Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG


Sebagai mahluk sosial manusia selalu berhubungan dengan manusia
lainnya. Interaksi yang terjalin dalam komunikasi tersebut tidak hanya
berdimensi kemanusiaan dan sosial budaya, namun juga menyangkut aspek
hukum, termasuk perdata. Naluri untuk mempertahankan diri, keluarga dan
kepentingannya membuat manusia berfikir untuk mengatur hubungan usaha
bisnis mereka ke dalam sebuah perjanjian
Salah satu bidang hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban
yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum
perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum
publik. Maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga
negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan,
perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, perjanjian, kegiatan usaha dan
tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.
Hukum Perdata adalah hukum antar perorangan yang mengatur hak dan
kewajiban perorangan yang satu terhadap yang lain di dalam hubungan keluarga
dan di dalam pergaulan masyarakat. Pelaksanaannya diserahkan kepada
masing-masing pihak.Perkataan “Hukum Perdata” dalam arti yang luas meliputi
semua hukum privat materiil, yaitu segala hukum pokok yang mengatur
kepentingan-kepentingan perseorangan. Keberadaan hukum perdata yang
mengatur hubungan sesama manusia atau masyarakat merupakan warisan
peninggalan politik Pemerintah Hindia Belanda. Pedoman politik bagi
Pemerintah Hindia Belanda terhadap hukum di Indonesia dituliskan dalam pasal
131 Indische staatsregeling, yang dalam pokoknya sebagai berikut:
Pemerintah Hindia Belanda melakukan modifikasi atas hukum perdata
dengan memuat sekumpulan peraturan perundang-undangan dalam suatu kitab
yang bernama “Burgerlijk Wetboek” yang sekarang dikenal dengan istilah
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, selanjutnya disebut KUHPer. Kitab
hasil peninggalan warisan pemerintah Hindia Belanda ini hingga kini masih
berlaku sebagai pedoman hukum materil. Adapun sistematika yang dipakai oleh
KUHPer yang terdiri atas empat buku ini adalah sebagai berikut:
a) Buku I yang bertitel “Perihal Orang”, memuat hukum tentang diri
seseorang dan Hukum

Keluarga.
b) Buku II yang bertitel “Perihal Benda”, memuat hukum perbendaan serta
Hukum Waris.
c) Buku III yang bertitel “Perihal Perikatan”, memuat hukum kekayaan
yang mengenai hak-

hak dan kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak


tertentu.
d) Buku IV yang bertitel “perihal pembuktian dan Lewat Waktu
(Daluarsa), memuat perihal alat-alat pembuktian dan akibat lewat
terhadap hubungan-hubungan hukum.

I.2 IDENTIFIKASI MASALAH

Dari latar belakang tersebut, Penulis akan membatasi pokok bahasan makalah
ini. Kami membatasi masalah menjadi :
1. Pengertian hukum dan perjanjian kontrak

2. Aturan Mengenai dasar-dasar hukum prtjanjian kontrak


3. karakteristik hukum perjanjian &kontrak

I.3 PERUMUSAN MASALAH

-Apakah yang dimaksud dengan hukum perjanjian & kontrak?

-Apa saja yang menjadi dasar hukum perjanjian & kontrak?

-Apa saja asas-asas yang terdapat dalam hukum perjanjian & kontrak?

-Apa saja penyebab batalnya perjanjian/kontrak?

1.4 TUJUAN PENULISAN

1. Untuk mengetahui apa dasar-dasar hukum dan perjanjian kontrak

2. Untuk mengetahui sistem pengaturan hukum dan perjanjian kontrak

3. Untuk mengetahui Asas-asas hukum perjanjian kontrak


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. HUKUM PERIKATAN

A. Pengertian Hukum Perikatan

Hukum perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam


lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu
berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum
dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari
suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari
rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum
harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga
(family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang
hukum pribadi(pers onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan
adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau
lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban
atas sesuatu. Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai
perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum
yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak
yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu
prestasi.
Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak
berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah
melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-
undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat
sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati
dalam perjanjian. Contohnya; perjanjian untuk tidak mendirikan bangunan yang
sangat tinggi sehingga menutupi sinar matahari atau sebuah perjanjian agar
memotong rambut tidak sampai botak

