Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

Suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian,


yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal,
sebagaimana ditentukan dalam pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu
perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang
membuatnya.

Permasalahan hukum akan timbul jika belum perjanjian tersebut sah dan
mengikat para pihak, yaitu dalam proses perundingan atau preliminary
negotiation, salah satu pihak telah melakukan perbuatan hukum seperti meminjam
uang, membeli tanah, padahal belum tercapai kesepakatan final antara mereka
mengenai kontrak bisnis yang dirundingkan. Hal ini dapat terjadi karena salah
satu pihak begitu percaya dan menaruh pengharapan terhadap janji-janji yang
diberikan oleh rekan bisnisnya. Jika pada akhirnya perundingan mengalami jalan
buntu dan tidak tercapai kesepakatan, maka tidak dapat dituntut ganti rugi atas
segala biaya, investasi yang telah dikeluarkan kepada rekan bisnisnya. Karena
menurut teori kontrak yang klasik, belum terjadi kontrak.

Beberapa putusan pengadilan di Indonesia, menurut teori klasik jika suatu


perjanjian belum memenuhi syarat hal tertentu, maka belum ada siatu perjanjian
sehingga belum lahir suatu perikatan yang mempunyai akibat hukum bagi para
pihak. Akibatnya, pihak yang dirugikan karena percaya pada janji-janji pihak
lawannya tidak terlindungi dan tidak dapat menuntut ganti rugi.

Berdasarkan pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,


suatu perjanjian yang dibuat secara sah, mengikat sebagai undang-undang bagi
para pihak yang membuatnya. Dan pasal 1338 ayat 3 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata menyebutkan bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan
itikad baik.

1
Jika terjadi suatu sengketa antara para pihak dan atas sengketa tersebut
tidak ada pengaturan yang jelas dalam perjanjian yang disepakati para pihak,
bukan berarti perjanjian belum mengikat para pihak atau dengan sendirinya batal
demi hukum. Karena pengadilan dapat mengisi kekosongan hukum tersebut
melalui melalui penafsiran untuk menemukan hukum yang berlaku bagi para
pihak yang membuat perjanjian.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatur hal tersebut dalam pasal


1342 sampai dengan pasal 1351.
 Pasal 1342
Jika kata-kata suatu perjanjian sudah jelas, maka tidak diperkenankan
melakukan penafsiran yang menyimpang dari kata-kata tersebut.
 Pasal 1343
Jika kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran,
maka harus diselidiki maksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian.
 Pasal 1344
Jika suatu janji dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih
pengertian yang memungkinkan janji itu dilaksanakan daripada pengertian
yang tidak memungkinkan suatu pelaksanaan.
 Pasal 1345
Jika kata-kata dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih
pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian. Dalam hal ini harus
diperhatikan apakah perjanjian itu bersifat konsensuil atau harus memenuhi
formalitas tertentu atau haruskah ada penyerahan barang/uang sebagai syarat
keabsahan perjanjian.
 Pasal 1346
Hal-hal yang meragukan harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi
kebiasaan dimana perjanjian itu dibuat.
 Pasal 1347
Hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara
diam-diam dimasukkan dalam perjanjian.

2
 Pasal 1348
Semua janji yang dibuat dalam suatu perjanjian harus ditafsirkan dalam
hubungan satu sama lain, artinya tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka
perjanjian seluruhnya.
 Pasal 1349
Jika suatu janji timbul keragu-raguan, maka janji tersebut harus ditafsirkan
atas kerugian orang yang meminta diperjanjikan suatu hal (meminta suatu hak)
dan atas keuntungan orang yang telah mengikatkan diri (menyanggupi
kewajiban).
 Pasal 1350
Mesikpun kata-kata suatu perjanjian dirumuskan secara sangat umum,
namun perjanjian itu hanya meliputi hal-hal yang nyata yang dimaksudkan oleh
kedua belah pihak.
 Pasal 1351
Suatu hal yang dinyatakan untuk menjelaskan suatu perjanjian, tidak dapat
digunakan untuk membatasi kekuatan perjanjian dalam hal-hal yang
dinyatakan.

