Anda di halaman 1dari 33

HUKUM PERDATA

DOSEN: I MADE DEDY PRIYANTO, SH.,MKN


FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN 2021

TOPIK 2:
HUKUM PERIKATAN
1. ISTILAH PERIKATAN
 lstilah perikatan (verbintenis dalam bahasa Belanda) diterjemah­kan secara berbeda-beda oleh
para sarjana, antara lain:
a. Kitab Undang-undang Hukum Perdata, menggunakan istilah "per­ikatan" untuk verbintenis.
b. Prof. Utrecht, memakai istilah "perutangan" untuk verbintenis.
c. Prof. Soediman Kartohadiprodjo, S.H., mempergunakan istilah "hu­kum pengikatan" sebagai
terjemahan dari verbintenissenrecht.
d. Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H., memakai istilah het verbin­tenissenrecht yang
diterjemahkan sebagai "hukum perjanjian" bukan hukum perikatan.
e. Prof. Dr. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, S.H., memakai istilah "hu­kum perutangan" untuk
verbintenissenrecht.
2. Pengertian Perikatan
 Mengenai pengertian perikatan itu sendiri oleh para sarjana juga diberikan secara berbeda-
beda, di antaranya sebagai berikut:
a. Menurut Prof. Soediman Kartohadiprodjo, S.H., hukum perikat­an ialah kesemuanya kaidah
hukum yang mengatur hak dan ke­wajiban seseorang yang bersumber pada tindakannya
dalam ling­kungan hukum kekayaan
b. Menurut Prof. Subekti, S.H., perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang
atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak
yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
c. Menurut R. Setiawan, S.H., perikatan adalah suatu hubungan hu­kum, yang artinya hubungan
yang diatur dan diakui oleh hukum.
3. SUMBER-SUMBER PERIKATAN
 Menurut Pasal 1233 KUH Per, perikatan dapat timbul karena per­janjian maupun karena undang-undang,
Dengan demikian dapat di­katakan, bahwa sumber perikatan itu adalah perjanjian dan undang­-undang.
1. Perikatan yang bersumber dari perjanjian (Pasal 1313 KUH Per). Terdiri dari:
a. Perjanjian bernama, contohnya perjanjian jual beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, dan lain
sebagainya yang telah diberikan nama oleh peraturan perundang-undangan.
b. Perjanjian tidak bernama, contohnya cessie, dan lain sebagainya yang belum diberikan nama oleh
peraturan perundang-undangan.
2. Perikatan yang bersumber dari undang-undang (Pasal 1352 KUHPer). Terdiri dari:
a. Undang-undang saja (Pasal 1352 KUH Per), contohnya hak ali­mentasi (Pasal 104 KUH Per), hak
numpang pekarangan (Pasal 625 KUH Per).
b. Undang-undang karena perbuatan orang (Pasal 1353 KUHPer), contohnya perbuatan yang halal
(Pasal 1354 KUH Per) dan perbuatan yang melawan hukum (Pasal 1365 KUH Per). ­
3.1 PERIKATAN YANG LAHIR/BERSUMBER DARI
PERJANJIAN
 lstilah perjanjian (overeenkomst) diterjemahkan secara berbeda­beda oleh para sarjana, di
antaranya yaitu:
a. Kitab Undang-undang Hukum Perdata, menggunakan istilah "per­janjian" untuk
overeenkomst.
b. Prof. Utrecht, memakai istilah overeenkomst untuk istilah "perjan­jian".
c. Prof. Subekti, memakai istilah overeenkomstuntuk "perjanjian", bu­kan persetujuan.
d. Prof. R. Wirjono Prodjodikoro, memakai istilah "persetujuan" un­tuk terjemahan
overeenkomst.
e. R. Setiawan, S.H., memakai istilah "persetujuan" untuk overeenk­omst
HUBUNGAN PERIKATAN DENGAN
PERJANJIAN
 Menurut Prof. Subekti, perkataan "perikatan" (verbintenis) mem­punyai arti
yang lebih luas dari perkataan "perjanjian". Perikatan lebih luas dari
perjanjian, karena perikatan itu dapat terjadi karena perjanjian dan undang-
undang.
 Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa antara perjanjian
(overeenkomst) dan perikatan (verbintenis) mempunyai hubungan, dimana
perjanjian menerbitkan perikatan. Perjanjian merupakan bagian dari
perikatan. Jadi, perjanjian melahirkan perikatan dan perjanjian merupakan
sumber terpenting yang melahirkan perikatan.