B. Dasar hukum perikatan

Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah


perjanjian dan undang- undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi
lagi menjadi undang-undang melulu dan undang-undang dan perbuatan
manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi
perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah
sebagai berikut:

1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian)

2. Perikatan yang timbul dari undang-undang

3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan


melanggar hukum ( onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela
( zaakwaarneming )

Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :


1. Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena
suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan
untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak
berbuat sesuatu.
2. Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah
suatu perbuatan
dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang
lain atau lebih.
3. Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir
karena undang- undang timbul dari undang-undang atau dari
undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
C. Asas-asas hukum perikatan

a) 1. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme dapat disimpulkan dari Pasal 1320


ayat 1 KUHPdt. Pasal 1320 KUHPdt : untuk sahnya suatu
perjanjian diperlukan empat sarat :
(1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

(2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

(3) suatu hal tertentu

(4) suatu sebab yang halal.

Pengertian kesepakatan dilukiskan dengan sebagai pernyataan kehendak bebas


yang disetujui antara pihak-pihak ASAS-ASAS HUKUM PERIKATAN

b) 2. Asas Pacta Sun Servanda

Asas pacta sun servanda berkaitan dengan akibat suatu perjanjian. Pasal 1338
ayat (1) KUHPdt:

• Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang….”


• Para pihak harus menghormati perjanjian dan melaksanakannya
karena perjanjian itu merupakan kehendak bebas para pihakASAS-ASAS
HUKUM PERIKATAN

c) 3. Asas Kebebasan Berkontrak

Pasal 1338 KUHPdt : “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undangundang bagi mereka yang membuatnya”
Ketentuan tersebut memberikan kebebasan parapihak untuk :

• Membuat atau tidak membuat perjanjian;

• Mengadakan perjanjian dengan siapapun;


• Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;

• Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

ASAS-ASAS HUKUM PERIKATAN

Di samping ketiga asas utama tersebut, masih terdapat beberapa asas hukum
perikatan nasional, yaitu :
1. Asas kepercayaan;

2. Asas persamaan hukum;

3. Asas keseimbangan;

4. Asas kepastian hukum;

5. Asas moral;
6. Asas kepatutan;

7. Asas kebiasaan;

8. Asas perlindungan;

D. Hapusnya Perikatan

Dalam KUHpdt (BW) tidak diatur secara khusus apa yang


dimaksud berakhirnya perikatan, tetapi yang diatur dalam Bab IV buku III BW
hanya hapusnya perikatan. Pasal 1381 secara tegas menyebutkan sepuluh cara
hapusnya perikatan. Cara-cara tersebut adalah:
• Pembayaran.

• Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan


(konsignasi).

• Pembaharuan utang (novasi).

• Perjumpaan utang atau kompensasi.


• Percampuran utang (konfusio).

• Pembebasan utang.

• Musnahnya barang terutang.

• Batal/ pembatalan.

• Berlakunya suatu syarat batal.


• Dan lewatnya waktu (daluarsa).

Terkait dengan Pasal 1231 perikatan yang lahir karena undang-


undang dan perikatan yang lahir karena perjanjian. Maka berakhirnya perikatan
juga demikian. Ada perikatan yang berakhir karena perjanjian seperti
pembayaran, novasi, kompensasi, percampuran utang, pembebasan utang,
pembatalan dan berlakunya suatu syarat batal. Sedangkan berakhirnya perikatan
karena undang–undang diantaranya; konsignasi, musnahnya barang terutang
dan daluarsa.
Agar berakhirnya perikatan tersebut dapat terurai jelas maka perlu
dikemukakan beberapa item yang penting, perihal defenisi dan ketentuan-
ketentuan yang mengaturnya sehinga suatu perikatan/ kontrak dikatakan
berakhir:
d) Pembayaran

