Anda di halaman 1dari 9

HUKUM PERIKATAN

PENGERTIAN HUKUM & PERIKATAN

Hukum adalah ketetapan , peraturan , ketentuan yang telah disepakati oleh


masyarakat dan para penegak hukum , yang harus dilaksanakan dengan
sebaik – baiknya . Hukum mengandung sanksi-sanksi tertentu untuk
diterapkan pada para pelanggar hukum.

KUH Perdata tidak memberikan secara rinci tentang Pengertian atau Definisi
Perikatan, sehigga Perumusan mengenai Pengertian atau Definisi Perikatan
pada umumnya diberikan oleh para sarjana. Dengan demikian Pengertian
atau definisi Perikatan adalah merupakan doktrin atau ajaran atau hanya ada
dalam lapangan Ilmu Pengetahuan, bukan merupakan ketentuan yang
mengikat yang meliputi baik dari segi kreditur maupun dari segi debitur
(subyek dalam perikatan)

ISTILAH HUKUM PERIKATAN

Dalam Buku III BW yang berjudul “van Verbintenissen”, di mana istilah ini
juga merupakan istilah lain yang dikenal dalam Code Civil Perancis, istilah
mana diambil dari hukum Romawi yang terkenal dengan istilah “obligation”.
Istilah verbintenis dalam BW (KUHPerdata), ternyata diterjemahkan
berbeda-beda dalam kepustakaan hukum Indonesia. Berkaitan dengan itu,
Soetojo Prawirohamidjojo, di dalam salah satu bukunya menegaskan bahwa :

“Istilah verbintenis, ada yang menterjemahkan dengan “perutangan”,


perjanjian maupun dengan “perikatan”. karena masing-masing para sarjana
mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam menterjemahkan dan
mengartikannya, walaupun pengertian yang dimaksudkan perikatan tersebut
dapat tidak terlalu jauh berbeda. Istilah perikatan dimaksud pada dasarnya
berasal dari bahasa Belanda yakni “verbintenis”, diterjemahkan kedalam
bahasa Indonesia berbeda-beda, sebagai bukti, di dalam KUHPerdata
digunakan istilah “perikatan” untuk “verbintenis”. R. Subekti,
mempergunakan istilah “verbintenis” untuk perkataan “perikatan”,
demikian juga R. Setiawan, memakai istilah “perikatan”
untuk “verbintenis”. Selanjutnya Utrecht, memakai istilah perutangan
untuk “verbintenis”. Sebaliknya Soediman Kartohadiprodjo,
mempergunakan istilah “hukum pengikatan” sebagai terjemahan
dan“verbintenissenrecht, sedangkan. Sementara itu R. Wirjono
Prodjodikoro, memakai istilah “het verbintenissenrecht” diterjemahkan
sebagai “hukum perjanjian” bukan hukum perikatan, demikian juga Sri
Soedewi Masjchoen Sofwan, memakai istilah “hukum perutangan”
untuk “verb intenissenrecht” .(R. Soetojo , 1979; 10).

HUKUM PERIKATAN

Hukum Perikatan pada dasarnya merupakan hubungan hukum yang artinya


hubungan yang di atur dan di akui oleh hukum, baik yang dapat dinilai
dengan uang maupun tidak, yang di dalamnya terdapat paling sedikit adanya
terdapat satu dan kewajiban, misalnya suatu perjanjian pada dasarnya
menimbulkan atau melahirkan satu atau beberapa perikatan, keadaan ini
tentu tergantung pada jenis perjanjian yang diadakan, demikian juga halnya
suatu perikatan dapat saja dilahirkan karena adanya ketentuan undang-
undang, dalam arti, undang-udanglah yang menegaskan, di mana dengan
terjadinya suatu peristiwa atau perbuatan telah melahirkan perikatan atau
hubungan hukum, misalnya, dengan adanya perbuatan melanggar hukum.

Hubungan hukum sebagaimana dimaksudkan, harus dibedakan dengan


hubungan lainnya yang ada di dalam pergaulan masyarakat, seperti
pergaulan yang berdasarkan etika dan kesopanan, kepatutan dan kesusilaan.
Penyimpangan terhadap hubungan tersebut, tidak menimbulkan akibat
hukum, misalnya; janji untuk bertemu dengan pasangan, janji untuk pergi
kuliah bersama dan lain-lain yang pada dasarnya berada diluar lingkungan
hukum dalam arti, hal ini bukan merupakan perikatan atau hubungan hukum.

