Anda di halaman 1dari 40

BAB II

TINJAUAN UMUM PERJANJIAN, AKTA OTENTIK DAN

MACAM ALAT PEMBUKTIAN

2.1 Tentang Perjanjian

2.1.1 Istilah Perjanjian

KUHPerdata dalam buku ke III mengatur tentang perikatan. Pasal 1233

KUHPerdata menentukan bahwa “tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena

perjanjian, baik karena undang-undang. Jadi perikatan lebih luas dari perjanjian.

Tiap-tiap perjanjian adalah perikatan dan rerikatan belum tentu perjanjian.

Perjanjian sebagaimana didefinisikan oleh ketentuan Pasal 1313

KUHPerdata berbunyi: “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu

orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Perjanjian

dengan demikian mengikat para pihak secara hukum, untuk mendapatkan hak atau

melaksanakan kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian.1 Jadi perjanjian

merupakan kesepakatan yang dibuat lebih dari dua pihak dan perjanjian itu

mengikat bagi para pihak.

Mengenai perjanjian dapat dilakukan dengan tertulis maupun lisan.

Perjanjian lisan lazimnya dilakukan dimasyarakat adat untuk ikatan hukum yang

sederhana, misalnya perjanjian “pengkadasan ternak”, “perjanjian nyakapan

tanah” dan lain-lain. Sedangkan perjanjian tertulis, lazimnya dilakukan pada

masyarakat yang relatif sudah modern, berkaitan dengan bisnis yang berhubungan

1
Ketut Artadi, Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Impelementasi Ketentuan-
Ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press,
Denpasar, Hal. 28.

48
dengan hukum yang komplek. Perjanjian tertulis untuk hubungan bisnis lazimnya

disebut kontrak.2 Dalam The Natural of Contracts disebutkan bahwa:

“A Contracts is an agreement between two or more competent parties,


based on mutual poses, to do or to refrain from doing some particular
thing that is reither illegal not impossible, the agreement result in
obligation or a dutty that can be enforead in acourt of law”.3

Selanjutnya Robert Duxbury mengenai pengertian kontrak menyebutkan :

“A Contracts may be de befined as a agreement between two or more


parties that is binding in law.”4

Menurut chaterine dan Frances kontrak adalah :

“Normally a contract is formed when a effective acceptance has been


communicated to be offere. A communication will be treated as an offer if
it indicates the terms on which the offeror is prepared to make a contract
(such as the price of the goods for sale), and gives a clear indication that
the offeree. Acceptance of an offer means unconditional agreement to all
the terms of that offer.”5
Dari pengertian kontrak tersebut diatas dapat dikemukakan bahwa kontrak

dapat disamakan dengan perjanjian yang dimana dua pihak atau lebih melakukan

suatu janji yang mengikat satu sama lain, jadi apabila ada pihak yang melanggar

atau wanprestasi mengenai isi perjanjian yang telah disepakati itu maka terhadap

pihak yang melanggar tersebut harus mebayar kerugian dan dapat dituntut dimuka

peradilan. Sehingga hal tersebut dari segi yuridis Pengadilan menyelesaikan suatu

sengketa dan Pengadilan dapat memaksakan untuk berlakunya suatu kontrak dan

Pengadilan dapat memberikan sanksi terhadap pihak-pihak yang melanggar apa

yang telah di sepakati dalam kontrak tersebut. Tidak semua perjanjian tertulis

2
Ibid.
3
Gordon W. Brown and Paula A. Sukys, 2001, Business Law With UCC Applications,
10th Edition, Glencoe Mc. Grow-Hill, New York America, Hal.95.
4
Robert Duxbury, 2009, Nutshells Contract Law, 8th Edition, Sweet & Maxwell, Hal 45.
5
Catherine Elliot and Frances Quinn, 2005, Contract law,Perason Education
Limited,England, Hal.10
diberi judul kontrak, akan tetapi hal tersebut tergantung daripada kesepakatan para

pihak karena segala jenis perjanjian yang dibuat para pihak sesuai dengan

kehendaknya.

2.1.2 Syarat Sahnya Perjanjian

Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang

ditetapkan oleh undang-undang. Perjanjian yang sah diakui dan diberi

konsekuensi yuridis (legally concluded contract).6 Pasal 1320 KUHPerdata

merupakan instrumen pokok untuk menguji keabsahan perjanjian yang dibuat para

pihak. Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata terdapat empat syarat yang harus

dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu:7

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (de toestemming van degenen die

zich verbiden),

b. Kecakapan untuk membuat perjanjian (de bekwaanheid om ene verbintenis

aan te gaan);

c. Suatu hal tertentu (een bepaald anderwerp);

d. Suatu sebab yang halal atau diperbolehkan (eene geoorloofde oorzaak).

R. Subekti menjelaskan maksud dari Pasal 1320 KUHPerdata tersebut,

yaitu: ayat (1) mengenai adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri

adalah adanya kemauan yang bebas sebagai syarat pertama untuk suatu perjanjian

yang sahdan dianggap tidak ada jika perjanjian itu telah terjadi karena paksaan

(dwang), kekhilafan (dwaling), atau penipuan (bedrog). Ayat (2) mengenai

6
Abdul Kadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, Hal. 228.
7
Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas dalam Kontrak
Komersil, Kencana, Jakarta, Hal. 157.
kecakapan, maksudnya adalah kedua belah pihak harus cakap menurut hukum

untuk bertindak sendiri. Ada beberapa golongan orang oleh undang-undang

dinyatakan "tidak cakap" untuk melakukan sendiri perbuatan-perbuatan hukum.

Mereka itu, seperti orang dibawah umur, orang dibawah pengawasan (curatele).

Jika ayat (1) dan (2) tidak dipenuhi maka perjanjian ini cacat dan dapat

dibatalkan. Selanjutnya dijelaskan bahwa, ayat (3) mengenai hal tertentu

maksudnya yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau

suatu barang yang cukup jelas atau tertentu. Syarat ini perlu untuk dapat

menetapkan kewajiban si berhutang jika terjadi perselisihan. Barang yang

dimaksudkan dalam perjanjian, paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Dan

tentang ayat (4), dijelaskan bahwa undang-undang menghendaki untuk sahnya

perjanjian harus ada oorzaak atau causa. Secara letterlijk, oorzaak atau causa

berarti sebab, tetapi menurut riwayatnya yang dimaksudkan dengan kata itu

adalah tujuan, yaitu apa yang dikehendaki oleh kedua pihak dengan mengadakan

perjanjian itu. Jika ayat (3) dan Ayat (4) maka perjanjian ini batal demi hukum.8

Mengenai syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata

yaitu harus terpenuhinya syarat subyektif dan obyektif. Karena syarat subyektif

berkenaan dengan subjek yang dimaksud dalam perjanjian tersebut. Konsekuensi

dari akibat tidak dipenuhinya salah satu dari syarat subyektif ini adalah bahwa

kontrak tersebut dapat dibatalkan atau dimintakan batal oleh salah satu pihak yang

berkepentingan. Syarat ini juga tidak boleh adanya unsur paksaan dari pihak

manapun. Sedangkan syarat obyektif berkenaan dengan objek dalam perjanjian

8
R. Subekti, 1979, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, (selanjutnya disebut Subekti R
IV) Hal. 135-137.
tersebut. Konsekuensi dari akibat tidak dipenuhinya salah satu syarat obyektif

tersebut maka perjanjian itu batal demi hukum. Seperti halnya apabila terjadi jual

beli tanah, namun obyek tersebut sedang dalam sengketa maka apabila tanah

tersebut ingin diperjual belikan dan perjanjian yang telah dibuat batal demi

hukum.

