Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH PERJANJIAN PENITIPAN BARANG

Dosen Pengampu
Bapak

ANDI ASHADI AMIRULLAH, S.H.,M.H

Disusun Oleh

NUR ANNISA
2022060006

PROGRAM STUDI HUKUM FAKULTAS DAN ILMU SOSIAL UNIVERSITAS HANDAYANI


MAKASSAR 2024
BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Perjanjian Penitipan barang terjadi apabila seseorang menerima suatu barang dari orang lain
dengan syarat ia akan menyimpan dan mengembalikannya dalam wujud asalnya (1694 KUHPerdata).
Menurut kata- kata pasal tersebut, penitipan adalah suatu perjanjian “riil” yang berarti bahwa ia baru terjadi
dengan dilakukannya suatu perbuatan yang nyata, yaitu diserahkannya barang yang dititipkan. Jadi tidak
seperti perjanjian-perjanjian lain pada umumnya yang lazimnya adalah konsensual, yaitu sudah dilahirkan
pada saat tercapainya sepakat tentang hal-hal yang pokok dari perjanjian itu.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
Apa itu perjanjian penitipan barang?
Apa jenis-jenis atau macam-macam Perjanjian penitipan barang?

C.Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:


Mengetahui perjanjian penitipan barang dalam ranah perikatan.
Mengetahui jenis-jenis atau macam-macam Perjanjian penitipan barang
BAB II PEMBAHASAN

Perjanjian
A.Pengertian Perjanjian

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan tertulis atau dengan lisan
yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan menaati apa yang tersebut dalam
persetujuan itu.15 Pengertian dari perjanjian dapat ditemukan di dalam
Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tentang Perikatan Pasal 1313. Pasal 1313
KUHPerdata menyebutkan:

"suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih."
Definisi perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata ini tidak jelas. Tidak jelasnya definisi ini disebabkan
di dalam rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatan saja, sehingga yang bukan perbuatan hukum pun
disebut dengan perjanjian.

Perjanjian adalah sumber perikatan, disamping sumber-sumber lainnya. Suatu perjanjian juga dinamakan
persetujuan, karena dua pihak atau lebih itu setuju untuk membuat perjanjian. Dapat dikatakan bahwa dua
perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya.17

Adapula yang berpendapat bahwa perjanjian tidak sama dengan persetujuan. Perjanjian merupakan
terjemahan dari oveereenkomst sedangkan perjanjian merupakan terjemahan dari toestemming yang
ditafsirkan sebagai wilsovereenstemming (persesuaian kehendak/ kata sepakat).18 Perbedaan pandangan
dari para sarjana tersebut diatas, timbul
karena adanya sudut pandang yang berbeda, yaitu pihak yang satu melihat objeknya dari perbuatan yang
dilakukan subyek hukumnya. Sedangkan pihak yang lain meninjau dari hubungan hukumnya. Hal itu
menyebabkan banyak sarjana yang memberikan batasan sendiri mengenai istilah perjanjian tersebut.

Menurut pendapat yang banyak dianut (communis opinion cloctortinz) perjanjian adalah perbuatan hukum
berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum. Hal itu sependapat pula dengan
Sudikno, yang berpendapat bahwa perjanjian merupakan hubungan hukum antara dua pihak atau lebih
berdasar kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum.19

Menurut Subekti, suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain,
atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. R. Setiawan, menyebutkan bahwa
perjanjian ialah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih.21 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan,
berpendapat bahwa perjanjian merupakan perbuatan hukum dimana seseorang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap seorang lain atau lebih. Pendapat lainnya yaitu menurut M. Yahya Harahap
mengemukakan perjanjian mengandung suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua
orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi sekaligus
mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.

Menurut Wirjono Prodjokoro, yang dimaksud dengan perjanjian adalah sebagai suatu hubungan hukum
mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk
melakukan sesuatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut
pelaksanaan janji itu.24

Dari pendapat-pendapat di atas, maka pada dasarnya perjanjian adalah proses interaksi atau hubungan
hukum dan dua perbuatan hukum yaitu penawaran oleh pihak yang satu dan penerimaan oleh pihak yang
lainnya sehingga tercapai kesepakatan untuk menentukan isi perjanjian yang akan mengikat kedua belah
pihak.

Selanjutnya pengertian perjanjian yang dibahas pada Pasal 1313 KUHPerdata, ternyata mendapat kritik
dari para sarjana karena
mengandung kelemahan-kelemahan. Sehingga di dalam prakteknya menimbulkan berbagai keberatan
sebab di satu pihak batasan tersebut sangat kurang lengkap, namun di pihak lain terlalu luas. Rumusan
pengertian tentang perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata tersebut memberikan konsekuensi hukum
bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, di mana satu pihak adalah pihak yang wajib
berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor). Dari
pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata tersebut mengandung unsur:

Penggunaan kata "perbuatan" pada perumusan tentang perjanjian ini lebih tepat jika diganti dengan kata
perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak
yang memperjanjikan;

Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling
memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum.

Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain.
Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.
Sebelum suatu perjanjian disusun perlu diperhatikan identifikasi para pihak, penelitian awal tentang
masing-masing pihak sampai dengan konsekuensi yuridis yang dapat terjadi pada saat perjanjian tersebut
dibuat.

Setelah subjek hukum dalam perjanjian telah jelas, termasuk mengenai kewenangan hukum masing-masing
pihak, maka pembuat perjanjian harus menguasai materi atas perjanjian yang akan dibuat oleh para pihak.
Dua hal paling penting dalam perjanjian adalah objek dan hakikat daripada perjanjian serta syarat-syarat
atau ketentuan yang disepakati.

Syarat Sahnya Perjanjian

Tiap-tiap perjanjian mempunyai dasar pembentukan. Ilmu hukum mengenal empat unsur pokok yang harus
ada agar suatu perbuatan hukum dapat disebut dengan perjanjian yang sah, menurut Pasal 1320
KUHPerdata, sahnya perjanjian harus memenuhi empat syarat yaitu:

Sepakat untuk mengikatkan diri;

Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;

Berikut ini akan penulis uraikan lebih lanjut mengenai syarat sahnya perjanjian diatas:
Sepakat untuk mengikat diri

Sepakat maksudnya adalah bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju
untuk seia sekata mengenai segala sesuatu yang diperjanjikan. Kata sepakat ini harus diberikan secara
bebas, artinya tidak ada pengaruh dipihak ketiga dan tidak ada gangguan. Sepakat atau dinamakan juga
perizinan, bahwa kedua belah pihak, dalam suatu perjanjian harus mempunyai kehendak yang bebas untuk
mengikatkan diri pada yang lain. Kehendak ini dapat dinyatakan dengan tegas atau secara diam-diam.
Kehendak yang bebas ini dianggap tidak ada jika perjanjian itu terjadi karena paksaan (dwang), kehilafan
(dwaling), atau penipuan (bedrog). Dengan diperlakukannnya
kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua belah pihak haruslah mempunyai
kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapat sesuatu tekanan yang mengakibatkan adanya cacat bagi
perwujudan kehendak tersebut.

Pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui antara para pihak. Pernyataan
pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima tawaran
dinamakan akseptasi (acceptatie).

Ada beberapa teori yang menjelaskan saat-saat terjadinya perjanjian antara pihak, yaitu:
Teori kehendak (willtheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak
penerima dinyatakan, misalnya dengan menuliskan surat.

Teori pengiriman (verzendtheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak
yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.

Teori pengetahuan (vernemingstheorie) mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya


sudah mengetahui tawarannya diterima.

Teori kepercayaan (vertrouwenstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan
kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;

Kecakapan adalah adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian. Menurut hukum, kecakapan
termasuk kewenangan untuk melakukan tindakan hukum pada umumnya, dan menurut hukum setiap orang
adalah cakap untuk membuat perjanjian kecuali orang-orang yang menurut undang-undang
dinyatakan tidak cakap. Orang-orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian menurut Pasal 1330
KUHPerdata adalah sebagai berikut:
Orang-orang yang belum dewasa

Ketentuan mengenai orang-orang yang belum dewasa terdapat perbedaan antara satu undang-undang
dengan undang- undang lainnya, yaitu

Dasar Hukum Pasal

Kitab Undang-Undang Hukum Pasal 330, Belum dewasa adalah


Perdata (Burgerlijk Wetboek) mereka yang belum Mencapai
umur genap dua puluh satu tahun
dan tidak kawin sebelumnya.

UU No. 1 Tahun 1974 tentang Pasal 47, Anak yang dimaksud


Perkawinan dalam UU Perkawinan adalah
yang belum mencapai 18 tahun.

UU No. 13 Tahun 2003 tentang Pasal 1 angka 26, Anak adalah


Ketenagakerjaan setiap orang yang berumur di
bawah 18 (delapan belas) tahun.

UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pasal 1, Anak adalah orang yang


Pengadilan Anak dalam perkara anak nakal telah
mencapai umur 8 (delapan) tahun
tetapi belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun dan belum
pernah kawin.

UU No. 39 Tahun 1999 tentang Pasal 1 angka 5 Anak adalah


Hak Asasi Manusia setiap manusia yang berumur di
bawah 18 (delapan belas) tahun
dan belum menikah, termasuk
anak yang masih dalam
akdaanldauhndgeam
n i akpeapbeinlatinhgaalnnytae.rsebut

UU No. 23 Tahun 2002 tentang Pasal 1 ayat (1) Anak adalah


Perlindungan Anak seseorang yang belum berumur 18
(delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam
kandungan.

Adapun dari tabel diatas, maka apabila seseorang belum memenuhi ketentuan dikatakan sudah dewasa
maka ia belum cakap bertindak dalam hukum termasuk untuk membuat suatu perjanjian.

b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele)

Orang-orang yang berada di bawah pengampuan adalah setiap orang yang berada dalam keadaan dungu,
sakit otak, gelap mata, dan pemboros.31 Orang yang sudah dewasa, yang menderita
sakit ingatan menurut undang-undang harus ditaruh di bawah pengampuan atau curatele. Selanjutnya
diterangkan, bahwa seorang dewasa juga dapat ditaruh dibawah curatele dengan alasan bahwa ia
mengobralkan kekayaannya. Kedudukan seorang yang telah dewasa ditaruh di bawah curatele, sama
seperti orang yang belum dewasa. Ia tak dapat lagi melakukan perbuatan- perbuatan hukum secara sah.
Akan tetapi seorang yang ditaruh di bawah curatele atas alasan mengobralkan kekayaannya, menurut
undang-undang masih dapat membuat testamen dan juga masih dapat melakukan perkawinan serta
membuat perjanjian perkawinan, meskipun untuk perkawinan ini ia harus selalu mendapat izin dan bantuan
curator (orang yang mengampu) serta weeskamer (Balai Harta Peninggalan). Bahwa seorang yang ditaruh
di bawah curatele atas alasan sakit ingatan tidak dapat membuat suatu testamen dan juga tidak
dapat melakukan perkawinan tidak usah diterangkan lagi, karena untuk
perbuatan-perbuatan tersebut diperlukan pikiran yang sehat dan kemauan yang bebas.32

c. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang- undang telah dilarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu.33

Baik yang belum dewasa maupun masih dibawah pengampuan apabila mereka akan melakukan perbuatan
hukum harus diwakilkan oleh wali mereka. Ketentuan dalam KUHPerdata dalam Pasal 108 dan 110
mengenai seorang perempuan bersuami pada saat melakukan perbuatan hukum harus mendapat izin dari
suaminya sudah tidak berlaku lagi, yaitu berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3
Tahun 1963, yang menyatakan "Pasal-Pasal 108 dan 110 B.W. tentang wewenang seorang istri untuk
melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di muka Pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suami.
Dengan demikian tentang hal ini tidak ada lagi perbedaan diantara semua Warga Negara Indonesia". Selain
itu juga sudah diperkuat menurut ketentuan Pasal 31 Undang- Undang No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang ayat (1) menyatakan "Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat". Dan
ayat (2) yang menyatakan "masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum".
Suatu hal tertentu

Syarat ketiga untuk sahnya perjanjian bahwa suatu perjanjian harus mengenai oleh suatu hal tertentu yang
merupakan pokok perjanjian yaitu objek perjanjian. Suatu hal tertentu berkaitan dengan objek
perjanjian (Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUHPerdata). Objek perjanjian yang dapat dikategorikan
dalam Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 adalah:

Objek yang akan ada, asalkan dapat ditentukan jenis dan dapat dihitung.

Objek yang dapat diperdagangkan (barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum
tidak dapat menjadi objek perjanjian).

Perjanjian yang objeknya tidak jelas karena tidak dapat ditentukan jenisnya, atau tidak dapat
diperdagangkan, atau tidak dapat dinilai dengan uang, atau yang tidak mungkin dilakukan, menjadi batal
demi hukum. Syarat ini diperlukan untuk dapat menentukan kewajiban debitur jika terjadi perselisihan.
Pasal 1333 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai suatu pokok yang
paling sedikit ditetapkan jenisnya, tidaklah menjadi halangan bahwa suatu barang tidak ditentukan/tertentu,
asalkan saja jumlahnyakemudian dapat ditentukan/ dihitung, dalam Pasal 1334 KUHPerdata barang-
barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok perjanjian, dengan hal ini jelas bahwa
yang dapat menjadi pokok perjanjian adalah barang-barang yang sudah ada dan baru akan ada.
4. Suatu sebab yang halal

Perkataan “sebab” merupakan padanan kata dari bahasa Belanda “oorzaak” dan bahasa latin “causa”.Sebab
ialah tujuan antara dua belah pihak yang mempunyai maksud untuk mencapainya. Menurut Pasal 1337
KUHPerdata, sebab yang tidak

36
halal ialah jika ia dilarang oleh undang-undang, bertentangan dengan tata susila atau ketertiban.
Menurut Pasal 1335
KUHPerdata, perjanjian tanpa sebab yang palsu atau dilarang tidak mempunyai kekuatan atau batal demi
hukum. Dengan demikian tidak ada dasar menuntut pemenuhan perjanjian dimuka hakim karena semula
dianggap tidak ada perjanjian. Apabila perjanjian yang dibuat tidak ada causa maka tidak ada suatu
perjanjian.