Berakhirnya kontrak karena pembayaran dijabarkan lebih lanjut dalam


Pasal 1382 BW sampai dengan Pasal 1403 BW. Pengertian pembayaran dapat
ditinjau secara sempit dan secara yuridis tekhnis.
Pembayaran dalam arti sempit adalah pelunasan utang oleh debitur
kepada kreditur, pembayaran seperti ini dilakukan dalam bentuk uang atau
barang. Sedangkan pengertian pembayaran dalam arti yuridis tidak hanya dalam
bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk jasa seperti jasa dokter, tukang bedah,
jasa tukang cukur atau guru privat.
Suatu maslah yang sering muncul dalam pembayaran adalah masalah
subrogasi. Subrogasi adalah penggantian hak-hak siberpiutang (kreditur) oleh
seorang ketiga yang membayar kepada siberpiutang itu. Setelah utang dibayar,
muncul seorang kreditur yang baru menggantikan kreditur yang lama. Jadi
utang tersebut hapus karena pembayaran tadi, tetapi pada detik itu juga hidup
lagi dengan orang ketiga tersebut sebagai pengganti dari kreditur yang lama.
e) Konsignasi
Konsignasi terjadi apabila seorang kreditur menolak pembayaran yang
dilakukan oleh debitur, debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai
atas utangnya, dan jika kreditur masih menolak, debitur dapat menitipkan uang
atau barangnya di pengadilan.
f) Novasi

Novasi diatur dalam Pasal 1413 Bw s/d 1424 BW. Novasi adalah
sebuah persetujuan, dimana suatu perikatan telah dibatalkan dan sekaligus suatu
perikatan lain harus dihidupkan, yang ditempatkan di tempat yang asli. Ada tiga
macam jalan untuk melaksanakan suatu novasi atau pembaharuan utang yakni:
Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru
guna orang yang mengutangkannya, yang menggantikan utang yang lama yang
dihapuskan karenanya. Novasi ini disebut novasi objektif.
Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang
berutang lama, yang oleh siberpiutang dibebaskan dari perikatannya (ini
dinamakan novasi subjektif pasif).
Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru
ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, terhadap siapa si berutang
dibebaskan dari perikatannya (novasi subjektif aktif)
g) Kompensasi
Kompensasi atau perjumpaan utang diatur dalam Pasal 1425 BW s/d
Pasal 1435 BW. Yang dimaksud dengan kompensasi adalah penghapusan
masing-masing utang dengan jalan saling memperhitungkan utang yang sudah
dapat ditagih antara kreditur dan debitur (vide: Pasal 1425 BW). Contoh: A
menyewakan rumah kepada si B seharga RP 300.000 pertahun. B baru
membayar setengah tahun terhadap rumah tersebut yakni RP 150.000. Akan
tetapi pada bulan kedua A meminjam uang kepada si B sebab ia butuh uang
untuk membayar SPP untuk anaknya sebanyak Rp 150.000. maka yang
demikianlah antara si A dan si b terjadi perjumpaan utang.
h) Konfusio
Konfusio atau percampuran utang diatur dalam Pasal 1436 BW s/d
Pasal 1437 BW. Konfusio adalah percampuran kedudukan sebagai orang yang
berutang dengan kedudukan sebagai kreditur menjadi satu (vide: Pasal 1436).
Misalnya si debitur dalam suatu testamen ditunjuk sebagai waris tunggal oleh
krediturnya, atau sidebitur kawin dengan krediturnya dalam suatu persatuan
harta kawin.

II. HUKUM PERJANJIAN

A. Pengertian Hukum Perjanjian

Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada


orang lainnya atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan suatu
hal. Kontrak atau contracts (dalam bahasa Inggris) dan overeenskomst (dalam
Bahasa Belanda) dalam pengertian yang lebih luas kontrak sering dinamakan
juga dengan istilah perjanjian.

Istilah “kontrak” atau “perjanjian” dalam sistem hukum nasional


memiliki pengertian yang sama, seperti halnya di Belanda tidak dibedakan
antara pengertian “contract” dan “overeenkomst”. Kontrak adalah suatu
perjanjian (tertulis) antara dua atau lebih orang (pihak) yang menciptakan hak
dan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu.