2.1.3 Unsur-unsur Perjanjian

Dalam suatu perjanjian dikenal tiga unsur, yaitu sebagai berikut: 9

1. Unsur Esensiali

Unsur esensiali merupakan unsur yang harus ada dalam suatu perjanjian

adalah adanya kesepakatan antara para pihak tanpa ada paksaan dari pihak

manapun, jika tidak ada unsur esensiali ini maka tidak ada perjanjian. Sebagai

contoh, dalam peralihan hak atas tanah harus ada kesepakatan mengenai tanah

dan harga karena tanpa kesepakatan mengenai barang dan harga dalam

perjanjian jual beli, perjanjian tersebut batal demi hukum karena tidak ada hal

tertentu yang diperjanjikan.

2. Unsur Naturalia

Unsur naturalia merupakan unsur yang telah diatur dalam undang-

undang sehingga apabila tidak diatur oleh para pihak dalam perjanjian,

undang-undang yang mengaturnya. Dengan demikian, unsur naturalia ini

merupakan unsur yang selalu danggap ada dalam perjanjian. Sebagai contoh,

jika dalam perjanjian adanya kerusakan dan tentang cacat pada barang yang

9
Miru, Ahmad, 2007, Hukum Kontrak, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 31-32
tersembunyi, secara otomatis berlaku ketentuan dalam KUHPerdata yang

harus menanggung cacat tersembunyi tersebut.

3. Unsur Aksidentalia

Unsur aksidentalia merupakan unsur yang nanti ada atau mengikat para

ihak jika para pihak memperjanjikan. Sebagai contoh, dalam perjanjian jual

beli tanah dengan angsuran diperjanjikan bahwa apabila pihak pembeli

terlambat dalam pembayaran angsuran sesuai tanggal yang telah disepakatia,

dikenakan denda sebesar yang telah diperjanjikan, dan apabila pembeli tidak

melasanakan kewajibannya membayar angsuran, meskipun dia telah

membayar angsuran yang pertama, maka obyek yang sudah dibeli dapat

diambil kembali oleh penjual tanpa melalui Pengadilan. Demikian pula

klausul-klausul lainnya yang sering ditentukan dalam suatu pejanjian, yang

bukan merupakan unsur ensensial dalam perjanjian.

Menurut doktrin lama menyebutkan unsur-unsur perjanjian adalah :

1. Adanya perbuatan hukum,

2. Persesuaian pernyataan kehendak dari beberapa orang,

3. Persesuaian kehendak harus dipublikasikan/dinyatakan,

4. Perbuatan hukum terjadi karena kerja sama antara dua orang atau lebih,

5. Pernyataan kehendak yang sesuai harus saling bergantung satu sama lain,

6. Kehendak ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum,

7. Akibat hukum itu untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain atau

timbal balik, dan,

8. Persesuaian kehendak harus dengan mengingat peraturan perundang-

undangan.
Menurut Salim H.S. menyebutkan dalam hukum kontrak terdapat beberapa

unsur, yaitu10 :

1. Adanya kaidah hukum.

2. Adanya subyek hukum, yaitu pendukung hak dan kewajiban, bisa debitur dan

kreditur.

3. Adanya objek hukum yang berkaitan dengan prestasi.

4. Adanya kata sepakat antara para pihak.

5. Akibat hukum yang berkaitan dengan timbulnya hak dan kewajiban dari para

pihak.

2.1.4 Sumber-sumber Hukum Perjanjian

Adapun sumber hukum perjanjian terdiri dari 2 sumber yaitu, Kitab

Undang-undang Hukum Perdata dan Peraturan Perundang-undangan.

A. KUHPerdata

a. Pasal 1338 KUHPerdata tentang asas kebebasan berkontrak (1) membuat,

tidak membuat perjanjian, (2) mengadakan perjanjian dengan siapapun, (3)

menentukan isi, persyaratan dan pelaksanaan perjanjian, (4) menentukan

bentuk perjanjian.

b. Pasal 1233-Pasal 1321 KUHPerdata tentang perikatan pada umumnya;

c. Pasal 1313-1351 KUHPerdata tentang perikatan yang lahir dari perjanjian;

d. Pasal 1381-1456 KUHPerdata tentang hapusnya perikatan

e. Pasal 1457-1540 KUHPerdata tentang jual beli

f. Pasal 1541-1546 KUHPerdata tentang tukar menukar;

10
Salim H.S, 2003, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar
Grafika, Jakarta, (selanjutnya disebut Salim H.S II),Hal. 25.
g. Pasal 1548-1600 KUHPerdata tentang sewa menyewa;

h. Pasal 1601-1617 KUHPerdata tentang persetujuan untuk melakukan

pekerjaan;

i. Pasal 1618-1652 KUHPerdata tentang persekutuan;

j. Pasal 1666-1693 KUHPerdata tentang Hibah;

k. Pasal a694-1739 KUHPerdata tentang Penitipan Barang;

l. Pasal 1740-1753 KUHPerdata tentang Pinjam Pakai;

m. Pasal 1754-1769 KUHPerdata tentang Pinjam Meminjam;

n. Pasal 1792-1819 KUHPerdata tentang Pemberian Kuasa;

o. Pasal 1820-1850 KUHPerdata tentang Penanggungan Hutang;

p. Pasal 1851-1864 KUHPerdata tentang Perdamaian;

q. Pasal 1865-1894 KUHPerdata tentang Pasal-Pasal yang berkaitan dengan

bukti tulisan.

B. Perundang-undangan

a. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi,

khususnya

- Pasal 1 ayat (5) tentang Definisi Kontrak Kerja Konstruksi;

- Pasal 22 tentang Kerangka Kontrak Konstruksi

b. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas

Tanah Serta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, khususnya

- Pasal 10 ayat (2) mengatur tentang Pembuatan Akta Pemberian Hak

Tanggungan

- Pasal 11 - Pasal 17 hal-hal yang wajib dicantumkan dalam akta

pemberian hak tanggungan


c. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia,

khususnya

- Pasal 5 mengatur tentang Pembebanan Jaminan Fidusia Harus Dibuat

dengan Akta Notaries

- Pasal 6 tentang Struktur/Kerangka Akta Jaminan Fidusia

d. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris,

khususnya Pasal 38 tentang Struktur/Kerangka Akta Notaries

e. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,

khususnya

- Pasal 17 tentang Larangan Memproduksi Iklan yang Isinya

Menyesatkan

- Pasal 18 tentang Aturan dalam Mencantumkan Klausul Baku tentang

Setiap Perjanjian.

f. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

2.1.5 Jenis-jenis Perjanjian

1. Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak, perjanjian sepihak adalah

perjanjian yang memberikan kewajibannya kepada satu pihak dan hak

kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya, misalkan hibah.

2. Perjanjian percuma dan perjanjian dengan alas hak yang membebani

3. Perjanjian bernama dan tidak bernama .

4. Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligatoir

5. Perjanjian konsensual dan perjanjian real


2.1.6 Macam-macam Pcrjanjian

Dalam kenyataannya ada beberapa macam perikatan yang dikenal dalam

masyarakat menurut syarat yang ditentukan oleh pihak- pihak, atau menurut jenis

prestasi yang harus dipenuhi, atau menurut jumlah subyek yang terlibat dalam

perikatan itu.

1. Perikatan bersyarat, perikatan yang timbul dari perjanjian dapat berupa

perikatan murni dan perikatan bersyarat.

2. Perikatan dengan ketetapan waktu

3. Perikatan alternative

4. Perikatan tanggung menanggung

Perjanjian dimana pembayaran kepada salah satu kreditur membebaskan

debitur dari penagihan kreditur lainnya atau pembayaran kepada kreditur oleh

seseorang debitur membebaskan debitur lainnya dari penagihan dari kreditur.