Dalam teori hukum perjanjian tradisional yang tradisional mempunyai


cirri-ciri menekankan pentingnya kepastian hukum dan predictability. Sedangkan
teori hukum perjanjian modern mempunyai kecendrungan untuk mengabaikan
formalitas kepastian hukum demi tercapainya keadilan yang substantial.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perjanjian dan Perikatan


Kitab Undang-undang Hukum Perdata membedakan dengan jelas antara
perikatan yang lahir dari perjanjian dan perikatan yang lahir dari undang-
undang. Akibat hukum suatu perikatan yang lahir dari perjanjian memang
dikehendaki oleh para pihak, karena memang perjanjian didasarkan atas
kesepakatan yaitu persesuaian kehendak antara para pihak yang membuat
perjanjian. Sedangkan akibat hukum suatu perikatan yang lahir dari undang-
undang mungkin tidak dikehendaki oleh para pihak, tetapi hubungan hukum
dan akibat hukumnya ditentukan oleh undang-undang.

Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan sumber


perikatan adalah perjanjian dan undang-undang. Perikatan adalah suatu
hubungan hukum di bidang hukum kekayaan dimana suatu pihak berhak
menuntut suatu prestasi dan pihak lainnya berkewajiban untuk melaksanakan
suatu prestasi.

Sedangkan perjanjian menurut pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum


Perdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.

Definisi tersebut dikritik oleh Profesor R. Subekti yang mana perjanjian


pada umumnya bersifat timbal balik, seperti perjanjian jual-beli, perjanjian
sewa-menyewa, perjanjian tukar-menukar, dan sebagainya. Sedangkan
perikatan yang lahir dari undang-undang terdiri atas perikatan yang lahir dari
undang-undang saja dan berhubungan dengan perbuatan manusia.. Dan
perikatan yang berhubungan dengan manusia dapat dibagi atas perikatan halal
dan perikatan tidak halal.

1. Istilah-istilah dalam Hukum Perikatan


Dalam bahasa Belanda Hukum Perikatan disebut Verbintennissenrecht.
Berkenaan dengan Hukum Perikatan terpaut beberapa istilah :

4
a) KUH Per buku III menyebutnya Tentang Perikatan, bukan hukum
Hukum Perikatan.
b) Prof. Soediman Kartohadiprojo, S.H. dalam bukunya yang berjudul
Pengantar Tata Hukum di Indonesia, Bagian 1, pada halaman 97
mempergunakan istilah Hukum Pengikatan sebagai terjemahan dari
Verbintennissenrecht.
Hukum Pengikatan istilah kesemuanya kaidah hukum yang mengatur hak
dan kewajiban seseorang yang bersumber pada tindakannya dalam
lingkungan hukum kekayaan.
c) Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H. dalam bukunya yang berjudul
Asas-asas Hukum Perjanjian pada halaman 8 menulis : Hukum
Perjanjian ini dalam bahasa Belanda dinamakan het
Verbintennissenrecht, yaitu hukum Perjanjian bukan hukum Perikatan.
d) Prof. R. Subekti, S.H tidak menggunakan istilah Hukum Perikatan tetapi
istilah Perikatan sesuai dengan judul Buku III KUH Per. Tentang
Perikatan.
Dalam Buku III KUHPer memuat tentang Perikatan yang timbul dari :
(a) Persetujuan atau perjanjian
(b) Perbuatan yang melanggar Hukum (Onrechtamatige daad)
(c) Pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan
persetujuan (Zaakwaarneming). Tetapi sebagian besar dari Buku III
ditujukan pada perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan atas
perjanjian.
Selain itu dalam Buku III KUHPer itu juga dinamakan Hukum
Perhutangan. Dengan demikian dapat ditafsirkan pendapat Prof. Subekti,
S.H tentang Buku III KUHPers sebagai berikut :
(a) Buku III memuat Hukum Perikatan atau Hukum Perhutangan.
(b) Hukum Perhutangan (Hukum Perikatan) terdiri dari Hukum
Perjanjian atau Hukum Persetujuan.