Definisi perjanjian/ kontrak menurut para ahli :

Menurut UU KUH Perdata dalam Buku 2 bab 1 tentang Perikatan pasal


1313, menyebutkan Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan di mana satu
orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih

Setiawan menilai bahwa rumusan Pasal 1313 BW tersebut selain tidak


lengkap juga terlalu luas. Dinilai tidak lengkap karena hanya menyebutkan
persetujuan sepihak saja. Disebut sangat luas karena kata “perbuatan”
mencakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum.
Karenanya, Setiawan mengusulkan perumusannya menjadi “perjanjian adalah
perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih

B. Macam – Macam Perjanjian

a) Perjanjian Konsensuil dan Perjanjian Formil


1. Perjanjian Konsensuil merupakan perjanjian yang dianggap sah
kalau sudah ada consensus diantara para pihak yang membuat.
Perjanjian semacam ini untuk sahnya tidak memerlukan bentuk
tertentu.
2. Perjanjian Formil merupakan suatu perjanjian yang harus
diadakan dengan bentuk tertentu, seperti harus dibuat dengan
akta notariil. Jadi perjanjian semacam ini baru dianggap sah jika
dibuat dengan akta notaris dan tanpa itu maka perjanjian
dianggap tidak pernah ada

b) Perjanjian Sepihak dan Perjanjian Timbal Balik


1. Perjanjian Sepihak merupakan suatu perjanjian dengan mana hak
dan kewajiban hanya ada pada salah satu pihak saja. (contoh :
perjanjian hibah/pemberian, maka dalam hal itu yang dibebani
kewajiban hanya salah satu pihak, yaitu pihak yang member, dan
pihak yang diberi tidak dibebani kewajiban untuk berprestasi
kepada
pihak yang memberi).
2. Perjanjian Timbal Balik merupakan suatu perjanjian yang
membebankan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak
(misal : perjanjian jual-beli, perjanjian tukar- menukar, dll.).
c) Perjanjian Obligatoir dan Perjanjian Zakelijk
1. Perjanjian Obligatoir merupakan suatu perjanjian yang hanya
membebankan kewajiban bagi para pihak, sehingga dengan
perjanjian di situ baru menimbulkan perikatan (contoh: pada
perjanjian jual-beli, maka dengan sahnya perjanjian jual- beli itu
belum akan menyebabkan beralihnya benda yang dijual. Tetapi
dari perjanjian itu menimbulkan perikatan, yaitu bahwa pihak
penjual diwajibkan menyerahkan barang dan pihak pembeli
diwajibkan membayar sesuai dengan harganya. Selanjutnya
untuk beralihnya suatu benda secara nyata harus ada
levering/penyerahan, baik secara yuridis maupun empiris) .
2. Perjanjian Zakelijk merupakan perjanjian penyerahan benda atau
levering yang menyebabkan seorang yang memperoleh itu
menjadi mempunyai hak milik atas benda yang bersangkutan.
Jadi perjanjian itu tidak menimbulkan perikatan, dan justru
perjanjian itu sendiri yang menyebabkan beraluhnya hak milik
atas benda.
d) Perjanjian Pokok dan Perjanjian Accessoir
1. Perjanjian Pokok merupakan suatu perjanjian yang dapat berdiri
sendiri tanpa bergantung pada perjanjian yang lainnya (contoh :
perjanjian jual-beli, perjanjian
kredit, dll.).
2. Perjanjian Accessoir merupakan suatu perjanjian yang
keberadaannya tergantung pada perjanjian pokok. Dengan
demikian perjanjian accessoir tidak dapat berdiri sendiri tanpa
adanay perjanjian pokok (contoh : perjanjian hak tanggungan,
perjanjian pand, perrjanjian penjaminan, dll.).
e) Perjanjian Bernama dan Perjanjian tidak Bernama
1. Perjanjian Bernama merupakan perjanjian-perjanjian yang
disebut serta diatur dai dlam Buku III KUHPerdata atau di dalam
KUHD, seperti : perjanjian jual-beli, perjanjian pemberian
kuasa, perjanjian kredit, perjanjian asuransi, dll.
2. Perjanjian tidak Bernama merupakan perjanjian yang tidak diatur
dalam KUH Perdata dan KUHD, antara lain : perjanjian
penyerahan hak milik sebagai jaminan, perjanjian jual-beli
dengan angsuran/cicilan.