Dari keempat syarat sahnya suatu perjanjian tersebut diatas, harus benar-benar dipenuhi didalam membuat
suatu perjanjian. Pada dua syarat yang pertama yaitu kesepakatan dan kecakapan yang disebut syarat-syarat
subyektif. Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif, karena mengenai perjanjian itu
sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan.37 Apabila syarat kesatu dan kedua (syarat
subjektif)
tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, artinya salah satu pihak dapat meminta pada
Hakim agar perjanjian itu dibatalkan sedangkan apabila syarat ketiga dan keempat (syarat objektif) tidak
dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu
perjanjian.

Asas-Asas Perjanjian

Dalam hukum perjanjian dikenal berbagai asas. Arti asas secara etimologi adalah dasar yaitu sesuatu yang
menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat.38 Menurut Mahadi, bahwa asas adalah sesuatu
yang dapat dijadikan sebagai alas, sebagai dasar, sebagai tumpuan, sebagai tempat untuk menyandarkan,
untuk mengembalikan sesuatu hal, yang hendak dijelaskan.

Di dalam suatu hukum kontrak terdapat 5 (lima) asas yang dikenal menurut hukum perdata, sebagaimana
halnya dengan perjanjian pada umumnya yang diatur dalam KUHP Perdata, asas itu antara lain adalah:

Asas kebebasan berkontrak (Freedom of Contract)

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang
berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.” Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:

Membuat atau tidak membuat perjanjian;

Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;

Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya; Menentukan bentuk perjanjiannya


apakah tertulis atau lisan.

Dipertegas kembali dengan ketentuan ayat 2 yang menyatakan bahwa perjanjian yang disepakati tidak
dapat ditarik kembali secara sepihak oleh salah satu pihak dalam perjanjian tersebut tanpa adanya
persetujuan dari lawan pihak atau dalam dimana oleh undang- undang dinyatakan cukup adanya alasan itu.

Asas konsensualisme (Concensualism)


Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata. Pada pasal tersebut
ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan
antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya
tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.

Asas kepastian hukum (Pacta Sunt Servanda)


Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang
berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak
ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah
undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para
pihak.

Pasal 1338 KUHPerdata menetapkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang untuk mereka yang membuatnya. Perjanjian itu pada umumnya tidak dapat ditarik kembali,
kecuali dengan persetujuan kedua belah pihak atau berdasarkan alasan-
alasan yang ditetapkan oleh undang-undang. Adakalanya juga suatu perjanjian, meskipun dengan
persetujuan bersama tidak boleh dicabut kembali. Misalnya perjanjian perkawinan (Pasal 149
KUHPerdata), penarikan kembali atau pengakhiran oleh suatu pihak hanyalah mungkin dalam perjanjian-
perjanjian di mana hal itu diizinkan. Biasanya dalam perjanjian-perjanjian yang kedua pihak terikat untuk
suatu waktu yang tidak tertentu, dibolehkan pengakhiran oleh salah satu pihak dengan tidak usah
menyebutkan sesuatu alasan. Misalnya dalam perjanjian kerja dan perjanjian penyuruhan (pemberian
kuasa).

Asas itikad baik (Good Faith)


Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdatayang berbunyi: “Perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik.” Maksud kalimat ini bahwa cara menjalankan suatu perjanjian tidak boleh
bertentangan dengan kepatutan dan keadilan43. Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu
pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan
yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni
itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak.44 Pada
itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan ingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad
yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk
menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.
Asas kepribadian (Personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/ atau
membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan
Pasal 1340 KUHPerdata. Pasal 1315 KUHPerdata menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat
mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa
untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri.

Pasal 1340 KUHPerdata berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.” Hal ini
mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang
membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana 1317 KUHPerdata
yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian
yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam
itu.” Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/ kontrak untuk
kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318
KUHPerdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli
warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya.

Kedua pasal itu jika dibandingkan, maka Pasal 1317 KUHPerdata mengatur tentang perjanjian untuk pihak
ketiga, sedangkan dalam Pasal
1318 KUHPerdata untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak
dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 KUHPerdata mengatur tentang pengecualiannya,
sedangkan Pasal 1318 KUHPerdata memiliki ruang lingkup yang luas.45

Selain kelima asas di atas, Mariam Darus Badrulzaman (dkk) dalam bukunya Kompilasi Hukum Perikatan
mengemukakan beberapa asas lain yang diatur dalam KUH Perdata yaitu:

Asas kepercayaan (vertrouwensbeginsel)


Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain menumbuhkan kepercayaan di antara kedua
belah pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi
prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu, maka perjanjian itu tidak mungkin akan
diadakan oleh para pihak.Dengan kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya dan untuk
keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.

Asas persamaan hukum

Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada
perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan, dan lain-lain. Masing- masing pihak wajib melihat
adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia
ciptaan Tuhan.

Asas keseimbangan

Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini
merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika
diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula
beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan iktikad baik. Kedudukan kreditur yang kuat diimbangi
dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik sehingga kedudukan kreditur dan debitur
seimbang.

Asas kepastian hukum

Perjanjian sebagai suuatu fitur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari
kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.

Asas moral
Asas ini terlihat dalam perikatan wajar dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak
menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontraprestasi dari pihak debitur juga hal ini terlihat di
zaman zaakwarneming dimana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela(moral) yang
bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya, asas
ini terdapat dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang
bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu berdasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan
dari hati nuraninya.

Asas kepatutan

Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata, asas kepatutan di sini berkaitan dengan ketentuan
mengenai isi perjanjian. Asas kepatutan ini harus dipertahankan karena melalui asas ini ukuran tentang
hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.