5
2. Istilah-istilah dalam Hukum Perjanjian
Dalam bahasa Belanda perjanjian disebut overeenkonst dan hukum
perjanjian adalah overeenkomstenrecht. Berkenaan dengan hukum
perjanjian terpaut beberapa istilah/pendapat :
a) Dalam KUHPer Buku III Prof. Subekti, S.H. menggunakan istilah
kontrak atau persetujuan untuk istilah overeenkomst.
b) Prof. R. Subekti, S.H. akan tetapi dalam Buku Pokok-pokok Hukum
Perdata Prof. Subekti menggunakan istilah perjanjian (bukan kontrak
atau persetujuan), misalnya perjanjian jual-beli, perjanjian sewa-
menyewa.
Bahkan dalam buku-bukunya yang lain Prof. Subekti member judul :
(a) Hukum Perjanjian (bukan Hukum Kontrak atau Hukum Persetujuan)
(b) Aneka Perjanjian
c) Prof. Soediman Kartohadiprodjo, S.H. dalam bukunya Pengantar Tata
Hukum di Indonesia, Bagian 1 menterjemahkan overeenkomsten (bagian
dari verbintennissen) menjadi perjanjian.
d) Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H. dalam bukunya Hukum Perdata
tentang persetujuan-persetujuan tertentu, selain menterjemahkan
Verbintennissenrecht menjadi Hukum Perjanjian dan bagian dari
Verbintennissenrecht yakni overeenkomstenrecht diterjemahkan menjadi
Persetujuan, antara lain : persetujuan jual-beli, sewa-menyewa.

B. Macam-macam Perjanjian
Pembagian macam-macam perjanjian dapat terlihat dalam beberapa segi, yaitu :
1. Dilihat dari segi prestasi, perjanjian dapat dibedakan dalam :
a) Perjanjian timbal-balik
Dalam perjanjian ini kedua belah pihak masing-masing harus memenuhi
kewajiban utama atau prestasi. Seperti, perjanjian jual-beli (pasal 1457
KUHPer), perjanjian sewa-menyewa, dan perjanjian kredit.
b) Perjanjian timbal-balik tidak sempurna atau perjanjian timbal-balik
kebetulan (onvolmaakt wederkerige of toevallig wederkerige
overeenskomst).

6
Dalam perjanjian ini pihak yang satu memenuhi kewajiban yang tidak
seimbang dengan kewajiban pihak pertama.
c) Perjanjian sebelah (eenzijdige overeenkomst)
Perjanjian dalamnya hanya suatu pihak mempunyai kewajiban atau
prestasi. Seperti, perjanjiam pinjam-ganti (pasal 1754 KUHPer) dan
perjanjian pemberian atau hibah (pasal 1666 KUHPer).
2. Dilihat dari segi pembebanan, perjanjian dapat dibedakan dalam :
a) Perjanjian dengan Cuma-suma (om niet)
Perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada
pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
Seperti, hibah pasal 1666 KUHPer) dan pinjam-pakai (pasal 1740
KUHper).
b) Perjanjian atas beban (onder bezwarenden)
Perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu,
berbuat sesuatu.
3. Dilihat dari segi kesepakatan, perjanjian dapat dibedakan dalam :
a) Perjanjian konsensual
Perjanjian yang tercipta dengan tercapainya persetujuan kehendak pihak-
pihak.
b) Perjanjian rieel
Perjanjian yang baru tercipta apabila disamping persetujuan kehendak
antara pihak-pihak secara obligatoire, diikuti pula dengan penyerahan
barang (levering).
4. Dilihat dari segi hasil perjanjian, perjanjian dapat dibedakan dalam :
a) Perjanjian comutatif atau perjanjian membalas (vergeldende
overeenkomst)
Perjanjian dimana terdapat keuntungan yang dinikmati oleh yang berhak
atau atas nama yang menjanjikan prestasi itu.
b) Perjanjian aleatoir (seperti perjanjian asuransi) atau perjanjian untung-
untungan (vorsovereenkomst)
Perjanjian yang mana suatu prestasi dijanjikan atau tanpa syarat, terdapat
hanya suatu keuntungan dengan syarat, sedangkan terpenuhinya syarat

