Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN HUKUM BISNIS

PERBEDAAN COMMON LAW DAN CIVIL LAW SERTA CONTOH KASUS HUKUM
PERDATA DAN PIDANA

Diusulkan Oleh
Kiki Wardiman Jayanegara 165264016 Angkatan 2016

POLITEKNIK NEGERI BANDUNG


BANDUNG
2019
Perbedaan Common Law dan Civil Law
Perbedaan utama antara kedua sistem tersebut adalah bahwa di negara-negara common
law, hukum kasus - dalam bentuk opini yudisial yang dipublikasikan - adalah sangat penting,
sedangkan dalam sistem hukum perdata, undang-undang yang dikodifikasikan mendominasi.
Tapi pembagian ini tidak sejelas yang terlihat. Bahkan, banyak negara menggunakan campuran
fitur dari sistem hukum umum dan sipil. Memahami perbedaan antara sistem-sistem ini
pertama-tama membutuhkan pemahaman tentang dasar-dasar historisnya.

Ciri atau karakteristik dari sistem Civil Law adalah:


1. Adanya sistem kodifikasi
2. Hakim tidak terikat dengan preseden atau doktrin stare decicis, sehingga undang-undang
menjadi rujukan hukumnya yang utama
3. Sistem peradilannya bersifat inkuisitorial

Ciri atau karakteristik dari sistem Common Law adalah:


1. Yurisprudensi sebagai sumber hukum utama
2. Dianutnya Doktrin Stare Decicis/Sistem Preseden
3. Adversary System dalam proses peradilan

1. Asal Usul Sejarah Sistem Hukum Umum dan Sipil

Sumber asli sistem common law dapat ditelusuri kembali ke monarki Inggris, yang
digunakan untuk mengeluarkan perintah formal yang disebut "surat perintah" ketika keadilan
perlu dilakukan. Karena surat perintah tidak cukup untuk mencakup semua situasi, pengadilan
keadilan akhirnya dibentuk untuk mendengarkan pengaduan dan menyusun penyelesaian yang
tepat berdasarkan prinsip-prinsip yang adil yang diambil dari banyak sumber otoritas (seperti
hukum Romawi dan hukum "alami"). Ketika keputusan-keputusan ini dikumpulkan dan
diterbitkan, menjadi mungkin bagi pengadilan untuk mencari pendapat yang mendahului dan
menerapkannya pada kasus-kasus saat ini. Dan dengan demikian hukum umum dikembangkan.

Hukum perdata di negara-negara Eropa lainnya, di sisi lain, pada umumnya ditelusuri kembali
ke kode hukum yang disusun oleh Kaisar Romawi Justinianus sekitar 600 M. Kode hukum
resmi dengan akar dalam hukum ini (atau yang lain) kemudian dikembangkan selama berabad-
abad di berbagai negara , yang mengarah ke sistem hukum serupa, masing-masing dengan
perangkat hukum mereka sendiri.
Jika Anda seorang profesional yang bekerja yang ingin memperluas pendidikan hukum Anda,
pelajari lebih lanjut tentang gelar Magister Studi Hukum @ WashULaw.
Peran Pengacara dan Hakim di Setiap Sistem

Di negara-negara hukum sipil, hakim sering digambarkan sebagai "penyelidik." Mereka


umumnya memimpin dalam persidangan dengan membawa dakwaan, menetapkan fakta
melalui pemeriksaan saksi dan menerapkan pemulihan yang ditemukan dalam kode hukum.

Pengacara masih mewakili kepentingan klien mereka dalam proses sipil, tetapi memiliki peran
yang kurang sentral. Namun, seperti dalam sistem common law, tugas mereka biasanya
mencakup memberi nasihat kepada klien tentang poin-poin hukum dan menyiapkan pembelaan
hukum untuk diajukan ke pengadilan. Tetapi pentingnya argumen lisan, presentasi di
pengadilan dan pengacara aktif di pengadilan berkurang jika dibandingkan dengan sistem
hukum umum. Selain itu, tugas hukum non-litigasi, seperti persiapan dan penyusunan kontrak,
dapat diserahkan kepada profesional kuasi-hukum yang melayani bisnis dan perorangan, dan
yang mungkin tidak memiliki pendidikan hukum pasca-universitas atau dilisensikan untuk
berlatih di pengadilan .

