Identitas Jurnal
1. Judul Artikel
Reason and Authority in Administrative Law
2. Nama Penulis
James A. Grant
3. Nama Jurnal
Cambridge Law Journal
4. Edisi Terbit
November 2017
5. Jumlah Halaman
30 Halaman
2. Metode
Penulis jurnal ini, menggunakan metode penulisan berupa pendekatan analitis
tetapi melihat penalaran analitis hanya sebagai tahap awal dalam mengidentifikasi
kesalahan yurisdiksi yang merupakan sebuah latihan dalam penalaran praktis.
Menurut penulis, yang menjadi argumen utama adalah yurisdiksi harus dipahami
sebagai ruang lingkup otoritas yang sah dari pembuat keputusan. Untuk
menjelaskan apakah artinya, maka jurnal ini mengacu pada karya yang sangat
berpengaruh dari Joseph Raz dalam filsafat analitis tentang sifat dari otoritas yang
tetapi dikalangan pengacara banyak diabaikan.
3. Pembahasan
Dalam pembahasan jurnal internasional ini, penulis memiliki argumentasi yang
menyatakan bahwa otoritas administratif tidak boleh bertindak melawan suatu
argumen, para pengacara setuju namun terdapat keraguan yaitu argumen siapa
yang seharusnya memiliki otoritas. Menjadi ssebuah mode untuk membela apa yang
disebut Etienne Mureinik sebagai "budaya pembenaran", di mana "setiap
pelaksanaan kekuasaan diharapkan dapat dibenarkan", yang berbeda dengan
"budaya otoritas". Budaya otoritas terdengar lebih buruk daripada budaya justifikasi,
karena bisa menjadi otoriter. Tetapi jangan lupa bahwa ada pembenaran yang baik
untuk otoritas yang sah. Tentu saja, kita tidak boleh mengabaikan masalah otoritas
yang tidak sah, orang-orang yang mengklaim lebih banyak otoritas daripada yang
dibenarkan. Tetapi justru itulah mengapa doktrin yurisdiksi sangat penting. Setiap
budaya pembenaran agar dapat dipertahankan harus memungkinkan untuk hormat
kepada sebuah agen administratif yang bertindak dalam yurisdiksinya, yang
dipahami sebagai ruang lingkup otoritasnya yang sah.
Penulis jurnal ini memberikan pembenaran sebuah teori struktur penalaran yang
harus menentukan yurisdiksi lembaga administratifnya, dan karena itulah ketika
pengadilan dibenarkan untuk melakukan campur tangan dalam pengambilan
keputusan administratif. Kembali untuk terakhir kalinya ke Corner House, kita dapat
memahami dengan lebih jelas bagaimana Pengadilan Divisional dan House of Lords
seharusnya membenarkan kesimpulan masing-masing. Tidak cukup bagi Pengadilan
Divisional untuk mengatakan bahwa keputusan tentang perlunya penyerahan diri
kepada suatu ancaman adalah keputusan pengadilan karena tanggung jawabnya
untuk membela supremasi hukum. Pengadilan perlu menjelaskan dengan lebih baik
mengapa pengadilan ditempatkan untuk menyeimbangkan kepentingan publik yang
bersaing, terlepas dari alasan yang baik untuk mengakui wewenang sah yang dimiliki
oleh Direktur sebagai konsekuensi dari alokasi undang-undang dari wewenang
diskresi yang luas. Di lain sisi, House of Lords seharusnya tidak memperlakukan
alokasi undang-undang sebagai bentuk pencegahan pengadilan dari memaksakan
kondisi yang dipertimbangkan oleh Pengadilan Divisional. Putusannya, seperti itu jika
Pengadilan Divisional dapat ditingkatkan dengan suatu pemahaman yang lebih baik
tentang sifat dan batasan otoritas yang sah.
Argumen yang ada dalam jurnal ini tidak selalu menjadi sebuah argumen untuk
menghormati yudisial yang lebih tinggi. Menjadi suatu argumen yang ditujukkan
untuk menghormati yudisial yang lebih tinggi apabila terdapat situasi yang memang
membutuhkan. Ini adalah pembelaan terhadap perbedaan antara pertanyaan-
pertanyaan tentang yurisdiksi dan manfaat dari suatu kasus, dan sebuah argument
ketika otoritas yang sah bertindak dalam yurisdiksinya pengadilan harus mengikuti
keputusan otoritas dalam arti buta, terlepas dari pandangan mereka tentang
manfaatnya. Dasar untuk intervensi pengadilan haruslah bila lembaga tersebut tidak
memiliki wewenang yang sah. Pengadilan akan menyesuaikan diri dengan alasan
menggantikan penilaiannya untuk lembaga tersebut, meskipun terdapat klaim
terhadap otoritas yang sah yang diberikan oleh alokasi hukum kepada suatu
lembaga.
1
Irfan Fachrudin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, PT. Alumni, Bandung, 2004,
Hlm. 2019.
2
Ibid, Hlm. 227.
pertanyaan tentang masalah mana yang lebih baik diselesaikan oleh otoritas, karena
mengikuti keputusannya akan memungkinkan kita untuk menyesuaikan dengan
alasan yang lebih baik. Alasan yang dikecualikan adalah manfaat dari kasus ini, dan
ruang lingkup alasan yang dikecualikan adalah ruang lingkup yurisdiksi otoritas.