7
itu tidak tergantung dari pokok-pokok yang bersangkutan, sedangkan
perjanjian tersebut diadakan justru berhubungan dengan kemungkinan
dipenuhinya syarat itu.
5. Dilihat dari segi pokok kelanjutan, perjanjian dapat dibedakan dalam :
a) Perjanjian principal (dalam perjanjian jual-beli)
b) Perjanjian accessoir
Perjanjian untuk menjamin cacad tersembunyi, perjanjian hipotik,
perjanjian gadai, perjanjian penanggungan (borgtocht), dan penyerahan
hak milik atas kepercayaan (fiduciaire eigendom-overdracht).
6. Dilihat dari segi urutan utama, perjanjian dapat dibedakan dalam :
a) Perjanjian primair (perjanjian utama atau pokok)
b) Perjanjian secundair
Menggantikan perjanjian yang asli (oorspronkelijk), apabila ini tak
dipenuhi, umpama pembayaran ganti kerugian.
7. Dilihat dari segi pengaturannya, perjanjian dapat dibedakan dalam :
a) Perjanjian yang lahir dari undang-undang
b) Perjanjian yang lahir dari persetujuan
8. Dilihat dari segi luas lingkungan, perjanjian dapat dibedakan dalam :
a) Perjanjian dalam arti sempit
Terjadi dengan kesepakatan perjanjian
b) Perjanjian dalam arti luas
Terjadi dengan tanpa kesepakatan.

8
C. Syarat Sahnya Perjanjian
Isi Buku III KUHPer, memuat :

Hukum Perikatan
(Verbintennissenrecht)

Hukum Perjanjian Hukum Perjanjian


Bernama/Tertentu Tidak Tertentu
(Yang disebutkan (Overeenkomstenrecht)
dalam KUHPer Yang tidak diatur
Perjanjian Jual-Beli dan dalam KUHPer, berada
lain-lain) diluar KUHPer

Pasal 1320 KUHPer


Untuk sahnya perjanjian (persetujuan)
diperlukan empat syarat

Sepakat Kecakapan Suatu hal Tertentu Suatu sebab yang Halal

Dalam suatu perikatan sering dijumpai ketentuan bahwa para pihak telah
bersepakat menyimpang atau melepaskan pasal 1266 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata. Akibat hukumnya terjadi wanperstasi, yaitu perjanjian tersebut
tidak perlu dimintakan pembatalan kepada hakim, tetapi dengan sendirinya
sudah batal demi hukum. Dalam hal ini, wanprestasi merupakan syarat batal.
Akan tetapi beberapa ahli hukum berpendapat sebaliknya, bahwa dalam hal
terjadi wanprestasi perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi harus dimintakan
pembatalan kepada hakim dengan alasan antara lain bahwa sekalipun debitur
sudah wanprestasi, hakim masih berwenang untuk memberi kesempatan
kepadanya untuk memenuhi perjanjian.

Perikatan dengan syarat batal, yaitu perjanjian yang sudah melahirkan


perikatan, hanya perikatan itu akan batal jika terjadi suatu peristiwa yang
disebutkan dalam perjanjian sebagai suatu conditional clause.

9
Pasal 1265 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa
apabila suatu syarat batal dipenuhi maka syarat tersebut menghentikan
perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-
olah tidak pernah ada suatu perikatan.

Pasal 1266 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menjelaskan


bahwa syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian yang
bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya atau
wanprestasi.

Pasal 1266 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan


bahwa dalam hal terjadi wanprestasi, perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi
pembatalan harus dimintakan kepada hakim.

D. Pembatasan Suatu Perjanjian


Menurut pasal 1351 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menjelaskan
bahwa suatu hal yang dinyatakan untuk menjelaskan suatu perjanjian, tidak
dapat digunakan untuk membatasi kekuatan perjanjian dalam hal-hal yang
tidak dinyatakan. Dan pelaksaan perjanjian tersebut harus didasarkan pada asas
itikad baik sebagaimana ditentukan dalam dalam Pasal 1338 ayat 3 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata.

Yang mana fungsi utama suatu kontrak adalah untuk memberikan


kepastian tentang mengikatnya suatu perjanjian antara para pihak, sehingga
prinsip-prinsip tersebut diberlakukan jika perjanjian sudah memenuhi syarat
sahnya perjanjian.

