Anda di halaman 1dari 7

TUGAS HUKUM PERIKATAN

(PERIKATAN YANG LAHIR DARI PERJANJIAN)

NAMA KELOMPOK
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

PENDAHULUAN

PEMBAHASAN

DAFTAR PUSTAKA
BAB 1

PENDAHULUAN
A. Istilah dan Pengertian Tentang Perikatan
Hukum perikatan merupakan bagian dari hukum harta kekayaan.
Dalam sistematika ilmu pengetahuan hukum, harta kekayaan diatur dalam
buku III yang mencakup hubungan antara orang dan benda, hubungan antara
orang dan orang. Sedangkan hukum yang mengatur hubungan antara orang
dan orang diatur dalam buku III tentang perikatan.
Istilah Perikatan berasal dari bahasa belanda verbintenis.
Namun demikian dalam kepustakaan hukum Indonesia memakai bermacam-
macam istilah untuk menterjemahkan Verbintenis. Subekti dan Tjiptosudibjo,
menggunakan istilah perikatan untuk verbintenis dan persetujuan untuk
Overeenkomst. Utrecht, dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum Indonesia
memakai istilah perutangan untuk verbentenis dan perjanjian untuk
Overeenkomst. Sedangkan Achmad Ichsan menterjemahkan verbintenis
dengan perjanjian dan Overeenkomst untuk persetujuan. Dengan demikian,
verbentenis ini dikenal memiliki tiga istilah di Indonesia yaitu (1) Perikatan;
(2) Perutangan dan (3) Perjanjian. Sedangkan untuk Overeenkomst dipakai
untuk dua istilah yaitu perjanjian dan persetujuan. Dengan demikian
Verbintenis menunjuk kepada adanya ikatan atau hubungan.1 Menurut
Hofmann, Perikatan atau Verbintenis adalah suatu hubungan hukum antara
sejumlah terbatas subjek-subjek hukum, sehubungan dengan itu, seseorang
mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak
yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.2 Hal yang mengikat itu
adalah peristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli,
utang piutang, dapat berupa kejadian, misalnya Kelahiran dan dapat juga
berupa keadaan, misal perkarangan berdampingan. Peristiwa hukum tersebut
dapat menciptakan hubungan hukum. Hubungan pada setiap pihak tersebut
mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik. 3
1
R. Setiawan, 1977, Pokok- Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung, Hal. 1
2
L.C.Hoffman, sebagaimana dikutip dari R.Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Putra Abardin, 1999, Hal. 2
3
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1992, Hal. 196
B. Pengertian Tentang Perjanjian

Perjanjian atau persetujan diatur didalam Bab II, sedangkan


ketentuan khusus diatur di dalam Bab VII A. Ketentuan-ketentuan Umum
mengenai terjadinya dan hapusnya perikatan seperti yang terdapat didalam
Bab I dan VI juga saling berkaitan dengan Perikatan yang lahir dari Pejanjian. 4
Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemah dari Overeenkomst, di dalam
Pasal 1233 KUHPerdata menyatakan, bahwa tiap- tiap perikatan dilahirkan
baik karena persetujuan, baik karena undang-undang, jadi setiap kewajiban
perdata dapat terjadi karna dikehendaki karena oleh pihak-pihak yang terkait
dalam perikatan/perjanjian yang sengaja dibuat oleh mereka, ataupun karena
ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan demikian perikatan atau perjanjian di rumuskan dalam pasal
1313 KUHPerdata, yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya. Ketentuan dalam
pasal 1313 KUH Perdata menjelaskan untuk terjadinya suatu perjanjian
setidaknya harus ada dua pihak sebagai subyek hukum, dimana masing-
masing pihak sepakat untuk mengikat dirinya dalam suatu hal tertentu yang
berupa suatu perbuatan yang nyata, baik dalam bentuk ucapan, maupun
tindakan secara fisik dan tidak hanya dalam bentuk pikiran semata-mata.
Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa
definisi peerjanjian yang terdapat didalam ketentuan diatas tidak lengkap dan
terlalu luas.5 Beberapa kelemahan-kelemahannya yaitu sebagai berikut: 6
1.Hanya menyangkut sepihak saja karena pada rumusan kata kerja
mengikatkan diri, sifatnya hanya datanag dari satu pihak saja dan tidak
dari kedua belah pihak dan seharusnya rumusannya harus saling
mengikatkan diri, jadi terdapat konsensus antara dua belah pihak.
2.Kata perbuatan juga mencakup juga tanpa konsensus. Didalam pengertian
perbuatan termasuk juga dalam penyelenggaraan kepentingan
(zaakwaarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang
4
R. Setiawan, Pokok- Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung, R. Setiawan, 1977, Op.cit, Hal. 49
5
Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya, Alumni, Bandung, 1993,
Hal.65
6
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1992, Op.cit. Hal. 224
tidak mengandung konsensus. Seharusnya dipakai istilah Perjanjian/
Persetujuan.
3.Pengertian perjanjian terlalu luas yang mencakup juga perjanjian kawin
yang diatur dalam bidang hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah
hubungan antara debitur dan kreditur mengenai harta kekayaan. Perjanjian
yang diatur dalam buku III KUHPerdata sebenarnya hanya meliputi
perjanjian yang bersifat kebendaan, dan bukan bersifat kepribadian atau
personal.
4.Tanpa menyebut tujuan. Jadi di dalam rumusan pasal 1313 KUHPerdata
tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak
mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut maka perjanjian dapat dirumuskan bahwa
Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling
mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan.

1. Menurut R. Wirjodikoro, suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perhubungan


hukum mengenai harta kekayaan antara dua pihak dalam mana suatu pihak
berjanji dan dianggap atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau
tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan
janji itu.7
2. Kemudian menurut Subekti, Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana
seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji
untuk melaksanakan suatu hal.8
3. Abdulkadir Muhammad juga memberikan pengertian tentang Perjanjian
bahwa Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih
saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan
hartakekayaan. Definisi perjanjian diatas, dapat disimpulkan yang menjadi
unsur-unsur dalam suatu perjanjian.9 Yaitu sebagai beriku:
a. Adanya pihak-pihak
b. Adanya konsensus atau persetujuan dari pihak-pihak

7
R. Wirjono Prodjodikoro, Asas asas perjanjian, Bandung: Subur, 1991, Hal, 9
8
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1994, Hal. 1
9
Abdulkadir Muhammad, Hukum Peridata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990, Hal.78
c. Adanya objek dalam perjanjian tersebut yang berupa benda
d. Adanya tujuan yang bersifat kebendaan mengenai harta kekayaan
e. Ada bentuk tertentu, baik secara lisan maupun tulisan
f. Adanya syarat-syarat tertentu.

Anda mungkin juga menyukai