C. Syarat Sahnya Perjanjian

Menurut Pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata,


sahnya perjanjian harus memenuhi empat syarat yaitu :

Sepakat untuk mengikatkan diri Sepakat maksudnya adalah bahwa


para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju untuk
seia sekata mengenai segala sesuatu yang diperjanjikan. Kata sepakat ini
harus diberikan secara bebas, artinya tidak ada pengaruh dipihak ketiga dan
tidak ada gangguan.

Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian Kecakapan untuk


membuat suatu perjanjian berarti mempunyai wewenang untuk membuat
perjanjian atau mngadakan hubungan hukum.
Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya
adalah cakap menurut hukum.

Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian.


Syarat ini diperlukan untuk dapat menentukan kewajiban debitur jika terjadi
perselisihan. Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian
harus mempunyai sebagai suatu pokok yang paling sedikit ditetapkan
jenisnya.

Sebab yang halal Sebab ialah tujuan antara dua belah pihak yang
mempunyai maksud untuk mencapainya. Menurut Pasal 1337 KUHPerdata,
sebab yang tidak halal ialah jika ia dilarang oleh Undang Undang,
bertentangan dengan tata susila atau ketertiban. Menurut Pasal 1335
KUHPerdata, perjanjian tanpa sebab yang palsu atau dilarang tidak
mempunyai kekuatan atau batal demi hukum.

D. UNSUR- UNSUR PERJANJIAN

Dalam hukum perjanjian, banyak para ahli membedakan perjanjian


menjadi perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama. Yang dinamakan
perjanjian bernama adalah perjanjian khusus yang diatur dalam KUHPerdata
mulai dari Bab V sampai Bab XVIII. Sedangkan perjanjian tidak bernama
adalah perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata (atau sering disebut
perjanjian khusus). Tetapi yang terpenting adalah sejauh mana kita dapat
mennetukan unsur-unsur pokok dari suatu perjanjian, dengan begitu kita bisa
mengelompokkan suatu perbuatan sebagaimana yang disebutkan dalam pasal
1234 tentang jenis perikatan.

Terdapat 3 unsur dalam perjanjian, yaitu :


a) Unsur Essensialia

Unsur essensialia adalah sesuatu yang harus ada yang merupakan hal
pokok sebagai syarat yang tidak boleh diabaikan dan harus dicantumkan dalam
suatu perjanjian.Bahwa dalam suatu perjanjian haruslah mengandung suatu
ketentuan tentang prestasi-prestasi. Hal ini adalah penting disebabkan hal inilah
yang membedakan antara suatu perjnajian dengan perjanjian lainnya.

Unsur Essensialia sangat berpengaruh sebab unsur ini digunakan untuk


memberikan rumusan, definisi dan pengertian dari suatu perjanjian. Jadi essensi
atau isi yang terkandung dari perjanjian tersebut yang mendefinisikan apa
bentuk hakekat perjanjian tersebut. Misalnya essensi yang terdapat dalam
definisi perjanjian jual beli dengan perjanjian tukar menukar. Maka dari definisi
yang dimuat dalam definisi perjanjian tersebutlah yang membedakan antara jual
beli dan tukar menukar.

Jual beli (Pasal 1457) : Suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu
mengikatkan diri untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk
membayar harga yang dijanjikan. Tukar menukar (Pasal 1591) Suatu perjanjian
dengan mana kedua belah pihak mengikatkan diri untuk saling memberikan
suatu barang secara timbal balik sebagai suatu ganti barang lain.

Dari definsi tersebut diatas maka berdasarkan essensi atau isi yang
dikandung dari definisi diatas maka jelas terlihat bahwa jual beli dibedakan
dengan tukar menukar dalam wujud pembayaran harga. Maka dari itu unsur
essensialia yang terkandung dalam suatu perjanjian menjadi pembeda antara
perjanjian yang satu dengan perjanjian yang lain. Semua perjanjian
bernama yang diatur dalam buku III bagian kedua memiliki perbedaan unsur
essensialia yang berbeda antara yang satu dengan perjanjian yang lain.
b) Unsur Naturalia

