PENDAHULUAN
Permasalahan hukum akan timbul jika belum perjanjian tersebut sah dan
mengikat para pihak, yaitu dalam proses perundingan atau preliminary
negotiation, salah satu pihak telah melakukan perbuatan hukum seperti meminjam
uang, membeli tanah, padahal belum tercapai kesepakatan final antara mereka
mengenai kontrak bisnis yang dirundingkan. Hal ini dapat terjadi karena salah
satu pihak begitu percaya dan menaruh pengharapan terhadap janji-janji yang
diberikan oleh rekan bisnisnya. Jika pada akhirnya perundingan mengalami jalan
buntu dan tidak tercapai kesepakatan, maka tidak dapat dituntut ganti rugi atas
segala biaya, investasi yang telah dikeluarkan kepada rekan bisnisnya. Karena
menurut teori kontrak yang klasik, belum terjadi kontrak.
1
Jika terjadi suatu sengketa antara para pihak dan atas sengketa tersebut
tidak ada pengaturan yang jelas dalam perjanjian yang disepakati para pihak,
bukan berarti perjanjian belum mengikat para pihak atau dengan sendirinya batal
demi hukum. Karena pengadilan dapat mengisi kekosongan hukum tersebut
melalui melalui penafsiran untuk menemukan hukum yang berlaku bagi para
pihak yang membuat perjanjian.
2
Pasal 1348
Semua janji yang dibuat dalam suatu perjanjian harus ditafsirkan dalam
hubungan satu sama lain, artinya tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka
perjanjian seluruhnya.
Pasal 1349
Jika suatu janji timbul keragu-raguan, maka janji tersebut harus ditafsirkan
atas kerugian orang yang meminta diperjanjikan suatu hal (meminta suatu hak)
dan atas keuntungan orang yang telah mengikatkan diri (menyanggupi
kewajiban).
Pasal 1350
Mesikpun kata-kata suatu perjanjian dirumuskan secara sangat umum,
namun perjanjian itu hanya meliputi hal-hal yang nyata yang dimaksudkan oleh
kedua belah pihak.
Pasal 1351
Suatu hal yang dinyatakan untuk menjelaskan suatu perjanjian, tidak dapat
digunakan untuk membatasi kekuatan perjanjian dalam hal-hal yang
dinyatakan.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
a) KUH Per buku III menyebutnya Tentang Perikatan, bukan hukum
Hukum Perikatan.
b) Prof. Soediman Kartohadiprojo, S.H. dalam bukunya yang berjudul
Pengantar Tata Hukum di Indonesia, Bagian 1, pada halaman 97
mempergunakan istilah Hukum Pengikatan sebagai terjemahan dari
Verbintennissenrecht.
Hukum Pengikatan istilah kesemuanya kaidah hukum yang mengatur hak
dan kewajiban seseorang yang bersumber pada tindakannya dalam
lingkungan hukum kekayaan.
c) Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H. dalam bukunya yang berjudul
Asas-asas Hukum Perjanjian pada halaman 8 menulis : Hukum
Perjanjian ini dalam bahasa Belanda dinamakan het
Verbintennissenrecht, yaitu hukum Perjanjian bukan hukum Perikatan.
d) Prof. R. Subekti, S.H tidak menggunakan istilah Hukum Perikatan tetapi
istilah Perikatan sesuai dengan judul Buku III KUH Per. Tentang
Perikatan.
Dalam Buku III KUHPer memuat tentang Perikatan yang timbul dari :
(a) Persetujuan atau perjanjian
(b) Perbuatan yang melanggar Hukum (Onrechtamatige daad)
(c) Pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan
persetujuan (Zaakwaarneming). Tetapi sebagian besar dari Buku III
ditujukan pada perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan atas
perjanjian.
Selain itu dalam Buku III KUHPer itu juga dinamakan Hukum
Perhutangan. Dengan demikian dapat ditafsirkan pendapat Prof. Subekti,
S.H tentang Buku III KUHPers sebagai berikut :
(a) Buku III memuat Hukum Perikatan atau Hukum Perhutangan.
(b) Hukum Perhutangan (Hukum Perikatan) terdiri dari Hukum
Perjanjian atau Hukum Persetujuan.