Sebagai perbandingan, dapat dilihat dari contoh kasus berikut :

Amir menjual mobilnya kepada Budi, maka dalam hal ini, menimbulkan
perikatan antara kedua orang tersebut, yakni pihak Amir mempunyai
kewajiban untuk menyerahkan mobil yang dijualnya karena hal itu juga
merukan haknya Budi, demikian juga sebaliknya, bahwa pihak Budi juga
mempunyai kewajiban untuk menyerahkan atau membayar harga pada Amir
karena hal itu merupakan haknya Amir, demikian juga dari keadaan tersebut
menimbulkan kewajiban bagi Budi untuk membayar harga yang telah
ditentukan

Hal ini berarti, bahwa secara sederhana perikatan diartikan sebagai suatu hal
yang mengikat antara orang yang satu dengan orang yang lain. Hal yang
mengikat itu adalah peristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan, misalnya
jual beli, hutang-piutang, dapat berupa kejadian, misalnya kelahiran,
kematian, dapat berupa keadaan, misalnya perkarangan berdampingan,
rumah bersusun, jadi peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan
hukum, dalam arti peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan hukum.

DASAR HUKUM PERIKATAN

Sumber-sumber Hukum Perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian


dan undang undang.Dasar Hukum Perikatan berdasarkan KUH Perdata
terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut.

1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian)


2. Perikatan yang timbul dari undang-undang
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan
melanggar hukum dan perwakilan sukarela

Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :

1. Perikatan (Pasal 1233 KUH Perdata) : Perikatan , lahir karena suatu


persetujuan atau karena undang – undang . Perikatan ditujukan untuk
memberikan sesuatu , untuk berbuat sesuatu , atau untuk tidak berbuat
sesuatu.
2. Persetujuan (Pasal 1313 KUH Perdata) : Suatu persetujuan adalah suatu
perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap orang
lain atau lebih.
3. Undang-undang (Pasal 1352 KUH Perdata) : Perikatan yang lahir karena
undang-undang timbul dari undang-undangatau timbul dari undang-
undang sebagai akibat dari perbuatan orang.

ASAS – ASAS HUKUM PERIKATAN

Di dalam hukum perikatan, dikenal dengan tiga asas penting yaitu:


1. Asas Konsensualisme
Arti asas konsensualisme pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang
timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya
kesepakatan. Sedangkan asas konsensualisme sebagaimana yang telah di
simpulkan dalam pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi:
“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
c. Suatu hal tertentu
d. Suatu sebab yang halal
Dalam angka satu pasal tersebut, “sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya” mengandung makna bahwa perjanjian pada umumnya tidak
diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan dua
belah pihak.
2. Asas Pacta Sunt Servanda
Ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Hal ini dapat disimpulkan
dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi: “Perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”. Dalam
perkembangannya, asas Pacta Sunt Servanda diberi arti Pactum yang
berarti sepakat tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan
formalitas lainnya. Sedangkan Nudus Pactum sudah cukup dengan
sepakat saja.
3. Asas Kebebasan Berkontrak
Dapat dianalisis dari ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang
berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka”. Asas kebebasan Berkontrak adalah suatu
asas yang memberikan suatu kebebasan kepada para pihak untuk:
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian.
b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya.
d. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Disamping ketiga asas itu, di dalam lokakarya hukum perikatan yang
diselenggarakan oleh Badan Pembina Hukum Nasional, Departemen
Kehakiman dari tanggal 17-19 November 1985 telah berhasil
dirumuskan delapan asas hukum perikatan Nasional, yaitu:
a. Asas Kepercayaan,
b. Asas Persamaan Hukum,
c. Asas Keseimbangan,
d. Asas Kepastian Hukum,
e. Asas Moral,
f. Asas Kepatuhan,
g. Asas Kebiasaan, dan
h. Asas Perlindungan
PENGATURAN HUKUM PERIKATAN

Hukum Perikatan yang dimaksudkan ialah keseluruhan peraturan hukum


yang mengatur tentang perikatan. Pengaturan tersebut meliputi bagian umum
dan bagian khusus. Bagian umum membuat peraturan-peraturan yang
berlaku bagi perikatan pada umumnya. Sedangkan bagian khusus memuat
peraturan-peraturan mengenai perjanjian-perjanjian bernama yang banyak
dipakai dalam masyarakat. Bagian umum meliputi bab babI, bab II bab III
(hanya pasal 1352 dan 1353) da bab IV, yang berlaku bagi perikatan pada
umumnya. Bagian khusus meliputi bab III (kecuali pasal 1352 dan pasal
1353) dan babV s/d XVIII, yang berlaku bagi perjanjian-perjanjian tertentu
saja, yang sudah ditentukan namanya dalam baba-bab yang bersangkutan.
Pengaturan hukum perikatan dilakukan dengan “sistem terbuka”, artinya
setiap orang boleh mengadakan perikatan apa saja baik yang belum
ditentukan namanya dalam undang-undang. tetapi keterbukaan ini dibatasi
oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan
dengan kesusilaan , dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum.

