihak untuk dipenuhi oleh satu sama lain.

Pelaku usaha mendapatkan bayaran atas jasanya mengirmkan barang. Konsumen

mendapat hak yaitu sampainya barang yang dikirim dengan keadaan baik tanpa

kerusakan dan tepat waktu.

Pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban harus dilaksanakan dengan

itikad yang baik. Namun apabila dikemudian hari terdapat kendala, dalam hal ini

28
terjadi keterlambatan pengiriman barang, maka pihak konsumen telah memiliki

dasar hukum yang kuat untuk memperoleh penggantian ganti rugi dari pelaku

usaha. Proses penyelesaian sengekta yang terjadi antara pelaku usaha dan

konsumen ini akan diselesaikan menurut ketentuan yang berlaku. Jika diperlukan

maka dapat melibatkan BPSK sebagai penengah antara pelaku usaha dan

konsumen.

2. Kerangka Teoretik

Penelitian dalam penulisan tesis haruslah disertai dengan dasar pemikiran

berupa kerangka teoretis. Syarat yang harus dipenuhi oleh teori adalah:

a. Logis dan konsisten yaitu dapat diterima akal sehat dan tidak adanya

hal-hal yang bertentangan dalam kerangka pemikiran itu;

b. Teori terdiri dari pernyataan-pernyataan yang mempunyai interelasi

yang serasi mengenai gejala tertentu;

c. Pernyataan-pernyataan tersebut mencakup semua unsur-unsur dari

gejala yang termasuk ruang lingkupnya;

d. Tidak boleh terjadi duplikasi dalam pernyataan-pernyataan itu;

e. Teori harus diuji kebenaran secara empiris.

Teori adalah dasar untuk melakukan penelitian sebab dalam

penelitian empiris, permasalahan adalah sebuah kesenjangan antara apa

yang seharusnya dengan apa yang senyatanya, antara apa yang diperlukan

dengan dengan apa yang tersedia, antara harapan dengan capaian atau

singkatnya antara das sollen dengan das sein.7

7
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2012), hlm 103.
29
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Asas-asas dalam perjanjian.

Sesuai dengan isi pasal 1338 KUHPerdata, asas-asas dalam perjanjian yaitu:

- Asas Konsensualisme

Dalam KUHPerdata Pasal 1338 ayat (1) disebutkan bahwa:

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-

undang bagi mereka yang membuatnya”

Istilah sah bermakna bahwa dalam pembuatan perjanjian yang sah

(menurut hukum) adalah mengikat (vide pasal 1320 BW), karena di dalam

asas ini terkandung “kehendak para pihak” untuk saling mengikatkan diri

dan menimbulkan keprcayaan (vertrouwen) di antara para pihak terhadap

pemenuhan perjanjian. Di dalam Pasal 1320 BW terkandung asas yang

esensial dari hukum perjanjian yaitu asa “konsesnsualisme” yang

menentukan “ada”-nya perjanjian (raison d’etre, het bestaawaarde).8

Artinya perjanjian itu lahir karena adanya kata sepakat atau persesuaian

kehendak dari para pihak. Jadi disini harus terdapat kesamaan pendapat atau

pandangan dari para pihak untuk tercapainya tujuan dari perjanjian. Asas ini

merupakan inti dari dari suatu perjanjian. Namun demikian pada situasi

tertentu terdapat kecacatan kehendak. Dalam KUHP, cacat kehendak

meliputi tiga hal yaitu:

- Kesesatan atau dwaling

- Penipuan atau bedrog

- Paksaan atau dwang


8
Agus Yudha Hernoko, op.cit. hlm. 121
30
Apabila kata sepakat yang diberikan oleh para pihak terdapat suatu

kecacatan kehendak, maka hal ini akan mengancam eksistensi perjanjian itu

sendiri.

- Asas kekuatan mengikat

Disebut juga dengan Pavta Sunt Servanda atau disebut juga dengan asas

kepastian hukum.9 Artinya para pihak apabila telah memenuhi syarat sahnya

perjanjian yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, maka perjanjian

tersebut mempunyai kekuatan mengikat bagi para pembuatnya.

Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata bahwa

perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak.

- Asas kebebasan berkontrak

Buku III BW menganut system terbuka, artinya hukum (i.c. Buku III

BW) memberi keleluasaan kepada para pihak untuk mengatur sendiri pola

hubungan hukumnya.10

Kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk

membuat perjanjian dengan bentuk dan format apapun baik itu dari segi

tertulis, lisan, autentik maupun dibawah tangan. Serta bebas untuk

menentukan isi atau substansi perjanjian.

