Anda di halaman 1dari 4

1.

Pengertian perbandingan hukum sebagai suatu metode pendekatan ialah pendekatan


yang dilakukan untuk membandingkan hukum suatu negara dengan hukum negara lain.
Perbandingan hukum pada hakikatnya merupakan kegiatan yang bersifat filosofis.
Perbandingan hukum adalah suatu studi atau kajian perbandingan mengenai konsepsi-
konsepsi intelektual yang ada di balik institusi/lembaga hukum yang pokok dari satu
atau beberapa sistem hukum asing. Dengan kata lain perbandingan hukum dianggap
sebagai suatu cara untuk menelaah hukum secara komprehensif dengan menguji juga
sistem, kaidah, pranata dan sejarah hukum lebih dari satu Negara atau lebih dari satu
sistem hukum, meskipun sama-sama masih berlaku dalam satu Negara. Adapun yang
dimaksud dengan perbandingan hukum sebagai suatu ilmu pengetahuan yang mandiri
adalah perbandingan hukum yang telah sedemikian sistematis, analitikal dengan
metode dan ruang lingkup yang dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan dalam
mengkaji sistem, kaidah, pranata dan sejarah hukum lebih dari satu Negara atau lebih
dari satu sistem hukum yang sama-sama masih berlaku dalam satu Negara.

2. Sistem hukum Civil Law adalah bermula dari daratan Eropa dan didasarkan pada
hukum Romawi dengan ciri-ciri Civil Law paling utama ditandai sistem kodifikasi dari
prinsip-prinsip hukum yang utama. Ciri pokok Civil Law adalah sistem ini
menggunakan pembagian dasar ke dalam hukum perdata dan hukum publik. Kategori
seperti itu tidak dikenal dalam sistem Common Law.
Adapun pengertian dari sistem hukum Common Law adalah Common Law (Anglo
Saxon) adalah sistem hukum yang berasal dari Inggris dan berkembang di negara-
negara jajahannya. Sistem hukum Common Law mendasarkan pada putusan pengadilan
sebagai sumber hukumnya. Sedangkan, sistem hukum Civil Law (Eropa Kontinental)
yang berlaku di negara-negara Eropa daratan dan negara-negara jajahannya, termasuk
Indonesia, berpegang kepada kodifikasi undang-undang menjadi sumber hukum
utamanya.

3. Macam-macam karakteristik sistem hukum Civil Law ialah sebagai berikut:


a. Adanya Sistem Kodifikasi
Alasan mengapa sistem Civil Law menganut paham kodifikasi adalah antara lain
karena demi kepentingan politik Imperium Romawi, di samping kepentingan-
kepentingan lainnya di luar itu. Kodifikasi diperlukan untuk menciptakan
keseragaman hukum dalam dan di tengah-tengah keberagaman hukum. Agar
kebiasaan-kebiasaan yang telah ditetapkan sebagai peraturan raja supaya
ditetapkan menjadi hukum yang berlaku secara umum, perlu dipikirkan kesatuan
hukum yang berkepastian. Pemikiran itu, solusinya adalah diperlukannya suatu
kodifikasi hukum.
b. Hakim Tidak Terikat pada Preseden
Paul Scholten menyatakan maksud pengorganisasian organ-organ negara Belanda
tentang adanya pemisahaan antar kekuasaan membuat undang-undang, kekuasaan
peradilan dan sistem kasasi serta kekuasaan eksekutif, dan tidak
dimungkinkannya kekuasaan yang satu mencampuri urusan kekuasaan lainnya,
dengan cara tersebut maka terbentuklah yurisprudensi.
c. Peradilan Menganut Sistem Inkuisitorial
Dalam sistem ini, hakim mempunyai peranan yang besar dalam mengarahkan dan
memutus suatu perkara. Hakim bersifat aktif dalam menemukan fakta hukum dan
cermat dalam menilai bukti. Hakim di dalam sistem Civil Law berusaha untuk
mendapatkan gambaran lengkap dari peristiwa yang dihadapinya sejak awal.
Sistem ini mengandalkan profesionalisme dan kejujuran hakim.
Kemudian tiga karakteristik Common Law System ialah sebagai berikut:
a. Yurisprudensi sebagai Sumber Hukum Utama
Menurut sistem Common Law, menempatkan undang-undang sebagai acuan
utama merupakan suatu perbuatan yang berbahaya karena aturan undang-undang
itu merupakan hasil karya kaum teoretisi yang bukan tidak mungkin berbeda
dengan kenyataan dan tidak sinkron dengan kebutuhan. Lagi pula dengan
berjalannya waktu, undang-undang itu sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan
yang ada, sehingga memerlukan interpretasi pengadilan.
b. Dianutnya Doktrin Stare Decicis/Preseden
Doktrin ini secara substansial mengandung makna bahwa hakim terikat untuk
mengikuti dan/atau menerapkan putusan pengadilan terdahulu, baik yang ia buat
sendiri atau oleh pendahulunya untuk kasus serupa. Meskipun dalam sistem
Common Law dikatakan berlaku doktrin Stare Decisis, akan tetapi bukan berarti
tidak dimungkinkan adanya penyimpangan oleh pengadilan, dengan melakukan
distinguishing, asalkan saja pengadilan dapat membuktikan bahwa fakta yang
dihadapi berlainan dengan fakta yang telah diputus oleh pengadilan terdahulu.
Artinya, fakta yang baru itu dinyatakan tidak serupa dengan fakta yang telah
mempunyai preseden.
c. Adversary System dalam Proses Peradilan
Dalam sistem Common Law ini, kedua belah pihak yang bersengketa masing-
masing menggunakan pengacaranya untuk berhadapan di depan hakim. Para
pihak masing-masing menyusun strategi sedemikian rupa dan mengemukakan
dalil-dalil dan alat-alat bukti sebanyak-banyaknya di pengadilan. Jadi yang
berperkara merupakan lawan antar satu dengan yang lainnya yang dipimpin oleh
pengacaranya masing-masing.