5. Perikatan yang dapat dan tidak dapat dibagi

6. Perikatan dengan ancaman hukuman

Dalam perjanjan semacam ini, ditentukan bahwa si berutang ditentukan untuk

menjamin pelaksanaan perikatannya, dan apabila pihak I tidak dapat

memenuhi ia diwajibkan melakukan sesuatu sebagai hukuman.

7. Perikatan wajar

2.2 Pengertian, Syarat dan Macam Akta

2.2.1 Pengertian Akta

Istilah akta berasal dari bahasa Belanda yaitu akte. Dalam kehidupan

sehari-hari akta sering didengar, misalnya akta kelahiran, akta perkawinan, akta
jual beli, akta hibah, akta perceraian, dan sebagainya. Tetapi apa sesungguhnya

yang dimaksud dengan akta, perlu ada pemahaman lebih dulu sebelum

menguraikan mengenai macam-macam akta, isi akta, kegunaan akta, dan akta

perjanjian jual beli tanah. Arti penting untuk menetapkan suatu tulisan itu

dinamakan akta karena kekuatan pembukti dari suatu akta diatur dalam undang-

undang, sedangkan kekuatan pembuktian dari suatu surat yang bukan akta pada

umumnya mempunyai kekuatan pembuktian bebas.

Poerwadarminta menjelaskan akta adalah sebagai surat keterangan

(pengakuan dan sebagainya) yang disaksikan atau disahkan oleh suatu badan

pemerintah atau pihak berwenang (notaris dan sebagainya).11 Menurut pendapat

Subekti akta adalah tulisan yang memang sengaja dibuat untuk dijadikan suatu

tanda bukti mengenai suatu peristiwa dan kemudian ditanda tangani.12 Kunthoro

Basuki dan Retno Supartinah menyebutkan akta adalah setiap surat yang diberi

tanda tangan dan sejak semula dengan sengaja dibuat untuk pembuktian.13 Tanda

tangan adalah nama si penanda tangan dan bukan monogram atau initial, sehingga

suatu paraf bukanlah merupakan nama yang dapat mengindividualisir, melainkan

hanyalah singkatan dari nama atau kebanyakan bahkan hanya merupakan huruf

pertama saja dari nama yang bertanda tangan, maka oleh karena itu tidak berlaku

sebagai tanda tangan (HR 17 Des. 1885 W. 5251).14 MR.A. Pitlo menyebutkan

suatu akta adalah suatu surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai sebagai

11
Poerwadarminta, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta
Hal. 26
12
Subekti, 1969, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, (selanjutnya disebut
Subekti VI) Hal. 23. 40
13
Kunthoro Basuki dan Retno Supartinah, 1 984, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Liberty,
Yogyakarta, Hal. 100
14
Ibid, Hal. 101
bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang, untuk keperluan siapa surat itu

dibuat.15 Untuk dapat disebut sebagai suatu akta, maka suatu surat mesti

mempunyai tanda tangan, ternyata dari Pasal-pasal seperti Pasal 1911, 1912,

1915, 1917 BW, dan tidak perlu ditulis tangan sendiri, kecuali dalam hal-hal di

mana undang-undang menentukan syarat ini (Pasal 979,982, 988, dan 1915

BW).16 Akta juga diartikan sebagai surat yang sengaja dibuat sebagai alat bukti,

berkenaan dengan perbuatan-perbuatan hukum dibidang keperdataan yang

dilakukan oleh pihak-pihak.17

Jadi dari pengertian diatas tersebut dapat diartikan akta adalah suatu

bentuk yang tertulis dalam suatu kertas yang dimana terdapat tanda tangan para

pihak yang dalam hal ini sebagai piuhak yang ingin melakukan segala jenis

perjanjian dan yang sudah diatur juga oleh undang-undang dengan diikuti atau

disahkan oleh pejabat berwenang. Sehingga hal-hal terpenting suatu akta adalah

adanya kesengajaan yang dibuat para pihak-pihak yang terkait yang dilakukan

tanpa ada campur tangan pihak manapun yang dimana dalam akta tersebut untuk

menciptakan suatu bukti tertulis bagi para pihak dan penandatanganan tulisan

tersebut.

2.2.2 Macam Macam Akta

Dilihat dari segi pembuatannya akta dapat dibedakan atas dua macam

yaitu:

15
Pitlo, 1978, Pembuktian dan Daluarsa, Alih Bahasa Oleh M. Isa Arief, PT. Intermasa,
Jakarta, Hal. 52.
16
Ibid, Hal. 52-53
17
N.G. Yudara, 2005, Pokok-Pokok Pikiran Dan Fungsi Notaris Serta Akta Notaris
Menurut Sistem Hukum di Indonesia, Majelis Kehormatan lkatan Notaris Indonesia, Jawa Timur,
Hal.3.
a. Akta Otentik

Selain surat-surat atau tulisan-tulisan yang dinamakan akta

sebagaimana diuraikan di atas ada suatu golongan akta lagi yaitu yang disebut

dengan akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang berbeda

dengan akta di bawah tangan, yaitu mempunyai kekuatan pembuktian

istimewa atau sempurna dan tidak perlu disangkal lagi.

Akta otentik apabila digunakan sebagai alat bukti maka akta otentik

tersebut merupakan alat bukti terkuat dan terpenuhi, dan mempunyai peranan

yang cukup penting dalam setiap hubungan hukum pada masyarakat, baik

dalam berbagai kehidupan bermasyarakat baik hubungan bisnis, perbankan

dan lain sebgainya.

Merujuk pada perkembangan masyarakat kini tuntutan akan adanya

kepastian hukum dalam berbagai hubungan kemasyarakatan baik dalam

hubungan ekonomi maupun sosial, baik pada tatanan nasional, regional

maupun internasional, maka kebutuhan akan adanya pembuktian secara

tertulis, yaitu berupa akta otentik semakin meningkat.

Menurut ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata (demikian pula didalam

Pasal 165 R.I.B. atau Pasal 285 R.B.G.) disebutkan bahwa suatu akta otentik

adalah suatu akta yang di dalam bentuknya ditentukan oleh undang-undang,

dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang yang ditunjuk oleh

undang-undang, misalnya akta notaris, akta PPAT, akta catatan sipil.


Selanjutnya untuk akta otentik berdasarkan pihak yang membuatnya

dibagi menjadi 2 (dua) yaitu: 18

1. Akta para pihak (partij akte) adalah akta yang memuat keterangan atau

yang berisi tentang apa yang dikehendaki oleh pihak-pihak yang

bersangkutan. Misalnya pihak-pihak yang bersangkutan mengatakan

menjual/membeli selanjutnya pihak Notaris merumuskan dan membuatkan

komparan dari kehendak para pihak tersebut dalam suatu akta. Partij akte

ini mempunyai kekuatan pembuktian sempurna bagi pihak- pihak yang

bersangkutan termasuk para ahli warisnya dan orang-orang yang

menerima hak dari mereka itu, Ketentuan Pasal 1870 KUHPerdata

dianggap berlaku bagi partij akte ini. Mengenai kekuatan pembuktian

terhadap pihak ketiga tidak diatur, jadi partij akte adalah :

a) Inisiatif ada pada pihak-pihak yang bersangkutan;

b) Berisi keterangan pihak pihak.

2. Akta Pejabat (Ambtelijke Akte atau Relaas Akte) adalah akta yang memuat

keterangan resmi dari pejabat yang berwenang. Jadi akta ini hanya

memuat keterangan dari satu pihak saja, yakni pihak pejabat yang

membuatnya. Akta ini dianggap mempunyai kekuatan pembuktian

terhadap semua orang, misalnya akta kelahiran. Jadi ambtelijke akte atau

relaas akte merupakan:

a) Inisiatif ada pada pejabat;

b) Berisi keterangan tertulis dari pejabat (ambtenaar) pembuat akta.