Munir Fuady juga menyebutkan beberapa asas lainnya dalam hukum perjanjian, yaitu:

Asas kebiasaan

Pasal 1339 KUH Perdata menentukan bahwa suatu kontrak tidak hanya mengikat terhadap isi kontrak
tersebut, melainkan mengikat dengan hal-hal yang merupakan kebiasaan. Suatu kontrak dagang misalnya
juga mengikat dengan kebiasaan dagang, termasuk kebiasaan menafsirkan kata-kata dalam kontrak dagang
(trade usage), seperti apabila kontrak jual beli satu rim kertas dimana satu rim kertas berisikan 400
lembar kertas, akan tetapi jika ada pembelian satu rim kertas dan satu rim tersebut berisikan 395 lembar,
hal tersebut belum bisa dikatakan bahwa pihak penjual telah melakukan wanprestasi dengan mengirim 395
lembar kertas (bukan 400 lembar) sebab menurut kebiasaan dagang (trade usage), kelebihan atau
kekurangan 10 lembar dalam satu rim dapat ditoleransi dan biasa dalam bisnis semacam itu.
Asas tidak melanggar prinsip kepentingan umum Suatu pembuatan dan pelaksanaan kontrak tidaklah
boleh melanggar prinsip kepentingan umum (openbaar orde) karena sesuai dengan prinsip hukum yang
universal dan sangat mendasar bahwa kepentingan umum tidak boleh dikalahkan oleh kepentingan pribadi.
Oleh karena itu, jika ada kontrak yang bertentangan dengan kepentingan/ ketertiban umum, maka kontrak
tersebut sudah pasti bertentangan dengan undang-undang yang berlaku yang menurut Pasal 1339 KUH
Perdata, hal tersebut tidak dibenarkan. Contoh kontrak yang bertentangan dengan kepentingan/ ketertiban
umum adalah kontrak jual beli obat bius.

Wanprestasi

Adakalanya suatu perjanjian telah memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, tidak juga dapat
terlaksana sebagaimana yang telah diperjanjikan. Perjanjian pada umumnya akan diakhiri dengan
pelaksanaaan sesuai dengan persyaratan yang tercantum di perjanjian. Pemenuhan perjanjian atau hal-hal
yang harus dilaksanakan disebut prestasi, sebaliknya apabila pihak yang lainnya tidak melaksanakannya,
maka ia disebut wanprestasi. Perkataan ini berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi
buruk (bandingkan: wanbeheer yang berarti pengurusan buruk,wandaad yang berarti perbuatan
buruk).
Wanprestasi atau tidak dipenuhinya janji dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja.
Pihak yang tidak sengaja wanprestasi ini dapat terjadi karena memang tidak mampu untuk memenuhi
prestasi tersebut atau juga karena terpaksa untuk tidak melakukan prestasi tersebut.
Wanprestasi dapat berupa:

Sama sekali tidak memenuhi prestasi;

Prestasi tidak dilakukan dengan sempurna;


Terlambat memenuhi prestasi;

Melakukan apa yang dilarang dalam perjanjian;

Akibat terjadinya wanprestasi, pihak yang melakukan wanprestasi harus menanggung akibat dari tuntutan
pihak lawan yang dapat berupa tuntutan:
Pembatalan kontrak saja;

Pembatalan kontrak disertai tuntutan ganti rugi

Pemenuhan kontrak saja;

Pemenuhan kontrak disertai tuntutan ganti rugi.

Sedangkan menurut Subekti, tuntutan atas terjadinya wanprestasi, antara lain:

Pemenuhan perjanjian;

Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi;

Ganti rugi saja;

Pembatalan Perjanjian;

Pembatalan disertai ganti rugi.


Tetapi juga tidak semua kerugian dapat dimintakan penggantian. Undang-undang dalam hal ini
mengadakan pembatasan, dengan menetapkan hanya kerugian yang dapat dikira- kirakan atau diduga pada
waktu perjanjian dibuat (te voorzien) dan yang sungguh-sungguh dapat dianggap sebagai suatu akibat
langsung dari kelalaian si berhutang saja dapat dimintakan penggantian. Dan jika barang yang harus
diserahkan itu berupa uang tunai, maka yang dapat diminta sebagai penggantian kerugian ialah bunga uang
menurut penetapan undang-undang.

Pihak yang dituduh wanprestasi (yang pada umumnya adalah debitur), dapat mengajukan tangkisan-
tangkisan untuk membebaskan diri dari akibat buruk wanprestasi tersebut.
Tangkisan atau pembelaan tersebut dapat berupa:
Wanprestasi terjadi karena keadaan memaksa (overmacht);

Wanprestasi terjadi karena pihak lain juga wanprestasi (exception non adimple contractus);

Wanprestasi terjadi karena pihak lawan telah melepaskan haknya atas pemenuhan prestasi.

Dalam KUHPerdata, keadaan memaksa (overmacht) diatur dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245. Pasal 1244
KUHPerdata: “Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila ia tak dapat
membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan
perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang tak
terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk padanya.”

Pasal 1245 KUHPerdata: “Tidak ada penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila karena keadaan memaksa
atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu
yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.”

Dari pasal-pasal di atas, dapat dilihat bahwa keadaan memaksa adalah suatu kejadian yang tak terduga, tak
disengaja, dan tak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur serta memaksa dalam arti debitur
memaksa tidak menepati janjinya.
Ada pun unsur-unsur yang harus memenuhi keadaan memaksa

yaitu:

Tidak memenuhi prestasi;

Ada sebab yang terletak di luar kesalahan tersebut

Faktor penyebab itu tidak diduga sebelumnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada
debitur.

Akibat keadaan memaksa, yaitu:

Kreditur tidak dapat menuntut agar perikatan itu dipenuhi;


Tidak dapat mengatakan debitur berada dalam keadaan lalai dan karena itu tidak dapat menuntut;

”penitipan adalah terjadi, apabila seorang menerima sesuatu barang dari seorang lain,
dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikannya dalam ujud asalnya.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 1694 KUHPerdata ini diketahui bahwa penitipan baru terjadi jika barang yang
menjadi pokok perjanjian telah diserahkan. Oleh karena itu perjanjian penitipan barang merupakan
termasuk jenis perjanjian riil. Perjanjian riil adalah perjanjian yang baru terjadi kalau dilakukan suatu
55
perbuatan yang nyata yaitu adanya penyerahan barang yang dititipkan tersebut.

Jadi perjanjian penitipan barang tidak seperti perjanjian-perjanjian lainnya pada umumnya yang lazimnya
adalah konsensual, yaitu sudah dilahirkan pada saat tercapainya kata sepakat tentang hal-hal yang pokok
dari perjanjian itu.

Jenis-Jenis Penitipan Barang

Di dalam KUHPerdata, ada dua jenis penitipan barang, yaitu penitipan yang sejati dan sekestrasi. Berikut
dijelaskan mengenai jenis-jenis penitipan barang tersebut.