PENGERTIAN PERJANJIAN
 Mengenai definisi dari perjanjian itu sendiri oleh para sarjana juga diartikan secara berbeda- beda
pula, antara lain menurut:
a. Prof. Subekti S.H., perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang
lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.
b. Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H., perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai
harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk
melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak
menuntut pelaksanaan janji itu.
c. R. Setiawan, S.H., persetujuan adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya atau saling meng­ikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
d. Abdulkadir Muhammad, S.H., perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau
lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.
 Dari rumusan perjanjian tersebut dapat disimpulkan, bahwa unsur-unsur perjanjian itu adalah:
a. Ada para pihak.
b. Ada persetujuan antara pihak-pihak tersebut.
c. Ada tujuan yang akan dicapai.
d. Ada prestasi/perbuatan yang akan dilaksanakan.
e. Ada bentuk tertentu, baik lisan maupun tulisan.
f. Ada syarat-syarat tertentu.
ASAS-ASAS PERJANJIAN
 Sistem terbuka ( open system)
Asas ini mempunyai arti, bahwa mereka yang tunduk dalam per­janjian bebas dalam menentukan hak
dan kewajibannya. Asas ini disebut juga dengan asas kebebasan berkontrak, yaitu semua per­janjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338
ayat 1 KUH Per). Asas kebebasan berkontrak ini tidak boleh bertentangan dengan keter­tiban umum,
kesusilaan dan undang-undang.
 Konsensualisme
Asas ini mempunyai arti, bahwa suatu perjanjian lahir sejak detik tercapainya kesepakatan antara kedua
belah pihak. Hal ini sesuai dengan syarat sahnya suatu perjanjian (Pasal 1320 KUH Per). Pe­ngecualian
asas ini adalah: dalam perjanjian riil dan formil (tidak cukup hanya dengan kesepakatan).
 Dalam perjanjian formil, disamping kata sepakat, masih perlu formalitas (bentuk dan isinya
ditentukan oleh peraturan perundang-undangan) tertentu. Con­tohnya perjanjian
perdamaian, pembebanan jaminan fidusia (Pasal 1851 KUH Per).
 Dalam perjanjian riil, disamping kata sepakat, harus ada tindakan nyata penyerahan
barang. Contohnya perjanjian penitipan barang (Pasal 1694 KUH Per) dan perjan­jian hak
gadai (Pasal 1152 KUH Per).
 Asas pacta sunt servanda, ini berkaitan dengan akibat suatu perjanjian. Pasal 1338 ayat (1)
KUH Perdata bahwa, “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang….”
Para pihak harus menghormati perjanjian dan melaksanakannya (karena perjanjian itu
merupakan kehendak bebas para pihak) sebagaimana mereka diharuskan melaksanakan
undang-undang.
 Asas kepercayaan;
 Asas persamaan hukum;
 Asas keseimbangan;
 Asas kepastian hukum;
 Asas moral;
 Asas kepatutan;
 Asas kebiasaan;
 Asas perlindungan hukum oleh Negara.
SYARAT SAHNYA PERJANJIAN
 Menurut Pasal 1320 KUH Per, syarat sahnya suatu perjanjian ada­lah:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Hal ini dimaksudkan, bahwa para pihak yang
hendak mengadakan suatu perjanjian, harus terlebih dahulu bersepakat atau setuju
mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan itu. Kata sepakat tidak sah
apabila kata sepakat itu diberikan kare­na kekhilafan, paksaan atau penipuan (Pasal 1321 KUH
Per).
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian. Pada dasarnya, setiap orang adalah cakap
untuk membuat perjan­jian, kecuali jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap
(Pasal 1329 KUH Per). Menurut Pasal 1330 KUH Per, mereka yang tidak cakap membuat suatu
perjanjian adalah: Orang yang belum dewasa, Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan,
Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang­-undang, dan semua orang
kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
3. Adanya suatu hal tertentu. Adanya suatu hal tertentu adalah menyangkut objek perjanjian ha­rus
jelas dan dapat ditentukan. Menurut Pasal 1333 KUH Per, suatu perjanjian harus mempunyai
sebagai pokok suatu barang yang pa­ling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan
bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu dikemudian hari dapat ditentukan atau
dihitung. Menurut ketentuan Pasal 1332 KUH Per, hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan
saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Selanjutnya menurut Pasal 1334 ayat (1) KUH Per,
barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian.
