Anda di halaman 1dari 11

MACAM MACAM PERJANJIAN

( HUKUM PERIKATAN)

Disusun Oleh :

NURUL AULIA (104210026)


FEBRIYANTI CHOIRUNNISA (104210023)
FAJAR AGHPARI (104210031)

Dosen Pembimbing

Pidayan Sasnifa,SH M.Sy

MAHASISWA SEMESTER 4

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

UIN STS JAMBI

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Suatu perjanjian dinyatakan sah di depan hukum apabila isi dalam
suatu perjanjian tersebut sesuai dengan sifat perjanjian, tidak
bertentangan dengan kesusilaan dan berdasarkan klausula baku yang
terdapat di dalam peraturan perundang-undangan. Dewasa ini, perjanjian
atau yang dikenal dengan istilah kontrak mengalami perkembangan pesat
dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sebagai contoh, dalam
dunia bisnis pelaku usaha mengikatkan diri dengan pelaku usaha yang
lain melalui suatu perjanjian yang melahirkan hubungan hukum antara
kedua belah pihak dan hubungan hukum tersebut dinamakan perikatan.
Dari perjelasan tersebut maka lahir suatu konsep dasar bahwa perjanjian
menerbitkan perikatan.
Perjanjian adalah suatu peristiwa yang terjadi ketika pihak saling
berjanji untuk melaksanakan perbuatan tertentu1. Menurut Subekti, suatu
perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada
seorang lain atau saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal2. Di dalam
buku ke III Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
berkenaan dengan Pasal 1313, pengertian suatu perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih.

1 Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan, Pustaka Setia, Bandung, 2011, Hal. 119.
2 Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. Ke-VI, Intermasa, Jakarta, 1979, Hal. 1.
Mengenai sahnya suatu perjanjian pada dasarnya diperlukan 4
(empat) syarat, yaitu3
1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat perikatan;
3. suatu hal tertentu; dan
4. suatu sebab yang halal.

Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena


mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian,
sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif
karena mengenai perjanjiannya sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum
yang dilakukan itu 4 . Adapun diketahui bahwa apabila salah satu syarat
subyektif atau obyektif tidak terpenuhi maka akan menimbulkan akibat
hukum. Akibat hukum dari tidak terpenuhinya syarat-syarat subyektif
adalah dapat dibatalkan. Artinya, salah satu pihak dapat mengajukan pada
pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya, tetapi
apabila para pihak tidak ada yang keberatan, perjanjian tersebut tetap
dianggap sah 5 . Sedangkan akibat hukum dari tidak terpenuhinya syarat-
syarat obyektif, adalah batal demi hukum. Artinya, dari semula perjanjian
tersebut dianggap tidak ada 6 . Terkait dengan tidak terpenuhinya syarat
subyektif yang berakibat hukum dapat dibatalkan sehingga salah satu pihak
dapat mengajukan pembatalan perjanjian kepada pengadilan atau melalui
hakim, menjadi sangat krusial apabila syarat tersebut tidak diindahkan. Hal
ini disebabkan pada akibat hukum dari syarat subyektif “ada” setelah
putusan hakim yang membatalkan suatu perjanjian. Dengan demikian,

3 Lihat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.


4 Wawan Muhwan Hariri, Op.Cit, Hal. 17
5 Ibid, Hal. 126
6 Salim H. S, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, Hal.166.
selama hakim belum membatalkan perjanjian tersebut, maka perbuatan
hukum (dalam hal ini perjanjian) tetap berlaku. Pasal 1266 KUH Perdata
mengatur mengenai syarat batal dalam suatu perjanjian, yaitu:

“Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang


timbal balik, andaikata salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.
Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan
harus dimintakan kepada Pengadilan. Permintaan ini juga harus dilakukan,
meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di
dalam persetujuan. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan,
maka Hakim dengan melihat keadaan, atas permintaan tergugat, leluasa
memberikan suatu jangka waktu untuk memenuhi kewajiban, tetapi jangka
waktu itu tidak boleh lebih dan satu bulan.”.