18
Mochammad Dja’is dan RMJ. Kosmargono, 2008, Membaca dan Mengerti HIR, Badan
Penerbit, Universitas Ponegoro, Semarang, Hal. 154-155.
Apabila seorang Notaris membuat suatu perslag atau laporan tentang

suatu rapat yang dihadirinya dari para pemegang sero dari suatu perseroan

terbatas maka proses perbal itu merupakan suatu akta otentik yang telah dibuat

oleh Notaris tersebut. Begitu pula proses perbal yang dibuat oleh seorang juru

sita Pengadilan tentang pemanggilan seorang tergugat atau seorang saksi

merupakan suatu akta otentik yang dibuat oleh juru sita tadi. Akta-akta seperti

itu sebenarnya merupakan suatu laporan (relasi) tentang suatu perbuatan resmi

yang telah dilakukan oleh pegawai umum tersebut. Apabila dua orang datang

kepada seorang Notaris, menerangkan bahwa mereka telah mengadakan suatu

perjanjian (misalnya jual beli, sewa menyewa dan lain-lain sebagainya) dan

meminta kepada Notaris tadi supaya tentang perjanjian tersebut dibuatkan

suatu akta, maka akta itu adalah suatu akta yang dibuat dihadapan Notaris itu.

Notaris ini hanya mendengarkan apa yang dikehendaki oleh kedua belah pihak

yang menghadap itu dan meletakkan perjanjian yang dibuat oleh dua orang

tadi dalam suatu akta.19 Menurut ketentuan Pasal 39 Undang-Undang No. 30

Tahun 2004, bahwa :

Ayat (1) : Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. paling sedikit benunur 18 (depalan betas) tahun atau setelah

menikah,

b. cakap melakukan perbuatan hukum

Ayat (2) : Penghadap harus dikenal oleh notaries atau diperkenalkan

kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur

paling sedikit 18 (delapan betas) tahun, atau sudah menikah dan

19
Subekti V, Op.cit., Hal. 24-25
cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2

(dua) penghadap lainnya.

Ayat (3) : Pengenalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan

secara tegas dalam akta.

Akta yang dibuat di hadapan Notaris disebut “Akta Parte” (Partij

Akten), sedangkan akta yang dibuat oleh Notaris disebut “Akta Pejabat”

(Ambtelijke Akten).

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UUJN akta Notaris adalah akta

otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara

yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Untuk suatu akta Notaris maka

otentitasnya adalah:

1. Tanggal dan tempat dibuatnya akta.

2. Tanda tangan yang ada dalam akta.

3. Identitas para pihak yang hadir (comparantes).

4. Isi akta yang diterangkan oleh para pihak.

Berdasarkan Pasal 38 bentuk dan sifat akta Notaris ditentukan sebagai

beikut:

Ayat (1): Setiap akta Notaris terdiri atas:

a. awal akta atau kepala akta.

b. badan akta, dan

c. akhir atau penutup akta.

Ayat (2) : Awal akta atau kepala akta memuat:

a. Judul akta.

b. Nomor akta.
c. Jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun, dan

d. Nama lengkap dann tempat kedudukan Notaris.

Ayat (3): Badan akta memuat:

a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan,

jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang

mereka wakili.

b. keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap.

c. isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang

berkepentingan.

d. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan,

kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.

Ayat (4) Akhir atau penutup akta memuat;

a. uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16

ayat (1) huruf 1 atau Pasal 16 ayat (7).

b. uraian tentang penandatangan dan tempat penandatangan atau

penerjemahan akta apabila ada.

c. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan,

dan, tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta.

d. uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta

atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan,

pencoretan, atau penggantian.

Ayat (5) Akta Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat

Sementara Notaris, selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat


(2), ayat (3), dan ayat (4), juga memuat nomor dan tanggal penetapan

pengangkatan, serta pejabat yang mengangkatnya.

Jika bentuk, cara penulisannya, dan dibuat oleh pejabat-pejabat yang

telah ditetapkan, maka akta tersebut dapat diberlakukan sebagai akta yang

otentik, karena suatu tulisan dapat disebut sebagai suatu akta yang otentik jika

telah dipenuhi tiga unsur yaitu:

1. Dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum.

2. Pejabat umum tersebut harus berwenang untuk itu ditempat akta itu dibuat.

3. Dibuat dalam bentuk yang telah ditetapkan oleh undang-undang.

Adapun yang dimaksud dengan pengertian dari unsur-unsur tersebut

adalah:

1. Pengertian bentuk adalah norma yang memuat awal kaia, isi akta, dan

akhir akta.

2. Pengertian pejabat umum adalah Notaris sebagai satu-satunya pejabat

umum.

3. Pengertian berwenang meliputi orangnya, aktanya, waktunya, dan

tempatnya.

Jika unsur-unsur tersebut tidak dipenuhi, maka akta tersebut tidak dapat

disebut sebagai akta otentik, tetapi sebagai akta di bawah tangan atau surat di

bawah tangan. Jadi akta-akta yang dibuat dan memenuhi ketentuan Pasa1

1868 KUHPerdata jo ketentuan Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 adalah

merupakan akta otentik.


Dari penjelasan akta otentik dengan akta di bawah tangan tersebut

diatas terdapat perbedaan-perbedaan antara akta otentik dengan akta di bawah

tangan adalah:

a. Akta otentik dibuat dalam bentuk sesuai dengan yang ditentukan oleh

undang-undang.

b. Akta otentik dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang;

c. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, terutama

mengenai waktu tanggal pembuaian dan dasar hukumnya;

d. Kalau keberanannya disangkal, maka si penyangkal harus membuktikan

ketidak benarannya.

e. Akta di bawah tangan tidak terikat bentuk formal, melainkan bebas;

f. Akta di bawah tangan dapat dibuat bebas oleh setiap subyek hukum yang

berkepentingan;

g. Akta di bawah tangan apabila diakui oleh pendandatangan atau tidak

disangkal aktanya tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat;

h. Akta di bawah tangan bila keberannya disangkal, maka pihak yang

mengajukan sebagai bukti yang harus membuktiakn kebenarannya.

Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuhi, sehingga apa yang

ditulis aiau dinyatakan dalam akta Notaris tersebut harus diterima, kecuali

pihak yang berkepentingan dapat membuktikan sebaliknya secara memuaskan

di muka Pengadilan.

Di samping akta Notaris juga ada akta yang ditandatangani oleh pejabat

tertentu atau disebut juga akta PPAT. Adapun yang dimaksud dengan akta

yang ditanda tangani oleh pejabat atau akta PPAT adalah akta perjanjian yang
bermaksud mengalihkan hak atau pembebanan hak dengan jaminan untuk

sesuatu hutang, atau pemberian hak baru seperti hak guna bangunan, di atas

tanah itu, dibuat di atas kertas yang ukuran maupun kwalitasnya ditetapkan

oleh pemerintah.20

Menurut Mariem Dams Badrulzaman merumuskan akta PPAT adalah

semacam akta transport dan berkekuatan sebagai alat bukti untuk dapat

melakukan pendaftaran.21 Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah

dan Peraturan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonsia Nomor 1 Tahun

2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun

1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam Pasal 1

angka 4 ditentukan akta PPAT adalah akta yang dibuat oleh PPAT. sebagai

bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas

tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.