4. Adanya suatu sebab yang halal. Adanya suatu sebab (causa dalam bahasa Latin) yang halal ini
adalah menyangkut isi perjanjian yang tidak bertentangan de­ngan ketertiban umum, kesusilaan,
dan undang-undang (lihat Pasal 1337 KUH Per). Dengan demikian, undang-undang tidak
memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan suatu perjanjian. Yang diperhatikan
oleh undang-undang adalah isi dari perjanjian tersebut yang menggambarkan tujuan yang akan
dica­pai. Menurut Pasal 1335 KUH Per, suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena
sesuatu sebab yang palsu atau terla­rang, tidak mempunyai kekuatan.
AKIBAT HUKUM PERJANJIAN
 Apabila perjanjian sah sesuai pasal 1320 KUHPer, berakibat mengikat sebagai undang-undang (wajib
dilaksanakan seperti melaksanakan undang-undang). Pasal 1338 KUHPer.
 Apabila melanggar dua syarat yang pertama/ tidak dipenuhi (a dan b) pasal 1320 KUHPer, maka
perjanjian dapat dibatalkan (syarat subjektif).
 Adapun apabila dua syarat yang terakhir tidak dipenuhi (c dan d) pasal 1320 KUHPer, maka perjanjian
ini batal demi hukum (syarat objektif).
 Perjanjian yang batal demi hukum adalah perjanjian sejak semula batal dan tidak mungkin
menimbulkan akibat hukum bagi kedua belah pihak. Perjanjian yang bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum adalah batal demi hukum sehingga dianggap
tidak pernah ada dan segala akibatnya dikembalikan pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Adapun perjanjian dapat dibatalkan, artinya salah satu pihak mempunyai hak untuk
meminta agar perjanjian itu dibatalkan di pengadilan. Sebelum dibatalkan, perjanjian tetap
dianggap sah.
JENIS-JENIS PERJANJIAN
 Perjanjian timbal-balik, adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua
belah pihak. Contohnya perjanjian jual-beli, perjanjian sewa-menyewa, dan sebagainya.
 Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang menimbulkan kewa­jiban pada satu pihak dan pihak
lain menerima haknya. Contohnya perjanjian hibah, perjanjian pinjarn-ganti, dan sebagainya.
 Perjanjian cuma-cuma, adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu
keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya. Contohnya
perjanjian hibah, perjanjian pinjam-pakai, dan sebagainya.
 Perjanjian atas beban, adalah perjanjian dengan mana terhadap prestasi pihak yang satu
terdapat prestasi pihak yang lain dan an­tara kedua prestasi itu ada hubungan hukum.
Contohnya perjan­jian jual beli, perjanjian sewa-menyewa, dan sebagainya.
 Perjanjian konsensuil, adalah perjanjian yang timbul karena ada­nya kesepakatan antara kedua
belah pihak.
 Perjanjian riil, adalah perjanjian yang timbul karena adanya ke­sepakatan antara kedua belah
pihak disertai dengan penyerahan nyata atas barangnya. Contohnya perjanjian penitipan
barang, per­janjian pinjam-pakai, dan sebagainya.
 Perjanjian bernama (perjanjian nominaat), adalah perjanjian yang mempunyai nama tertentu
dan diatur secara khusus oleh undang-undang. Contohnya perjanjian jual beli, perjanjian tukar­
menukar, perjanjian sewa-menyewa, dan sebagainya.
 Perjanjian tidak bernama (perjanjian innominaat), adalah per­janjian tidak mempunyai nama
tertentu dan tidak diatur dalam undang-undang. Contohnya leasing dan fiducia.
 Perjanjian liberatoir, adalah perjanjian yang membebaskan orang dari keterikatannya dari
suatu kewajiban hukum tertentu. Con­tohnya pembebasan utang.
 Perjanjian kebendaan, adalah perjanjian untuk menyerahkan atau mengalihkan atau
menimbulkan atau mengubah atau menghapuskan hak-hak kebendaan. Contohnya perjanjian
jual beli.
 Perjanjian obligatoir, adalah perjanjian yang menimbulkan per­ikatan antara kedua belah
pihak.
 Perjanjian accesoir, adalah perjanjian yang membuntuti perjanji­an pokok. Contohnya hipotek,
gadai, dan borgtocht.
WANPRESTASI
 wanprestasi adalah suatu keadaan di mana seorang debitur (berutang) tidak memenuhi atau
melaksanakan prestasi sebagaima­na telah ditetapkan dalam suatu perjanjian. Wanprestasi (lalai/alpa)
dapat timbul karena:
1) Kesengajaan atau kelalaian debitur itu sendiri.