Naturalia adalah ketentuan hukum umum, suatu syarat yang biasanya


dicantumkan dalam perjanjian. Unsur-unsur atau hal ini biasanya dijumpai
dalam perjanjian-perjanjian tertentu, dianggap ada kecuali dinyatakan
sebaliknya. Merupakan unsur yang wajib dimiliki oleh suatu perjanjian yang
menyangkut suatu keadaan yang pasti ada setelah diketahui unsur
essensialianya. Jadi terlebih dahulu harus dirumuskan unsur essensialianya baru
kemudian dapat dirumuskan unsur naturalianya. Misalnya jual beli unsur
naturalianya adalah bahwa si penjual harus bertanggung jawab terhadap
kerusakan-kerusakan atau cacat-cacat yang dimiliki oleh barang yang dijualnya.
Misalnya membeli sebuah televisi baru. Jadi unsur essensialia adalah usnur
yang selayaknya atau sepatutnya sudah diketahui oleh masyarakat dan dianggap
suatu hal yang lazim atau lumrah.

c) Unsur Accidentalia
Yaitu berbagai hal khusus (particular) yang dinyatakan dalam perjanjian
yang disetujui oleh para pihak. Accidentalia artinya bisa ada atau diatur, bisa
juga tidak ada, bergantung pada keinginan para pihak, merasa perlu untuk
memuat ataukah tidak. Selain itu aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam
suatu perjanjian yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara
menyimpang oleh para pihak, sesuai dengan kehendak para pihak yang
merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para
pihak. Jadi unsur aksidentalia lebih menyangkut mengenai faktor pelengkap
dari unsur essensialia dan naturalia, misalnya dalam suatu perjanjian harus ada
tempat dimana prestasi dilakukan.

