Anda di halaman 1dari 46

BAB II

TINJAUAN TEORETIS TERHADAP KLAUSULA HARDSHIP

DALAM KONTRAK JUAL BELI BARANG INTERNASIONAL

A. Tinjauan Mengenai Kontrak Jual Beli Internasional

1. Tinjauan Umum Kontrak

a. Pengertian Kontrak

Kontrak adalah suatu bentuk tertulis dari perjanjian yang

merupakan salah satu sumber dari perikatan, di mana terdapat

hubungan hukum antara dua pihak atau lebih yang mengikatkan

diri untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.

Hukum kontrak sendiri merupakan adopsi terjemahan dari bahasa

Inggris yakni contract of law sedangkan dalam bahasa Belanda

hukum kontrak dinamakan sebagai overeenscomstrect.1 Dapat

disimpulkan bahwa, hukum kontrak merupakan aturan hukum yang

berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian atau persetujuan. 2

Berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata, suatu persetujuan

adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan

diri terhadap satu orang atau lebih. Oleh karenanya, tidak ada

ketentuan dalam KUHPerdata yang mewajibkan bahwa suatu

persetujuan atau perjanjian perlu dibentuk dalam suatu kontrak

1
Salim H.S., Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar
Grafika, 2019, hlm.3
2
Ibid.,
atau tertulis. Namun, dengan tertuangnya suatu perjanjian secara

tertulis dalam suatu kontrak dapat menciptakan hukum kontrak

yang memberikan kepastian hukum bagi para pihak dalam

melaksanakan kewajibannya sesuai dengan yang dieprjanjikan dan

dapat dengan jelas menjadi alat pembuktian.

b. Unsur-Unsur Kontrak

Kontrak lahir dari suatu persetujuan atau perjanjian, dalam

beberapa buku mengenai perikatan disebutkan bahwa ada 3 (tiga)

unsur utama dalam suatu perjanjian yakni:

1) Essentialia

Suatu bagian dari suatu perjanjian yang harus ada,

sehingga apabila ada bagian yang tidak ada maka

perjanjian tersebut tidak mungkin ada. Seperti contoh,

dalam perjanjian jual beli maka harga dan objek barang

merupakan unsur essentialia.

2) Naturalia

Merupakan bagian dari suatu perjanjian yang menurut

sifatnya dianggap ada tanpa diperlukan secara khusus

oleh para pihak. Contoh, dalam perjanjian jual beli

berdasarkan Pasal 1476 diatur bahwa biaya penyerahan

dipikul oleh penjual sedangkan pengambilan barang


dipikul oleh pembeli, kecuali hal ini telah diperjanjikan

lain oleh para pihak.

3) Accidentalia

Bagian-bagian dari suatu perjanjian yang ditambahkan

oleh para pihak di mana undang-undang tidak

mengaturnya. Sebagai contoh, dalam perjanjian jual

beli diatur mengenai jangka waktu pembayaran

angsuran.3

Di sisi lain, merujuk pada definisi hukum kontrak sendiri di

mana kontrak merupakan hubungan hukum yang timbul antara

subjek hukum di bidang lapangan kekayaan 4, maka unsur-unsur

dalam kontrak adalah sebagai berikut:

1) Adanya hubungan hukum

Hubungan hukum antara para pihak yang menimbulkan

adanya hak dan kewajiban.

2) Adanya subjek hukum

Subjek hukum yang dimaksud adalah pendukung adanya

hak dan kewajiban atau para pihak yang mengikatkan diri

dalam suatu kontrak.

3) Adanya prestasi

Terdapat suatu objek yang diperjanjikan dalam kontrak

atau menjadi kewajiban bagi para pihak untuk

3
R.Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung: Binacipta,1978, hlm.50
4
Salim H.S., Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Op.Cit., hlm. 27.
melakukannya sesuai dengan yang diperjanjikan dalam

kontrak.

4) Di bidang lapangan harta kekayaan

Harta kekayaan atau law of property meliputi dua

lapangan yaitu hukum kebendaan dan hukum perikatan.

c. Asas-Asas dalam Kontrak

Di dalam pengaturan hukum kontrak dikenal adanya 5 (lima)

asas-asas penting yang wajib dipatuhi oleh para pihak yang

hendak membuat suatu kontrak yakni:

1) Asas Kebebasan Berkontrak

Hukum perjanjian di Indonesia menganut asas

kebebasan berkontrak, di mana para pihak dapat secara

bebas untuk membuat perjanjian selama memenuhi syarat

sahnya perjanjian dan tidak melanggar hukum,

kesusilaan, serta ketertiban umum.

Asas ini juga dikenal dalam prinsip hukum kontrak

internasional sebagai “Freedom of Contract” yakni prinsip

yang memberikan kebebasan bagi para pihaknya untuk

menentukan hal-hal yang ingin diatur dan diperjanjiakn di

dalam kontrak.

2) Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme merupakan asas kesepakatan para

pihak yang diatur di dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata

mengenai syarat sah perjanjian, yakni adanya kata sepakat

antara para pihak yang mengikatkan diri. Teori mengenai

timbulnya kesepakatan terdiri dari 2 (dua) hal yaitu:

a. Teori Pernyataan

Perjanjian lahir sejak para pihak mengeluarkan

kehendaknya secara lisan dan tertulis. Sepakat yang

diperlukan dalam perjanjian telah tercapai sejak itu,

saat pernyataan dikeluarkan dan telah diterima oleh

pihak lainnya. Pada perjanjian jual beli, kesepakatan

timbul pada saat ditulis jawaban penerimaan oleh calon

pembeli.5

b. Teori Penawaran

Suatu perjanjian lahir pada saat diterimanya suatu

penawaran, apabila salah satu pihak melaukan

penawaran dan diterima oleh pihak lain maka perjanjian

tersebut harus dianggap lahir saat pihak yang

melakukan penawaran menerima jawaban secara

tertulis dari pihak lainnya. Dalam perjanjian jual beli,

teori ini menerangkan bahwa perjanjian jual beli

5
Djaja S. Meliala, Hukum Perjanjian Khusus: Jual-Beli, Sewa Menyewa, Pinjam-
Meminjam, Bandung: Penerbit Nuansa Aulia, 2012, hlm.4.
dianggap sudah ada pada saat diterima jawaban

penerimaan oleh calon pembeli.6

3) Asas Pacta Sunt Servanda

Berdasarkan 1338 KUHPerdata perjanjian yang dibuat secara

sah oleh para pihak adalah mengikat seperti halnya undang-

undang bagi mereka yang membuatnya. Pada hakikatnya,

asas ini mengandung makna bahwa seluruh ketentuan yang

dibentuk dalam perjanjian adalah menjadi ketentuan hukum

yang berlaku secara sah bagi para pihak, kekuatan utama

dalam isi perjanjian atau kontrak adalah para pihak itu sendiri

sebagai pembuat hukum.7

4) Asas Itikad Baik

Suatu perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik dan

pembentukannya dilandaskan pada itikad baik. Secara

subyektif, itikad baik diartikan bahwa para pihak dalam

melaksanakan perjanjian harus melakukannya dengan

kejujuran dan secara obyektif diartikan bahwa pelaksanaan

perjanjian harus berlandaskan norma kepaturan atau hal-hal

yang dianggap patut oleh masyarakat.8

5) Asas Kepribadian (Personalitas)

6
Ibid.,
7
Nury Khoril Jamil, “Implikasi Asas Pacta Sunt Servanda pada Keadaan Memaksa
(Force Majeure) dalam Hukum Perjanjian Indonesia”, Jurnal Kertha Semaya, Vol. 8,
No.7, 2020, hlm. 1045.
8
Ery Agus Priyono, “Peranan Asas Itikad Baik dalam Kontrak Baku (Upaya Menjaga
Keseimbangan bagi Para Pihak)”, Diponegoro Private Law Review, Vol. 1, No.1, 2017,
hlm. 18.
Asas ini menekankan bahwa suatu perjanjian tidak dapat

dibuat untuk dirinya sendiri sebagaimana disebutkan dalam

Pasal 1315 bahwa “tidak seorang pun dapat mengikatkan

diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu

janji dapada untuk dirinya sendiri”. Perjanjian hanya berlaku

bagi para pihak yang membuatnya, ahli warisnya, serta

orang-orang yang memperoleh hak daripadanya. 9

2. Tinjauan Umum Kontrak Jual Beli Internasional

a. Kontrak Jual Beli Internasional (berdasarkan UPICC dan CISG)