Dari penjelasan Pasal a quo terdapat 3 (tiga) hal yang harus


diperhatikan sebagai syarat pembatalan suatu perjanjian, yaitu7

1. Perjanjian harus bersifat timbal-balik.

2. Pembatalan harus dilakukan di muka hakim.

3. Harus ada wanprestasi.

Hal lain yang tidak kalah penting yang diatur dalam Pasal a quo adalah
bersifat mutlak karena terdapat kata “dianggap selalu” (dalam hal
pembuatan perjanjian) dan “harus” (dalam hal melakukan pembatalan
perjanjian kepada hakim atau melalui Pengadilan). Sedangkan berkenaan
dengan hak-hak hukum pihak yang tidak terpenuhi prestasinya karena
wanprestasi diatur dalam Pasal 1267 KUH Perdata yang menjelaskan

7P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Cet. Ke-III, Edisi Revisi, Djambatan, Jakarta,
2007, Hal. 347
bahwa, “Pihak yang terhadapnya perikatan tidak terpenuhi, dapat memilih;
memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu masih
dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan dengan
penggantian biaya, kerugian dan bunga.”. Dengan demikian sangat jelas
bahwa klausula baku dalam Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUH Perdata
merupakan ketentuan hukum sebagai syarat batal jika terjadi wanprestasi
dalam perjanjian timbal balik yang tidak dapat dikesampingkan di dalam
suatu perjanjian.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud perjanjian Sepihak dan timbal Balik

2. Apa yang dimaksud Perjanjian Cuma Cuma dan Atas beban ?

3. Apa yang dimaksud Perjanjian bernama dan Tak bernama ?

4. Apa yang dimaksud Perjanjian konsensual Dan Rill ?

5. Apa yang dimaksud Perjanjian Obligator dan kebendaan ?

6. Apakah maksud dari Perjanjian Formal


BAB II

PEMBAHASAN

A. Perjanjian Obligatoir

Perjanjian obligatoir adalah suatu perjanjian dimana


mengharuskan/mewajibkan seseorang membayar atau menyerahkan
sesuatu, misalnya penjual harus menyerahan barang. Menurut KUH Perdata
perjanjian saja belum lagi mengakibatkan beralihnya hak milik atas suatu
benda dari penjual kepada pembeli. Fase baru ini merupakan kesepakatan
dan harus diikuti dengan perjanjian penyerahan (perjanjian kebendaan).
Perjanjian obligatoir ada beberapa macam yaitu.

1) Perjanjian Sepihak dan Timbal Balik

Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan


kewajiban pada salah satu pihak saja. Misalnya perjanjian hibah. Dalam
hibah ini kewajiban hanya ada pada orang yang menghibahkan yaitu
memberikan barang yang dihibahkan sedangkan penerima hibah tidak
mempunyai kewajiban apapun. Penerima hibah hanya berhak menerima
barang yang dihibahkan tanpa berkewajiban apapun kepada orang yang
menghibahkan.Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang dibuat dengan
meletakkan hak dan kewajiban kepada kedua pihak yang membuat
perjanjian. Misalnya perjanjian jual beli Pasal 1457 KUHPerdata dan
perjanjian sewa menyewa Pasal 1548 KUHPerdata. Dalam perjanjian jual
beli hak dan kewajiban ada di kedua belah pihak. Pihak penjual
berkewajiban menyerahkan barang yang dijual dan berhak mendapat
pembayaran dan pihak pembeli berkewajiban membayar dan hak menerima
barangnya.

2) Perjanjian Cuma-Cuma dan Atas beban

Perjanjian Cuma-Cuma adalah perjanjian dimana pihak yang satu


memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan tiada mendapatkan
nimat dari padanya. Contoh perjanjian ini adalah perjanjian hibah.Perjanjian
atas beban adalah perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak
memberikan prestasi (memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak
berbuat sesuatu). Contoh perjanjian ini adalah perjanjian jual beli dan
perjanjian sewa-menyewa.