Kebebasan disini tetap diatur batasan-batasannya yaitu:11

- Perjanjian yang dibuat meskipun bebas tetapi yang tidak dilarang undang-

undang

9
Salim H.S, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak (Jakarta; Sinar Grafika, 2011)
hlm. 10
10
Agus Yudha Hernoko, op.cit. hlm. 109
11
Achmad Busro, Hukum Perikatan Berdasar (Yogyakarta;Pohon Cahaya,2011) Hlm. 124
31
- Tidak berterntangan dengan kesusilaan

- Tidak bertentangan dengan ketertiban umum

b. Asas Keseimbangan

Dalam suatu perjanjian, para pihak akan memyatakan kehendaknya yang

merupakan kepentingan serta tujuan pihak tersebut mengadakan perjanjian.

Melalui perjanjian, kepentingan serta tujuan para pihak akan tercapai.

Dalam hal bisnis, pertukaran kepentingan para pihak ini dituangkan dalam

sebuah kontrak yang mengikat para pihak. Sehingga para pihak akan

berusaha mencapai tujuannya tersebut. Hal ini perlu dilandasi dengan aturan

bahwa pemenuhan tujuan dan kepentingan satu pihak agar tidak sampai

menganggu pencapaian tujuan dan kepentingan pihak lain.

Dalam hal ini perlu adanya keseimbangan antar tujuan pihak-pihak yang

terlibat dalam perjanjian. Namun agar keseimbangan para pihak dapat

tercapai maka diperlukan suatu prinsip yang menghendaki kedua belah

pihak untuk memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Prinsip ini disebut

dengan asas keseimbangan. Agus Yudha Hernoko dalam bukunya lebih

menggunakan pemahaman makna proporsionalitas untuk menguraikan

adanya keseimbangan antara pihak dalam berkontrak.

Keseimbangan acap kali diartikan dalam kesamaan, sebanding dalam

jumlah, ukuran, atau posisi. Dalam spesifik kontrak. Asas keseimbangann

diberikan penekanan pada posisi tawar para pihak harus seimbang. 12

12
Agus Yudha Hernoko, op.cit. hlm. 78
32
Sedangkan asas proporsionalitas dipahami dalam konteks hukum

pembuktian, meskipun pada dasarnya harus dimaknai sebagai pembagian

hak dan kewajiban menurut proporsi yang meliputi segenap aspek

kontraktual secara keseluruhan.13

c. Teori Hubungan Sebab Akibat

Dikenal beberapa teori yaitu condition sine qua non, adequate dan

toerrekening naar redelijkheid. Pada tahun 1962, Koster menyarankan untuk

menghapuskan adequate dan menerima toerrekening naar redelijkheid dan

memasukkannya ke dalam B.W baru. Faktor penting yang disebut oleh

Koster dalam sarannya tersebut adalah:14

- Sifat dari kejadian yang menjadi dasar pertanggungjawaban

- Sifat kerugian

- Besar kecilnya kerugian yang diperkirakan akan terjadi; dan

- Beban tidak seimbang yang dapat timbul bagi pihak tergugat dari

kewajibannya untuk membayar ganti kerugian, serta memerhatikan

keadaan keuangan pihak yang dirugikan.

d. Teori Keadilan

Hubungan kontraktual para pihak selain harus didasari oleh asas

keseimbangan demi kepentingan masing-masing pihak, juga diperlukan

keadilan didalamnya. Arti keadilan menurut para ahli adalah:

13
Ibid. hlm. 78
14
M. Van Dunne dan van der Burght dalam Ahmadi Miru, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum
Bagi Konsumen Di Indonesia (Jakarta;PT. Raja Grafindo Persada,2011) hlm.83
33
1.) Keadilan menurut Aristoteles adalah suatukebijakan politik yang aturan-