Transaksi perdagangan internasional seperti ekspor impor

kian menjamur di berbagai negara, transaksi perdagangan ini diikat

dalam suatu kontrak jual beli antara para pihak yang berdomisili di

negara berbeda. Para pihak dalam kontrak jual beli internasional

menghadapi masalah yang bervariasi, di mana salah satunya

adalah menentukan pilihan hukum yang berlaku universal bagi para

pihak di dalamnya. Masalah ini diatasi oleh United Nations

Commission on International Trade Law (UNCITRAL) pada tahun

1980 yang membentuk suatu konvensi bernama Convention on

Contracts for International Sale of Goods (selanjutnya disebut

“CISG”). CISG sendiri merupakan konvensi internasional bertujuan

untuk menciptakan adanya standarisasi hukum jual beli

9
Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perikatan dalam KUHPerdata, Bandung:PT Citra
Aditya Bakti, 2015, hlm. 102.
internasional untuk mengatasi konflik-konflik atas perbedaan

hukum domestik yang berlaku. Di samping itu, salah satu tujuan

CISG juga untuk menyediakan adanya penyeragaman hukum

tertulis untuk kontrak jual beli internasional, di mana hal ini juga

merupakan suatu pembaharuan lex mercatoria.10

Sebagaimana didefinisikan pada Article 1 (1) CISG bahwa

“(1) This Convention applies to contracts of sale of goods between

parties whose places of business are in different States…” kontrak

jual beli internasional merupakan kontrak yang dibentuk oleh pihak-

pihak yang berada di negara yang berbeda, di mana CISG tidak

mengatur secara eksplisit bentuk dari kontrak jual beli tersebut

namun CISG mengatur adanya pembatasan bagi kontrak jual beli

internasional sebagaimana disebutkan dalam Article 2.

“ (2) This Convention does not apply to sales:


(a) of goods bought for personal, family or household use,
unless the seller, at any time before or at the conclusion of the
contract, neither knew nor ought to have known that the goods
were bought for any such use;
(b) by auction;
(c) on execution or otherwise by authority of law;
(d) of stocks, shares, investment securities, negotiable
instruments or money;
(e) of ships, vessels, hovercraft or aircraft;
(f) of electricity”
Terdapat beberapa pengecualian atau pembatasan terhadap

barang-barang yang tidak diperkenankan untuk dilakukan

perdagangan berdasarkan konvensi ini. 11

10
Bunga Dita Rahma Cesaria, “Harmonization of International Sales Law: CISG as
Supplement to Indonesian Contract Law”, Juris Gentium Law Review, 2016, hlm. 33.
11
Lihat Article 2 CISG.
Berbeda dengan UPICC, di mana UPICC sendiri tidak

memiliki definisi atas kontrak jual beli internasional. UPICC

merupakan instrument pengaturan prinsip umum transaksi

komersial internasional yang dapat diimplementasikan pada

kontrak jual beli internasional. Pada dasarnya CISG merupakan

penyeragaman hukum untuk kontrak jual beli internasional

sedangkan UPICC merupakan harmonisasi atas prinsip-prinsip

umum hukum kontrak internasional yang didasari pada pemikiran

bahwa harmonisasi hukum privat dapat dilakukan di luar dari

sarana legislatif.12

b. Prinsip-Prinsip Umum dalam Kontrak Jual Beli Internasional

Dalam pengaturannya, CISG menganut adanya 3 (tiga)

prinsip umum yakni: 1) Prinsip Pengakuan terhadap Tata Ekonomi

Internasional Baru (TEIB), 2) Prinsip Persamaan Derajat Para

Pihak (equality and mutual benefit), dan 3) Penyeragaman Aturan

(uniform rules).13 Namun, di samping itu CISG mengatur beberapa

prinsip umum dalam kontrak jual beli itu sendiri, di antaranya

adalah:

1) Asas Kebebasan Berkontrak

12
Jason Daniel, “An Investigation into the Relationship between the Unidroit Principles of
International Commercial Contracts (UPICC) and the UN Convention on the International
Sale of Goods (CISG)”, diakses pada 23 Maret 2023.
13
Huala Adolf, Instrumen-Instrumen Hukum tentang Kontrak Internasional, Bandung:Keni
Media, 2021, hlm. 82.
CISG memberikan kebebasan bagi para pihak untuk

membentuk suatu kontrak jual beli tanpa dibatasi dalam

segi pembentukannya, di mana asas ini diatur pada

Article 4 CISG bahwasanya validitas atau syarat sah suatu

kontrak jual beli tidak diatur secara kaku oleh CISG harus

dalam bentuk tertulis, oleh karenanya CISG menganut

asas kebebasan berkontrak atau freedom of contract bagi

para pembentuknya.14

2) Asas Otonomi Para Pihak

Asas ini memberikan suatu otonomi bagi para pihak

untuk memilih hukum yang berlaku dalam kontraknya, di

mana kesepakatan para pihak menjadi prioritas di atas

ketentuan yang diatur dalam CISG, asas otonomi para

pihak juga menjadi prioritas dibandingkan prinsip-prinsip

umum lainnya.15 Hal ini sebagaimana dimuat dalam

ketentuan Article 6 CISG di mana para pihak dapat

mengesampingkan keberlakuan ketentuan konvensi. 16

3) Asas Konsensualitas

Asas ini memiliki makna bahwa suatu kontrak atau

perjanjian berlaku berdasarkan konsensus atau

kesepakatan para pihak, dalam pengaturan Article 23

14
Lihat Article 4 CISG.
15
Andre Janssen, “The CISG and Its General Principles” pada CISG Methodology
kompilasi Andre Janssen dan Olaf Meyer, Munich: Sellier, 2009, hlm. 272.
16
Lihat Article 6 CISG.
CISG konsensus ini diartikan pada saat adanya

penerimaan penawaran berlaku efektif. 17

4) Asas Itikad Baik

Dalam Article 7 (1) CISG memuat bahwa dalam

menafsirkan ketentuan CISG serta penerapannya harus

memerhatikan kepatuhan terhadap itikad baik. 18 Maka

para pihak yang membentuk kontrak jual beli dan

tunduk pada ketentuan dalam CISG harus

menerapkannya dengan itikad baik.

5) Asas Maksud Para Pihak Menjadi Dasar dalam

Membentuk Kontrak

Asas ini memiliki makna berkaitan dengan tafsiran

dari niat atau kehendak para pihak dalam

pembentukkan suatu kontrak, di mana diatur dalam

Article 8 CISG bahwa maksud yang diartikan adalah

maksud subyektif para pihak pada saat membuat

pernyataan dan juga sikap dari pihak lainnya apabila

pihak lain mengetahui atau tidak menyadari apa yang

dimaksud.19

17
Lihat Article 23 CISG.
18
Lihat Article 7 (1) CISG.
19
Dandy Aditya Qasthari, Huala Adolf, dan Etty H. Djukardi, “Urgensi Ratifikasi United
Nations Convention on Contracts for The International Sale of Goods (CISG) Vienna
1980 terhadap Perkembangan Hukum Perjanjian Jual Beli Barang di Indonesia Dikaitkan
dengan Akta Notaris”, ACTA DIURNAL Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan, Vol. 3, No.1,
2019, hlm. 13.
Ditegaskan pula pada Article 8 (3) CISG bahwa dalam

menentukan maksud suatu pihak atau kesepahaman

yang wajar dapat mempertimbangkan juga praktik-

praktik yang sesuai dengan kondisi yang relevan

dengan kontrak tersebut seperti halnya negosiasi atau

praktik lainnya yang dilakukan oleh para pihak pada

saat pembentukkan kontrak.20

6) Peralihan Hak Milik

Prinsip mengenai peralihan hak milik ini

menitikberatkan pada suatu konsep bahwa peralihan

hak milik baru akan terjadi pada saat kewajiban dari

penjual dan pembeli terlebih dahulu dipenuhi, hal ini

diatur dalalm Article 30 CISG mengenai kewajiban

penjual dan Article 53 CISG tentang kewajiban

pembeli21, dilengkapi dalam Article 66 CISG bahwa

peralihan risiko tidak membebaskan pembeli untuk

melakukan sejumlah pembayaran kecuali apabila

adanya kerusakan atas barang yang disebabkan oleh

kelalaian penjual.22

20
Lihat Article 8 (3) CISG.
21
Dandy Aditya Qasthari, Huala Adolf, dan Etty H. Djukardi, “Urgensi Ratifikasi United
Nations Convention on Contracts for The International Sale of Goods (CISG) Vienna
1980 terhadap Perkembangan Hukum Perjanjian Jual Beli Barang di Indonesia Dikaitkan
dengan Akta Notaris”, Op.Cit.
22
Lihat Article 66 CISG.
c. Pengaturan Kontrak Jual Beli Internasional berdasarkan