Sesuai dengan pengunaan sistem terbuka, maka pasal 1233 KUH Perdata
menentukan bahwa perikatan dapat timbul baik karena perjanjian maupun
karena undang-undang. Dengan kata lain, sumber perikatan itu ialah
perjanjian dan undang-undang. Dalam perikatan yang timbul karena
perjanjian, kedua pihak debitur dan kreditur dengan sengaja bersepakat
saling mengikatkan diri, dalam perikatan mana kedua pihak mempunyai hak
dan kewajiban yang harus dipenuhi. Pihak debitur wajib memenuhi prestasi
dan pihak kreditur berhak atas prestasi.
Dalam perikatan yang timbul karena undang-undang, hak dan kewajiban
debitur dan kreditur ditetapkan oleh undang-undang. Pihak debitur dan
kreditur wajib memenuhi ketentuan undang-undang. Undang-undang
mewajibkan debitur berprestasi dan kreditur berhak atas prestasi. Kewajiban
ini disebut kewajiban undang-undang. Jika kewajiban tidak dipenuhi, berarti
pelanggaran undang-undang.

Dalam pasal 1352 KUH Perdata, perikatan yang timbul karena undang-
undang diperinci menjadi dua, yaitu perikatan yang timbul semata-mata
karena ditentukan oleh undang-undang dan perikatan yang timbul karena
perbuatan orang. perikatan yang timbul karena perbutan orang dalam pasal
1353 KUH Perdata diperinci lagi menjadi perikatan yang timbul dari
perbuatan menurut hukum (rechtmatig) dan perikatan yang timbul dari
perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).

MACAM – MACAM HUKUM PERIKATAN

1. Perikatan Bersyarat (voorwaardelijk)


Adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di
kemudian hari, yang belum tentu akan terjadi. Perikatan bersyarat ini
dapat dilihat dalam bagian ke lima tentang perikatan-perikatan bersyarat,
pasal 1253 yang berbunyi: “Suatu perikatan adalah bersyarat manakala ia
digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih
belum tentu terjadi, baik secara menangguhkan perikatan hingga
terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan perikatan
menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut.
2. Perikatan dengan Ketetapan Waktu (tijdsbepaling)
Suatu waktu ketetapan tidak menangguhkan perikatan, melainkan hanya
menangguhkan pelaksanaannya. Maksud syarat “ketetapan waktu” adalah
pelaksanaan perikatan itu digantungkan pada “waktu yang ditetapkan”.
Waktu yang ditetapkan itu adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan
terjadinya itu sudah pasti, atau dapat berupa tanggal yang sudah
ditetapkan.
3. Perikatan Manasuka (alternatief)
Objek prestasi ada dua macam benda. Dikatakan manasuka karena debitur
boleh memenuhi prestasi dengan memilih salah satu dari dua benda yang
dijadikan objek perikatan. Tetapi debitur tidak boleh memaksa debitur
untuk menerima sebagian benda yang satu dan sebagian benda yang lain.
Jika debitur telah memenuhi salah satu dari dua benda yang disebutkan
dalam perikatan, ia dibebaskan dan perikatan berakhir. Hak memilih
prestasi ada pada debitur, jika hak ini tidak secara tegas pada kreditur
(pasal 1272 dan 1273 KUH Perdata).
4. Perikatan Tanggung-Menanggung (hoofdelijk)
5. Adalah perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak
yang berhutang berhadapan pada satu pihak yang menghutangkan atau
sebaliknya. Beberapa orang sama-sama berhak menagih suatu piutang
dari satu orang. Perikatan ini diatur dalam pasal 1278 sampai pasal 1296
KUH Perdata.
6. Perikatan yang Dapat Dibagi dan Tidak Dapat Dibagi
Tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada
hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah pihak
yang membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang dapat atau tidaknya
dibagi suatu perikatan barulah tampil ke muka apabila salah satu pihak
dalam perjanjian telah digantikan oleh orang lain.
7. Perikatan dengan Penetapan Hukuman
Untuk mencegah jangan sampai si berhutang dengan mudahnya
melupakan kewajibannya, dalam praktek banyak dipakai perjanjian
dimana si berhutang dikenakan suatu hukuman, apabila ia tidak menepati
kewajibannya. Hukuman ini biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang
tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang
sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat
perjanjian itu.
HAPUSNYA PERIKATAN
Pasal 1381 KUH Perdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu
perikatan. Cara-cara tersebut adalah:
1. Pembayaran
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
3. Pembaharuan utang
4. Perjumpaan utang atau kompensasi
5. Percampuran utang
6. Pembebasan utang
7. Musnahnya barang yang terutang
8. Batal atau pembatalan
9. Berlakunya suatu syarat batal, dan
10. Lewatnya waktu.

Anda mungkin juga menyukai