3) Perjanjian Bernama dan tak bernama

Perjanjian bernama adalah perjanjian khusus yang ditur dan


disebutkan dalam KUH Perdata Buku III Bab V s/d Bab XVII dan dalam
KUHD. Contoh perjanjian ini adalah perjanjian jual beli, perjanjian sewa-
menyewa, perjanjian penitipan barang, perjanjian pengangkutan, perjanjian
asuransi, dan perjanjian pinjam pakai. Perjanjian bernama atau khusus dan
perjanjian tak bernama Perjanjian bernama atau khusus adalah perjanjian
yang telah diatur dengan ketentuan khusus dalam KUHPerdata Buku ke tiga
Bab V sampai dengan bab XVIII. Misalnya perjanjian jual beli, sewa
menyewa, hibah dan lain-lain.
Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara
khusus dalam undang-undang. Misalnya perjanjian leasing, perjanjian
keagenan dan distributor, perjanjian kredit8

4) Perjanjian Konsensuil dan perjanjian Rill

Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena ada


persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Perjanjian real adalah perjanjian
disamping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan
nyata atas barangnya, misalnya jual beli barang bergerak, perjanjian
penitipan pinjam pakai (Pasal 1694, 1740 dan 1754 KUHPerdata). Dalam
hukum adat, perjanjian real justru yang lebih menonjol sesuai dengan sifat
hukum adat bahwa setiap prbuatan hukum (perjanjian) yang obyeknya
benda tertentu, seketika terjadi persetujuan kehendak serentak keetika itu
juga terjadi peralihan hak. Hal ini disebut "kontan dan tunai" 9

5) Perjanjian kebendaan dan obligatoir

Perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst, delivery contract)


adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli.
Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligatoir.
Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya
sejak terjadi perjanjian, timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak. Pembeli
berhak menuntut penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran
harga. Pembeli berkewajiban membayar harga, penjual berkewajiban
menyerahkan barang.

8Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung, 2003, hal 82.
9 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Penerbit Alumni, Bandung, 1982, hal 86.
Pentingnya pembedaan ini adalah untuk mengetahui apakah dalam
perjanjian itu ada penyerahan (levering) sebagai realisasi perjanjian dan
penyerahan itu sah menurut hukum atau tidak.10

6) Perjanjian formil

Perjanjian formil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat


tetapi undang-undang mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat
dengan bentuk tertentu secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat
umum notaris atau PPAT. Misalnya jual beli tanah, undang-undang
menentukan akta jual beli harus dibuat dengan akta PPAT, perjanjian
perkawinan dibuat dengan akta notaris.

10 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Penerbit Alumni, Bandung, 1982, hal 86.
BAB III

PENUTUP

Secara umum akibat hukum dari suatu perjanjian pada umumnya


termasuk perjanjian baku, apabila telah memenuhi ketentuan syarat sahnya
suatu perjanjian sebagaimana ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1320
KUH perdata dengan berdasarkan asas yang terkandung dalam Pasal 1338
KUH Perdata, maka perjanjian yang disepakati oleh para pihak secara sah
akan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang terikat dan
membuat perjanjian tersebut.

Apabila pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut, tidak dapat


melaksanakan prestasi atau salah satu pihak melakukan wanprestasi, maka
pihak yang dirugikan dapat mengajukan keberatan kepada pihak tersebut
untuk melaksanakan pemenuhan prestasi. Akan tetapi jika keberatan
tersebut tidak diindahkan, maka pihak yang merasa dirugikan dapat
melakukan pemaksaan secara hukum melalui gugatan wanprestasi
kepengadilan Negeri setempat atau pengadilan Negeri yang telah disepakati
dalam perjanjian.
DAFTAR PUSTAKA

Wawan Muhwan Hariri,2011 Hukum Perikatan, Pustaka Setia, Bandung.

Subekti,1979 Hukum Perjanjian, Cet. Ke-VI, Intermasa, Jakarta,

Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Salim H. S,2002, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, Sinar Grafika, Jakarta.

P.N.H. Simanjuntak,2007 Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Cet. Ke-III,


Djambatan, Jakarta,
Sutarno,2003 Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung.

Abdulkadir Muhammad,1982 Hukum Perikatan, Penerbit Alumni, Bandung

Anda mungkin juga menyukai