Adapun dalam hukum kontrak internasional berlaku doktrin No Quantity


No Contract. Akan tetapi dalam sistem Common Law, doktrin ini diakui ada
pengecualian yaitu dalam model kontrak yang disebut Out Put Contract dan
Requirement Contract. Out Put Contract pembeli menyanggupi untuk membeli
berapapun jumlah barang yang akan dihasilkan oleh penjual atau pemasok
barang. Out Put Contract lebih menguntungkan penjual dikarenakan dia yang
menentukan jumlah barang yang dijual kepada pembeli sesuai dengan

10
kapasitas produksi si penjual. Sedangkan Requirement Contract penjual
menyaggupi untuk memenuhi berapapun kebutuhan dan permintaan pembeli.
Requirement Contract lebih menguntungkan pembeli karena dialah yang
menentukan jumlah barang yang harus dipasok oleh penjual untuk memenuhi
kebutuhan pembeli.

Dan menurut pasal 1333 Kitab Undang-undang Hukum Perdata


menyebutkan bahwa barang yang mejadi objek perjanjian, paling tidak harus
dapat ditentukan jenisnya. Maka legalitas Out Put Contract dan Requirement
Contract dapat diterima berdasarkan ketentuan pasal 1333 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata. Karena jumlah barang dalam Out Put Contract dan
Requirement Contract dapat dihitung kemuadian pada saat pelaksanaan
perjanjian.

Dalam sistem Common Law memiliki dua prinsip dasar yaitu


Considration dan Promissory Estoppel. Suatu janji tanpa Considration tidak
mengikat dan tidak dapat dituntut pelaksanaannya. Considration adalah suatu
kontra prestasi, yang berupa janji, harga atau perbuatan. Sedangkan Promissory
Estoppel adalah suatu doktrin hukum yang mencegah seseorang (promisor)
untuk menarik kembali janjinya, dalam hal pihak yang menerima janji
(promisee) karena kepercayaannya terhadap janji tersebut telah melakukan
sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu, sehingga dia (promisee) akan
menderita kerugian jika (promisor) yaitu pihak yang member janji
diperkenankan untuk menarik janjinya (Paul Latimer, 1989 : 280).

1
Ada beberapa pembatasan yang diberikan oleh pasal-pasal KUH Perdata
terhadap asas ini yang membuat asas ini merupakan asas tidak tak terbatas :
1. Pasal 1320 ayat (1) menentukan bahwa perjanjian atau, kontrak tidak sah
apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para pihak yang
membuatnya.
2. Pasal 1320 ayat (2) dapat pula disimpulkan bahwa kebebasan orang untuk
membuat perjanjian dibatasi oleh kecakapannya untuk membuat perjanjian.
Bagi seseorang yang menurut ketentuan undang-undang tidak cakap untuk

1
Sumber : http://rechstat.blogspot.co.id/2011/01/asas-kebebasan-berkontrak-dan-batas.html?m=1

11
membuat perjanjian sama sekali tidak mempunyai kebebasan, untuk
membuat perjanjian.

E. Saat Lahirnya Suatu Perjanjian


Suatu perjanjian terjadi dengan persetujuan pihak-pihak yang
bersangkutan, sedangkan perikatan bukan dengan janjipun dapat terjadi, tidak
ada persetujuan dari pihak-pihak yang bersangkutan.
Perikatan dapat terjadi karena :
1. Perjanjian (Kontrak)
a) Persetujuan pihak-pihak secara bebas.
Hal ini terdapat pengaturannya dalam Buku III KUHPer.
b) Diatur di dalam Undang-undang, dapat terjadi karena :
(a) Undang-undang saja, terdapat dalam Buku I KUHPer seperti
tentang perkawinan, hubungan orangtua/wali dengan anak.
(b) Undang-undang perbuatan manusia, terjadi karena :
- Yang dibolehkan, antara lain diatur dalam pasal 1359 KUHPer.
- Yang bertentangan dengan hukum, antara lain diatur dalam
pasal 1365 KUHPer.
2. Bukan karena Perjanjian (dari Undang-undang)
a) Perbuatan melanggar hukum atau onrechtmatige daad seperti yang
diatur dalam pasal 1365 KUHPer.
b) Perwakilan sukarela (zaakwaarneming) seperti diatur dalam pasal 1354
KUHPer.