Adapun akta PPAT sebagaimana Pasal 3 ayat (1) PP No. 37 Tahun

1998 jo. Pasal 3 ayat (1) PKBPN No. 1 Tahun 2006 menegaskan bahwa akta

yang dibuat oleh PPAT adalah akta otentik, namun perlu untuk melihat aturan

yang lebih umum yaitu KUHPerdata Akta otentik ditentukan dalam Pasal

1868 KUHPerdata sebagai suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan

oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum

yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya". Pasal 1868

20
Pitlo, Op.cit, Hal. 52.
21
Ibid, Hal. 52-53
KUHPerdata memberikan batasan unsur-unsur yang dimaksud dengan akta

otentik yaitu: 22

1. Akta itu harus dibuat oleh atau dihadapan seorang Pejabat Umum;

2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang;

3. Pegawai Umum (Pejabat Umum) oleh atau di hadapan siapa akta itu

dibuat. harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut.

Merujuk pada ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata maka dapat ditelusuri

mengenai kedudukan akta PPAT sebagai akta otentik:

1. Unsur pertama suatu akta dikatakan sebagai akta otentik apabila akta

tersebut secara tersurat ditentukan oleh undang-undang. Demikian pula,

hal ini berlaku bagi akta PPAT. Akta PPAT tidak ditentukan oleh undang-

undang, melainkan ditentukan oleh Peraturan Pemerintah dan Peraturan

Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional, yaitu:

a. Pasal 38 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 ditentukan bahwa bentuk, isi,

dan cara pembuatan akta-akta PPAT diatur oleh Menteri Negara

Agraria/Kepala Badan Pertanahan;

b. Pasal 21 PP No. 37 Tahun 1998 ditentukan bahwa akta PPAT dibuat

dengan bentuk yang ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala

Badan Pertanahan;

c. Pasal 95 dan Pasal 96 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 jo, PMNAKBPN No. 8 Tahun

2012 menetapkan bahwa macam dan bentuk akta yang dibuat oleh

22
Habib Adjie, 2009, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan Tulisan),
Cetakan Kesatu, CV. Mandar Maju, Bandung, Hal. 6.
PPAT;

Dari ketiga peraturan di atas menunjukan bahwa akta PPAT bukan

suatu akta otentik, karena bentuknya tidak ditentukan oleh undang-

undang melainkan ditetapkan oleh peraturan pemerintah dan peraturan

menteri, meskipun akta PPAT tersebut bentuknya baku dan dibuat oleh

PPAT sebagai pejabat umum

2. Unsur kedua, suatu akta dikatakan sebagai akta otentik apabila akta

tersebut dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang diben

kewenangan untuk itu Dalam PP No. 37 Tahun 1998 dan PKBPN No. 1

Tahun 2006 menentukan bahwa PPAT sebagai pejabat umum yang

diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional

Republik Indonesia dan diberikan kewenangan untuk membuat akta

pemindahan hak, pembebanan Hak Tanggungan, pembagian hak bersama,

dan pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas

tanah atau Hak Milik Atas satuan rumah susun.

3. Unsur ketiga, akta dikatakan sebagai akta otentik apabila akta dibuat oleh

pejabat umum dalam daerah atau wilayah kerjanya. Berdasarkan PP No.

37 Tahun 1998 dan PKBPN No. 1 Tahun 2006 ditentukan bahwa PPAT

sebagai pejabat umum diberi kewenangan membuat akta didalam daerah

(wilayah) kerjanya, yaitu suatu wilayah kerja Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota.

Dari ketiga unsur tersebut, akta yang dibuat oleh PPAT tidak memenuhi

unsur sebagai akta otentik. Unsur pertama yang menentukan bahwa bentuk

akta ditetapkan oleh undang-undang tidak dipenuhi, karena bentuk akta PPAT
ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri, namun unsur

kedua dan ketiga terpenuhi yaitu PPAT merupakan pejabat umum dan PPAT

mempunyai daerah (wilayah kerja tertentu). Namun meskipun akta PPAT

bukan sebagai akta otentik dalam hal proses balik nama tidak mengurangi nilai

esensial yang dimana akta PPAT merupakan suatu akta yang penting untuk

proses peralihak hak atas tanah.

Jadi menurut penulis setelah apa yang dijelaskan mengenai pngertian

akta otentik ialah suatu alat bukti yang sempurna karena dalam akta tersebut

dibuat dan dan ditandatangani oleh para pihak dan diikuti ataupun dilakukan

dihadapan pejabat berwenang. Dalam sebagi alat bukti, akta otentik terdapat

tiga macam pembuktiannya yaitu :

1. Dalam pembuktian formal antara kedua belah pihak atau pihak yang

melakukan perjanjian telah membuktikan apa yang ditulis dalam akta

tersebut adalah sesuai dengan kebenarannya.

2. Dalam pembuktian material para pihak telah benar atau sungguh-sungguh

dan menerangkan terkait pristiwa-peristiwa yang telah dilakukan sesuai

dengan yang tertulis atau disebutkan dalam akta tersebut.

3. Sebagai pembuktian disamping para pihak itu sendiri, juga terhadap

pihak ketiga dimana pada saat kejadian waktu dan tempat sebagaimana

tertulis dalam akta tersebut, bahwa benar para pihak itu menghadap

dipejabat berwenang dan menerangkan apa yang terdaoat pada didalam

akta tersebut.

Adapun Pasal 1869 KUHPerdata ditentukan bahwa suatu akta tidak

dapat diberlakukan sebagai akta otentik jika akta itu dibuat oleh pejabat yang
tidak berwenang untuk membuat akta otentik, atau jika terdapat cacat di dalam

bentuknya, akan tetapi dapat mempunyai kekuatan bukti sebagai akta di

bawah tangan asalkan ditandatangni oleh para pihak.

b. Akta di bawah tangan

Berdasarkan pengertian akta tersebut di atas maka yang dimaksud

dengan akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat dan ditandatangani oleh

dan antara pihak-pihak yang membuatnya yang berisi tentang apa yang

mereka perjanjikan atau sepakati bersama yang maksudnya kelak dikemudian

hari bisa digunakan sebagai alat bukti. Akta di bawah tangan ini bentuknya

bebas, tidak terikat pada bentuk tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang

atau peraturan lainnya, dan di samping itu pembuatannya juga tidak harus

dihadapan pejabat yang berwenang.

Akta di bawah tangan atau ondehands acte adalah akta yang dibuat

tidak oleh atau tanpa perantaraan seorang pejabat umum, melainkan dibuat

dan ditandatangani sendiri oleh pada pihak yang mengadakan perjanjian,

misalnya perjanjian jual beli atau perjanjian sewa menyewa. 23 Dalam hal

apabila para pihak yang menandatangani surat perjanjian tersebut mengakui

dan tidak menyangkal tanda tangannya tidak menyangkal isi dan apa yang

tertulis dalam surat perjanjian itu akta di bawah tangan tersebut mempunyai

kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu akta otentik.

Dalam undang-undang tidak menentukan secara tegas suatu format

perjanjian dibawah tangan, maka dari itu pembuatan perjanjian di bawah

23
Soeroso, 2010, Perjanjian Dibawah Tangan Pedoman Praktis Pembuatan dan Aplikasi
Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 8
tangan tidak ada syarat formal tertentu. Apabila ada suatu perjanjian yang

dibuat secara tertulis dan memang telah diperintahkan oleh undang-undang

dengan ancaman tidak mengikat apabila tidak tibuat secara tertulis yang juga

disebut perjanjian formal.24

Untuk membuat perjanjian di bawah tangan walaupun tidak diatur

secara baku oleh undang-undang tapi tetap memerlukan ketelitian dan

kecematan dari para pihak baik dari penjual maupun pembeli. Untuk itu

dibuatkan tata urutan kerangka perjanjian lebih dahulu yang dinamakan

anatomi perjanjian. Anatomi perjanjian di bawah tangan adalah susunannya

sebagai berikut:

1. Judul perjanjian;

Judul perjanjian adalah nama dari perjanjian yang sesuai dengan

isinya, judul tersebut harus singkat menyebutkan isi perjanjian secara

umum, sehingga dari judul tersebut sudah tersirat isi perjanjian.