Penitipan Barang yang Sejati

Penitipan barang yang sejati diatur dalam Buku III Bab Ke-sebelas Bagian Ke-dua, mulai dari pasal 1696
sampai dengan pasal 1729 KUHPerdata. Pasal 1696 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan bahwa penitipan
barang yang sejati dianggap telah dibuat dengan cuma-cuma, jika tidak diperjanjikan sebaliknya.
Kemudian ayat (2) nya menyatakan bahwa penitipan barang yang sejati ini hanya dapat mengenai barang-
barang yang bergerak. Selanjutnya Pasal 1697 KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian tersebut tidaklah
telah terlaksana selainnya dengan penyerahan barangnya secara sungguh-sungguh atau secara
dipersangkakan. Ketentuan ini mengambarkan lagi sifatnya rill dari perjanjian penitipan, yang berlainan
dari sifat perjanjian-perjanjian lain yang pada umumnya adalah konsesual.

Penitipan barang yang sejati ada dua macam, yaitu sebagai berikut:

Penitipan Barang dengan Sukarela


Dari ketentuan Pasal 1699 KUHPerdata, dapat diketahui bahwa penitipan barang dengan sukarela terjadi
karena sepakat bertimbal balik antara pihak yang menitipkan barang dan pihak yang menerima titipan.
Penitipan barang dengan sukarela hanyalah dapat terjadi antara orang-orang yang mempunyai kecakapan
untuk membuat perjanjian-perjanjian. Namun jika itu seorang yang cakap untuk untuk membuat perjanjian,
menerima penitipan suatu barang dari seorang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, maka tunduklah
ia pada semua kewajiban yang dipikul oleh seorang penerima titipan yang sungguh-
sungguh (Pasal 1701 KUHPerdata). Yang dimaksudkan oleh ketentuan tersebut adalah bahwa meskipun
penitipan sebagai suatu perjanjian yang sah hanya dapat diadakan antara orang- orang yang cakap menurut
hukum, namun apabila seorang yang cakap menerima suatu penitipan barang dari seorang yang tidak cakap
maka si penerima titipan harus melakukan semua kewajiban yang berlaku dalam suatu perjanjian penitipan
yang sah.

Kemudian Pasal 1702 KUHPerdata mengatakan jika penitipan dilakukan oleh seorang yang berhak kepada
seorang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, maka pihak yang menitipkan hanyalah mempunyai
hak terhadap pihak yang menerima titipan untuk menuntut pengembalian barang yang dititipkan, selama
barang ini masih ada pada pihak yang terakhir itu; atau, jika barangnya sudah tidak ada lagi pada si
penerima titipan, maka dapatlah ia menuntut pemberian ganti rugi sekadar si penerima titipan itu telah
memperoleh manfaat dari barang tersebut. Maksudnya adalah, bahwa jika seorang yang cakap menurut
hukum menitipkan barang kepada seorang yang tidak cakap, maka ia memikul risiko kalau barang itu
dihilangkan. Hanyalah, kalau si penerima titipan itu ternyata telah memperoleh manfaat dari barang yang
telah dihilangkan, maka orang yang menitipkan dapat menuntut pemberian ganti rugi. Si penerima titipan
dapat dikatakan telah memperoleh manfaat dari barang yang telah dihilangkan itu umpamanya kalau ia
telah menjualnya dan uang pendapatan penjualan
telah dipakainya. Jadi kalau barangnya hilang dicuri orang karena si penerima titipan tidak menyimpannya
dengan baik, tidak ada tuntutan ganti rugi. Dengan sendirinya tuntutan pemberian gani rugi ini harus
dilakukan terhadap orangtua atau wali dari si penerima titipan.

Penitipan Barang Karena Terpaksa

Menurut Pasal 1703 KUHPerdata, yang dinamakan penitipan barang karena terpaksa adalah penitipan
yang terpaksa dilakukan oleh seseorang karena timbulnya suatu malapetaka, misalnya: kebakaran,
runtuhnya gedung, perampokan, karamnya kapal, banjir, dan lain-lain peristiwa yang tak tersangka.
Kemudian disebutkan dalam Pasal 1705 KUHPerdata, penitipan barang karena terpaksa ini diatur menurut
ketentuan seperti yang berlaku terhadap penitipan sukarela. Maksudnya adalah bahwa suatu penitipan yang
dilakukan secara terpaksa itu mendapat perlindungan dari undang-undang yang tidak kurang dari suatu
penitipan yang terjadi secara sukarela.

Penitipan Barang Sekestrasi

Penitipan barang sekestrasi diatur dalam Buku III Bab Ke- sebela Bagian Ke-tiga, mulai dari pasal 1730
sampai dengan pasal 1739 KUHPerdata. Definisi dari sekestrasi disebutkan dalam Pasal 1730 ayat
KUHPerdata yang berbunyi: ”sekestrasi ialah penitipan barang tentang mana ada perselisihan
diatangannya seorang pihak ketiga yang mengikat diri untuk, setelah perselisihan itu diputus,
mengembalikan barang itu kepada siapa yang akan dinyatakan berhak, beserta hasil-hasilnya.”

Penitipan barang sekestrasi ini terdiri atas dua macam, yaitu:

Sekestrasi yang Terjadi dengan Perjanjian atau Persetujuan


Sekestrasi yang terjadi dengan perjanjian atau persetujuan adalah apabila barang yang menjadi
sengketa diserahkan kepada seorang pihak ketiga oleh satu orang atau lebih secara sukarela (Pasal 1731
KUHPerdata). Sekestrasi dapat mengenai baik barang-barang bergerak maupun barang-barang tak bergerak
(Pasal 1734 KUHPerdata), jadi berlainan dari penitipan barang yang sejati, yang hanya dapat mengenai
barang yang bergerak saja (lihat Pasal Si penerima titipan yang ditugaskan melakukan sekestrasi tidak
dapat dibebaskan dari tugasnya, sebelum persengketaan diselesaikan, kecuali apabila semua pihak yang
berkepentingan menyetujuinya atau apabila ada suatu alasan lain yang sah (Pasal 1735 KUHPerdata).

Sekestrasi atas Perintah Hakim

Sekestrasi atas perintah Hakim terjadi apabila Hakim memerintahkan supaya suatu barang tentang
mana ada sengketa, dititipkan kepada seorang (Pasal 1736 KUHPerdata). Selanjutnya mengenai sekestrasi
ini dijelaskan dalam Pasal 1737 KUHPerdata sebagai berikut:

Sekestrasi guna keperluan Pengadilan diperintahkan kepada seorang yang disetujui oleh pihak-pihak
yang berkepentingan atau kepada seorang yang ditetapkan oleh Hakim karena jabatan.

Dalam kedua-duanya hal, orang kepada siapa barangnya telah dipercayakan, tunduk kepada segala
kewajiban yang terbit dalam halnya sekestrasi dengan persetujuan, dan selainnya itu ia diwajibkan saban
tahun, atas tuntutan Kejaksaan, memberikan suatu perhitungan secara ringkas tentang pengurusannya
kepada Pengadilan, dengan memperlihatkan ataupun menunjukkan barang-barang yang dipercayakan
kepadanya, namunlah disetujuinya perhitungan itu tidak akan dapat diajukan terhadap para pihak yang
berkepentingan.Hakim dapat memerintahkan sekestrasi:

➢ Terhadap barang-barang bergerak yang telah disita


ditangannya seorang berutang (debitor).