Sebaliknya, di negara hukum biasa, pengacara membuat presentasi kepada hakim (dan
terkadang juri) dan memeriksa saksi sendiri. Prosesnya adalah

kemudian "disokong" oleh hakim, yang memiliki fleksibilitas agak lebih besar daripada dalam
sistem hukum perdata untuk membuat penyelesaian yang tepat pada akhir kasus. Dalam kasus-
kasus ini, pengacara berdiri di depan pengadilan dan berusaha membujuk orang lain tentang
poin-poin hukum dan fakta, dan mempertahankan peran yang sangat aktif dalam proses hukum.
Dan tidak seperti yurisdiksi hukum perdata tertentu, di negara-negara common law seperti
Amerika Serikat, dilarang bagi siapa pun selain pengacara berlisensi penuh untuk menyiapkan
dokumen hukum apa pun untuk orang atau badan lain. Ini adalah provinsi pengacara saja.

Seperti yang ditunjukkan oleh uraian ini, pengacara hampir selalu memiliki peran penting
dalam penyelesaian sengketa formal, tidak peduli di negara mana mereka berpraktik. Tetapi
tugas khusus yang diberikan kepada mereka cenderung sedikit bervariasi. Dan di luar ruang
sidang, tugas-tugas yang biasanya dilakukan oleh pengacara di satu negara dapat dilakukan
oleh orang awam yang terampil di negara lain.

2. Sistem Hukum
Civil Law dan Common Law keduanya merupakan dua sistem hukum yang
berbeda. Satjipto Rahardjo dalam bukunya Ilmu Hukum (hal. 235) berpendapat bahwa
di dunia ini kita tidak jumpai satu sistem hukum saja, melainkan lebih dari satu. Adapun
sistem hukum yang dimaksud di sini meliputi unsur-unsur seperti: struktur, kategori, dan
konsep. Perbedaan dalam unsur-unsur tersebut mengakibatkan perbedaan dalam sistem
hukum yang dipakai.

Lebih lanjut Satjipto mengatakan bahwa kita mengenal dua sistem hukum yang berbeda,
yaitu Sistem Hukum Eropa Benua dan Sistem Hukum Inggris. Orang juga lazim
menggunakan sebutan Sistem Hukum Romawi-Jerman atau Civil Law System untuk yang
pertama, dan Common Law System untuk yang kedua.

3. Karakteristik Civil Law System

Ciri pokok Civil Law adalah sistem ini menggunakan pembagian dasar ke dalam hukum
perdata dan hukum publik. Kategori seperti itu tidak dikenal dalam sistem Common Law.

Menurut Nurul Qamar dalam bukunya Perbandingan Sistem Hukum dan Peradilan Civil
Law System dan Common Law System (hal. 40):

4. Ciri atau Karakteristik Sistem Civil Law

adalah:

1. Adanya sistem kodifikasi

2. Hakim tidak terikat dengan preseden atau doktrin stare decicis, sehingga undang-
undang menjadi rujukan hukumnya yang utama.

3. Sistem peradilannya bersifat inkuisitorial

A. Adanya sistem kodifikasi

Alasan mengapa sistem Civil Law menganut paham kodifikasi adalah antara lain karena
demi kepentingan politik Imperium Romawi, di samping kepentingan-kepentingan lainnya
di luar itu. Kodifikasi diperlukan untuk menciptakan keseragaman hukum dalam dan di
tengah-tengah keberagaman hukum. Agar kebiasaan-kebiasaan yang telah ditetapkan
sebagai peraturan raja supaya ditetapkan menjadi hukum yang berlaku secara umum,
perlu dipikirkan kesatuan hukum yang berkepastian. Pemikiran itu, solusinya adalah
diperlukannya suatu kodifikasi hukum.