aturannya menjadi dasar dari peraturan negara dan aturan-aturan ini

merupakan ukuran tentang apa yang hak. Menurut Aristoteles, orang

harus mengendalikan diri dari pleonexia, yaitu memperoleh keuntungan

bagi diri sendiri dengan cara merebut apa yang merupakan kepunyaan

orang lain, atau menolak apa yang seharusnya diberikan kepada orang

lain. Aristoteles mendekati masalah keadilan dari segi persamaan. Asas

ini menghendaki agar sumber daya di dunia ini diberikan atas asas

persamaan kepada anggota-anggota masyarakat atau negara. Hukum

hendaknya menjaga agar pembagian yang demikian senantiasa terjamin

dan dilindungi dari perkosaan-perkosaan terhadapnya. Dalam hubungan

ini ia membedakan antara keadilan distributif dan korektif. Keadilan

distributif mempersoalkan bagaimana negara atau masyarakat membagi-

bagi sumber daya itu kepada orang-orang. Menurut Aristoteles, kedua-

keduanya mengikuti asas persamaan, yang dikataknnya. “harus ada

persamaan dalam bagian yang diterima oleh orang-orang, oleh karena

rasio dari yang dibagi harus sama dengan resiko dari orang-

orangnya;sebab apabila orang-orangnya tidak sama, maka apabila orang-

orang yang tidak menerima bagian yang sama, atau orang-orang yang

tidak sama menerima bagian yang sama, timbullah sengketa dan

pengaduan. 15

15
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, cetakan keenam 2006,( Bandung : PT Citra Aditya Bakti,
2006),hlm. 163
34
2.) Keadilan menurut Upianus menggambarkan keadilan adalah kehendak

yang terus menerus dan tetap memberikan kepada masing-masing apa

yang menjadi haknya. Perumusan ini dengan tegas mengakui hak

masing-masing person terhadap lainnya serta apa yang seharusnya

menjadi bagiannya, demikian pula sebaliknya. 16

3.) Menurut Beauchamp dan Bowie, mengajukan enam prinsip agar keadilan

distributif terwujud, yaitu apabila diberikan :17

a. Kepada setiap orang bagian yang sama;

b. Kepada seiap orang sesuai dengan kebutuhan individualnya;

c. Kepada setiap orang sesuai dengan haknya;

d. Kepada setiap orang sesuai dengan usaha individualnya;

e. Kepada setiap orang dengan kontribusinya;

f. Kepada setiap orang sesuai dengan jasanya

e. Teori Perbuatan Melawan Hukum

Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) dalam konteks

perdata diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

dalam buku III pada bagian “Tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan

demi Undang-Undang”, yang berbunyi:

“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian

kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan

kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

16
Faninda Mahanani Nurrizkita,Konsepsi Keadilan Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Pt. PLN
(Persero) Pengguna Listrik Prabayar,(Semarang:Universitas Diponegoro,2015,hlm. 17
17
Agus Yudha Hernoko,Op.cit, hlm. 52
35
Menurut Rosa Agustina, dalam menentukan suatu perbuatan dapat

dikualifisir sebagai melawan hukum, diperlukan 4 syarat:18

1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku

2. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain

3. Bertentangan dengan kesusilaan

4. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.

F. Metode penelitian

Cara kerja keilmuwan salah satunya ditandai dengan penggunaan metode (

Inggris : method, Latin : methodus, Yunani : methodos – meta berarti sudah,

diatas, sedangkan hados berarti suatu jalan, suatu cara ). Dalam dunia riset,

penelitian merupakan aplikasi atau penerapan metode yang telah ditentukan

dengan persyaratan yang ketat.

Penelitian pada dasarnya adalah suatu upaya pencarian. (Inggris :

research, yang berasal dari kata re (kembali) to search (mencari). Dengan

demikian secara asal kata, penelitian berarti mencari kembali. Penelitian

merupakan suatu kegiatan ilmiah yg berkaitan dgn analisa dan konstruksi, yang

dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti

sesuai dengan metode atau cara tertentu, sisitematis adalah berdasarkan system,

18
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Depok: Pasca Sarjana Universitas Indonesia,
2013), hlm. 117
36
sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu

kerangka tertentu19

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian merupakan anak tangga untuk menentukan teori

penelitian yang akan dipakai, yang berguna untuk membatasi peneliti

mengeksplorasi landasan konseptual, dan dipakai untuk menentukan dari sisi

mana sebuah obyek penelitian akan dikaji.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang menggunakan

pendekatan Yuridis Empiris. Penelitian hukum ini didasarkan pada penelitian

lapangan atau penelitian data primer untuk memahami gejala-gejala hukum

yang mencakup pelaksanaan asas-asas hukum, kaidah-kaidah hukum,

peraturan perundang-undangan.20

Metode pendekatan yuridis empiris berarti bahwa dalam mencari data

yang diperlukan tidak hanya berpegang pada segi-segi yuridis saja dengan

mengandalkan seperangkat peraturan perundang-undangan yang bersifat

normative saja, melainkan juga berpegang pada hasil penelitian dan fakta-

fakta dilapangan mengenai perilaku, interaksi serta hubungan masyarakat.