➢ Terhadap suatu barang bergerak maupun tak bergerak,


tentang mana hak miliknya atau hak penguasaannya menjadi persengketaan;

➢ Terhadap barang-barang yang ditawarkan oleh seorang


berutang (debitor) untuk melunasi utangnya (Pasal 1738 KUHPerdata).

Penyitaan yang disebutkan poin pertama diatas adalah penyitaan conservatoir yang telah dilakukan
atas permintaan seorang penggugat, sedangkan penawaran barang-barang oleh seorang debitor kepada
kreditornya untuk melunasi utangnya, sebagaimana disebutkan poin ke-3, dilakukan dalam hal
kreditor itu menolak pembayaran yang akan dilakukan debitornya, sehingga debitor ini terpaksa meminta
bantuan seorang jurusita atau notaris untuk menawarkan barang atau uang tersebut (secara resmi)
kepada kreditor tersebut. Apabila penawaran tersebut ditolak oleh kreditor, maka barang atau uang
tersebut dapat dititipkan dikepaniteraan Pengadilan atau kepada seorang yang ditunjuk oleh Hakim.
Perbuatan ini akandisusul oleh suatu gugatan dari debitor tersebut untuk menyatakan sah penitipan
tersebut, dan dengan disahkannya penitipan itu, maka si debitor dibebaskan dari utangnya.

Hak dan Kewajiban Para Pihak Perjanjian Penitipan Barang

Dalam perjanjian penitipan barang, pihak-pihak yang terkait adalah pihak yang menitipkan barang dan
pihak yang menerima titipan. Para pihak tersebut memiliki hak dan kewajibannya masing- masing. Berikut
akan dijelaskan mengenai apa-apa saja yang menjadi hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian
penitipan barang sebagaimana diatur dalam KUHPerdata, yaitu antara lain:
Untuk perjanjian penitipan barang yang sejati, baik dengan sukarela maupun terpaksa, di dalam Pasal 1706
mewajibkan si penerima titipan, mengenai perawatan barang yang dipercayakan kepadanya,memeliharanya
dengan minat yang sama seperti ia memelihara barang miliknya sendiri.

Ketentuan tersebut menurut Pasal 1707 harus dilakukan lebih keras dalam beberapa hal, yaitu:

jika si penerima titipan telah menawarkan dirinya untuk menyimpan barangnya;


jika ia telah meminta diperjanjikannya sesuatu untuk penyimpanan itu;

jika penitipan telah terjadi sedikit banyak untuk kepentingan si penerima titipan; dan jika telah
diperjanjikan bahwa si penerima titipan akan menanggung segala macam kelalaian.

Tidak sekali-kali si penerima titipan bertanggung jawab tentang peristiwa-peristiwa yang tak dapat
disingkiri, kecuali apabila ia lalai dalam pengembalian barang yang dititipkan. Bahkan dalam hal yang
terakhir ini ia tidak bertanggung jawab jika barangnya juga akan musnah seandainya telah berada
ditangannya orang yang menitipkan (Pasal 1708).

Menurut Subekti, peristiwa yang tak dapat disingkiri itu adalah yang lazimnya dalam bahasa hukum
dinamakan “keadaan memaksa” (bahasa Belanda: “overmacht” atau “force majeur”), yaitu suatu kejadian
yang tak disengaja dan tak dapat diduga. Resiko kemusnahan barang karena suatu keadaan memaksa itu
memang pada asasnya harus dipikul oleh pemilik barang. Namun apabila si penerima titipan itu telah lalai
mengembalikan barangnya sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian, maka (juga menurut asas umum
hukum perjanjian) ia mengoper tanggung jawab tentang kemusnahan barangnya jika terjadi sesuatu.
Tanggung jawab ini hanya dapat dilepaskan jika ia dapat membuktikan bahwa barangnya juga akan
musnah seandainya sudah diserahkan kepada orang yang menitipkan, misalnya barang itu mengandung
suatu cacat yang pasti juga akan menyebabkan kemusnahannya biarpun ia berada ditangannya orang yang
menitipkan. Selanjutnya mengenai kewajiban bagi orang-orang yang menyelenggarakan Rumah
Penginapan dan Losmen, dimana Pasal 1709 meletakkan tanggung jawab kepada pengurus rumah
penginapan dan penguasa losmen terhadap barang-barang para tamu yaitu memperlakukan pengurus rumah
penginapan dan penguasa losmen tersebut sebagai orang yang menerima titipan barang. Penitipan barang
oleh para tamu itu dianggap sebagai suatu penitipan karena terpaksa. Selanjutnya Pasal 1710 menetapkan
bahwa mereka itu bertanggung jawab tentang pencurian atau kerusakan pada barang-barang kepunyaan
para penginap, baik pencurian itu dilakukan atau kerusakan itu diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau lain-
lain pekerja dari rumah penginapan, maupun oleh setiap orang lain. Namun (demikian Pasal 1711
seterusnya) mereka tidak bertanggung jawab tentang pencurian yang dilakukan dengan kekerasan atau
yang dilakukan oleh orang- orang yang telah dimasukkan sendiri oleh si penginap.

Dalam praktek para pengurus rumah penginapan dan penguasa losmen itu membatasi tanggung jawab
mereka dengan menempelkan pengumuman bahwa mereka tidak bertanggung jawab tentang hilangnya
barang-barang yang berharga (uang, perhiasan) yang tidak secara khusus dititipkan pada mereka.
61
Melepaskan tanggung jawab seluruhnya terhadap semua barang tentunya tidak dibolehkan.

Si penerima titipan barang tidak diperbolehkan memakai barang yang dititipkan untuk keperluan sendiri
tanpa izinnya orang yang menitipkan barang, yang dinyatakan dengan tegas atau dipersangkakan, atas
ancaman penggantian
biaya, kerugian dan bunga jika ada alasan untuk itu (Pasal 1712). Selanjutnya ia tidak diperbolehkan
menyelidiki tentang wujudnya barang yang dititipkan jika barang itu dipercayakan kepadanya dalam suatu
kotak tertutup atau dalam suatu sampul tersegel (Pasal 1713).

Si penerima titipan diwajibkan mengembalikan barang yang sama yang telah diterimanya. Dengan
demikian maka jumlah-jumlah uang harus dikembalikan dalam mata uang yang sama seperti yang
dititipkan, tak peduli apakah mata uang itu telah naik atau telah turun nilainya (Pasal 1714).

Si penerima titipan hanya diwajibkan mengembalikan barang yang dititipkan dalam keadaannya pada
saat pengembalian itu.
Kemunduran-kemunduran yang dialami barangnya diluar kesalahan si penerima titipan, adalah atas
tanggungan pihak yang menitipkan (Pasal 1715).