2) Adanya keadaan memaksa (overmacht)
 Adapun seorang debitur yang dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi ada empat macam, yaitu:
1) Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
2) Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak sebagaimana mestinya.
3) Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat pada waktunya.
4) Debitur memenuhi prestasi, tetapi melakukan yang dilarang dalam perjanjian.
 Apabila dalam pelaksanaan pemenuhan prestasi ti­dak ditentukan tenggang waktunya, maka
seorang kreditur dipandang perlu untuk memperingatkan/menegur debitur agar ia memenuhi
ke­wajibannya. Teguran ini disebut juga dengan sommatie (somasi).
 Suatu somasi harus di­ajukan secara tertulis yang menerangkan apa yang dituntut, atas dasar
apa, serta pada saat kapan diharapkan pemenuhan prestasi. Hal ini berguna bagi kreditur
apabila ingin menuntut debitur di muka peng­adilan. Dalam gugatan inilah, somasi menjadi alat
bukti bahwa debitur betul-betul telah melakukan wanprestasi.
 Dalam hal tenggang waktu suatu pelaksanaan pemenuhan prestasi telah ditentukan, maka
menurut Pasal 1238 KUH Per debitur dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.
 Akibat wanprestasi:
a. Debitur diharuskan membayar ganti-kerugian yang diderita oleh kreditur (Pasal 1243 KUH
Per).
b. Pembatalan perjanjian disertai dengan pembayaran ganti-keru­gian (Pasal 1267 KUH Per).
c. Peralihan risiko kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal 1237 ayat 2 KUH
Per).
d. Pembayaran biaya perkara apabila diperkarakan di muka hakim (Pasal 181 ayat 1 HIR).
 Menurut ketentuan Pasal 1246 KUH Per, ganti kerugian itu terdiri atas tiga unsur, yaitu:
1. Biaya, yaitu segala pengeluaran atau ongkos-ongkos yang nyata­-nyata telah dikeluarkan.
2. Rugi, yaitu kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan
oleh kelalaian debitur.
3. Bunga, yaitu keuntungan yang seharusnya diperoleh atau diharap­kan oleh kreditur apabila
debitur tidak lalai.
KEADAAN MEMAKSA
 Keadaan memaksa atau overmacht atau force majeur diartikan se­cara berbeda-beda menurut para
sarjana, antara lain:
1. Prof. Subekti, S.H., keadaan memaksa adalah suatu alas­an untuk dibebaskan dari kewajiban
membayar ganti rugi.
2. Abdulkadir Muhammad, S.H., keadaan memaksa ialah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi
oleh debitur karena ter­jadi suatu peristiwa bukan karena kesalahannya, peristiwa mana tidak
dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan.
3. R. Setiawan, S.H., keadaan memaksa adalah suatu ke­adaan yang terjadi setelah dibuatnya
persetujuan, yang mengha­langi debitur untuk memenuhi prestasinya, di mana debitur tidak
dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung risiko serta tidak dapat menduga pada waktu
persetujuan dibuat. Kesemuanya itu sebelum debitur lalai untuk memenuhi prestasinya pada
saat timbulnya keadaan tersebut.
 Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa dalam keadaan me­maksa ini, debitur tidak dapat
dipersalahkan atas tidak dapat terlak­sananya suatu perjanjian atau terlambatnya pelaksanaan
suatu perjan­jian. Sebab, keadaan ini timbul di luar kemauan dan kemampuan atau dugaan dari
si debitur; dan oleh karenanya, maka debitur tidak dapat dihukum atau dijatuhi sanksi.
 Istilah debitur dan kreditur hanyalah analogi, dalam artian siapapun yang dalam keadaan
memaksa, bukan karena kehendaknya, bukan pula kehendak manusia peristiwa tersebut
(kerugian atau wanprestasi) terjadi, maka tidak dapat dipersalahkan karena memang tidak ada
unsur kesalahan padanya.
 Diatur dalam pasal 1244 dan 1245 KUHPer.
