Anda di halaman 1dari 7

HUKUM PERJANJIAN

Dosen : Sofiyatun Nurkhasanah, MH

Disusun oleh : Ipan Nasirudin

AAS Semester 6

STAIMA

( SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MA’HAD ALI )

2023
PERTEMUAN 2

A. Sistematika buku 3 KUHPerdata.


1. Definisi perikatan

Istilah perikatan berasal dari Bahasa Belanda, verbintenis. KUH Perdata sama
sekali tidak memberikan uraian mengenai pengertian perikatan. Meskipun demikian,
pengertian perikatan dapat kita peroleh dari pendapat beberapa pakar hukum.
Berikut ini beberapa pengertian perikatan yang saya kutip dari buku Pokok-Pokok
Hukum Perdata Indonesia karangan P.N.H. SImanjuntak  dan buku Hukum Perdata
karangan Komariah :
1) A.Pitlo:
Padalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua
orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain
berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi.
2) Von Savigny:
Perikatan hukum adalah hak dari seseorang (kreditur) terhadap seseorang
lain (debitur).
3) Yustianus:
Suatu perikatan hukum atau obligatio adalah suatu kewajiban dari seseorang
untuk mengadakan prestasi terhadap pihak lain.
4) Prof. Subekti:
Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak,
berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang
lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
2. Definisi perjanjian dan hukum perjanjian
 Definisi perjanjian
Secara etimologi, istilah perjanjian berasal dari bahasa Belanda
“overeenkomst” dan bahasa Inggris “contract” yang artinya perikatan,
perutangan dan perjanjian.
Pengertian perjanjian atau kontrak secara umum adalah sebuah
perbuatan hukum yang dilakukansatu atau sejumlah subjek hukum yang satu
dengan yang lain dengan kesepakatan yang mengikat satu sama lain atas hal
tertentu dalam lapangan harta kekayaan. Lebih singkatnya, perjanjian adalah
kesepakatan yang memberi akibat hukum.
Perjanjian juga diartikan sebagai sebuah peristiwa dimana suatu
pihak berjanji dengan pihak lain saling berjanji untuk melaksanakan suatu
hal. Perjanjian juga disebut dengan persetujuan sebab pihak-pihak yang
terkait setuju untuk melakukan sesuatu.
Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan. Perikatan hasil
perjanjian memanglah diinginkan pihak yang terkait dalam perjanjian,
sedangkan perikatan hasil dari undang-undang diciptakan uu di luar kehendak
pihak terkait. Tujuan dua orang mengadakan suatu perjanjian adalah agar
keduanya terikat dalam suatu hukum perjanjian.

2
 Definisi hukum perjanjian
Hukum perjanjian adalah hukum yang mengatur perikatan yang
mempunyai konsekuensi hukum bagi para pihak yang terikat dalam
perjanjian. Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum di mana satu orang atau
lebih mengikatkan diri atau saling mengikatkan diri terhadap satu orang atau
lebih. Perjanjian dibuat secara sah berdasar kata sepakat dan berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Hukum perjanjian
membahas tentang teori dan jenis perjanjian yang disertai ilustrasi-ilustrasi
praktik perjanjian
3. Sumber-sumber perjanjian

Perikatan lebih luas dari perjanjian karena perjanjian hanya salah satu sumber
perikatan. Sumber perikatan lain adalah Undang-undang,keputuan hakim,wasiat
(legaat),tawaran (aanbood),moral dan kesusilaan (fatsoen) dan hak saling
memperhitungkan kewajiban (regresrecht).

4. Perjanjian-perjanjian Bernama
 Perjanjian bernama disebut juga perjanjian khusus adalah perjanjian yang
mempunyai nama khusus, maksudnya perjanjian tersebut diatur dan diberi
nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan type yang paling banyak
terjadi sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam Bab V sampai dengan
Bab XVIII Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Mariam Darus
Badrulzaman (et.al), 2001; 67).
 Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur didalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, tetapi perjanjian ini banyak ditemui di
dalam praktik sehari-hari (Mariam Darus Badrulzaman (et.al), 2001; 67).
Dengan kata lain perjanjian ini di dalam kehidupan sehari-hari mempunyai
sebutan nama tertentu, tetapi tidak diatur secara khusus didalam undang-
undang (J.Satrio, 1995; 148)

3
PERTEMUAN 3

B. Asas-asas perjanjian
Hukum perjanjian yang diatur di dalam ketentuan Buku III KUHPerdata menganut
sistem terbuka dan mengandung asas kebebasan berkontrak. Selain asas kebebasan
berkontrak ada beberapa asas yang tidak kalah pentingnya di dalam hukum perjanjian antara
lain:
1. Asas konsesualisme

Maksud dari asas konsensualitas adalah suatu perjanjian sudah ada / telah lahir) sejak
detik tercapainya kata sepakat tentang hal-hal yang pokok dalam perjanjian

Dasar hukum dari asas konsensualitas adalah Pasal 1320 Kitab UndangUndang

Hukum Perdata yaitu syarat-syarat perjanjian yang pertama yaitu adanya kata
sepakat.