Konvensi Internasional

Terdapat 2 (dua) marwah utama dalam pembentukan

kontrak jual beli yang diakui oleh CISG, yakni adanya penawaran

(offer) dan penerimaan (acceptance). Dalam suatu pengajuan

penawaran harus memuat niat pemberi penawaran untuk terikat

dala penerimaan seperti tertulis dengan jelas barang dan membuat

ketentuan jumlah dan harga terkait barang tersebut. 23 Kontrak

dikenal sebagai suatu transaksi hukum (legal transaction) yang

mensyaratkan setidaknya terdapat dua pihak dan dua

korespondensi yang menyatakan niatnya. Salah satu

korespondensi dalam pernyataan disebut penawaran, pihak

tersebut harus menerima penerima penawaran untuk

menyimpulkan suatu kontrak yang efektif dan harus mencantumkan

beberapa kriteria khusus di dalamnya.24

1) Penawaran (Offer)

Setiap proposal yang diajukan belum tentu sebuah

penawaran, oleh karenanya berdasarkan Article 14 CISG,

sebuah proposal penawaran harus memenuhi beberapa

persyaratan, yaitu: 1. Kepastian yang cukup dan 2. Niat

untuk terikat dalam hal penerimaan dan efektivitas

penawaran. CISG mengatur secara objektif mengenai


23
Lihat Article 14 (1) CISG.
24
Belkis Vural, “Formation of Contract According to the CISG”, Ankara Bar Review, Vol.
6, Issue 6, 2013, hlm. 129.
kepastian yang cukup dalam syarat sebuah proposal

penawara, secara umum CISG mengakui bahwa suatu

pihak dapat membuat penawaran kepada sekelompok

orang yang tidak spesifik (public offer), seperti halnya

penjual mengirmkan beberapa katalog yang

mencantumkan deskpris produk dan daftar harga produk

untuk jumlah yang tidak terbatas atau sejumlah besar orang

yang dapat diartikan sebagai penawaran umum. 25

Selain menempatkan adanya kriteria objektif, CISG

mengatur pula adanya syarat subyektif dalam penawaran

yakni proposal penawaran dari pihak pemberi penawaran

harus menunjukkan adanya niat yang cukup untuk bersedia

terikat dengan tawaran dalam hal nantinya terdapat

penerimaan.26

2) Penerimaan (Acceptance)

Penerimaan merupakan pernyataan niat kedua

sebagai tanggapan atas penawaran yang diberikan yang

dilakukan dengan menghubungi pihak pemberi penawaran

untuk membuat kontrak yang efektif. Article 18 hingga

Article 22 CISG memuat ketetuan yang terkait dengan

subjek penerimaan, terdapat beberapa jenis penerimaan,

yakni: 1. Penerimaan dengan pernyataan langsung, 2.

25
Belkis Vural, “Formation of Contract According to the CISG”, Op.Cit., hlm. 130-131.
26
Ibid.,
Penerimaan diam-diam (Special Case of Silence), dan 3.

Penerimaan oleh prestasi.27

CISG secara umum mengatur mengenai ketentuan-ketentuan

substansial dari sebuah kontrak jual beli barang internasional.

Ketentuan substantif ini dibagi ke dalam 5 (lima) bab, di mana Bab I

mengatur tentang ketentuan umum, Bab II mengatur tentang

kewajiban penjual, Bab III mengatur tentang kewajiban pembeli,

Bab IV mengatur tentang peralihan risiko, dan Bab V mengatur

tentang ketentuan umum terhadap kewajiban penjual dan

pembeli.28

1) Bab I – Ketentuan Umum (General Provisions)

Pada Bab I mengenai ketentuan umum di dalam CISG

mengatur suatu ketentuan baru yang dinamakan dengan

fundamental breach, pelanggaran kontrak yang fundamental

merupakan pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu pihak

apabila hal tersebut mengakibatkan kerugian kepada pihak

lain secara substansial hingga menghilangkan hak kepadanya

berdasarkan kontrak kecuali jika pihak yang melakukan

pelanggaran tidak dapat menduga secara wajar akan terjadi

pelanggaran tersebut.29

27
Ibid., hlm. 138-139.
28
Huala Adolf, Instrumen-Instrumen Hukum tentang Kontrak Internasional, Op.Cit, hlm.
83.
29
Lihat Article 25 CISG.
Selain itu, diatur juga megenai tata cara adanya

penghindaran kontrak atau penangguhan yang dapat

berlaku efektif apabila telah dibuatnya suatu pemberitahuan

kepada pihak lain.30 Jika setiap pemberitahuan, permintaan

atau komunikasi lainnya diberikan atau dibuat oleh salah

satu pihak sesuai dengan ketentuan dalam CISG,

keterlambatan atau kesalahan dalam pengiriman

komunikasi tidak menghilangkan hak pihak tersebut untuk

tetap melakukan komunikasi dengan pihak lain. 31

Sepanjang sesuai dengan CISG, salah satu pihak pun

berhak untuk meminta pelaksanaan kewajiban apapun dari

pihak laun dan pengadilan tidak terikat untuk memasukkan

penilaian untuk kinerja tertentu kecuali pengadilan akan

melakukannya di bawah hukumnya sendiri sehubungan

dengan kontrak dan apabila tidak diatur di dalam CISG. 32

Seluruh ketentuan yang diatur dalam Bab I lebih

menitikberatkan pada pengaturan substantif kontrak secara

umum mengenai pelanggara, pemberitahuan, dan

kewenangan pengadilan dalam menilai suatu prestasi para

pihak dalam kontrak.

2) Bab II – Kewajiban Penjual (Obligations of the Seller)

30
Lihat Article 26 CISG.
31
Lihat Article 27 CISG.
32
Lihat Article 28 CISG.
Penjual harus mengirimkan barang, menyerahkan semua

dokumen yang berkaitan dengan penyerahan barang,

melakukan transfer properti, sesuai yang dipersyaratkan di

dalam kontrak atau dalam Konvensi. 33 Dalam penyerahan

barang, penjual memiliki segenap kewajiban yang tidak hanya

mengacu dalam kontrak namun juga terikat dengan apa yang

dipersyaratkan di dalam CISG, seperti halnya:

(a) Jika penjual tidak terikat untuk menyerahkan barang pada

waktu atau tempat tertentu, maka kewajiban untuk

menyerahkannya terdiri dari: 1. Jika kontrak penjualan

melibatkan pengangkutan barang, penyerahan barang-

barang ke pengangkut pertama untuk diteruskan ke

pembeli, 2. Jika kontrak penjualan melinatkan

pengangkutan barang untuk barang tertentu atau barang

tak dikenal yang diambil dari stok tertentu atau untuk

diproduksi di tempat tertentu, penyerahan dilakukan

dengan menempatkan barang di tangan pembeli di tempat

itu, 3. Dalam hal lain-lain, dalam menempatkan barang-

barang tersebut pada tempat pembuangan pembeli di

tempat di mana penjual memiliki tempat usahanya pada

saat kontrak ditandatangani.34

33
Lihat Article 30 CISG.
34
Lihat Article 31 CISG.
(b) Penjual dalam beberapa kondisi berkewajiban untuk

membuat suatu dokumen tambahan yang terdiri atas

ketentuan sebagai berikut: 1. Apabila penjual sesuai

dengan kontrak atau Konvensi, menyerahkan barang

kepada pengangkut dan jika barang tidak jelas identitasnya

bertalian dengan kontrak dengan penandaan barang,

dengan dokumen pengiriman atau jika tidak, penjual harus

memberikan pemberitahuan tentang pengiriman yang

ditentukan kepada pembeli barang, 2. Jika penjual terikat

untuk mengatur pengangkutan barang, penjual harus

membuat kontrak yang diperlukan untuk pengangkutan ke

tempat yang ditentukan dengan sarana pengangkutan yang

sesuai dengan keadaan dan menurut kelaziman

persyaratan untuk transportasi tersebut, 3. Jika penjual

tidak terikat untuk memberlakukan asuransi sehubungan

dengan pengangkutan barang, maka penjual harus atas

permintaan pembeli menyediakan seluruh informasi yang

tersedia mengenai asuransi yang dapat dipilih dan

dilakukan oleh pembeli.35

3) Bab III – Kewajiban Pembeli (Obligations of the Buyer)

