Anda di halaman 1dari 7

DAYANG ANTARI

P2B219044
KELAS A
MATA KULIAH: KONTRAK INTERNASIONAL

RESUME TENTANG KONSEP DAN TEKNIK BERKONTRAK DALAM


TRADISI COMMON LAW DAN CIVIL LAW.

Sistem Civil Law memiliki keunikan pranata, salah satunya adalah law of
obligation atau hukum perikatan. Dalam makalah ini, hukum perikatan sebagai
hasil dari perjanjian akan dikaji secara khusus dalam pembahasan, terutama
mengenai hukum yang berlaku dalam kontrak.
Tradisi Civil Law berlandaskan pada rasio sebagai dasar pemikirannya, maka
hukum pun mengarah menuju aplikasi univerasal. Pemikiran universal ini
berdasar kepada aliran Hukum Alam. Aliran Hukum Alam mencoba untuk
merumuskan pemikiran hukum yang bersifat universal dan lestari, serta berlaku
dimana saja dan kapan saja. Sebagai contoh, aliran Hukum Alam mendeduksikan
prinsip-prinsip rasio ini ke dalam konstitusi dan hukum pidana yang kemudian
muncul hukum Publik dengan mengacu pada hak asasi manusia.
Karakter Civil Law yang berdasarkan pada rasio membentuk pula
kodifikasi hukum sebagai keutamaan sumber dari Civil Law. Kodifikasi hukum
merupakan proses menghimpun dan menyusun kaidah-kaidah hukum secara
teratur, sistematis dengan mengikuti kriteria tertentu. Kodifikasi hukum dalam
Civil Law pun berangkat dari karakter Civil Law yang bersifat deduktif serta
abstrak, buah dari doktrin para ahli. Oleh karena itu, peraturan perundang-
undangan menjadi sumber hukum utama dalam Civil Law.
Berbeda dengan Civil Law, Tradisi Common Law dikenal sebagai rumpun
Hukum Anglo-Saxon ataupun rumpun Hukum Anglo-American. Rumpun Hukum
Anglo-Saxon sangat mengacu pada nuansa dari Sejarah Inggris (United Kingdom),
sedangkan Rumpun Hukum Anglo-American cenderung memiliki jiwa yang
relatif berbeda karena perkembangannya terjadi di Amerika Serikat.

1
Periode Common Law sangatlah identik dengan foedalisme. Normandia
membiarkan hukum kebiasaan Inggris yang beragam, namun Normandia
menguasai tanah dan membagikannya kepada para pengikutnya. Kejadian tersebut
menimbulkan kekuasaan secara sentralisasi di Inggris sebagai latar belakang
sistem Common Law. Dalam periode ini pula terdapat pengajuan gugatan yang
terbatas. Pihak kerajaanlah yang menganugerahkan kepada pihak tertentu setelah
dilakukan pengkaji mendalam. Proses permohonan atas suatu keadilan dari raja
diawali dengan dibuat surat yang ditujukan kepada Chancellor agar diterbitkan
writ atau brave sebagai dasar badan pengadilan kerajaan bertindak. Hal ini
menunjukan bahwa seluruh hukum Inggris pada hakikatnya didominasi oleh segi
prosedural dan tidak dikenal pembagian hukum perdata dan hukum publik dalam
Common Law.
Dari pemaparan tersebut menunjukkan bahwa Common Law didasarkan
pada praktik hukum di pengadilan dalam konteks untuk memecahkan sengketa
hukum. Peranan dan fungsi hakim sebagai pembuat hukum dan menjadikan
keputusan-keputusannya menjadi sumber hukum haruslah menjadi penekanan
dalam Common Law. Dalam Common Law tidak mengenal mengenai kodifikasi
hukum, maka sumber hukum dari Common Law berasal melalui hukum kebiasaan
yang sudah mengalami perkembangan sejak lama, bersifat praktis dan pengaruh
kerajaan sangatlah kuat.
Pola pemikiran Common Law lebih berorientasi pada pemecahan masalah
hukum secara konkrit dan praktis di forum pengadilan.Pemecahan masalah dalam
sistem Common Law bermula dari, dan dikembangkan oleh lembaga peradilan
melalui para praktisi hukum. Pencarian dan penggalian tentang hukum kebiasaan
yang dilakukan oleh para praktisi hukum bertujuan untuk menjawab kasus-kasus
hukum yang dibawa ke pengadilan. Oleh karena tidak ada kodifikasi, maka
peranan dan fungsi para ahli hukum yang menjadi pengacara maupun hakim lah
yang sangat menentukan kelangsungan dan keutuhan sistemCommon Law Inggris.
Maka dapat dikatakan bahwa metode pendekatan hukum dalam sistem Common
Law lebih pragmatis, konkrit, dan induktif (dari khusus menuju umum).