5
2. Istilah-istilah dalam Hukum Perjanjian
Dalam bahasa Belanda perjanjian disebut overeenkonst dan hukum
perjanjian adalah overeenkomstenrecht. Berkenaan dengan hukum
perjanjian terpaut beberapa istilah/pendapat :
a) Dalam KUHPer Buku III Prof. Subekti, S.H. menggunakan istilah
kontrak atau persetujuan untuk istilah overeenkomst.
b) Prof. R. Subekti, S.H. akan tetapi dalam Buku Pokok-pokok Hukum
Perdata Prof. Subekti menggunakan istilah perjanjian (bukan kontrak
atau persetujuan), misalnya perjanjian jual-beli, perjanjian sewa-
menyewa.
Bahkan dalam buku-bukunya yang lain Prof. Subekti member judul :
(a) Hukum Perjanjian (bukan Hukum Kontrak atau Hukum Persetujuan)
(b) Aneka Perjanjian
c) Prof. Soediman Kartohadiprodjo, S.H. dalam bukunya Pengantar Tata
Hukum di Indonesia, Bagian 1 menterjemahkan overeenkomsten (bagian
dari verbintennissen) menjadi perjanjian.
d) Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H. dalam bukunya Hukum Perdata
tentang persetujuan-persetujuan tertentu, selain menterjemahkan
Verbintennissenrecht menjadi Hukum Perjanjian dan bagian dari
Verbintennissenrecht yakni overeenkomstenrecht diterjemahkan menjadi
Persetujuan, antara lain : persetujuan jual-beli, sewa-menyewa.
B. Macam-macam Perjanjian
Pembagian macam-macam perjanjian dapat terlihat dalam beberapa segi, yaitu :
1. Dilihat dari segi prestasi, perjanjian dapat dibedakan dalam :
a) Perjanjian timbal-balik
Dalam perjanjian ini kedua belah pihak masing-masing harus memenuhi
kewajiban utama atau prestasi. Seperti, perjanjian jual-beli (pasal 1457
KUHPer), perjanjian sewa-menyewa, dan perjanjian kredit.
b) Perjanjian timbal-balik tidak sempurna atau perjanjian timbal-balik
kebetulan (onvolmaakt wederkerige of toevallig wederkerige
overeenskomst).
6
Dalam perjanjian ini pihak yang satu memenuhi kewajiban yang tidak
seimbang dengan kewajiban pihak pertama.
c) Perjanjian sebelah (eenzijdige overeenkomst)
Perjanjian dalamnya hanya suatu pihak mempunyai kewajiban atau
prestasi. Seperti, perjanjiam pinjam-ganti (pasal 1754 KUHPer) dan
perjanjian pemberian atau hibah (pasal 1666 KUHPer).
2. Dilihat dari segi pembebanan, perjanjian dapat dibedakan dalam :
a) Perjanjian dengan Cuma-suma (om niet)
Perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada
pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
Seperti, hibah pasal 1666 KUHPer) dan pinjam-pakai (pasal 1740
KUHper).
b) Perjanjian atas beban (onder bezwarenden)
Perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu,
berbuat sesuatu.
3. Dilihat dari segi kesepakatan, perjanjian dapat dibedakan dalam :
a) Perjanjian konsensual
Perjanjian yang tercipta dengan tercapainya persetujuan kehendak pihak-
pihak.
b) Perjanjian rieel
Perjanjian yang baru tercipta apabila disamping persetujuan kehendak
antara pihak-pihak secara obligatoire, diikuti pula dengan penyerahan
barang (levering).
4. Dilihat dari segi hasil perjanjian, perjanjian dapat dibedakan dalam :
a) Perjanjian comutatif atau perjanjian membalas (vergeldende
overeenkomst)
Perjanjian dimana terdapat keuntungan yang dinikmati oleh yang berhak
atau atas nama yang menjanjikan prestasi itu.
b) Perjanjian aleatoir (seperti perjanjian asuransi) atau perjanjian untung-
untungan (vorsovereenkomst)
Perjanjian yang mana suatu prestasi dijanjikan atau tanpa syarat, terdapat
hanya suatu keuntungan dengan syarat, sedangkan terpenuhinya syarat
7
itu tidak tergantung dari pokok-pokok yang bersangkutan, sedangkan
perjanjian tersebut diadakan justru berhubungan dengan kemungkinan
dipenuhinya syarat itu.