B. Hakim Tidak Terikat pada Preseden

Nurul mengutip pendapat Paul Scholten yang mengatakan bahwa maksud


pengorganisasian organ-organ negara Belanda tentang adanya pemisahaan antar
kekuasaan membuat undang-undang, kekuasaan peradilan dan sistem kasasi serta
kekuasaan eksekutif, dan tidak dimungkinkannya kekuasaan yang satu mencampuri
urusan kekuasaan lainnya, dengan cara tersebut maka terbentuklah yurisprudensi.

C. Peradilan Menganut Sistem Inkuisitorial

Dalam sistem ini hakim mempunyai peranan yang besar dalam mengarahkan dan
memutus suatu perkara. Hakim bersifat aktif dalam menemukan fakta hukum dan cermat
dalam menilai bukti.

Hakim di dalam sistem Civil Law berusaha untuk mendapatkan gambaran lengkap dari
peristiwa yang dihadapainya sejak awal. Sistem ini mengandalkan profesionalisme dan
kejujuran hakim.

5. Karakteristik dari Sistem Common Law

Ciri atau karakteristik dari sistem Common Law adalah:

1. Yurisprudensi sebagai sumber hukum utama

2. Dianutnya Doktrin Stare Decicis/Sistem Preseden

3. Adversary System dalam proses peradilan

A. Yurisprudensi sebagai sumber hukum utama

Ada 2 (dua) alasan mengapa yurisprudensi dianut dalam sistem Common Law, yaitu:

a. Alasan psikologis

Alasannya adalah karena setiap orang yang ditugasi untuk menyelesaikan perkara, ia
cenderung sedapat-dapatnya mencari alasan pembenar atas putusannya dengan merujuk
kepada putusan yang telah ada sebelumnya dari pada memikul tanggungjawab atas
putusan yang dibuatnya sendiri.

b. Alasan praktis

Diharapkan adanya putusan yang seragam karena sering diungkapkan bahwa hukum
harus mempunyai kepastian daripada menonjolkan keadilan pada setiap kasus konkrit.

Selain itu menurut sistem Common Law, menempatkan undang-undang sebagai acuan
utama merupakan suatu perbuatan yang berbahaya karena aturan undang-undang itu
merupakan hasil karya kaum teoretisi yang bukan tidak mungkin berbeda dengan
kenyataan dan tidak sinkron dengan kebutuhan. Lagi pula dengan berjalannya waktu,
undang-undang itu sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan yang ada, sehingga
memerlukan intrepretasi pengadilan.

B. Dianutnya Doktrin Stare Decicis/Preseden


Doktrin ini secara substansial mengandung makna bahwa hakim terikat untuk mengikuti
dan atau menerapkan putusan pengadilan terdahulu, baik yang ia buat sendiri atau oleh
pendahulunya untuk kasus serupa.

Maskipun dalam sistem Common Law, dikatakan berlaku doktrin Stare Decisis, akan tetapi
bukan berarti tidak dimungkinkan adanya penyimpangan oleh pengadlan, dengan
melakukan distinguishing, asalkan saja pengadilan dapat membuktikan bahwa fakta yang
dihadapi berlainan dengan fakta yang telah diputus oleh pengadilan terdahulu. Artinya,
fakta yang baru itu dinyatakan tidak serupa dengan fakta yang telah mempunyai
preseden.

C. Adversary System dalam Proses Peradilan

Dalam sistem ini kedua belah pihak yang bersengketa masing-


masing menggunakan lawyernya berhadapan di depan hakim. Para pihak masing-masing
menyusun strategi sedemikian rupa dan mengemukakan dalil-dalil dan alat-alat bukti
sebanyak-banyaknya di pengadilan. Jadi yang berperkara merupakan lawan antar satu
dengan yang lainnya yang dipimpin oleh lawyernya masing-masing.
Contoh Hukum Perdata atau Hukum Privat
Kanal berita Merdeka.com menerangkan adanya kasus yang menjerat seorang Ibu yang
digugat oleh anaknya
Siti Rokayah 83 tahun, warga Kecamatan Garut Kota digugat oleh anaknya sendiri,
Yani Suryani beserta suami Handoyo Adianto. Nenek Siti digugat Rp 1,8 miliar dalam kasus
utang piutang. Penyelesaian hukum kasus tersebut saat ini sedang berjalan di Pengadilan
Negeri Garut. Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A)
Kabupaten Garut, Jawa Barat, menyatakan kasus anak menggugat ibunya merupakan kategori
kekerasan terhadap lanjut usia (lansia).