Jika barangnya dengan paksaan dirampas dari tangannya si penerima titipan dan orang ini telah menerima
harganya atau sesuatu barang lain sebagai gantinya, maka ia harus menyerahkan apa yang diterimanya
sebagai ganti itu kepada orang yang menitipkan barang (Pasal 1716).

Seorang ahli waris dari si penerima titipan, yang, karena ia tidak tahu bahwa suatu barang adalah barang
titipan, denga itikad baik telah menjual barang tersebut, hanyalah diwajibkan mengembalikan harga
pembelian yang diterimanya, atau jika ia belum menerima harga itu, menyerahkan hak tuntutannya
terhadap si pembeli barang (Pasal 1717). Jika ia menjualnya barang itu dengan itikad buruk, maka dengan
sendirinya, selainnya ia harus mengembalikan uang pendapatan penjualan itu, ia juga dapat dituntut
membayar ganti rugi.
Jika barang yang dititipkan itu telah memberikan hasil-hasil yang dipungut atau diterima oleh si penerima
titipan, maka ia diwajibkan mengembalikannya (Pasal 1718 ayat (1)). Dalam hal yang dititipkan itu uang,
si penerima titipan tidak diharuskan membayar bunga, selainnya sejak hari ia lalai mengembalikannya,
setelah diperingatkan (Pasal 1718 ayat (2)).

Ketentuan tersebut adalah wajar, karena menurut hakekat perjanjian penitipan si penerima tidak boleh
memakai uang yang dititipkan itu, bahkan ia harus mengembalikannya dalam mata uang yang sama
seperti yang diterimanya (lihat Pasal 1714). Tetapi kalau ia lalai mengembalikan uang titipan itu
setelah ia diperingatkan, orang yang menitipkan akan menderita kerugian karena ia sudah mulai
memerlukan uang itu, sehingga pembebanan pembayaran bunga itu pantas pula. Dan bunga yang
dibebankan ini tentunya adalah yang dinamakan “bunga moratoir”, terhitung mulai pengembalian
uang titipan itu dituntutnya dimuka pengadilan. Apa yang dikenal sebagai “deposito” dengan bunga
(meskipun “deposito” artinya penitipan), bukan penitipan yang kita bicarakan disini, karena pihak
yang menerima deposito (uang) dibolehkan (dan malahan itulah yang dimaksudkan) untuk memakai
uang yang dititipkan dan menyanggupi untuk membayar bunga atas penitipan itu. Pada hakekatnya
perjanjian deposito uang itu adalah suatu perjanjian pinjam uang dengan bunga.63
Selanjutnya, si penerima titipan tidak diperbolehkan men
gembalikan barangnya titipan selainnya kepada orang yang menitipkannya kepadanya atau kepada orang
yang atas namanya penitipan itu telah dilakukan atau yang ditunjuk untuk menerima kembali barangnya
(Pasal 1719). Si penerima titipan tidak boleh menuntut dari orang yang menitipkan barang, suatu bukti
bahwa orang itu pemilik barang tersebut. Namun, jika ia mengetahui bahwa barang itu adalah barang
curian, dan siapa pemiliknya sebenarnya, maka haruslah ia memberi tahu kepada orang ini bahwa
barangnya dititipkan kepadanya, disertai peringatan supaya meminta kembali barang itu didalam suatu
waktu tertentu yang patut. Jika orang kepada siapa pemberitahuan itu telah dilakukan, melalaikan untuk
meminta kembali barangnya, maka si penerima titipan dibebaskan secara sah jika ia menyerahkan barang
itu kepada orang dari siapa ia telah menerimanya (Pasal 1720).

Selanjutnya, apabila orang yang menitipkan barang meninggal, maka barangnya hanya dapat dikembalikan
kepada ahli warisnya ada lebih dari seorang ahli waris, maka barangnya harus dikembalikan kepada
mereka kesemuanya atau kepada masing-masing untuk bagiannya. Jika barang yang dititipkan tidak dapat
dibagi-bagi, maka para ahli waris harus mengadakan mufakat tentang siapa yang diwajibkan mengopernya
(Pasal 1721).

Jika orang yang menitipkan barang berubah kedudukannya misalnya seorang perempuan yang pada waktu
menitipkan barang tidak bersuami, kemudian kawin; seorang dewasa yang menitipkan barang ditaruh
dibawah pengampuan; dalam hal ini dan dalam hal-hal semacam itu, barang yang
dititipkan tidak boleh dikembalikan selainnya kepada orang yang melakukan pengurusan atas hak-hak dan
harta-benda orang yang menitipkan barang, kecuali apabila orang yang menerima titipan mempunyai
alasan-alasan yang sah untuk tidak mengetahui perubahan kedudukan tersebut (Pasal 1722). Tentang
seorang perempuan tak bersuami yang kemudian kawin, sekarang tidak merupakan halangan lagi bagi si
penerima titipan; untuk tetap mengembalikan barangnya titipan kepada perempuan itu, tanpa ijin tertulis
atau bantuan dari suaminya, sejak adanya yurisprudensi yang menyatakan Pasal 108 KUHPerdata sudah
tidak berlaku lagi.

Jika penitipan barang telah dilakukan oleh seorang wali, seorang


pengampu, seorang suami (sudah tidak berlaku) atau seorang penguasa dan pengurusan mereka itu telah
berakhir, maka barangnya hanya dapat dikembalikan kepada orang yang diwakili oleh wali, pengampu,
suami atau penguasa tersebut (Pasal 1723).

Pengembalian barang yang dititipkan harus dilakukan ditempat yang ditunjuk dalam perjanjian. Jika
perjanjian tidak menunjuk tempat itu, barangnya harus dikembalikan ditempat terjadinya penitipan.

Adapun biaya yang harus dikeluarkan untuk itu harus ditanggung oleh orang yang menitipkan barang
(Pasal 1724).

Barang yang dititipkan harus dikembalikan kepada orang yang menitipkan, seketika apabila
dimintanya, sekalipun dalam perjanjiannya telah ditetapkan suatu waktu lain untuk pengembaliannya,
kecuali apabila telah dilakukan suatu penyitaan atas barang-barang yang berada ditangannya si
penerima titipan (Pasal 1725). Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa apabila dalam
perjanjian penitipan ditetapkan lamanya waktu penitipan, maka penetapan waktu ini hanya mengikat si
penerima titipan tetapi tidak mengikat pihak yang menitipkan. Setiap waktu barang titipan itu dapat diminta
kembali. Satu-satunya hal yang dapat menghalangi pengembalian barang adalah penyitaan yang telah
diletakkan oleh pihak ketiga atas barang tersebut. Ini dapat terjadi misalnya apabila telah timbul suatu
sengketa mengenai barang yang bersangkutan. Dalam hal yang demikian maka jalan yang harus ditempuh
oleh orang yang menitipkan barang adalah mengajukan perlawanan (verzet) terhadap penyitaan tersebut
kepada Pengadilan Negeri.