Contohnya Perjanjian Jual Beli Mobil. Dari judul tersebut dapat diketahui

bahwa isi perjanjiannya tersebut mengatur mengenai suatu barang dalam

hal ini mobil, dan adalah janggal apabila dengan judul perjanjian jual beli

mobil kemudian ternyata isinya adalah mengatur tentang sewa-menyewa

rumah. Demikian pula apabila judulnya sewa menyewa, isi pokok di

dalamnya sudah barang tentu tidak berbicara tentang beralihnya hak milik

atau sebaliknya. Dengan demikian dari uraian tersebut, bahwa dari sebuah

judul diharapkan dapat memberikan gambaran atau setidak-tidaknya dapat

24
Ibid, Hal. 53
diketahui bahwa isi perjanjian itu akan berbicara berkaitan dengan judul

atau nama perjanjian.

Sebagai catatan, istiah surat juga tidak perlu dicantumkan pada judul

perjanjian karena perjanjian di bawah tangan bukan surat melainkan akta.

Contoh surat perjanjian jual beli, dan yang benar adalah “Perjanjian Jual

Beli”.25

2. Kepala perjanjian;

Kepala nerjanjian adalah bagian dari akta perjanjian yang berupa hari,

tanggal, bulan , tahun dan tempat penandatanganan perjanjian.

3. Komparisi;

Komparisi adalah identitas para pihak yang menandatangani akta

perjanjian untuk dan atas nama siapa, komparisi dapat terjadi:

a. Untuk dan atas nama sendiri;

b. Untuk dana atas nama orang lain;

c. Untuk dana atas nama badan hukum (berdasarkan undang-undang);

d. Untuk dan atas nama badan hukum berdasarkan kuasa.

4. Sebab/akibat;

Adalah bagian dari tata urut anatomi perjanjian yang ditempatkan setelah

komparisi. Sebab akibat merupakan dasar hukum sahnya suatu perjanjian

berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu harus ada kata sepakat antara

para pihak.

25
Ibid, Hal. 58
5. Syarat-syarat;

Syarat-syarat adalah tata cara pelaksanaan isi perjanjian yang dituangkan

dalam Pasal-pasal dengan tata urut sebagai berikut:

a. Kriteria umum

1) berisi penjelasan tentang istilah-istilah yang dipergunakan dalam

kata-kata yan tertulis dalam perjanjian.

2) penjelasan istilah hendaknya menjelaskan semua istilah yang tidak

umum dan belum diketahui orang lain.

b. Objek Perjanjian

1) merupakan hal yang esensial dan hanya disebutkan secara tegas

2) objek perjanjian senantiasa berupa barang atau jasa

3) objek perjanjian barang maupun jasa harus disebutkan harga, nilai,

volume, jumlah dan sebagainya.

4) apabila barang atau jasa tidak dapat dinilai, maka sekurang-

kurangnya harus menyebutkan harganya.

c. Hak dan Kewajiban

Hak satu pihak merupakan kewajibannya bagi pihak lainnya, begitu

pula sebaiknya. Dengan demikian, untuk mejelaskan apa yang menjadi

hak dan kewajiban para pihak harus tegas disebutkan dalam pasal

tersendiri. Namun dapat juga menempatkan hak dan kewajiban para

pihak secara implicit pada Pasal-pasal perjanjian.

d. Pelaksanaan

Mencantumkan teknis pelaksanaan beserta tata caranya dalam pasal-

pasal tersendiri. Ketentuan teknis pelaksanaanya tergantung pada


kondisi perjanjian yang harus dilaksanakan oleh para pihak dan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pada umumnya pelaksanaan perjanjian terdiri atas:

a) cara penyediaan sarana dan prasarana;

b) cara penyerahan barang dan jasa;

c) cara penerimaan barang dar. jasa;

d) harga barang dan jasa;

e) kualitas barang dan jasa;

f) cara pembayaran;

g) ketentuan pajak;

h) jaminan;

i) sanksi dan denda;

j) penyelesaian perselisihan;

k) keadaan memaksa;

l) Syarat administrasi;

m) waktu pelaksanaan dan lain-lain.

e. Sanksi dan Denda

Merupakan larangan bagi para pihak yang apabila larangan tersebut

dilakukan dan terjadi, maka pihak yang melakukan dikenakan sanksi

yang biasanya diikuti dengan denda.

Dalam menetapkan sanksi dan denda, hendaknya diperhatikan empat

wanprestasi yang mungkin timbul pada pelaksaan perjanjian yakni:

1) Tidak melakukan kewajiban;


2) Melakukan kewajiban, tetapi tidak sesuai dengan yang

diperjanjian;

3) Melakukan kewajiban namun terlambat;

4) Melakukan yang tidak boleh dilakukan menurut perjanjian.

Untuk menetapkan sanksi atau denda senatiasa mencantumkan, yaitu

apakah:

1) Pemenuhan perjanjian;

2) Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi;

3) Ganti rugi saja;

4) Pembatalan perjanjian;

5) Pembatalan disertai ganti rugi.

f. Keadaan Memaksa

Merupakan klausul-klausul yang dikecualikan untuk tidak

melaksanakan isi perjanjian, sehingga membebaskan para pihak dari

hak dan kewajiban.

g. Penyelesaian Perselisihan

Merupakan ketentuan yang mengatur cara menyelesaikan perselisihan

yang mungkin timbul antaa para pihak maupun dengan pihak ketiga,

penyelesaian selalu dengan cara:

1) musyawarah;

2) proses pengadilan melalui pengadilan, dan;

3) arbitrase, yaitu penyelesaian perselisihan diluar pengadilan.


h. Ketentuan Tambahan

Merupakan ketentuan yang menunjuk-pada addendum untuk mengatur

halhal yang mungkin timbul setelah perjanjian berjalan. Addendum

merupakan perjanjian tambahan dan mempunyai kekuatan hukum yang

sama dengan perjanjian pokok.

6. Penutup; dan

Merupakan Pasal terakhir dari Pasal perjanjian sebagai penutup isi

perjanjian yang umumnya mencantumkan:

a. administrasi;

b. jangka waktu berlangsungnya perjanjian

7. Tanda tangan

a. untuk autentifikasi, para pihak membubuhkan paraf pada tiap lembar

akta perjanjian;

b. menadantangani perjanjian diatas materai;

c. perjanjian ditandatangani dan diberi tanggal oleh pihak pertama dan

pihak kedua pada/diatas;

1) Materai, oleh pihak pertama

2) Materai oleh pihak kedua

d. untuk rangkap, ditandatangani oleh pihak pertama dail pihak kedua

tanpa materai/kertas segel dan dirangkap sesuai dengan kebutuhan.

e. Nilai materai/kertas segel perjanjian dibawah tangan yang berlaku saat

ini adalah materai Rp. 6.000 (enam ribu rupiah)


8. Ketentuan lain

a. Angka

Angka bab ditulis dengan angka romawi, judul bab dengan huruf

kapital dan pada dengan angka bisaa

b. Lampiran

Apabila diisyaratkan dan ditunjuk pada lampiran maka lampiran

tersebut harus disebutkan pada Pasal atau ayat tersendiri dan

disebutkan sebagai bagian dari perjanjian dan ditandatangani oleh para

pihak.

c. Ralat

Apabila pada saat penandatanganan terdapat kesalahan/kekeliruan,

maka kesalahan/kekeliruan tersebut dicoret dan masing-masing pihak

membubuhkan paraf pada angka/huruf yang diubah/diralat tersebut.

d. Garis pengaman

Pada akhir alinea, dibuat garis putus-putus untuk menutup alinea

tersebut guna menghindari tambahan atau pengurangan redaksional.

e. Huruf

Pada penulisan angka selalu diikuti dengan tulisan huruf latin

dibelakang koma.

f. Alamat

Alamat pada komparisis pada pirinsipnya harus mencatumkan jalan,

nomor, desa, kecamatan, kabupaten/kotamadya, dan provinsi. Namun,

apabila alamat tersebut sudah dikenal dan tidak menimbulkan


keraguan, cukup menyebutkan jalan, nomor, Kabupaten/Kotamadya,

dan Provinsi.