Pembeli harus membayar sejumlah biaya untuk barang dan

pengiriman sebagaimana dipersyaratkan di dalam kontrak

maupun dalam Konvensi. Jika harga ditetapkan sesuai


35
Lihat Article 32 CISG.
dengan berat barang dan terdapat keraguan dalam

perhitungan maka harga barang harus ditentukan oleh berat

bersih barang tersebut.36 Selain mengatur mengenai

mengukur harga barang dan pembayaran secara umum yang

wajib dilakukan oleh pembeli, bab ini juga mengatur menenai

upaya-upaya penjual atas pelanggaran yang dilakukan oleh

pembeli yang secara umum sama dengan upaya pembeli

yang dapat dilakukan atas pelanggaran-pelanggaran penjual

sebagaimana diatur dalam bab sebelumnya.37

Selain itu, terdapat pula ketentuan mengenai penentuan

spesifikasi barang. Jika berdasarkan kontrak pembeli harus

menentukan bentuk, ukuran, atau sifat-sifat lain dari barang

tersebut dan pembeli tidak membuat spesifikai itu pada

tanggal yang disepakati atau dalam waktu yang wajar setelah

diterimanya permintaan dari penjual, maka penjual dapat

membuat spesifikasi sendidri sesuai dengan persyaratan dari

pembeli yang sebelumnya telah diketahui. Serta, apabila

penjual membuat spesifikasi sendiri, maka penjual wajib untuk

memberitahukan kepada pembeli mengenai rinciannya dan

harus memperbaiki waktu yang wajar di mana pembeli dapat

membuat spesifikasi yang berbeda. Namun, jika dalam waktu

36
Lihat Article 56 CISG.
37
Huala Adolf, Instrumen-Instrumen Hukum tentang Kontrak Internasional, Op.Cit, hlm.
84.
yang wajar pembeli tetap gagal melakukannya, maka

spesifikasi yang dibuat oleh penjual bersifat mengikat. 38

4) Bab IV – Peralihan Risiko (Passing of Risk)

Dalam sistem hukum common law, peralihan risiko ditandai

dengan adanya kepemilikkan (risk passing with ownership).39

Kehilangan atau kerusakan barang setelah risiko dialihkan

kepada pembeli tidak membebaskannya dari kewajiban

membayar harga, kecuali kerugian atau kerusakan karena

tindakan atau kelalaian penjual. 40

5) Bab V – Ketentuan Umum terhadap Kewajiban Penjual dan

Pembeli (Provisions Common to the Obligations of the Seller

and of the Buyer)

Bab ke-V mengatur mengenai ketentuan-ketentuan umum

terhadap kewajiban dari penjual dan pembeli seperti halnya

mengenai pembatalan di awal (anticipatory breach),

instalment contract, upaya-upaya terhadap kerugian, bunga,

ketidakmampuan suatu pihak dalam memenuhi prestasinya,

akibat wanprestasi, kewajiban untuk memelihara barang

apabila pihak lainnya lalai.41

Anticipatory breach dilakukan dalam hal salah satu pihak

dapat menangguhkan pelaksanaan kewajibannya jika setelah


38
Lihat Article 65 CISG.
39
Huala Adolf, Instrumen-Instrumen Hukum tentang Kontrak Internasional, Op.Cit, hlm.
84.
40
Lihat Article 66 CISG.
41
Huala Adolf, Instrumen-Instrumen Hukum tentang Kontrak Internasional, Op.Cit, hlm.
84.
kontrak dibuat, pihak lain akan melakukan sebagian besar

kewajibannya sebagai akibat dari kekurangan dalam

kemampuannya untuk melakukan atau dalam kelayakan kredit

atau perilakunya dalam melakukan prestasi. 42 Berbicara

mengenai instalment contract, di mana dalam hal kontrak

penyerahan barang secara angsuran, jika kegagalan salah

satu pihak untuk melakukan salah satu kewajibannya

sehubungan dengan angsuran merupakan pelanggaran

mendasar dari kontrak sehubungan dengan angsuran itu,

maka pihak lain dapat menyatakan kontrak dihindari atau

ditangguhkan. Serta, apabila salah satu pihak lalai untuk

melakukan salah satu kewajibannya sehubungan dengan

angsuran serta menunjukkan akan ada pelanggaran

mendasar kontrak maka kontrak tersebut dapat dihindari untuk

masa depan kecuali dilakukan dalam waktu yang wajar. 43

B. Tinjauan Umum Mengenai Klausula Hardship

1. Pengertian Umum Hardship

Dalam transaksi komersial internasional, khususnya untuk

kontrak jangka panjang, perubahan-perubahan dapat terjadi dan

berimplikasi pada keberlangsungan suatu kontrak. Hardship

merupakan situasi atau kondisi yang mengacu pada pelaksanaan

42
Lihat Article 71 CISG.
43
Lihat Article 73 CISG.
kontrak berubah secara drastis setelah adanya kesepakatan

sehingga menganggu keseimbangan kontrak, di mana kondisi ini

sangat merugikan pihak dalam kontrak dan apabila kontrak

tersebut tetap dilaksanakan akan memberatkan pihak yang

berkontrak sehingga konsekuensi dari adanya kondisi ini adalah

memberikan kesempatan bagi para pihak untuk melakukan

negosiasi ulang dengan itikad baik untuk menyesuaikan dan

mengembalikan keseimbangan kontraktual ke kondisi semula. 44

Beberapa regulasi domestik dalam beberapa negara telah

mengadopsi konsep hardship yang bertujuan untuk melindungi

pihak yang dirugikan jika peristiwa telah membuat kinerja lebih

berat daripada yang seharusnya telah diantisipasi pada saat

pembentukan kontrak. Namun, solusi yang diadopsi oleh hukum

nasional mungkin sangat berbeda dari satu negara dan negara lain,

seperti contohnya apabila salah satu hukum nasional meminnta

para pihak untk melakukan renegosiasi ulang terkait kontrak dan

negosiasi ulang tidak mencapai kesepakatan maka kegagalan dari

renegosiasi tersebut dapat menimbulkan beberapa hal lainnya,

berdasarkan beberapa undang-undang pihak yang dirugikan

hanyak akan berhak untuk mengakhiri kontrak sedangkan menurut

pihak lain pihak yang dirugikan akan memilikan hak untuk meminta

44
Seema Deshwal and Ritu, “Contractual Exempion Theories of Force Majeure and
Hardship in International Law”, International Journal of Law Management and
Humanities, Vol. 5, Issue 6, 2022, hlm. 10.
penyesuaian keadaan kontrak yang diubah oleh hakim atau

arbiter.45

Konsep mengenai hardship diadopsi oleh beberapa sistem

hukum negara-negara seperti di Perancis, Jerman, dan Belanda.

a. Hardship berdasarkan Hukum Perancis

Dalam sistem hukum Perancis, hardship tidak dikenal

dalam hukum kontrak privat dan lebih sering digunakan

untuk kontrak negara. Istilah yang digunakan dikenal

sebagai imprevision atau keadaan yang tidak diduga. Pada

dasarnya, hukum Perancis tidak mengakui perubahan

kontrak untuk menangguhkan pelaksanaan kontrak karena

dianggap sebagai pelanggaran atas asas pacta sunt

servanda. Namun, pada salah satu kasus sengketa Gaz de

Bourdeaux pada tahun 1916, pengadilan administrasi

Perancis mengadopsi konsep imprevision dan

memperkenalkan adanya penyesuaian terhadap kontrak

penyediaan gas yang dipandang perlu untuk menghindari

bangkrutnya perusahaan gas yang pada saat itu menjadi

pemasok gas untuk kota Bordeaux.46

b. Hardship berdasarkan Hukum Jerman

45
ICC Force Majeure and Hardship Clause March 2020, https://iccwbo.org/news-
publications/icc-rules-guidelines/icc-force-majeure-and-Hardship-clauses/#single-hero-
document, diakses pada 21 April 2023.
46
Huala Adolf, Bab-Bab tentang Hukum Kontrak Internasional, Bandung:Keni Media,
2021, hlm. 88-89.
Konsep mengenai hardship dikenal dalam sistem

hukum Jerman sejak tahun 1920, ketentuan mengenai

hardship sendiri diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata Jerman yang secara umum mengatur ketentuan:

1) Terjadinya perubahan keadaan mengubah dasar

kontrak secara signifikan ketika kontrak dibuat

2) Para pihak ketika membuat kontrak tidak menduga

akan terjadinya perubahaan keadaan tersebut

3) Perubahan keadaan mensyaratkan adanya perubahan

terhadap kontrak.47

c. Hardship berdasarkan Hukum Belanda

Sama halnya seperti Jerman, Belanda sendiri

mengakui adanya konsep hardship sebagaimana diatur

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, di

mana di dalam hukum Belanda sendiri hardship memiliki

beberapa katarestik yakni sebagai berikut:

1) Atas terjadinya keadaan yang tidak dapat diduga

sebelumnya, suatu pihak dapat mengajukan gugatan

perubahan kontrak kepada pengadilan

2) Pengadilan dapat mengubah sebagian atau seluruh

perjanjian

47
Ibid., hlm. 91-93.
3) Perubahan keadaan ini tidak memungkinkan untuk

dilanjutkannya suatu perjanjian tanpa adanya

perubahan perjanjian berdasarkan standar kepattutan

dan keadilan.48

d. Hardship berdasarkan Hukum Indonesia

Hukum Indonesia tidak memiliki ketentuan yang

mengatur mengenai hardship secara spesifik. Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia tidak

mengenal adanya konsep hardship, oleh karenanya

konsep mengenai hardship tidak memiliki dasar hukum

yang jelas dalam sistem hukum Indonesia.

e. Hardship berdasarkan Ketentuan dalam the Principles

of European Contract Law (PECL)

Principles of European Contract Law (PECL)

mengatur secara tegas mengenai perubahan keadaan

yang dapat memengaruhi pelaksanaan kontrak. Di dalam

pengaturan menegnai perubahaan keadaan dalam PECL,

secara tegas pula ditekankan hanya berlaku dalam

keadaan atau kasus luar biasa. 49 Berdasarkan sifatnya,

48
Ibid., hlm. 95-96.
49
Rodrigo Momberg Uribe, “Change of Circumstances in International Insturments of
Contract Law”, Euopean Review of Private Law, Vol 15 (2), 2011, hlm. 247.
ketentuan perubahan keadaan dalam PECL hanya

relevan dan berlaku untuk kewajiban kontraktual saja. 50

Pendekatan PECL mengenai hardship ditekankan

pada adanya situasi di mana terdapat beban yang sangat

berat untuk melaksanakan kinerja bagi pihak yang

terdampak, beban yang berlebihan tersebut terjadi ketika

keadaan yang berubah mengakibatkan adanya

ketidakseimbangan yang masif pada kontrak sehingga

kontrak dapat menjadi batal.51 Sehingga, dapat

disimpulkan bahwa perubahan keadaan dan

keseimbangan kontrak harus bersifat fundamental.

Ketentuan dalam PECL mengakui adanya kewajban

untuk melakukan negosiasi ulang dalam hal adanya

perubahaan keadaan, dalam doktrin hukum menyepakati

bahwa jika terdapat beberapa alasan kegagalan untuk

melakukan negosiasi ulang seperti penolakan yang tidak

dapat dibenarkan oleh salah satu pihak untuk melakukan

negosiasi atau jika alasan penghentian negosiasi adalah

adanya itikad buruk, maka pihak yang terpangaruh dapat

menuntut ganti rugi.52

50
Ibid., hlm. 248.
51
Ibid., hlm 249.
52
Ibid., hlm. 260.
f. Hardship berdasarkan ketentuan dalam International

Chamber of Commerce (ICC)

Klausul hardship dalam ICC dikenal sejak tahun 2003,

namun terdapat pembaharuan pada tahun 2020 di mana

klausul hardship dalam ICC versi 2020 terdiri atas 3

pargraf. ICC memperkenalkan adanya 3 (tiga) alternatif

dalam menghadapi keadaan sulit yakni:

a. Party to terminate;

Dalam hal adanya keadaan sulit, para pihak yang

terkena dampak dari hardship diperkenankan untuk

mengakhiri kontak.

b. Judge to adapt or terminate; dan

Dalam hal adanya keadaan sulit, para pihak berhak

untuk meminta kepada hakim atau arbiter untuk

mengadaptasi keadaan atau mengakhiri kontrak.

c. Judge to terminate.53

Salah satu pihak dapat meminta hakim atau arbiter

untuk melakukan pengakhiran kontrak.

ICC menyediakan pengaturan klausula hardship

untuk memberikan kepastian kepada para pihak, para

53
Baker McKenzie Istanbul, “ICC Force Majeure and Hardship Clause 2020”,
https://insightplus.bakermckenzie.com/bm/attachment_dw.action?
attkey=FRbANEucS95NMLRN47z
%2BeeOgEFCt8EGQJsWJiCH2WAXWHJVSAeOsDvFFDPQ2YLOl&nav=FRbANEucS95
NMLRN47z%2BeeOgEFCt8EGQbuwypnpZjc4%3D&attdocparam=pB7HEsg
%2FZ312Bk8OIuOIH1c%2BY4beLEAeR654HSn%2B7vk%3D&fromContentView=1,
diakses pada 26 April 2023.
pihak mungkin ingin mengatur situasi hardship ke dalam

kesepakatan mereka secara terpisah dari hukum yang

mengatur kontrak.54 Masalah yang kerap muncul dalam

menghadapi adanya pengaduan terkait situasi hardship

adalah tolak ukur apakah situasi tersebut dapat

digolongkan sebagai hardship atau tidak sehingga dalam

hal para pihak tidak dapat menyepakati solusi dari hasil

negosiasi maka klausul tersebut dapat memberikan dua

opsi yakni antara dilakukannya penyesuaian atau

pengakhiran kontrak55.

Melalui adanya ketentuan klausula mengenai

hardship dalam ICC yang dimasukkan ke dalam kontrak

para pihak tentu memberikan adanya jaminan kepastian

tentang keberlangsungan dari kontrak apabila terdapat

kondisi hardship di kemudian hari. Seperti yang telah

disebutkan di atas, bahwa keberadaan klausula hardship

dapat memberikan kepastian dan juga apabila para pihak

ingin mengatur situasi hardship ke dalam kintrak secara

terpisah dari hukum yang mengatur kontrak tersebut

(governing law). Karena, tidak dapat dihindari bahwa

keberlakuan hardship dalam beberapa sistem hukum

54
ICC Force Majeure and Hardship Clause March 2020, https://iccwbo.org/news-
publications/icc-rules-guidelines/icc-force-majeure-and-Hardship-clauses/#single-hero-
document, diakses pada 21 April 2023.
55
Ibid.,
memiliki pemahaman dan implikasi yang berbeda-beda,

sehingga implementasi dari klausula hardship dapat

dilandasi dengan asas kebebasan berkontrak dari para

pihaknya.

g. Hardship berdasarkan Ketentuan dalam UPICC

Hardship dalam UPICC diatur di dalam Article 6.2.1,

6.2.2, dan 6.2.3., di mana definisi dari hardship dalam

UPICC sendiri tidak jauh berbeda dengan yang dianut

dalam sistem hukum yang mengenal konsep hardship,

yakni mengenai adanya perubahan secara fundamental

yang menganggu keseimbangan kontrak akibat adanya

nilai kontrak yang meningkat sangat tinggi atau menjadi

sangat rendah sehingga akan merugikan pihak yang

berkontrak apabila kontrak tersebut tetap dilangsungkan.