5. Dilihat dari segi pokok kelanjutan, perjanjian dapat dibedakan dalam :
a) Perjanjian principal (dalam perjanjian jual-beli)
b) Perjanjian accessoir
Perjanjian untuk menjamin cacad tersembunyi, perjanjian hipotik,
perjanjian gadai, perjanjian penanggungan (borgtocht), dan penyerahan
hak milik atas kepercayaan (fiduciaire eigendom-overdracht).
6. Dilihat dari segi urutan utama, perjanjian dapat dibedakan dalam :
a) Perjanjian primair (perjanjian utama atau pokok)
b) Perjanjian secundair
Menggantikan perjanjian yang asli (oorspronkelijk), apabila ini tak
dipenuhi, umpama pembayaran ganti kerugian.
7. Dilihat dari segi pengaturannya, perjanjian dapat dibedakan dalam :
a) Perjanjian yang lahir dari undang-undang
b) Perjanjian yang lahir dari persetujuan
8. Dilihat dari segi luas lingkungan, perjanjian dapat dibedakan dalam :
a) Perjanjian dalam arti sempit
Terjadi dengan kesepakatan perjanjian
b) Perjanjian dalam arti luas
Terjadi dengan tanpa kesepakatan.
8
C. Syarat Sahnya Perjanjian
Isi Buku III KUHPer, memuat :
Hukum Perikatan
(Verbintennissenrecht)
Dalam suatu perikatan sering dijumpai ketentuan bahwa para pihak telah
bersepakat menyimpang atau melepaskan pasal 1266 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata. Akibat hukumnya terjadi wanperstasi, yaitu perjanjian tersebut
tidak perlu dimintakan pembatalan kepada hakim, tetapi dengan sendirinya
sudah batal demi hukum. Dalam hal ini, wanprestasi merupakan syarat batal.
Akan tetapi beberapa ahli hukum berpendapat sebaliknya, bahwa dalam hal
terjadi wanprestasi perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi harus dimintakan
pembatalan kepada hakim dengan alasan antara lain bahwa sekalipun debitur
sudah wanprestasi, hakim masih berwenang untuk memberi kesempatan
kepadanya untuk memenuhi perjanjian.
9
Pasal 1265 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa
apabila suatu syarat batal dipenuhi maka syarat tersebut menghentikan
perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-
olah tidak pernah ada suatu perikatan.
10
kapasitas produksi si penjual. Sedangkan Requirement Contract penjual
menyaggupi untuk memenuhi berapapun kebutuhan dan permintaan pembeli.
Requirement Contract lebih menguntungkan pembeli karena dialah yang
menentukan jumlah barang yang harus dipasok oleh penjual untuk memenuhi
kebutuhan pembeli.
1
Ada beberapa pembatasan yang diberikan oleh pasal-pasal KUH Perdata
terhadap asas ini yang membuat asas ini merupakan asas tidak tak terbatas :
1. Pasal 1320 ayat (1) menentukan bahwa perjanjian atau, kontrak tidak sah
apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para pihak yang
membuatnya.
2. Pasal 1320 ayat (2) dapat pula disimpulkan bahwa kebebasan orang untuk
membuat perjanjian dibatasi oleh kecakapannya untuk membuat perjanjian.
Bagi seseorang yang menurut ketentuan undang-undang tidak cakap untuk
1
Sumber : http://rechstat.blogspot.co.id/2011/01/asas-kebebasan-berkontrak-dan-batas.html?m=1
11
membuat perjanjian sama sekali tidak mempunyai kebebasan, untuk
membuat perjanjian.
12
Indonesia. Pada pasal 1338 ayat 3 KUHPer menyebutkan bahwa setiap
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Menurut teori klasik hukum kontrak, asas itikad baik dapat diterapkan
dalam situasi dimana perjanjian sudah memenuhi syarat hal tertentu seperti
berlaku pada saat penandatangan dan pelaksanaan kontrak, akibatnya ajaran ini
tidak melindungi pihak yang menderita kerugian dalam tahap pra kontrak atau
tahap perundingan, karena dalam tahap ini perjanjian belum memenuhi syarat
hal tertentu.
13
BAB III
PENUTUP
14