Pendekatan Empiris dibutuhkan karena data pendukung yang diperoleh

berasal dari Lembaga/Instansi/subyek dan obyek yang terkait dengan

perlindungan hukum konsumen pengiriman barang. Dalam penelitian ini

19
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta; Universitas Indonesia,2010) Hlm.
42
20
Ronny Hanitjo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimentri , (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1990), hlm. 34
37
menggunakan objek yaitu pelaku usaha atau penyedia jasa pengiriman barang

dan konsumen atau pengirim barang.

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah

deskriptif-analitis. Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara

tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau

untuk menentukan penyebaran suatu gejala atau kelompok tertentu, atau

untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau menentukan ada tidaknya

hubungan antara suatu gejala dengan gejala dalam masyarakat. 21 Selaras

dengan pernyataan Soerjono Soekanto yang menyatakan bahwa suatu

penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti

mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya

adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu

didalam memperkuat teori-teori lama, atau didalam kerangka menyusun teori-

teori baru.22

Sedangkan arti analitis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

adalah bersifat (menurut) analisis. Analisis sendiri menurut (KBBI) adalah

penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan sebagainya)

untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab-musabab, duduk

perkaranya, dan sebagainya).

Kegiatan penelitian yang dilakukan penulis adalah kegiatan penelitian

kepustakaan sekaligus penelitian lapangan di PT. Pos Indonesia (Persero) dan


21
Salim dan Erlies Septiana Nurbani,Penerapan Teori hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2013), hlm. 25
22
Soerjono Soekanto, Op.cit., hlm. 10
38
di JNE karena penelitian ini tidak hanya mempelajari materi kepustakaan

yang berupa pembelajaran mengenai materi akan tetapi dilakukan juga

pengambilan data langsung dilapangan.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan pada PT. Pos Indonesia (Persero)

Semarang serta pada PT. Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) Semarang

sebagai pelaku usaha. Kemudian dilanjutkan dengan BPSK sebagai wakil

pemerintah untuk penyelesaian sengketa konsumen.

4. Sumber Dan Jenis Data

Penelitian ini akan menggunakan jenis data primer yaitu data yang

diperoleh secara langsung dari masyarakat yang akan diteliti seperti melalui

wawancara terhadap orang-orang tertentu serta observasi terkait objek

penelitian. Selanjutnya akan dilengkapi dengan jenis data sekunder yang

didapatkan dari studi literature dari bahan kepustakaan yang masih relevan

dengan objek penelitian.

5. Metode Pengumpulan Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder.

Data sekunder sendiri akan dibagi menjadi 3(tiga) yaitu bahan hukum primer,

bahan hukum sekunder serta bahan hukum tersier. Sumber data memerlukan

subyek dimana data tersebut bisa diperoleh. Adapun sumber data pada

penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Data Primer

39
Sumber data primer yakni data yang diperoleh langsung dari

masyarakat.23 Data primer dalam penelitian ini akan diperoleh dengan

menggunakan metode wawancara sehingga nantinya akan diperoleh jawaban

dari informan yang riil dan mendalam sesuai focus pembahasan. Wawancara

merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi dengan masyarakat

sehingga akan diperoleh gambaran yang sebenarnya terjadi dari fenomena

dalam kehidupan masyarakat. Hasil wawancara ditentukan oleh beberapa

faktor yang berinteraksi dan mempengaruhi arus informasi.

Faktor-faktor tersebut adalah:

- Pewawancara.

- Yang diwawancarai.

- Topik penelitian yang tertuang dalam daftar pertanyaan dan situasi

wawancara.24

Pemilihan dan klasifikasi informan dilakukan dengan menggunakan

purposive sampling dan snowball sampling. Purposive sampling merupakan

teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu,

misalnya orang tersebut dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan,

atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti

menjelajahi obyek/situasi sosial yang diteliti. Snowball sampling adalah

teknik pengambilan data, yang pada awalnya jumlahnya sedikit lama-lama

menjadi besar. Hal ini dilakukan karena dari jumlah data yang sedikit itu

tersebut belum mampu memberikan data yang memuaskan, maka mencari

23
Ibid. hlm. 10
24
Ibid. hlm. 57
40
orang lain lagi yang dapat digunakan sebagai data.25 Pihak-pihak yang akan

dijadikan informan antara lain:

1. Divisi Legal PT. Pos Indonesia (Persero) Semarang

2. Divisi Legal PT. Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) Semarang

3. 5 (lima) konsumen yang pernah mengalami keterlambatan

pengiriman barang

4. Divisi Legal BPSK

b. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan. Data

sekunder dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) bahan hukum yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan yang berkekuatan hukum dan

mengikat masyarakat. Yang terdiri dari berbagai peraturan perundang-

undangan yang relevan dan terkait dengan penelitian, yaitu:

a.) Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

b.) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

c.) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen

d.) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos

e.) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos

25
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung:CV. Alfabeta, 2013), hlm. 53-54
41
f.) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Angkutan

Multimoda

g.) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan yang menunjang bahan-bahan

primer. Bahan sekunder ini bersifat memberi penjelasan lebih lanjut

mengenai penelitian yang dilakukan, meliputi hasil penelitian, buku-buku

mengenai perlindungan konsumen, buku-buku yang berkaitan dengan

perjanjian, arsip-arsip, jurnal ilmiah, artikel, makalah serta laporan-

laporan yang masih berhubungan dengan penelitian ini dapat dijadikan

sebagai bahan hukum sekunder.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang dapat memberikan

petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder

seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia.

3. Teknik Analisis Data

Data penelitian adalah informasi atau keterangan yang benar dan

nyata yang didapatkan dan hasil pengumpulan data dengan cara –

cara tertentu. Informasi atau keterangan tersebut akan dijadikan

dasar dalam menjawab secara obyektif masalah atau pertanyaan

penelitian setelah melalui proses pengolahan dan analisis data.

Kemudian data yang telah terkumpul akan diklasifikasikan

42
menurut relevansi dan kebutuhannya untuk kemudian dianalisis

dengan menggunakan teori-teori dasarnya. Penulis menggunakan

metode kualitatif. Yaitu suatu analisis yang sifatnya menjelaskan

atau menggambarkan mengenai peraturan-peraturan yang berlaku,

kemudian dikaitkan dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat,

dan akhirnya diambil kesimpulan.26

Analisis data dilakukan secara kualitatif, komprehensif, dan

lengkap. Analisis data artinya menguraikan data secara bermutu

dalam kalimat yang teratur, runut, logis, tidak tumpang tindih, dan

efektif, sehingga memudahkan interpretasi data dan pemahaman

hasil analisis. Komprehensif artinya analisis data secara mendalam

dari berbagai aspek sesuai dengan lingkup penelitian. Lengkap

artinya tidak ada bagian yang terlupakan, semuanya sudah masuk

dalam analisis. Analisis data dan interpretasi seperti ini akan

menghasilkan produk penelitian hukum yuridis empiris yang

sempurna.27

G. Jadwal Penelitian

Agar penelitian lebih tersistematis dan terprogram, maka penulis uraikan

waktu yang dibutuhkan untuk melakukan penelitian sebagai berikut:

Kegiatan I II II
Pelaksanaan
Penelitian

26
Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti,2004)
hlm. 127
27
Ibid., hlm 128
43
Pengumpulan data
Analisis Data
Primer
Analisis Data
Sekunder
Penyusunan hasil
penelitian

H. Sistematika Penulisan

Penulisan tesis ini terbagi dalam 4 (empat) bab, dimana masing-masing bab

saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Sistematika penulisan

dimaksudkan untuk mempermudah dan memberikan gambaran secara

menyeluruh dari isi penelitian tersebut. Adapun gambaran mengenai sistematika

penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan
Pada bab ini akan diuraikan latar belakang, perumusan

permasalahan yang menjadi dasar penulisan tesis ini serta tujuan

dan kegunaan atau manfaat yang diperoleh di dalam penulisan

tesis ini, kerangka pemikiran, metodologi, dan sistematika

penulisannya
BAB II : Tinjauan Pustaka
Pada bab ini memuat secara rinci dan sistematis mengenai teori-

teori, pendapat ahli, maupun peraturan perundang-undangan yang

relevan dengan objek penelitian. Sekaligus yang mendasari serta

sebagai alat untuk menganalisis permasalahan yang akan dibahas

44
dalam Bab III dengan rincian sebagai berikut: A. Tinjauan Umum

tentang pelaku usaha; B. Tinjauan mengenai konsumen; C.

