( HUKUM PERIKATAN)
Disusun Oleh :
Dosen Pembimbing
MAHASISWA SEMESTER 4
FAKULTAS SYARIAH
2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Suatu perjanjian dinyatakan sah di depan hukum apabila isi dalam
suatu perjanjian tersebut sesuai dengan sifat perjanjian, tidak
bertentangan dengan kesusilaan dan berdasarkan klausula baku yang
terdapat di dalam peraturan perundang-undangan. Dewasa ini, perjanjian
atau yang dikenal dengan istilah kontrak mengalami perkembangan pesat
dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sebagai contoh, dalam
dunia bisnis pelaku usaha mengikatkan diri dengan pelaku usaha yang
lain melalui suatu perjanjian yang melahirkan hubungan hukum antara
kedua belah pihak dan hubungan hukum tersebut dinamakan perikatan.
Dari perjelasan tersebut maka lahir suatu konsep dasar bahwa perjanjian
menerbitkan perikatan.
Perjanjian adalah suatu peristiwa yang terjadi ketika pihak saling
berjanji untuk melaksanakan perbuatan tertentu1. Menurut Subekti, suatu
perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada
seorang lain atau saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal2. Di dalam
buku ke III Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
berkenaan dengan Pasal 1313, pengertian suatu perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih.
1 Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan, Pustaka Setia, Bandung, 2011, Hal. 119.
2 Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. Ke-VI, Intermasa, Jakarta, 1979, Hal. 1.
Mengenai sahnya suatu perjanjian pada dasarnya diperlukan 4
(empat) syarat, yaitu3
1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat perikatan;
3. suatu hal tertentu; dan
4. suatu sebab yang halal.
Hal lain yang tidak kalah penting yang diatur dalam Pasal a quo adalah
bersifat mutlak karena terdapat kata “dianggap selalu” (dalam hal
pembuatan perjanjian) dan “harus” (dalam hal melakukan pembatalan
perjanjian kepada hakim atau melalui Pengadilan). Sedangkan berkenaan
dengan hak-hak hukum pihak yang tidak terpenuhi prestasinya karena
wanprestasi diatur dalam Pasal 1267 KUH Perdata yang menjelaskan
7P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Cet. Ke-III, Edisi Revisi, Djambatan, Jakarta,
2007, Hal. 347
bahwa, “Pihak yang terhadapnya perikatan tidak terpenuhi, dapat memilih;
memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu masih
dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan dengan
penggantian biaya, kerugian dan bunga.”. Dengan demikian sangat jelas
bahwa klausula baku dalam Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUH Perdata
merupakan ketentuan hukum sebagai syarat batal jika terjadi wanprestasi
dalam perjanjian timbal balik yang tidak dapat dikesampingkan di dalam
suatu perjanjian.
B. Rumusan Masalah
PEMBAHASAN
A. Perjanjian Obligatoir
8Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung, 2003, hal 82.
9 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Penerbit Alumni, Bandung, 1982, hal 86.
Pentingnya pembedaan ini adalah untuk mengetahui apakah dalam
perjanjian itu ada penyerahan (levering) sebagai realisasi perjanjian dan
penyerahan itu sah menurut hukum atau tidak.10
6) Perjanjian formil
10 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Penerbit Alumni, Bandung, 1982, hal 86.
BAB III
PENUTUP