Secara harfiah, pasal 6.2.1 UPICC menegaskan

mengenai pacta sunt servanda atau kekuatan mengikat

dari suatu kontrak, meskipun suatu kontrak menyebabkan

kesulitan bagi salah satu atau kedua belah pihak, kontrak

tetap harus dilaksanakan. Namun, terdapat komentar

tambahan untuk pasal ini yang menyatakan bahwa asas

kekuatan mengikat dari suatu perjanjian tidak bersifat

absolut atau mutlak ketika terjadi sebuah perubahan


fundamental pada saat kontrak berlangsung, kondisi

perubahan tersebut menjadi pengecualian dengan konsep

yang dikenal dengan hardship.56

2. Unsur-Unsur Hardship

Ketidakmungkinan atau keadaan sulit untuk melaksanakan

kontrak telah lama dikenal dalam sistem hukum di seluruh dunia,

pasalnya pada zaman Romawi Tua terdapat prinsip impossibilium

nulla est obligatio (there is no obligation to perform impossible

things)57, tidak ada kewajiban bagi pihak untuk melaksanakan

prestasinya atas sesuatu yang mustahil telah diakui melalui adanya

prinsip tersebut dengan contoh praktik sederhana seperti penjualan

hasil tanaman yang sudah hancur sehingga tidak ada kewajiban

bagi penjual untuk melakukan pengiriman atau penyerahan

terhadap objek tersebut.58 Selanjutnya, pada awal abad ke-16,

diperkenalkan sebuah doktrin bernama rebus sic stantibus yang

dikembangkan oleh Praetor Romawi 59, perubahan-perubahan yang

tak terduga dan bersifat luar biasa dari keadaan yang membuat

kewajiban kontraktual menjadi sangat memberatkan bagi salah sau

pihak telah diakui.

56
Ibid., hlm. 104.
57
Ingeborg Schwenzer, “Exemption in Case of Force majeure and Hardship-CISG, PICC,
PECL, and DCFR”, Curitiba Jurua Editora, 2014, hlm. 366.
58
Ibid.,
59
Ibid.,
Kondisi yang berubah tak terduga merupakan salah satu

masalah utama para pihak dalam berkontrak terutama bagi mereka

para pihak yang terikat dalam kontrak dengan jangka waktu yang

panjang sehingga memungkinkan mereka untuk berhadapan

dengan masalah-masalah internasional baik secara politik maupun

ekonomi. Konvensi internasional seperti CISG tidak begitu

mengerucutkan pada keadaan sulit sebagaimana tidak ada

pemisahan dalam Article 79 antara force majeure dan hardship

yang mengecualikan para pihak untuk tidak melaksanakan

prestasinya.60 Namun, dewasa ini, telah banyak diterima dalam

pengadilan maupun keputusan arbitrase bahwa Artcicle 79 CISG

mencakup juga kondisi sulit.61

Suatu kondisi atau perubahan terhadap suatu kontrak dapat

digolongkan menjadi suatu hardship apabila memenuhi beberapa

ketentuan sebagaimana diatur dalam Article 6.2.2 UPICC, yakni:

1) Peristiwa terjadi atau diketahui oleh para pihak setelah kontrak

dibentuk;

2) Kejadian tersebut tidak dapat secara wajar diperhitungkan oleh

pihak yang dirugikan pada saat kontrak dibentuk;

3) Peristiwa tersebut berada di luar kendali pihak yang dirugikan;

dan

60
Ingeborg Schwenzer, “Force Majeure and Hardship in International Sales Contract”,
Victoria University of Wellington Law Review, Vol. 39, 2008, hlm. 712.
61
Ibid.,
4) Risiko kejadian tidak dapat diketahui oleh pihak yang

dirugikan.62

Selain itu, terdapat beberapa unsur-unsur dari suatu kondisi

hardship lainnya yang perlu diperhatikan sebelum menentukan

apakah suatu kondisi atau peristiwa yang dimaksud dapat

termasuk dalam kategori hardship:

1) Terdapat kenaikkan dalam biaya atau nilai kontrak; dan

2) Penurunan nilai pelaksanaan yang diterima oleh salah satu

pihak.

Maka, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur penting dalam

mendeterminasi suatu kondisi menjadi kondisi hardship adalah

sebagai berikut:

1) Adanya suatu perubahan yang signifikan terjadi pada nilai

kontrak yang tidak dapat diperhitungkan sebelumnya oleh

para pihak;

2) Meningkatnya biaya pelaksanaan kontrak atau berkurangnya

nilai pelaksanaan kontrak yang seharusnya diterima oleh

salah satu pihak;

3) Perubahan keadaan terjadi dan diketahui oleh para pihak

setelah kontrak disepakati;

4) Perubahan tersebut di luar kendali para pihak; dan

5) Pihak yang dirugikan tidak dapat memperkirakan perubahan

atau peristiwa tersebut sebelumnya,


62
Lihat Article 6.2.2. UPICC.
Di samping itu, hardship hanya relevan atau dapat

diberlakukan untuk pelaksanaan prestasi yang belum dilakukan

sehingga implikasi dari hardship tidak dapat diimplementasikan

pada prestasi yang sudah dilaksanakan serta hardship pada

umumnya hanya relevan bagi kontrak jangka panjang. Meskipun

hal ini tidak secara spesifik diatur atau disebutkan dalam UPICC,

namun kondisi hardship biasanya akan relevan dengan kontrak


63
jangka panjang dalam periode waktu tertentu.

3. Upaya Renegosiasi sebagai Implikasi Hardship

Article 6.2.3 UPICC menegaskan beberapa hal penting

dalam mengimplementasikan akibat dari adanya kondisi hardship

yang menimpa pihak-pihak yang berkontrak, yaitu:

1) Pihak yang dirugikan berhak untuk memohonkan adanya

renegosiasi kontrak kepada pihak lain;

2) Permohonan renegosiasi wajib diajukan disertai dengan

alasan-alasan substansial yang bersifat objektif;

3) Permohonan renegosiasi harus sesegera mungkin

diberitahukan dan dikirimkan kepada pihak lainnya;

4) Permohonan renegosiasi tidak serta merta menangguhkan

pelaksanaan kewajiban bagi para pihak;

63
Komentar Umum Chapter 6 Section 2 UPICC,
https://www.unidroit.org/instruments/commercial-contracts/unidroit-principles-2010/
chapter-6-section-2/#1623694323415-30641944-9988, diakses pada 25 Maret 2023.
5) Bila upaya renegosiasi dalam jangka waktu yang layak tidak

terpenuhi, maka salah satu pihak dapat mengajukan masalah

ini ke pengadilan;

6) Pengadilan berwenang untuk memutuskan apakah kontrak

dapat diakhiri atau diamandemen dengan tujuan untuk

mengembalikan kondisi kontrak seperti semula. 64

Oleh karenanya, implikasi mengenai hardship yang diatur

dalam Article 6.2.3 UPICC yang memberikan kesempatan bagi

para pihak untuk melakukan negosiasi ulang atau renegosiasi

dengan tujuan merundingkan kembali dan mengubah kontrak

sehubungan dengan keadaan baru. Sampai permintaan

renegosiasi dikabulkan oleh pihak lainnya, maka pihak yang

dirugikan tidak diperkenankan untuk menangguhkan prestasinya,

kecuali terdapat keadaan luar bisa yang mewajibkannya. 65

Akan tetapi, perlu diketahui bahwa tidak semua sistem

hukum seperti UPICC mengenal adanya implikasi atas hardship

melalui renegosiasi. UPICC yang bersifat sebagai prinsip umum

dalam kontrak komersial internasional memberlakukan adanya

suatu kewajiban untuk melakukan negosiasi ulang apabila terjadi

suatu kondisi hardship sebagaimana hal ini juga sejalan dengan

konsep yang diatur dalam CISG. Namun, beberapa negara,

seperti halnya di Belanda, tidak mewajibkan adanya renegosiasi


64
Huala Adolf, Bab-Bab tentang Hukum Kontrak Internasional, Op.Cit., hlm. 106.
65
Seema Deshwal and Ritu, “Contractual Exempion Theories of Force Majeure and
Hardship in International Law”, Op.Cit., hlm. 13.
ulang melainkan apabila terjadi kondisi hardship maka para pihak

dapat langsung mengajukan permohonan kepada pengadilan

yang berwenang untuk menentukan kelanjutan daripada kontrak

tersebut.

Kesulitan-kesulitan yang menyebabkan beberapa sistem

hukum tidak menerapkan adanya renegosiasi antara lain

mengenai suatu nilai dasar bahwa negosiasi harus didasarkan

pada kemauan dan kepercayaan sehinga negosiasi tersebut tidak

dapat dipaksakan oleh salah satu pihak saja. 66 Efektivitas dan

kegunaan pemulihan kontraktual melalui renegosiasi sangat

bergantung pada hukum yang berlaku pada kontrak terkait, hal ini

sangat bergantung pada sistem hukum di mana hak untuk

menegosiasikan kembali dapat diambils ebagau upaya hukum.