Sangat penting untuk menentukan ruang lingkup yurisdiksi otoritas dan oleh karena
itu apakah keputusan otoritas mendahului penilaian subjek pada manfaat kasus.
Doktrin hukum harus mencerminkan teori dari otoritas yang sah. Namun studi
komparatif mengungkapkan bahwa, dalam sebagian besar tidak semua sistem
hukum terjadi. Salah satu contoh kegagalan ini dapat ditemukan dalam pendekatan
doktrinal untuk tinjauan yudisial atas kesalahan hukum. Alokasi kekuasaan menurut
undang-undang adalah salah satu alasan untuk menyatakan bahwa suatu agen
administratif memiliki wewenang yang sah. Akibatnya, menentukan yurisdiksi
lembaga dapat melibatkan penentuan apakah keputusannya berada dalam batas-
batas kekuasaan yang dialokasikan oleh undang-undang.
Saya kurang sependapat dengan penulis artikel ini, karena didalam terminologi
modern, apapun yang diberikan oleh badan pembuat hukum harus dapat diterima
sebagai hukum universal yang berlaku dalam masyarakat, menjangkau setiap aspek
masyarakat tanpa terkecuali. Menurut seorang ahli filsafat hukum di Inggris yaitu
John Austin menjelaskan bahwa filsafat hukum memiliki dua tugas penting yang
berkaitan dengan dua dimensi dari hukum yaitu yurisprudensi analitis dan
yurisprudensi normatif. Dalam dimensi yurisprudensi analitis, tugas filsafat hukum
adalah melakukan analisis tentang konsep dasar dalam hukum dan struktur hukum
sebagaimana adanya. Sementara dalam dimensi yurisprudensi normatif, tugas
filsafat hukum adalah untuk mengevaluasi atau mengkritik hukum dengan
menggunakan titik awal yaitu konsep hukum sebagaimana seharusnya. Menurut
John Austin hukum harus dipahami sebagai komando ( Law is Command of
Sovereign).3
Hukum merupakan kumpulan perintah yang bersifat komando ( laws are
commands), hukum memiliki watak komando. Maka dengan demikian, menurut John
Austin, yang menjadi kata kunci dalam yurisprudensi adalah komando. Hukum yang
berlaku didalam masyarakat adalah komando umum dari entitas politik yang
3
Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006, Hlm. 110.
memiliki kedaulatan, yakni otoritas politik yang paling tinggi ( the supreme political
authority). Atau, Austin menyebutnya sebagai sovereign yaitu penguasa yang
berdaulat atas warganya. Otoritas ini berfungsi untuk mengatur perilaku setiap
anggota masyarakatnya. Pemegang otoritas tertinggi ini bisa saja dipegang oleh
sekelompok orang maupun hanya satu orang. Syarat bagi pemegang otoritas
tertinggi ini antara lain pertama, pemegang otoritas ini haruslah seorang atau
sekelompok orang yang dipatuhi oleh segenap warganya tanpa
terkecuali. Kedua, pemegang otoritas ini (baik satu orang maupun sekelompok
orang) tidak patuh kepada siapapun. Artinya, pemegang otoritas ini adalah
penguasa mutlak, menguasai semua, tidak berada di bawah penguasa lain. Dia
adalah penguasa tertinggi.4
Berangkat dari pemikiran John Austin, dapat dilihat bahwa yang menjadi sumber
hukum adalah penguasa tertinggi tersebut yang de facto dipatuhi oleh semua warga
atau anggota masyarakat yang berada dalam wilayah kekuasaannya. Ia tidak tunduk
kepada siapapun. Dengan demikian, perintah/hukum merupakan imperatif dari
penguasa. Dalam pemikirannya John Austin berusaha mempertanggungjawabkan
validitas hukum dengan merujuk pada asal usul atau sumber yang secara faktual
empiris diakui memiliki otoritas untuk menciptakan hukum. Hukum bersifat non-
optional. Artinya adalah perintah yang keluarkan oleh penguasa harus ditaati oleh
semua warganya tanpa terkecuali dan tanpa pilihan.
Dari teori-teori yang dikemukakan oleh Joseph Raz dan John Austin, saya dapat
menarik kesimpulan bahwa menurut pendapat saya setiap hukum yang diciptakan
adalah hanya untuk melayani kepentingan manusia belaka. Hukum berfungsi untuk
mengantar manusia pada suatu bentuk kehidupan yang lebih nyaman. Karena
permasalahan dasarnya bukan terletak pada berapa banyak hukum yang diciptakan
tetapi apakah hukum itu benar-benar tepat pada sasaran dan dapat
mensejahterakan manusia. Maka menurut pandangan saya, perhatian dalam hukum
saat ini harus menjalankan fungsinya secara tepat yaitu sebagai alat kontrol bukan
sebagai “hakim agung” dengan rentetan sanksi bagi orang yang melanggarnya.
5. Daftar Pustaka
4
Ibid, Hlm. 111.
Darmodiharjo Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2006.
Fachrudin, Irfan, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan
Pemerintah, PT. Alumni, Bandung, 2004.