2
Lembaga Pengadilan dalam sistem Common Law memegang teguh prinsip
Stare Decisis yang berlaku terhadap putusan-putusan hakim yang menjadi
preseden. Stare Decisis diartikan sebagai prinsip hukum dalam hal mana seorang
hakim apabila menghadapi dua kasus hukum yang secara substansial mengandung
fakta-fakta atau unsur-unsur yang sama, harus mengambil keputusan yang sama
pula dikemudian hari.Stare Decisis menjadi gambaran keutamaan dari sumber
hukum Common Law yang berkembang dari hukum tidak tertulis dan kemudian
dikuatkan oleh hakim dalam memutuskan perkara. Keputusan hakim tersebut
memiliki kekuatan mengikat dan menjadi sumber hukum utama. Sedangkan
sumber hukum tertulis (Statute Law) dalam sistem Common Law memiliki
kedudukan hanya sebagai pelengkap, penegasan atau formalisasi dari apa yang
telah menjadi hukum kebiasaan.
Prinsip Freedom of Contract (Kebebasan Berkontrak)
Civil Law
Pasal 1320 BW yang berisikan syarat sahnya perjanjian menunjukkan bahwa
ketentuan tersebut sangat mendukung asas kebebasan berkontrak, karena orang
dapat bebas/ tidak dipaksa untuk sepakat atau tidak sepakat. Prinsip kebebasan
berkontrak berdasarkan Pasal 1320 BW mencakup:
1. Kebebasan untuk menentukan untuk membuat atau tidak membuat
perjanjian;
2. Kebebasan untuk memilih dengan phak mana akan dibuat suatu perjanjian;
3. Kebebasan untuk menetapkan isi perjanjian;
4. Kebebasan untuk menetapkan bentuk perjanjian;
5. Kebebasan untuk menetapkan cara pembuatan perjanjian.
Common Law
Dalam Common Law, penurunan kepercayaan terhadap asas kebebasan berkontrak
disebabkan secara khusus oleh:
1. Penggunaan perjanjian standar yang dilakukan oleh perusahaan-
perusahaan besar;
2. Menurunan kebebasan memilih (free choice) sebagai dasar perikatan.

3
Menilik pemaparan mengenai kebebasan berkontrak, maka dapat disimpulkan
bahwa terdapat perbedaan pemahaman mengenai kebebasan berkontrak antara
Sistem Common Law dan Sistem Civil Law. Perbedaan pemahaman tersebut
didasarkan oleh pandangan individualistik yang hidup dalam Civil Law. Namun
perlu diketahui, pemahaman Common Lawmengenai kebebasan berkontrak pun
telah nampak di Indonesia sebagai negara penganut Civil Law.
Prinsip Konsensualisme
Civil Law
Kesepakatan antar para pihak yang membuat perjanjian sesuai dengan Pasal 1320
BW, dianggap tidak ada apabila terdapat tiga halangan yang ditentukan dalam
Pasal 1321 BW, yakni:
1. Kekhilafan
Kekhilafan dapat terjadi mengenai barang (error in materia) dan terhadap
orang (error in persona) yang menjadi tujuan para phiak yang
mengadakan perjanjian. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 1322 BW.
2. Paksaan
Paksaan adalah perbuatan yang menimbulkan ketakutan pada orang yang
berpikiran sehat, bahwa dirinya terancam. Paksaan berupa paksaan fisik
bukan paksaan psikis. Pasal 1323-Pasal 1327 BW mengatur hal ini.
3. Penipuan
Penipuan terjadi apabila salah satu pihak dengan sengaja memberikan
keterangan-keterangan yang tidak benar, disertai dengan kelicikan,
sehingga pihak lain terbujuk karenanya untuk memberikan persetujuan.
Perjanjian yang terbentuk karena ada tiga hal tersebut, bukan merupakan suatu
perjanjian.
Common Law
Kesepakatan dianggap tidak terjadi apabila terdapat:
1. Mistake (kekeliruan/kekhilafan);
a. Common mistake: kekhilafan yang sama dari kedua belah pihak
b. Mutual mistake: kekhilafan yang berlainan dari kedua belah pihak