Pengecualian terhadap asas konsensualitas adalah dalam hal suatu perjanjian


disyaratkan suatu bentuk/formalitas tertentu (perjanjian formil), dengan ancaman batal
apabila tidak dipenuhinya formalitas tersebut seperti pada perjanjian perdamaian yang
harus dibuat secara tertulis.
2. Asas itikad baik

Dasar Hukum dari adanya asas i’tikad baik adalah ketentuan Pasal 1338 ayat
(3) KUHPerdata yaitu “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan i’tikad baik”

I’tikad baik berarti bahwa kedua belah pihak dalam perjanjian harus berlaku
yang satu terhadap yang lain seperti patut saja antara orang-orang sopan, tanpa tipu
daya, tanpa tipu muslihat, tanpa akal-akalan, tanpa mengganggu pihak lain, tidak
dengan melihat kepentingan sendiri saja, tetapi juga dengan melihat kepentingan
pihak lain (P.L.Wery, 1990; 9).

Hogeraad dalam putusannya tanggal 9 Pebruari 1923 merumuskan perjanjian


harus dilaksanakan dengan ”redelijkheid en billijkheid “ yang diterjemahkan menjadi
“kewajaran dan keadilan”. Redelijkheid diartikan dengan dapat dimengerti dengan
intelek, dengan akal sehat, dengan budi (reasonable), sedangkan billijkheid berarti
dapat dirasakan dengan sopan, sebagai patut dan adil. Jadi redelijkheid en billijkheid
meliputi semua yang dapat ditangkap baik dengan intelek maupun dengan perasaan
(P.L.Wery, 1990; 9).

Pengertian i’tikad baik mengandung dua dimensi, yaitu i’tikad baik dalam
dimensi subyektif yang mengarah kepada Kejujuran, sedangkan i’tikad baik dalam
dimensi obyektif diartikan sebagai kerasionalan, kepatutan dan keadilan. i’tikad baik
dalam konteks Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata didasarkan kepada kerasionalan,
kepatutan dan keadilan. (Ridwan Khairandy, 2004; 194).

Bekerjanya asas i’tikad baik ini tidak saja setelah perjanjian dibuat
(pelaksanaan perjanjian), tetapi juga bekerja sewaktu para pihak akan memasuki
perjanjian (pra kontrak).

4
Menurut Subekti ketentuan tentang I’tikad baik mengandung makna bahwa
hakim diberikan kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian agar
jangan sampai melanggar kepatutan dan keadilan, maka hakim dapat mencegah
pelaksanaan perjanjian yang terlalu menyinggung rasa keadilan masyarakat, dengan
cara mengurangi atau menambah kewajiban-kewajiban dalam perjanjian.
3. Asas kekuatan mengikat
Asas kekuatan mengikat juga dikenal dengan istilah asas pasca sun servanda
yang berkaitan erat dengan daya mengikatnya suatu perjanjian
Dasar hukum dari asas kekuatan mengikat adalah ketentuan Pasal 1338 ayat
(1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu “Semua persetujuan yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya”. Jadi perjanjian
yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat bagi mereka yang membuatnya
seperti daya mengikatnya sebuah undang-undang.
Maksud diadakannya asas kekuatan mengikat ini dalam suatu perjanjian
tidak lain adalah untuk menciptakan kepastian hukum bagi para pihak di dalam
perjanjian. Menurut Subekti Tujuan asas kekuatan mengikat ini adalah untuk
memberikan perlindungan kepada pihak pembeli (dalam perjanjian jual beli) agar
mereka tidak perlu merasa khawatir akan hakhaknya karena perjanjian yang mereka
buat tersebut berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya
4. Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan


kepada pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian
dengan siapapun, menentukan isi perjanjian/ pelaksanaan dan persyaratannya,
menentukan bentuknya perjanjian yaitu tertulis atau lisan.

Asas kebebasan berkontrak ini bukan berarti memberikan kebebasan yang seluas-
luasnya tetapi juga mendapat pembatasan dari Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, yaitu dibatasi oleh :

(1). Undang-Undang
(2). Kesusilaan
(3). Ketertiban umum.
C. Unsur-unsur perjanjian

Kita harus membedakan antara elemen (isi) perjanjian dengan bagian (unsur)
perjanjian, bagian (unsur) perjanjian dibedakan menjadi :

(1). Unsur essensialia

Unsur ini merupakan unsur yang mutlak harus ada dalam suatu perjanjian
tanpada adanya unsur ini, perjanjian tidak mungkin ada, dengan kata lain merupakan
unsur yang menentukan atau menyebabkan perjanjian (constructieve dordeel),
seperti :

(a). Persetujuan para pihak


(b). Obyek dan perjanjian

Dalam perjanjian riil, unsur essensialia adalah adanya “penyerahan”


sedangkan pada perjanjian formil, unsur essensialia adalah “bentuk tertentu atau
harus dengan prosedur tertentu”.

5
(2). Unsur Naturalia

Unsur ini melekat pada perjanjian yang diatur oleh undang-undang namun
dapat dikesampingkan oleh para pihak.

Seperti Pasal 1476 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang kewajiban


penjual untuk menanggung biasa penyerahan barang

(3). Unsur Accidentialia


Unsur ini melekat pada perjanjian yang diatur secara tegas oleh para pihak,
sedang undang-undang tidak mengatur tenang hal tersebut.
Seperti ketentuan mengenai domisili pengadilan yang dipilih apabila terjadi
sengketa

6
DAFTAR PUSTAKA

Zakiyah, SH, MH Hukum Perjanjian Lentera Kreasindo Maret 2017

Anda mungkin juga menyukai