 Perkembangan di Indonesia, konsep keadaan memaksa mengalami pergeseran, dimana kerugian
atau wanprestasi yang dikarenakan kejadian alam (bukan kehendak manusia) tidak lagi serta
merta dibebaskan dari tanggung jawabnya, hal ini dimungkinkan dengan pemberlakuan asas
persamaan yang dapat mengarah pada perjanjian itu awalnya dibuat untuk sama-sama
menguntungkan semua pihak, dan apabila tidak (timbul rugi) sudah sewajarnya pula ditanggung
bersama (keuntungan dan resiko kerugian ditanggung bersama). Contoh: gempa bumi di Lombok
yang mengakibatkan runtuhnya rumah (objek perjanjian kredit), seharusnya perjanjian tersebut
berakhir dengan musnahnya objek, dan debitur dalam keadaan memaksa tidak dapat
dipersalahkan, namun pihak Bank tetap menawarkan penangguhan kredit dan bahkan ada aturan
Bank Indonesia yang dijadikan dasar agar debitur tetap membayar kredit. Contoh lain: dibidang
hukum ketenagakerjaan, dimana pengusaha tetap wajib (tidak dibebaskan) membayar upah
pekerja walaupun dalam keadaan memaksa (bangkrut karena kejadian alam). Konsep keadaan
memaksa ini sangat bagus dijadikan jurnal maupun skripsi karena terjadi pergeseran dan
perbedaan dengan konsep aslinya.
 Unsur-unsur yang terdapat dalam keadaan memaksa :
1. Tidak dipenuhi prestasi, karena suatu peristiwa yang membina­sakan atau memusnahkan
benda yang menjadi objek perikatan. Ini selalu bersifat tetap (absolut).
2. Tidak dapat dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang meng­halangi perbuatan debitur
untuk berprestasi. Ini dapat bersifat tetap atau sementara (relatif).
3. Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat
perikatan, baik oleh debitur maupun oleh kredi­tur. Jadi, bukan karena kesalahan pihak-
pihak khususnya debitur.
3.2 PERIKATAN YANG LAHIR/BERSUMBER DARI
UNDANG-UNDANG
 Menurut Pasal 1352 KUH Per, perikatan yang lahir dari undang­-undang dapat timbul akibat:
a. Perikatan yang lahir dari undang-undang saja.
b. Perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan orang.
 Yang dimaksudkan dengan perikatan-perikatan yang lahir dari undang-undang saja ialah perikatan-
perikatan yang timbul oleh hu­bungan kekeluargaan. jadi, yang terdapat dalam Buku I KUH Per, mi­
salnya kewajiban seorang anak yang mampu adalah untuk memberikan nafkah pada orangtuanya
yang berada dalam keadaan kemiskinan.
 Adapun menurut Pasal 1353 KUH Per, perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan
orang, dapat timbul dari:
a. Perbuatan menurut hukum.
b. Perbuatan melawan hukum
 Perbuatan menurut hukum dapat didefinisikan sebagai perikatan yang lahir karena ditentukan/
diatur hak-hak dan kewajiban-kewajibannya oleh aturan perundang-undangan. Contoh: undang-
undang perlindungan konsumen yang mengatur hak dan kewajiban pelaku usaha dan konsumen,
sehingga pelaku usaha dan konsumen memiliki perikatan yang dilahirkan dari undang-undang.
 Perbuatan melawan hukum/ onrechtmatige daad dapat dipersamakan dengan perbuatan
melanggar hukum. Diatur dalam pasal 1365. unsur-unsurnya yaitu:
1. Perbuatan itu harus melanggar hukum
2. Perbuatan itu harus menimblkan kerugian
3. Perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan
4. Perbuatan itu harus ada hubugan kausal (sebab akibat) atau terkait langsung dengan kerugian.
4. HAPUSNYA PERIKATAN
 Menurut Pasal 1381 KUH Per, hapusnya suatu perikatan dapat ter­jadi karena:
1. Pembayaran
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
3. Pembaruan utang (novasi).
4. Perjumpaan utang (kompensasi).
5. Percampuran utang.
6. Pembebasan utang.
7. Musnahnya barang yang terutang.
8. Batal atau pembatalan.
9. Berlakunya suatu syarat batal.
10. Lewat waktu (kedaluwarsa)
 Di samping 10 hal tersebut, masih ada hal-hal lain mengenai hapus­nya perikatan yang tidak
disebutkan dalam KUH Per, yaitu antara lain:
a. Berakhirnya suatu ketetapan waktu dalam suatu perjanjian.
b. Meninggalnya salah satu pihak dalam perjanjian, misalnya perjanjian maatschap dan
perjanjian pemberian kuasa.
c. Meninggalnya orang yang memberi perintah.
d. Karena pernyataan pailit dalam perjanjian maatschap.
e. Adanya syarat yang membatalkan perjanjian.

Anda mungkin juga menyukai