F. Pelaksanaan Suatu Perjanjian


Kehendak para pihak yang diwujudkan dalam kesepakatan adalah dasar
mengikatnya suatu perjanjian dalam hukum kontrak Perancis. Kehendak itu
dapat dinyatakan dengan berbagai cara baik lisan maupun tertulis dan mengikat
para pihak dengan segala akibat hukumnya (Donald Harris and Dennis Tallon,
1989 : 39). Sebagaimana diketahui Code Civil Perancis memengaruhi
Burgerlijk Wetboek Belanda, dan selanjutnya berdasarkan asas konkordansi
lalu diadopsi dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer)

12
Indonesia. Pada pasal 1338 ayat 3 KUHPer menyebutkan bahwa setiap
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Menurut Prof. R. Subekti, jika pelaksanaan perjanjian menurut hurufnya,


justru akan menimbulkan ketidakadilan, maka hakim mempunyai wewenang
untuk menyimpang dari isi perjanjian menurut hurufnya (R. Subekti, 1998 :
41). Dengan demikian jika pelaksanaan suatu perjanjian menimbulkan
ketidakseimbangan atau melanggar rasa keadlian, maka hakim dapat
mengadakan penyesuaian terhadap hak dan kewajiban yang tercantum dalam
kontrak tersebut.

Dalam praktik, berdasarkan asas itikad baik hakim memang


menggunakan wewenang untuk mencampuri isi perjanjian, sehingga
tampaknya itikad baik bukan saja harus ada pada pelaksanaan perjanjian, tetapi
juga pada saat dibuatnya atau ditandatanganinya perjanjian.

Menurut teori klasik hukum kontrak, asas itikad baik dapat diterapkan
dalam situasi dimana perjanjian sudah memenuhi syarat hal tertentu seperti
berlaku pada saat penandatangan dan pelaksanaan kontrak, akibatnya ajaran ini
tidak melindungi pihak yang menderita kerugian dalam tahap pra kontrak atau
tahap perundingan, karena dalam tahap ini perjanjian belum memenuhi syarat
hal tertentu.

Dalam pasal 1338 ayat 3 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, asas


itikad baik seharusnya diberlakukan bukan hanya pada saat ditandatanganinya
dan dilaksanakannya perjanjian, tetapi juga pada saat sebelum
ditandatanganinya perjanjian.

13
BAB III
PENUTUP

Berdasarkan uraian mengenai hukum perjanjian, penyusun bisa


mengambil keputusan dan simpulan sebagai berikut :
1. Perjanjian menurut pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih.
2. Perikatan adalah suatu hubungan hukum di bidang hukum kekayaan dimana
suatu pihak berhak menuntut suatu prestasi dan pihak lainnya berkewajiban
untuk melaksanakan suatu prestasi.
3. Perikatan timbul dari sebuah persetujuan atau perjanjian, perbuatan yang
melanggar hukum, serta pengurusan kepentingan lain yang tidak berdasarkan
pada persetujuan. Sebagaimana dalam Buku III KUHPer.
4. Perjanjian dapat dilihat dari beberapa segi yaitu segi prestasi, segi pembebanan,
segi kesepakatan, segi hasil perjanjian, segi pokok kelanjutan, segi urutan
utama, segi pengaturannya, dan segi luas lingkungan.
5. Untuk sahnya dalam perjanjian atau persetujuan dan mengikat secara hukum
bagi para pihak yang membuatnya maka diperlukan empat syarat yaitu sepakat,
kecapakapan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal.
6. Pasal 1265 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa apabila
suatu syarat batal dipenuhi maka syarat tersebut menghentikan perikatan dan
membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak
pernah ada suatu perikatan.
7. Terjadinya suatu perjanjian melalui pihak-pihak yang bersangkutan, sedangkan
perikatan tidak dengan janjipun akan terjadi, yaitu tidak perlunya persetujuan
dari pihak-pihak yang bersangkutan.
8. Pelaksanaan perjanjian harus didasarkan pada asas itikad baik sebagaimana
ditentukan dalam pasal 1338 ayat 3 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

14

Anda mungkin juga menyukai