III. PERBEDAAN ANTARA PERJANJIAN DAN PERIKATAN


Kata perjanjian dan kata perikatan merupakan istilah yang telah dikenal
dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Pada dasarnya
KUHPerdata tidak secara tegas memberikan definisi dari perikatan, akan tetapi
pendekatan terhadap pengertian perikatan dapat diketahui dari pengertian
perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang didefinisikan sebagai suatu
perbuatan hukum dengan mana salah satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih.
Sekalipun dalam KHUPerdata definisi dari perikatan tidak dipaparkan
secara tegas, akan tetapi dalam pasal 1233 KUHPerdata ditegaskan bahwa
perikatan selain dari Undang-undang, perikatan dapat juga dilahirkan dari
perjanjian. Dengan demikian suatu perikatan belum tentu merupakan perjanjian
sedangkan perjanjian merupakan perikatan. Dengan kalimat lain, bila definisi
dari pasal 1313 KUHPerdata tersebut dihubungkan dengan maksud dari pasal
1233 KUHPerdata, maka terlihat bahwa pengertian dari perikatan, karena
perikatan tersebut dapat lahir dari perjanjian itu sendiri.
Sebagai bahan perbandingan untuk membantu memahami perbedaan
dua istilah tersebut, perlu dikutip pendapat Prof Subekti dalam bukunya Hukum
Perjanjian mengenai perbedaan pengertian dari perikatan dengan perjanjian.
Beliau memberikan definisi dari perikatan sebagai berikut:
“Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang
atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal
dari pihak lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan
itu.” Sedangkan perjanjian didefinisikan sebagai berikut:
“Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada
seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal.”
Hakekat antara perikatan dan perjanjian pada dasarnya sama, yaitu
merupakan hubungan hukum antara pihak-pihak yang diikat didalamnya,
namun pengertian perikatan lebih luas dari perjanjian, sebab hubungan hukum
yang ada dalam perikatan munculnya tidak hanya dari perjanjian tetapi juga dari
aturan perundang-undangan. Hal lain yang membedakan keduanya adalah
bahwa perjanjian pada hakekatnya merupakan hasil kesepakatan para pihak,
jadi sumbernya benar-benar kebebasan pihak-pihak yang ada untuk diikat
dengan perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata.
Sedangkan perikatan selain mengikat karena adanya kesepakatan juga mengikat
karena diwajibkan oleh undang undang, contohnya perikatan antara orangtua
dengan anaknya muncul bukan karena adanya kesepakatan dalam perjanjian
diantara ayah dan anak tetapi karena perintah undang-undang.
Selain itu, perbedaan antara perikatan dan perjanjian juga terletak pada
konsekuensi hukumnya. Pada perikatan masing-masing pihak mempunyai hak
hukum untuk menuntut pelaksanaan prestasi dari masing-masing pihak yang
telah terikat. Sementara pada perjanjian tidak ditegaskan tentang hak hukum
yang dimiliki oleh masing-masing pihak yang berjanji apabila salah satu dari
pihak yang berjanji tersebut ternyata ingkar janji, terlebih karena pengertian
perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata menimbulkan kesan seolah-olah
hanya merupakan perjanjian sepihak saja. Definisi dalam pasal tersebut
menggambarkan bahwa tindakan dari satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih, tidak hanya merupakan suatu perbuatan
hukum yang mengikat tetapi dapat pula merupakan perbuatan tanpa
konsekuensi hukum.
Konsekuensi hukum lain yang muncul dari dua pengertian itu adalah
bahwa oleh karena dasar perjanjian adalah kesepakatan para pihak, maka tidak
dipenuhinya prestasi dalam perjanjian menimbulkan ingkar janji (wanprestasi),
sedangkan tidak dipenuhinya suatu prestasi dalam perikatan menimbulkan
konsekuensi hukum sebagai perbuatan melawan hukum (PMH).
Berdasarkan pemahaman tersebut jelaslah bahwa adanya perbedaan
pengertian antara perjanjian dan perikatan hanyalah didasarkan karena lebih
luasnya pengertian perikatan dibandingkan perjanjian. Artinya didalam hal
pengertian perjanjian sebagai bagian dari perikatan, maka perikatan akan
mempunyai arti sebagai hubungan hukum atau perbuatan hukum yang mengikat
antara dua orang atau lebih, yang salah satu pihak mempunyai kewajiban untuk
memenuhi prestasi tersebut. Bila salah satu pihak yang melakukan perikatan
tersebut tidak melaksanakan atau terlambat melaksanakan prestasi, pihak yang
dirugikan akibat dari perbuatan melawan hukum tersebut berhak untuk
menuntut pemenuhan prestasi atau penggantian kerugian dalam bentuk biaya,
ganti rugi dan bunga.
Uraian diatas memperlihatkan bahwa perikatan dapat meliputi dua arti,
yaitu pada satu sisi sebagai perjanjian yang memang konsekuensi hukumnya
sangat tergantung pada pihak-pihak yang terikat didalamnya, dan pada sisi lain
merupakan perikatan yang mempunyai konsekuensi hukum yang jelas.
Sekalipun perjanjian sebagai suatu perikatan muncul bukan dari undang- udang
tetapi memiliki kekuatan hukum yang sama dengan perikatan yang muncul dari
undang- undang, yaitu berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang diikat
didalamnya.
BAB III

PEMBAHASAN

I. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam KUHP dan Kompilasi HES

A. Nama : Jual Beli

Sumber : Pasal 1457, 1458, 1473, 1474, 1481, 1483, 1491, 1513,
1517
KUHPerdata

Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain
untuk membayar harga yang dijanjikan. Jual beli dianggap telah terjadi antara
kedua belah pihak, segera setelah oarng orang itu mencapai kesepakatan tentang
barang tersebut beserta harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan
harganya belum dibayar.

 Hak dan Kewajiban :


 Kewajiban pihak I (penjual)
1. Penjual wajib menyatakan dengan jelas untuk apa ia mengikatkan
dirinya
2. Penjual wajib menyerahkan barangnya dan menanggungnya
3. Biaya penyerahan dipikul oleh penjual, sedangkan biaya
pengambilan dipikul oleh pembeli
4. Barang yang bersangkutan harus diserahkan dalam keadaan seperti
pada waktu
penjualan
5. Penjual wajib menyerahkan barang yang dijual dalam keadaan
utuh, sebagaimana dinyatakan dalam persetujuan
6. Penjual wajib menjamin dua hal, yaitu: pertama, penguasaan
barang yang dijual itu
secara aman dan tentram; kedua, tiadanya cacat yang tersembunyi
pada barang tersebut.
 Kewajiban pihak II (pembeli)
1. Kewajiban utama pembeli adalah membayar harga pembelian pada
watu dan di tempat yang ditetapkan dalam persetujuan
2. Jika pada waktu membuat persetujuan tidak ditetapkan hal-hal
itu, pembeli harus
membayar di tempat dan waktu pembayaran.
 Hak pihak I (penjual)
1. Penjual berhak mendapatkan bayaran(imbalan) atas barang yang
dijual
2. Penjual dapat menuntut pembatalan jual beli, jika pembeli tidak
membayar harga pembelian, seperti yang telah dissepakati
 Hak Pihak II (pembeli)