Seperti contoh, pada hukum Jerman, meskipun para pihak

diwajibkan untuk melakukan negosiasi ulang perjanjian jika terjadi

hardship, terdapat persyaratan hukum bahwa kontrak terlebih

dahulu diselamatkan.67 Para pihak saat melakukan negosiasi

ulang dengan itikad baik namun tidak mencapai kesepakatan yang

memuaskan, maka para pihak berhak untuk mengakhiri

perjanjian.68 Dalam doktrin hukum Inggris, terdapat sebuah doktrin

bahwa tidak ada hak untuk melakukan negosiasi ulang tanpa


66
Ingeborg Schwenzer dan Edgardo Munoz, “Duty to Renegotiate and Contract
Adaptation in case of Hardship”, Uniform Law Review, Vol. 0, 2019, hlm. 8.
67
Jason Chuah, “Renegotiating Shipping Contracts and Contractual Remedies in Times
of Economic Hardship”, Revue de Droit du Commerce International et des Transports,
Vol. 2, 2015, hlm. 126.
68
Ibid.,
adanya klausul hardship yang mengikat dan dapat dilaksanakan

(enforceable).69

Kewajiban untuk melakukan negosiasi ulang dapat ditemui

pada beberapa instrumen hukum internasional seperti dalam

CISG, UPICC, dan PECL. Bedanya, dalam CISG yang bersifat

sebagai kinvensi internasional dapat mengikat para pihak yang

memilih CISG sebagai hukum yang mengatur kontraknya,

sedangkan ketentuan seperti dalam UPICC dan PECL dianggap

sebagai soft law yang tidak mengikat.70 Instrumen hukum

internasional seperti UPICC atau PECL, memuat ketentuan

tersendiri sehubungan dengan hardship yang mewajibkan untuk

mengadakan negosiasi baru, sehingga hal ini bersifat lebih

fleksibel dibanding dengan ketentuan hardship dalam CISG.71

Perlu digarisbawahi bahwa dalam UPICC dan PECL tidak

menjadikan permintaan untuk melakukan renegosiasi sebagai

persyaratan. Para pihak dapat menggunakan pengadilan setelah

renegosiasi tidak mencapai kesepakatan.72

4. Tinjauan Umum mengenai Force Majeure, Frustration, dan

Hardship

a. Force Majeure
69
Ibid., hlm. 127.
70
Mitja Kovac, “Duty to Renegotiate in International Commercial Law and
Uncontemplated Behavioural Effect”, Maastricht Journal of European and Comparative
Law, Vol 27 (4), hlm. 3.
71
Ibid., 4.
72
Ibid.,
Force Majeure atau lebih sering dikenal dengan

terminologi keadaan kahar dalam sistem hukum Indonesia

merupakan istilah yang berasal dari bahasa Perancis yang

diartikan sebagai “a superior force” di mana dalam konteks

hukum kontrak, force majeure didefinisikan sebagai suatu

peristiwa atau akibat yang tidak dapat diantisipasi atau

dikendalikan oleh para pihak terutama peristiwa yang belum

pernah terjadi sebelumnya yang mecnegah seseorang

melakukan atau menyelesaikan sesuatu yang telah dia setujui

atau rencanakan secara resmi untuk dilakukan. 73 Klausul

mengenai force majeure harus ditafsirkan dalam setiap kasus

dengan memperhatikan bunyi dari klausulnya karena efek dan

implikasi dari force majeure dapat bervarisasi tergantung

dengan instrumen yang mengaturnya di dalam kontrak.

Force majeure lahir dari adanya sebuah prinsip

mengenai “changed circumstances” atau keadaan yang

berubah pada saat pelaksanaan kontrak. Prinsip yang dikenal

di Perancis pertama kali ini mengakui bahwa para pihak sering

mengadakan kontrak atas dasar asumsi dan keberadaan

tertentu yang dimiliki bersama tetapi tidak melihat adanya

kemungkinan perubahan kondisi yang dapat memengaruhi

73
Renjith Mathew, “Force-Majeure under Contract Law in the Context of Covid-19
Pandemic”, diakses melalui https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?
abstract_id=3588338 pada 28 April 2023.
kontrak yang memang sebelumnya tidak dapat diperkirakan. 74

Prinsip ini juga kurang lebih mengatur bahwa kinerja debitur

harus dibebaskan ketika keadaan yang tidak terduga

menimbulkan kesulitan yang di luar kendali para pihak atau

adanya “extreme onerosity”, meskipun pelaksanaan

prestasinya tidak sepenuhnya mustahil. 75

Implikasi atau konsekuensi dari keberadaan klausul

mengenai force majeure ini adalah, apabila terjadi kondisi

yang dapat dibuktikan oleh pihak yang terdampak merupakan

kondisi force majeure yang menghalangi pihak tersebut untuk

melaksanakan prestasinya maka hubungan kontraktual antara

para pihak sudah tidak lagi berlaku meskipun perikatan itu

sendiri masih ada76, di samping itu implikasi lain seperti

kreditor tidak dapat mengklaim bahwa pelaksanaan kontrak

sudah dipenuhi, debitor tidak wajib untuk membayar

kompensasi atau kerugian, hingga kreditor tidak dapat

mengakhiri atau membatalkan kontrak dapat terjadi. 77

Keadaan force majeure dapat membebaskan debitor

dari kewajibannya untuk memenuhi prestasi dan klaim untuk

memenuhi prestasi sebagaimana diperjanjikan di dalam


74
Vernon Valentine Palmer, “Excused Performances:Force Majeure, Impracticability, and
Frustration of Contracts”, The American Journal of Comparative Law, Vol. 70, Issue 1,
2022, hlm. 171.
75
Ibid.,
76
Ratna Januarita dan Yeti Sumiyati, “Legal Risk Management: Can the COVID-19
Pandemic be Included as a Force Majeure Clause in a Contract”, International Journal of
Law and Management, Vol. 63, No.2, 2020, hlm. 224.
77
Ibid.,
kontrak selama debitor dapat membuktikan bahwa dirinya

telah terkena dampak dari force majeure. Ketentuan dalam

pembuktian ini bersifat kontraktual sehingga bergantung pada

ketetuan yang tertuang dalam kontrak mengenai mekanisme

atau tata cara dalam melakukan pembuktian. Namun, pada

dasarnya, debitor dapat melakukan pembuktian di pengadilan

untuk membebaskan dirinya dari sejumlah klaim apabila

terjadi force majeure. Keberadaan klausula force majeure

telah menjadi pengcualian bagi debitur dalam kewajiban

kontraktual kepada kreditor.78

b. Frustration

Dalam sistem hukum common law dan di beberapa

sistem hukum negara di dunia mengenal beberapa istilah atau

prinsip mengenai perubahan kondisi atau “change of

circumstances” yang dapat memengaruhi pelaksanaan

kontrak. Doktrin mengenai frustration pertama kali lahir dari

hukum kontrak Romawi, di mana doktrin ini dikemabngkan

untuk menghilangkan kewajiban pihak yang tidak bersalah

dalam konteks objek perjanjian hancur atau hilang tanpa

tindakan atau kelalain yang disebabkan oleh debitur dan

78
Ibid., hlm. 225.
tujuan dari kontrak tidak dapat dicapai. 79 Doktrin frustration

awalnya diterapkan dalam situasi seperti adanya seekor kuda

yang mati sebelum dikirim atau seorang penulis buku

meninggal sebelum menyelesaikan lukisan, di mana hal-hal

tersebut bukan merupakan kelalain dari debitur dan tujuan

kontrak tidak akan pernah tercapai dikarenakan objek

perjanjian sudah hilang.80

Frustration terjadi pada saat keadaan yang tidak dapat

diduga sebelumnya oleh para pihak menghilangkan tujuan

utama dari para pihak dalam mengadakan kontrak. Kasus

pertama yang melahirkan adanya doktrin frustrasi adalah The

Coronation Krell v. Henry, pembatalan penobatan Raja

Edward VII pada tahun 1902 telah menghilangkan tujuan dari

tergugat untuk melakukan penyewaan apartemen sepanang

prosesi rute untuk menyaksikan acara penobatan tersebut.