Tinjauan mengenai perjanjian; D. Tinjauan mengenai

pengangkutan dan perjanjian pengangkutan; E. Tanggung jawab

pelaku usaha dalam hal terjadi wanprestasi


BAB III : Hasil Penelitian Dan Pembahasan
Bab III tentang hasil penelitian dan pembahasan, dalam Bab III ini

akan disajikan data baik melalui studi kepustakaan maupun

penelitian lapangan yang telah dianalisis. Pembahasan meliputi A.

tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen pengiriman

barang; B. Upaya perlindungan konsumen jika terjadi

ketelambatan barang. Disini akan dijelaskan juga bagaimana

peran pemerintah serta upaya penyelesaian sengketa


BAB IV : Penutup

Bab IV merupakan penutup dari penulisan tesis ini. Bab IV

merupakan kristalisasi dari fakta dan analisis yang telah dilakukan

dengan menggunakan kerangka pemikiran berbentuk kesimpulan

yang dapat ditarik dari keseluruhan isi tesis berikut saran-saran

yang dapat diajukan

I. Orisinalitas Penelitian

No Nama Peneliti dan Judul Persamaan Perbedaan

Penelitian

1. Tesis, Magister Ilmu Persamaan Subyek

Hukum Universitas terdapat pada penelitian

45
Diponegoro Semarang obyek penelitian berbeda.

2016, Widyananda yaitu Penelitian

Yudikindra, S.H., perlindungan sebelumnya

Perlindungan Hukum Bagi hukum terhadap yang dikaji

Pelaku Usaha Jasa pihak adalah

Pengiriman Paket Barang pengiriman perlindungan

Domestik Atas Tindakan barang hukum terhadap

Konsumen Yang Beritikad pelaku usaha

Tidak Baik (Studi Pada PT. sedangkan

Pos Indonesia (Persero) penelitian yang

Yogyakarta) baru, yang dikaji

adalah

perlindungan

hukum terhadap

konsumen

2. Tesis, Universitas Gadjah Sama-sama Pada penelitian

Mada Yogyakarta, 2015, membahas yang baru, akan

Sahattua P. Simatupang, mengenai membahas

Capt, Perlindungan Hukum perlindungan mengenai

Atas Keterlambatan hukum terhadap perlindungan

Pengiriman Barang Konsumen hukum terhadap

Terhadap Penguna Jasa dalam hal terjadi konsumen

Transportasi Laut keterlambatan pengguna jasa


46
pengiriman pengiriman

barang barang melalui

transportasi

darat, terutama

pada PT. Pos

Indonesia

(Persero)

sebagai

perusahaan

milik

pemerintah dan

PT. Tiki Jalur

Nugraha

Ekakurir dari

pihak swasta.

47
Daftar Pustaka

Busro, Achmad, 2011, Hukum Perikatan Berdasar, Yogyakarta;Pohon Cahaya.

Agustina, Rosa, 2013, Perbuatan Melawan Hukum, Depok; Pasca Sarjana

Universitas Indonesia.

Hernoko, Agus Yudha, 2014, Hukum Perjanjian, Jakarta;Kencana Prenadamedia

Group.

Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, 2003, Perikatan Yang Lahir Dari

Perjanjian, Jakarta; PT Raja Grafindo Persada.

Miru, Ahmadi, 2011, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di

Indonesia, Jakarta;PT. Raja Grafindo Persada.

Muhammad, Abdul Kadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra

Aditya Bakti.

Salim H.S, 2010, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak,

Jakarta; Sinar Grafika.

48
Sidabalok, Janus, 2010, Hukum Perlidungan Konsumen Di Indonesia, Bandung;

PT Citra Aditya Bakti.

Rahardjo, Satjipto, 2006, Ilmu Hukum, cetakan keenam 2006,Bandung : PT Citra

Aditya Bakti.

Soekanto, Soerjono, 1984, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Rajawali.

-------------------------2010, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta; Universitas

Indonesia.

Soemitro, Ronny Hanitjo, 1990, Metode Penelitian Hukum dan Jurimentri,

Jakarta: Ghalia Indonesia.

Sunggono, Bambang, 2012, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Rajawali

Pers.

Sugiyono, 2013, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung:CV. Alfabeta.

Shofie, Yusuf, 2008, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di

Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

PT. Pos Indonesia (Persero), 2014, Membangun Kepercayaan & Integritas,

Annual Report

PT. Pos Indonesia (Persero), 2016, Unlocking the Unknown People, Network,

Technology, Annual Report PT. Pos Indonesia (Persero)\

Peraturan Perundang-Undangan

a. Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

49
d. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa.

e. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos

f. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Angkutan Multimoda

g. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos

50

Anda mungkin juga menyukai