"Menurut kami gugatan yang dilakukan anak kandung dan menantu terhadap ibunya
itu merupakan bentuk kekerasan terhadap lansia," kata Ketua Bidang Advokasi P2TP2A
Kabupaten Garut Nitta Kusnia Widjaja kepada wartawan di Garut, Jumat (24/3).
Ibu yang menjadi tergugat itu, kata Nitta merupakan persoalan yang perlu dilakukan
pendampingan hukum selama persidangan. "Atas kasus itulah kami P2TP2A Garut akan
mendampingi Ibu Siti Rokayah selaku tergugat," katanya.

Ia menjelaskan, pendampingan hukum terhadap lansia itu berdasarkan aturan dalam


Undang-undang Perlindungan Lansia Nomor 43 Tahun 2004 Pasal 60. Menurut dia, persoalan
utang piutang keluarga itu seharusnya dapat diselesaikan secara kekeluargaan, tidak
seharusnya ke meja persidangan. "Saya sendiri heran anak dan menantunya melayangkan
gugatan senilai Rp 1,8 miliar," katanya. Menurut dia, adanya gugatan uang sebesar itu
memunculkan anggapan penggugat ingin menguasai harta yang dimiliki ibunya. Kasus itu,
lanjut dia, menjadi pembelajaran bagi kehidupan manusia lainnya dalam memaknai kehadiran
ibu. "Kasus ini ada pesan moralnya buat kita semua, hargailah ibu yang telah melahirkan kita,"
katanya. Hingga saat ini, kasus perdata itu sudah memasuki proses persidangan ke-enam di
Pengadilan Negeri Garut
Pidana

Contoh Hukum Pidana

Jalan Hukum Baiq Nuril


Kasus Baiq pada saat itu yang menggegerkan dan mengusik rasa keadilan
publik, Masyarakat boleh kecewa dengan vonis yang dijatuhkan kepada Nuril.
Namun, logika publik tak sama dengan logika hukum. Pengadilan menganggap
Nuril bersalah, menyebarkan rekaman terkait kasus kesusilaan. Nuril dihukum
bukan karena ia korban pelecehan seksual, melainkan karena dinilai terbukti
menyebarkan rekaman berisi hal terkait kesusilaan.
Meski dari kacamata publik tampak ada kasus yang lebih besar, yang
mendorong Nuril merekam pelecehan terhadap dirinya dan kemudian rekaman itu
menyebar, kacamata hukum tak bisa melirik ke kiri atau ke kanan. Sang Dewi hukum
harus "menutup mata" dari hal-hal di luar kasus yang dihadapinya. Hasilnya, Baiq
Nuril dinyatakan bersalah, harus membayar denda dan dikurung dalam tahanan.
Serta menurut www.bbc.com Baiq nurul dalam pemaparan MA mengatakan Baiq "telah
melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)" dalam kasus penyebaran informasi
percakapan mesum kepala sekolah tempat ia pernah bekerja.
Hakim kasasi MA mengatakan Baiq dianggap terbukti "mendistribusikan atau
mentransmisikan konten kesusilaan".
Aziz Fauzi, pengacara Baiq Nuril, mengatakan tawaran grasi dari Presiden Jokowi akan ditolak
karena grasi menyiratkan kliennya bersalah.
"Grasi itu kan artinya klien kami dinyatakan bersalah dan minta ampun. Sementara kondisi
perkara Baiq Nuril, klien kami tak salah. Putusan Pengadilan Negeri Mataram menyatakan
Baiq tidak terbukti bersalah," kata Aziz kepada Quin Pasaribu untuk BBC News Indonesia,
hari Selasa (20/11).
"Hukum formilnya menunjukkan, bukti-bukti yang diajukan untuk menjerat klien kami itu
tidak sah dan cacat dan bertentangan dengan pasal 5 dan 6 UU ITE dan KUHAP. Jadi tak ada
alasan menyatakan klien kami bersalah," tegas Aziz.

Anda mungkin juga menyukai