Kemampuan tergugat untuk membayar uang sewa tetap

memungkinkan, namun nilai atau tujuan dari tergugat untuk

tetap melakukan penyewaan kamar apartemen sudah hilang. 81

Prinsip mengenai Frustration menitikberatkan pada keadaan

yang telah menghilangkan poin utama atau jantung dari

keberadaan perjanjian itu sendiri, hilangnya tujuan dari

79
Sheela Jayabalan, “The Legality of Doctrine of Frustration in the Realm of Covid-19
Pandemic”, Sociological Jurisprudence Journal, Vol. 3, Issue 2, 2020, hlm. 85.
80
Ibid.,
81
Vernon Valentine Palmer, “Excused Performances:Force Majeure, Impracticability, and
Frustration of Contracts”,Op.Cit., hlm. 179.
kontrak membuat keseluruhan kontrak menjadi tidak berarti

lagi. Dasar dari keberlakuan doktrin frustration adalah82:

1) The Implied Term Theory (Istilah Tersirat)

Teori ini diperkenalkan sejak adanya kasus Taylor v.

Caldwell pada tahun 1863 di mana putusan pengadilan

memutuskan ketentuan tersirat ke dalam kontrak yang

telah diantisipasi oleh para pihak dan mempertimbangkan

peristiwa yang sebenarnya terjadi akan mengakibatkan

kontrak berakhir.83 Dalam kasus ini, para pihak membuat

kontrak tentang penyewaan Surrey Gardens & Music Hall

untuk kegiatan rangkaian konser, namun 6 (enam) hari

sebelum tanggal yang direncnakan untuk konser pertama,

gedung tersebut terbakar sehingga konser musik tidak

dapat dilanjutkan.

Pihak penyelenggara digugat karena dianggap telah

melakukan pelanggaran kontrak, namun gugatan tersebut

ditolak dikarenakan hakim berpendapat dengan

pertunjukkan yang tidak dapat dilakukan maka

keberlangsungan dari gedung merupakan tujuan utama

dari dibentuknya kontrak dan pelaksanaan kontrak.

Meskipun tidak ada ketentuan tegas di dalam kontrak

yang mengaturnya, pengadilan menyiratkan hal ini


82
Sheela Jayabalan, “The Legality of Doctrine of Frustration in the Realm of Covid-19
Pandemic”, Op.Cit, hlm. 86.
83
Ibid.,
sebagai adanya kondisi frustration sehingga kontrak tidak

dapat dilanjutkan.84

2) The Theory of a Just and Reasonable Solution (Solusi

yang Adil dan Masuk Akal)

Teori ini telah menggantikan teori sebelumnya, di

mana saat adanya kondisi atau peristiwa sejenis maka

pengadilan membebankan kepada para pihak solusi yang

adil dan masuk akal85, dalam arti lain pengadilan

berwenang untuk memaksakan solusi yang adil dalam hal

keadaan yang diperkirakan sebelumnya dibanding

memberikan efek pada kontrak yang dianggap secara

tersirat.

Rasionalisasi dari dasar adanya doktrin ini adalah jika

pelaksanaan kontrak menjadi tidak mungkin karena

perubahan peristiwa yang membuat pelaksanaan kontrak

menjadi tidak mungkin atau ilegal untuk dilakukan, maka

para pihak yang berkontrak harus dibebaskan dari janji. 86

Doktrin ini ditegaskan pada persidangan kasus Davis

Contractor Ltd v Fareham UDC pada tahun 1956,

frustration terjadi pada saat hukum mengakui bahwa

terlepas dari kelalaian salah satu pihak kewajiban

kontraktual menjadi tidak dapat dilaksanakan karena


84
Ibid.,
85
Ibid.,
86
Ibid.,
adanya perubahan keadaan yang menjadikan

pelaksanaan kontrak akan jauh berbeda dari apa yang

dijanjikan apabila tetap dilakukan. 87

Konsekuensi hukum dari terjadinya frustration dalam

kontrak adalah berakhirnya seluruh kewajiban di masa

depan yang telah diperjanjikan pada saat kontrak dibuat.

Akan tetapi, kewajiban-kewajiban sebelum perubahan

kondisi terjadi tetap ada, maka biaya yang dikeluarkan

atau biaya yang dibayarkan sampai terjadinya perubahan

kondisi tidak dapat dipulihkan.88

c. Perbedaan antara Force Majeure, Frustration, dan

Hardship

Perubahan kondisi dalam pelaksanaan kontrak

merupakan hal yang sudah terjadi dalam sistem hukum

kontrak dari ratusan tahun lamanya, perubahan kondisi yang

tidak dapat diantisipasi sebelumnya oleh para pihak yang

mengikatkan janji dalam kontrak dapat beragam bentuk dan

implikasinya. Perkembangan hukum kontrak dalam

menghadapi perubahan-perubahan kondisi dan peristiwa yang

mungkin terjadi pada saat pelaksanaan kontrak telah

87
Ibid., hlm. 87.
88
Spencer Wright, “Frustration of Conntracts: What Causes a Contract to Break?”,
https://gibbswrightlawyers.com.au/publications/frustration-contract-law diakses pada 28
April 2023.
melahirkan beberapa prinsip dan doktrin dalam hukum kontrak

internasional maupun hukum kontrak nasional.

Force Majeure atau keadaan kahar merupakan prinsip

perubahan kondisi yang paling dikenal dan paling lazim

digunakan karena baik bagi negara-negara penganut sistem

civil law maupun common law sudah tidak asing dengan

eksistensi klausula force majeure yang kerap kali digunakan

dalam kontrak sebagai upaya preventif dalam menyelamatkan

keberlangsungan kontrak apabila terjadi perubahan kondisi

sewaktu-waktu yang dapat menghalangi pelaksaan prestasi

dari pihak yang berkontrak. Selain force majeure, mulai

dikenal pula istilah hardship yang pertama kali muncul dari

negara-negara yang menganut sistem hukum common law

dan mulai diatur di beberapa kerangka instrumen hukum

internasional dan juga konvensi internasional. Diikuti dengan

perkembangan lain dengan munculnya sebuah doktrin

frustration yang tidak terlalu familiar namun sudah diakui sejak

lama di beberapa negara hukum common law sehingga sudah

sering dijadikan tolak ukur bagi hakim dalam membuat

putusan pengadilan, namun perlu diketahui bahwa doktrin

frustration tidak lazim digunakan dikarenakan jarang sekali

instrumen hukum yang memiliki pengaturan terkait ini.

Beberapa negara, seperti halnya di Australia dan negara-


negara bagiannya kecuali Queensland, memiliki legislasi

khusus yang mengatur tentang frustration89 untuk memberikan

kepastian hukum yang terjamin bagi para pihak dalam

berkontrak.

Perbedaan yang mendasar antara ketiga prinsip ini

adalah pada konsekuensi hukum yang akan diterima oleh

para pihak pada saat peristiwa yang tidak terduga itu terjadi.

Dalam pengaturan force majeure, pihak yang terkena dampak

akan dibebaskan dari kewajibannya dan perjanjian

ditangguhkan secara sementara hingga keadaan kembali

kepada semula. Di sisi lain, hardship yang pengaturannya

hampir mirip dengan force majeure memberikan ruang untuk

para pihak melakukan renegosiasi ulang selama kontrak

ditangguhkan dan apabila negosiasi tersebut gagal maka

beberapa sistem hukum memberikan kewenangan pada

pengadilan untuk menentukan keberlanjutan dari kontrak

ataupun para pihak dapat mengambil keputusan untuk

mengakhiri kontrak. Dan yang terakhir, dalam prinsip

frustration sendiri jarang diatur di dalam kontrak, doktrin ini

lebih sering digunakan oleh hakim atau arbiter dalam

mendeterminasi sifat dari peristiwa yang terjadi untuk

menentukan konsekuensi hukum yang akan diterima oleh

para pihak, dalam frustration sendiri di mana tujuan dari


89
Ibid.,
kontrak tidak akan bernilai lagi maka kontrak akan berakhir

dan menghapus seluruh kewajiban para pihak yang akan

datang di masa depan.

Ketiga ketentuan mengenai perubahan kondisi dapat

diimplementasikan dalam kontrak dengan mengadopsi

ketentuan-ketentuan yang diatur seperti dalam CISG, PECL,

UPICC, atau governing law yang digunakan di dalam kontrak.

Kendati demikian, penerapannya tetap harus dilakukan secara

seksama dan hati-hati sesuai dengan kebutuhan para pihak,

dengan memperhatikan asas kebebasan berkontrak, asas

konsensual, dan asas itikad baik.90

90
Ratna Januarita dan Yeti Sumiyati, “Legal Risk Management: Can the COVID-19
Pandemic be Included as a Force Majeure Clause in a Contract”, Op. Cit., hlm. 227.

Anda mungkin juga menyukai