Si penerima titipan yang mempunyai alasan yang sah untuk membebaskan diri dari barang yang dititipkan,
meskipun belum tiba waktunya yang ditetapkan dalam perjanjian, juga berhak mengembalikan barangnya
kepada orang yang menitipkan atau jika orang ini menolaknya, meminta izin hakim untuk menitipkan
barangnya disuatu tempat lain (Pasal 1726). Untuk membebaskan diri dari barang titipan sebelum lewatnya
waktu yang ditetapkan, bagi si penerima titipan harus ada suatu alasan yang sah dan apabila permintaannya
untuk mengembalikan barangnya ditolak oleh orang yang menitipkan, diperlukan izin dari hakim untuk
menitipkan barang itu ditempat lain, misalnya dikantor Balai Harta Peninggalan atau di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri.

Segala kewajiban si penerima titipan berhenti jika ia mengetahui dan dapat membuktikan bahwa dia
sendirilah pemilik barang yang dititipkan itu (Pasal 1727). Dalam hal yang demikian, maka perjanjian
penitipan hapus dengan
sendirinya, karena si penerima titipan ternyata menguasai barang miliknya sendiri.

Orang yang menitipkan barang diwajibkan mengganti kepada si penerima titipan segala biaya yang telah
dikeluarkan untuk menyelamatkan barang yang dititipkan, serta mengganti kepadanya semua kerugian
yang disebabkan karena penitipan itu (Pasal 1728).

Berhubung dengan ketentuan diatas, Pasal 1729 menyatakan bahwa si penerima titipan berhak menahan
barangnya hingga segala apa yang harus dibayar kepadanya karena penitipan tersebut dilunasi.

Kemudian, untuk perjanjian penitipan barang sekestrasi, pada umumnya tunduk pada aturan-aturan yang
sama dengan penitipan sejati, dengan pengecualian-pengecualian sebagai berikut:

Dalam hal penitipan sekestrasi atas perintah Hakim, pengangkatan seorang penyimpan barang dimuka
Hakim, menerbitkan kewajiban-kewajiban yang bertimbal balik antara si penyita dan si penyimpan. Si
penyimpan diwajibkan memelihara barang-barang yang telah disita sebagai seorang bapak rumah tangga
yang baik. Ia harus menyerahkan barang-barang itu untuk dijual supaya dari pendapatan penjualan itu dapat
dilunasi piutang-piutang si penyita, atau menyerahkannya kepada pihak terhadap siapa penyitaan telah
dilakukan, jika penyitaan itu dicabut kembali. Adalah menjadi kewajiban si penyita untuk membayar
kepada si penyimpan upahnya yang ditentukan dalam undang-undang (Pasal 1739).
Memelihara barang sebagai seorang bapak rumah yang baik diartikan sebagai memelihara sebaik-baiknya
dengan minat seperti terhadap barang
miliknya sendiri. Apabila kreditor sudah dimenangkan perkaranya dengan suatu putusan Hakim yang telah
memperoleh kekuatan mutlak, maka penyitaan conservatoir atas barang-barang si debitor otomatis berubah
menjadi penyitaan eksekutorial, yang berarti bahwa barang- barang sitaan itu harus dijual untuk melunasi
piutang kreditor. Sebaliknya apabila gugatan kreditor (si penyita) ditolak, maka penyitaan itu akan dicabut
oleh Hakim dan si penyimpan harus menyerahkan barang itu kepada debitor.

C.Contoh Kasus Terkait perjanjian Penitipan Barang

Sebuah contoh kasus terkait perjanjian penitipan barang adalah ketika seseorang, misalnya A,
dititipkan seperangkat perhiasan emas oleh temannya, B. Jika terjadi pencurian di tempat A dan
barang yang hilang adalah perhiasan tersebut, apakah A wajib mengembalikan perhiasan tersebut
apabila B meminta A untuk mengganti perhiasan tersebut, dengan alasan A lalai menjaga amanat
B? Aturan hukum yang mengatur hal ini dapat ditemukan dalam Pasal 1694-1793 Buku Ketiga
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)

Kesimpulan

Perjanjian penitipan barang merupakan perjanjian di mana barang diserahkan kepada pihak lain
untuk disimpan dalam waktu tertentu dan dikembalikan kepada pihak penitip jika waktunya
berakhir atau diminta oleh penitip. Contoh kasus terkait perjanjian penitipan barang dapat
melibatkan pertanyaan mengenai tanggung jawab atas barang yang hilang, yang diatur dalam
Pasal 1694-1793 Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

Perjanjian Penitipan barang terjadi apabila orang menerima suatu barang dari orang lain, dengan
syarat/janji bahwa ia akan menyimpannya dan kemudian mengembalikannya dalam wujud asalnya.
Demikianlah definisi yang oleh pasal 1694 B.W. diberikan tentang perjanjian penitipan itu.
Menurut undang-undang ada dua macam penitipan barang, yaitu penitipan yang sejati dan sekestrasi.
Penitipan barang yang sejati dianggap dibuat dengan cuma-Cuma, jika tidak diperjanjikan sebaliknya,
sedangkan ia hanya dapat mengenai barang- barang yang bergerak (pasal 1696). Penitipan barang terjadi
dengan sukarela atau karena terpaksa (pasal 1698)
Sekestrasi adalah penitipan barang tentang mana ada perselisihan, ditangannya seorang pihak ketiga yang
mengikatkan diri untuk, setelah perselisihan itu diputus, mengembalikan barang itu kepada siapa yang
dinyatakan berhak, beserta hasil-hasilnya. Penitipan ini ada yang terjadi dengan persetujuan dan ada pula
yang dilakukan atas perintah Hakim atau Pengadilan (pasal 1730).

SARAN

Dari penjelasan di atas tentang penitipan barang, pasti tidak terlepas


dari kesalahan penulisan dan rangkaian kalimat serta penyusunannya. Penulis menyadari bahwa makalah
ini masih jauh dari kesempurnaan seperti yang diharapkan oleh pembaca dan khususnya dosen pembimbing
mata kuliah hukum perikatan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kepada para pembaca (dosen
pembimbing mata kuliah ini) & mahasiswa/i dapat memberikan kritik dan saran yang sifat
DAFTAR PUSTAKA

Nurlaila,Hayati.2013.diakses melalui http://lailahamkha.blogspot.com/2013/12/penitipan-


barang.html pada 1 Juli 2015 pukul19: 00
R. Subekti.1995.Aneka Perjanjian.Bandung:PT.Citra Aditya Bakti Wawan Muhwan.2011.Hukum
Perikatan.Bandung:CV Pustaka

Anda mungkin juga menyukai