4. Karakteristik hukum yang ada di Indonesia adalah sebagai berikut: .


a. Hasil perubahan fundamental terhadap sistem hukum kolonial
Indonesia pada saat proklamasi kemerdekaan mewarisi sistem hukum yang
diberlakukan oleh pemerintah kolonial saat itu. Namun, sejak proklamasi
Indonesia telah berusaha untuk melepaskan diri dari sistem hukum kolonial
dengan cara memperbaiki dan mengganti hukum yang sudah tidak sesuai.
Adapun perubahan mendasar terhadap sistem hukum kolonial, antara lain ialah
melakukan penggolongan (kodifikasi) dan menyatukan (unifikasi) hukum perdata
dan pidana yang telah ada sejak zaman kolonial. Tujuannya agar hukum ini dapat
berlaku bagi seluruh penduduk Indonesia tanpa membedakan kelompok
masyarakat. Kemudian penghapusan penggolongan penduduk dan pemberlakuan
hukum yang berbeda untuk setiap golongan masyarakat. Tindakan ini berhasil
dilakukan, sehingga di Indonesia hanya dikenal dua kewarganegaraan, yaitu
warga negara Indonesia dan warga negara asing. Dan yang terakhir mengubah
sistem peradilan kolonial yang membedakan sistem peradilan pada setiap
golongan masyarakat saat itu. Sekarang, di Indonesia hanya mengenal satu sistem
peradilan umum, yakni pengadilan umum.
b. Hukum tertulis dan tidak tertulis
Karakteristik hukum di Indonesia selanjutnya adalah mengakui keberadaan
hukum tidak tertulis di samping hukum tertulis yang ada. Contoh hukum tertulis
adalah undang-undang, sedangkan contoh hukum tidak tertulis adalah hukum
adat. Meskipun tak tertulis, pemberlakuannya tetap mengikat dan memiliki
legitimasi kedudukan hukum yang sama.
c. Mengikuti perkembangan zaman
Karakteristik hukum yang terakhir adalah hukum mampu mengikuti
perkembangan zaman, tetapi tetap mewadahi keanekaragaman dan menjamin
kepastian hukum.
Indonesia menganut sistem Civil Law. Saat menangani perkara, hakim akan mencari
rujukan peraturan yang sesuai dan bersifat aktif dalam menemukan fakta dan cermat
dalam menilai alat bukti, sehingga diperoleh gambaran lengkap dari perkara. Namun
demikian, dalam praktik dan perkembangannya, peradilan di Indonesia tidak lagi
sepenuhnya menerapkan sistem Civil Law karena telah memiliki dan menerapkan
beberapa karakteristik yang identik dengan sistem Common Law. Common Law
System (Anglo Saxon) khususnya di Indonesia, kedudukannya dapat ditelusuri dalam
sumber hukum di Indonesia, di antaranya yurisprudensi dan kebiasaan. Maksud dari
yurisprudensi ini, suatu keputusan yang diambil oleh hakim berdasarkan
pertimbangannya dalam memutuskan suatu perkara yang belum diatur dalam undang-
undang. Sedangkan kebiasaan merupakan kebiasaan-kebiasaan lokal yang selama ini
diakui dan hidup di masyarakat, dalam istilah Common Law disebut “kaidah-kaidah
lokal”.

Anda mungkin juga menyukai