1. Pembeli memiliki hak untuk menawar


2. Pembeli berhak untuk meneruskan atau membatalkan jual beli

3. Pembeli berhak atas kepemilikan barang yang dibeli

B. Nama : Sewa Menyewa

Sumber : Pasal 1548, 1550, 1560, 1564 KUHP

Sewa menyewa adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu
mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak
yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu barang yang
disanggupi oleh pihak tersebut.

 Hak dan Kewajiban :


 Kewajiban pihak I (pihak yang menyewakan)
1. Menyewakan barang yang disewakan kepada penyewa
2. Memelihara barang itu sedemikian rupa sehingga dapat dipakai
untuk keperluan yang dimaksud
3. Memberikan hak kepada penyewa untuk menikmati barang yang
disewakan itu
dengan tenteram selama berlangsungnya sewa.
 Kewajiban pihak II (penyewa):
1. Memakai barang sewa sebagai seorang kepala rumah tangga yang
baik, sesuai dengan tujuan barang itu menurut persetujuan sewa
atau jika tidak ada persetujuan mengenai hal itu, sesuai dengan
tujuan barang itu menurut persangkaan menyangkut keadaan
2. Membayar harga sewa pada waktu yang telah ditentukan.
3. Penyewa bertanggung jawab atas segala kerusakan yang
ditimbulkan pada barang yang disewakan selama waktu sewa,
kecuali jika ia membuktikan bahwa kerusakan itu terjadi di luar
kesalahannya
 Hak pihak I (pihak yang menyewakan):
1. Mendapatkan atas upah barang yang disewakan
2. Mendapatkan kembali barang yang disewakan ketika telah berakhir
masa sewa
3. Mendapatkan barng yang disewakan masih sama seperti semula
atau seperti ketika barang diberikan untuk disewakan.
 Hak pihak II (penyewa):

1. Mendapatkan manfaat atas barang yang disewa


2. Mendapatkan kenyamanan atas barang yang disewakan

C. Nama : Penghibahan
Sumber : Pasal 1668, 1669, 1672 KUHP

Penghibahan adalah suatu persetujuan dengan mana seoarang penghibah


menyerahkan suatu barang secra cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali,
untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu.

 Hak dan Kewajiban :


 Kewajiban pihak I (Penghibah):
1. Penghibah tidak boleh menjanjikan bahwa ia tetap berkuasa untuk
menggunakan hak miliknya atas barang yang dihibahkan itu
2. Penghibah tidak boleh meminta syarat tertentu atas barang yang
dihibahkan, karena
sifat hibah yang diberikan cuma-cuma
 Kewajiban pihak II (pihak yang diserahi barang hibah):

1. Penerima hibah wajib mengelola barang hibah dengan baik dan


benar

 Hak Pihak I (Penghibah)


1. Penghibah boleh memperjanjikan bahwa ia tetap berhak
menikmati atau memungut hasil barang yang bergerak atau barang
tak bergerak yang dihibahkan
2. Penghibah boleh member syarat, bahwa barang yang dihibahkan itu
akan embali
padanya bila orang yang diberi hibah atau ahli warisnya
meninggal dunia lebih dahulu dari penghibah
Hak pihak II (pihak yang diserahi barang hibah):
1. Pihak yang diserahi barang hibah berhak menggunakan barang
hibah sesuai dengan keinginannya
2. Pihak yang diserahi barang hibah berhak menggunakan manfaat
atau kegunaan dari
barang yang dihibahkan

Anda mungkin juga menyukai