4
c. Unilateral mistake: kekhilafan yang terjadi pada salah satu pihak
saja
2. Dures (paksaan);
Paksaan haruslah memenuhi dua unsur:
a. Paksaan terhadap kemauan dari korban dan
b. Paksaan tersebut melawan hukum.
3. Misrepresentation (kebohongan, penipuan).
a. Innocent misrepresentation: suatu misrepresentation yang oleh
pelakunya dianggap sebagai perilaku yang benar;
b. Fraudulent misrepresentation: misrepresentation yang oleh
pelakunya memang diyakini sebagai perilaku yang tidak benar.
Dari penjelasan mengenai prinsip konsensualisme antara Sistem Civil Law dan
Sistem Common Law, terlihat persamaan unsur mengenai halangan terhadap
kesepakatan perjanjian. Namun terdapat persamaan mendasar yang juga
mencerminkan perbedaan kedua sistem hukum tersebut, yakni pola perumusan
peraturan. Pola perumusan peraturan dalam Civil Law cenderung bersifat umum
dan abstrak, dibutuhkan penafsiran tambahan dalam memecahkan suatu persoalan
berkaitan dengan prinsip konsensualisme. Sementara dalam Common Law, pola
perumusan peraturan lebih bersifat pragmatis dan konkrit. Faktor metode
pendekatan deduktif dari Civil Law dan metode pendekatan induktif dari Common
Law memiliki pengaruh yang signifikan.
Doktrin Pacta Sunt Servanda
Civil Law
Suatu kontrak mengikat sebagai undang-undang (pacta sunt servanda) karena
dinyatakan demikian oleh undang-undang. Ketentuan tersebut termaktub dalam
Pasal 1338 BW.
Common Law
Sistem Common Law tidak menyebutkan bahwa perjanjian mengikat sebagai
undang-undang, melainkan:
1. Perjanjian “must be observed”;
2. Perjanjian “shall be held sacred”.

5
Dari pemaparan tersebut dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan perspektif
terhadap pascta sunt servanda. Perbedaan tersebut berakar dari pemahaman
sistem hukum masing-masing karena dipengaruhi pola pemikiran hukum yang
berbeda. Namun tujuan dari asas pacta sunt servandabaik dalam Civil Law
maupun Common Law adalah perjanjian haruslah ditaati.
Kontrak sebagai Kaidah Hukum Privat
Civil Law
Berdasarkan Pasal 1338 BW, perjanjian yang dibuat secara sah akan berlaku
sebagai undang-undang bagi para pembuatnya. Perjanjian adalah mengikat
sebagai hukum terhadap para pihak yang membuatnya sehingga para pihak terikat
pada isi perjanjian.
Pasal 1339 BW, menyebutkan bahwa perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat
untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan dalamnya, tetapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau
undang-undang.
Akibat hukum tersebut adalah mengikat para pihak yang membuatnya untuk
menaati:
1. Isi perjanjian;
2. Kepatutan;
3. Kebiasaan;
4. Undang-undang.
Common Law
Dalam Sistem Common Law, akibat hukum dari isi perjanjian pun mengikat para
pihak yang membuatnya untuk menaati ketentuan yang sama dalam Civil Law.
Perbedaan dari keduanya adalah mengenai kepatutan dan kebiasaan. Kepatutan
dan kebiasaan yang terdapat dalam kedua sistem hukum tersebut cenderung
berbeda. Penafsiran dalam Civil Law cenderung lebih luas dan hanya hal-hal
tertentu saja yang diatur, disamping itu kebebasan untuk berkontrak sangat
dijunjung. Sementara dalam Common Law, kebiasaan dan kepatutan berdasarkan
kebiasaan-kebiasaan yang diterapkan sejak lama.

6
Prinsip Privity of Contract (Ekslusivitas Kontrak)
Civil Law
Doktrin privity of contract diatur dalam Pasal 1315 BW dan Pasal 1340 BW yang
menyebutkan bahwa seseorang hanya dapat mengadakan perjanjian untuk dirinya
sendiri dan perjanjian hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya.Namun
terdapat pengecualian terhadap kedua pasal tersebut yang terdapat dalam Pasal
1316 BW (Perjanjian Garansi) dan 1317 BW(derden beding) yang seirama
dengan doktrin ius quaesitim tertio hukum Romawi.
Common Law
Prinsip privity of contract sangatlah ditekankan dalam Common Law. Keangkuhan
Common Law mengakibatkan doktrin ius quaesitum tertio tidak diakui.
Penegasannya nampak dalam pemahaman Common Law mengenai privity of
contract, yakni suatu kontrak tidak dapat melimpahkan hak atau kewajiban
kepada pihak yang bukan pihak dalam kontrak. Dapat dijabarkan bahwa:
1. Tiada seorang pun dapat memperoleh hak-hak dari suatu perjanjian di
mana ia bukan pihak dalam perjanjian itu;
2. Tiada seorang pun dapat dibebani tanggung jawab dalam suatu perjanjian
di mana ia bukan pihak dalam perjanjian itu.
Berdasarkan penjelasan mengenai privity of contract, dapat disimpulkan bahwa
hukum Romawi sangat mempengaruhi perkembangan Civil Law. Legal transplant
dari Hukum Romawi menjadi kunci atau indikator dalam Civil Law. Dalam hal
ini, Common Law tidak berusaha membuka kepribadian terhadap perkembangan
yang ada (hukum otonom).

Anda mungkin juga menyukai