Jadi menurut penulis akta dibawah tangan bukan sebagai alat bukti yang

sempurna karena hanya dibuat dan ditanda tangani oleh para pihak tanpa

dihadapan pejabat berwenang. Hal inilah yang apabila diajukan sebagai alat

bukti harus dapat dibukitkan terlebih dahulu pembuktian formal dan materil,

karena dalam tanda tangan pada akta dibawah tangan masih dapat

dipungkiri/disangkal kebenarannya yang ini bagi para pihak yang menyangkal

harus dapat membuktikan kebenarannya.

Mengenai perbedaan akta di bawah tangan dengan akta otentik selain

bentuknya yang bebas akta dibawah tangan terletak pada kekuatannya sebagai

alat bukti, yaitu akta di bawah tangan atau surat tangan merupakan bukti bebas

(vrij bewijs), karena akta di bawah tangan tersebut baru mempunyai kekuatan

bukti material setelah dibuktikan kekuatan formalnya, dan pembuktian bukti

formal baru terjadi apabila pihak-pihak yang bersangkutan mengakui akan

kebenaran isi dan cara penbuatan akta tersebut, sehingga apabila terjadi

sengketa maka bukti surat dibawah tangan masih perlu lagi dibuktikan dengan

bukti-bukti dan saksi agar lebih kuat kebenarannya didalam persidangan.

Sedangkan akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna, sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 1870 KUHPerdata. Akta otentik ini memberikan suatu

bukti yang sempurna tentang apa yang diperbuat atau dinyatakan di dalam

akta tersebut.
2.2.3 Syarat-syarat Akta

Sebagaimana lazimnya bagi setiap akta khususnya akta dalam jenis yang

otentik agar tidak kehilangan fungsinya sebagai alat pembuktian harus dipenuhi

berbagai persyaratan. Syarat-syarat yang demikian jika tidak dipenuhi sudah tentu

akan menimbulkan akibat-akibat yang sangat tidak diinginkan, sebab keadaan

yang demikian itu disamping akan memberi kesan adanya kecerobohan dari

petugas-petugas yang berwenang membuat akta tersebut juga akari :iapat

mendatangkan suatu kerugian bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Dengan

demikian bagi pejabat-pejabat yang ditugaskan untuk membuat akta tersebut

haruslah memperhatikan, apakah sebenarnya yang merupakan syarat-syarat akta

tersebut sehingga dikemudian hari tidak menimbulkan masalah.

Dalam garis besarnya syarat-syarat suatu akta dapat digolongkan kedalam

dua golongan yaitu, di satu sisi menyangkut syarat bentuk, dan di sisi yang lain

menyangkut syarat-syarat bagi isi akta itu sendiri. Dengan kata lain dapat

disebutkan bahwa syarat-syarat bagi suatu akta dapat digolongkan ke dalam dua

golongan, yaitu:

1. Syarat formal

Dalam ha1 ini haruslah diperhatikan apa sebenarnya yang dapat

merupakan syarat formal suatu akta, sehingga dengan demikian dapat

digunakan sesuai dengan fungsinya, yaitu sebagai alat bukti.

Sebagai suatu akta maka bentuknya harus tertulis. Dengan tertulisnya

itu maka akan dapat digunakan sebagai alat bukti, yang dengan sendirinya

dalam hal ini adalah alat bukti tertulis, dan tulisan yang disyaratkan hanya

mempunyai sifat sebagai alat bukti, yang hanya memperoleh arti apabila
perjanjian yang diadakannya dibantah.26 Menurut R. Subekti, bahwa bukti

tulisan ini dalam suatu perkara perdata merupakan alat bukti yang utama,

karena di dalam lalu lintas keperdataan sering kali orang dengan sengaja

menyediakan suatu bukti yang dapat dipakai kalau terjadi suatu perselisihan.27

Dalam Pasal 1869 KUHPerdata ditentukan bahwa suatu akta tidak

dapat diberlakukan sebagai akta otentik jika akta itu dibuat oleh pejabat yang

tidak berwenang untuk membuat akta otentik, atau jika terdapat cacad di

dalam bentuknya, akan tetapi dapat mempunyai kekuatan bukti sebagai akta di

bawah tangan asalkan ditandatangi oleh para pihak. Jadi dari ketentuan Pasal

1869 tersebut dapat disebutkan bahwa yang berwenang menulis atau membuat

akta tersebut adalah pejabat yang berwenang.

2. Syarat Material

Syarat material adalah syarat yang menyangkut isi akta, dalam arti apa

saja yang diperbolehkan sebagai isi akta itu dan apa saja yang tidak

diperbolehkan, sehingga apabila dilihat dari segi materialnya akta tersebut

tidak akan kehilangan fungsinya sebagai alat pembuktian. Dalam suatu akta

diharuskan memuat pokokpokok yang harus ada, yaitu mengenai identitas dari

pihak-pihak yang membuat perjanjian itu. Ini berkaitan dengan kewenangan

membuat perjanjian seperti kecakapan, kesepaktaan, suatu hal tertentu, dan

suatu sebab yang halal. Di samping itu juga berisi tanggal, bulan tahun

pembuatan akta yang dapat dilihat pada bagian permulaan dari akta tersebut.

26
Dirktorat Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri, 1981, Buku Tuntunan Bagi
Pejabat Pembuat Akta Tanah, Yayasan Hudaya Bina Sejahtera, Jakarta, Hal. 19
27
Mareim Darus Badrulzaman, 1980, Bab Bab Tentang Hypotheek, Alumni, Bandung,
(selanjutnya disebut Mareim Darus Badrulzaman II), Hal.35.
Akta tersebut juga berisi tanda tangan dari para pihak yang membuatnya, dan

untuk menguatkan isi akta tersebut juga ada saksi-saksi yang membubuhkan

tanda tangannya. Isi akta akan dapat merupakan syarat bagi syahnya

perbuatan hukum yang dilakukan yang dituangkan di dalam akta tersebut.

Secara umum akta-akta yang tergolong ke dalam akta yang otentik, jika

diperhatikan tentang isi yang terkandung di dalamnya dapat diadakan

pengklasifikasian, yaitu akta tersebut terdiri dari:

1. Bagian permulaan, yang bisa disebut dengan kepala akta.

2. Bagian tubuh akta, yaitu merupakan bagian yang terpenting dari setiap

akta.

3. Bagian terakhir, yaitu yang merupakan penutup akta.

Apabila diperhatikan bagian-bagian dari akta tersebut, maka dapat

disebutkan bahwa isi akta merupakan bagian yang terpenting yang tergolong

ke dalam tubuh akta. Isi akta itu pada pokoknya ada isi yang wajib dan ada isi

yang sifatnya fakultatif. Akta pada hakikatnya memuat kebenaran formal

sesuai dengan apa yang diberitahukan atau diterangkan oleh para pihak yang

menghadap pada Notaris. Walaupun demikian Notaris mempunyai kewajiban

untuk memasukkan bahwa apa yang terdapat dalam akta otentik sungguh-

sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak yang

menghadap dengan cara membacakannya di hadapan para pihak tersebut

sehingga menjadi jelas isi akta Notaris tersebut.

Jadi menurut penulis setelah apa yang dijelaskan mengenai pengertian

akta otentik ialah suatu alat bukti yang sempurna karena dalam akta tersebut

dibuat dan dan ditandatangani oleh para pihak dan diikuti ataupun dilakukan
dihadapan pejabat berwenang. Dalam sebagi alat bukti, akta otentik terdapat

tiga macam pembuktiannya yaititu. Dalam pembuktian formal antara kedua

belah pihak atau pihak yang melakukan perjanjian telah membuktikan apa

yang ditulis dalam akta tersebut adalah sesau dengan kebenarannya.

Sedangkan dalam pembuktian material para pihak telah benar atau sungguh-

sungguh dan menerangkan terkait pristiwa-peristiwa yang telah dilakukan

sesuai dengan yang tertulis atau disebutkan dalam akta tersebut.

2.3 Macam-Macam Alat Pembuktian

Pengertian tentang membuktikan adalah meyakinkan Hakim tentang

kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.

Dengan demikian bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam

persengketaan atau perkara dimuka Hakim atau Pengadilan. Pembuktian itu hanya

diperlukan apabila timbul perselisihan. Dalam hukum perdata dan hukum pidana

pembuktiannya berbeda, dalam hukum acara pidana alat bukti berdasarkan Pasal

184 KUHAP adalah:

1) Keterangan Saksi

2) Keterangan Ahli

3) Surat

4) Petunjuk

5) Pengakuan

Hukum acara perdata alat buktinya berdasarkan Pasal 1866 KUHPerdata

terdiri atas:28

28
Subekti R IV, Hal. 19.
1) Bukti Surat

Bukti surat dalam hukum acara perdata merupakan bukti yang utama,

karena dalam keperdataan orang dalam terjadinya sengketa selalu memakai

bukti yang berupa surat. Dalam bukti surat digolongkan lagi mengenai nilai

pembuktian tersebut, bukti surat akta otentik dan bukti surat dibawah tangan

masing-masing memiliki nilai pembuktian yang berbeda. Seperti halnya bukti

akta otentik merupakan suatu alat bukti yang kebenaranya tidak perlu

dibuktikan lagi karena akta tersebut dibuat berdasarkan dan ditentukan oleh

undang-undang serta dibuat atau dihadapan pejabat berwenang seperti halnya

Notaris. Sedangkan bukti surat dibawah tangan merupakan surat yang dibuat

oleh para pihak saja tanpa melibatkan pejabat yang berwenang dan hal inilah

apabila diajukan sebagai bukti dalam persidangan diperlukannya bukti yang

kuat untuk membenarkannya.

2) Bukti dengan Saksi-saksi

Kesaksian merupakan bukti yang kedua dalam pembuktian hukum

acara perdata. Saksi yang sah dalam persidangan harus benar-benar

menyaksikan dan mendengar suatu kejadian tersebut. Saksi itu ada yang

secara kebetulan melihan dan mendengar atau mengalami peristiwa tersebut

dan ada saksi sengaja yang dimintakan menyaksikan suatu perbuatan hukum

misalnya seperti dalam jual beli tanah. Namun saksi merupakan bukan suatu

alat bukti yang sempurna dan mengikat Hakim dalam persidangan, yang

artinya Hakim leluasa boleh mempertimbangkan kesaksian tersebut patut

dipercayai atau tidak.


3) Persangkaan

Berdasarkan Pasal 1915 Persangkaan ialah kesimpulan yang oleh

undang undang atau oleh Hakim ditarik dari suatu peristiwa yang diketahui

umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum. Ada dua

persangkaan, yaitu persangkaan yang berdasarkan undang-undang dan

persangkaan yang tidak berdasarkan undang undang

Persangkaan yang berdasarkan Pasal 1916 adalah persangkaan yang

dihubungkan dengan perbuatan tertentu atau peristiwa tertentu berdasarkan

ketentuan undang undang Persangkaan semacam itu antara lain adalah;

1. Perbuatan yang dinyatakan batal oleh undang undang, karena perbuatan itu

semata-mata berdasarkan dari sifat dan wujudnya, dianggap telah

dilakukan untuk menghindari suatu ketentuan undang-undang

2. Pernyataan undang-undang yang menyimpulkan adanya hak milik atau

pembebasan utang dari keadaan tertentu

3. Kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada suatu Putusan

Hakim yang memperoleh kekuatan hukum yang pasti.

4) Pengakuan

Pengakuan yang dilakukan di muka Hakim memberikan suatu bukti

sempurna terhadap siapa yang telah melakukannya, baik sendiri maupun

dengan perantaraan seorang yang khusus dikuasakan untuk itu Pasal 1925

KUHPerdata adalah, bahwa Hakim harus menganggap dalil-dalil yang telah

diakui itu sebagai benar dan meluluskan (mengabulkan) segala tuntutan atau

gugatan yang didasarkan pada dalil-dalil tersebut. bukti Baiklah ditegaskan di

sini pengakuan yang merupakan di yang mengikat dan sem bahwa pengakuan
yang dilakukan tadi adalah Hakim sidang. Pengakuan itu harus diucapkan di

muka itu oleh tergugat sendiri atau oleh seorang yang khusus dikuasakan

untuk itu. Jadi apabila tergugat telah mengakui segala dalil-dalil yang

ditujukan kepadanya dimuka persidangan, maka Hakim tersebut harus

menerima secara bulat pengakuan tersebut tanpa harus membuktikan lagi

kebenarannya.

5) Sumpah

Dalam perkara perdata sumpah yang diangkat oleh salah satu pihak di

muka Hakim itu, ada dua macam yaitu:

1. Sumpah yang oleh pihak yang satu diperintahkan kepada pihak lawan

untuk menggantungkan Putusan perkara padanya; sumpah ini dinamakan

sumpah pemutus atau decissoir:

2. Sumpah yang oleh Hakim karena jabatannya, diperintahkan kepada salah

satu pihak berdasarkan Pasal 1929 KUHPerdata Sumpah pemutus

(decissoir) dapat diperintahkan tentang segala persengketaan yang berupa

apapun juga, selainnya tentang hal-hal yang para pihak tidak berkuasa

mengadakan suatu perdamai atau hal-hal di mana pengakuan mereka tidak

boleh diperhatikan.

Sumpah yang diperintahkan oleh Hakim dinamakan sumpah suppletoir

atau sumpah tambahan karena itu dipergunakan oleh Hakim untuk menambah

pembuktian yang dianggapnya kurang meyakinkan. Hakim dapat

memerintahkan sumpah tambahan itu apabila l. tuntutan maupun tangkisan

tidak terbukti dengan sempurna; tuntutan maupun tangkisan itu juga tidak

sama sekali tak terbukti hal ini berdasarkan Pasal 1941 KUHPerdata. Jadi
untuk memerintahkan sumpah tambahan itu ditetapkan bahwa harus terpenuhi

syarat-syarat tersebut di atas, yaitu bahwa harus sudah ada sementara

pembuktian. Tarap pembuktian yang disyaratkan ini lazim dikenal dengan

istilah permulaan pembuktian. Adapun permulaan pembuktian bentuknya

bermacam-macam. Ada pembuktian yang berupa satu kesaksian, ada yang

berupa tulisan,ada yang berupa suatu pengakuan di luar sidang, dan lain

sebagainya. Pendeknya suatu pembuktian bebas yang oleh Hakim dianggap

belum cukup meyakinkan itulah permulaan pembuktian.

Anda mungkin juga menyukai