Sebagian besar dari peraturan hukum mengenai perjanjian bermuara dan
mempunyai dasar pada asas-asas hukum. Asas-asas hukum merupakan dasar atau pokok karena bersifat fundamental.. Di dalam suatu hukum perjanjian, terdapat lima asas, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda, dan asas kepribadian. Asas-asas dalam hukum perjanjian ini memiliki dua fungsi, yaitu: 1. Membangun fondasi bagi konstruksi hukum perjanjian yang kokoh, yang menempatkan kedudukan hukum kontekstual yang setara, jelas, dan konkrit. 2. Mengarahkan para pihak yang membuat perjanjian untuk menentukan substansinya yang memuat hak dan kewajiban serta hubungan hukum yang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.
Asas Kebebasan Berkontrak (Contracts Vrijheid)
Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara emberional lahir pada zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat pada zaman Renaisance melalui ajaran-ajaran Hugo de Groth, Thomas Hobbes, Jhon Locke dan Rosseau. Menurut paham individualisme, sistem orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya. Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPer, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas ini memperbolehkan setiap masyarakat untuk membuat perjanjian yang berisi apa pun asalkan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan undang- undang. Hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja bahkan diperbolehkan untuk membuuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian dalam Buku III KUHPerdata. Budiono (2009: 44) menguraikan asas kebebasan berkontrak yang isinya memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: 1. Membuat atau tidak membuat perjanjian; 2. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun; 3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya; 4. Menentukan bentuk perjanjian, yaitu secara tertulis atau lisan. Keempat hal tersebut boleh dilakukan, namun tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Asas Konsensualisme Asas konsensualisme ini berasal dari kata latin “concensus” yang artinya sepakat. Perjanjian terbentuk karena adanya perjumpaan kehendak (konsensus) dari para pihak. Perjanjian pada dasarnya dapat dibuat secara bebas, tidak terikat bentuk tertentu, dan perjanjian itu telah lahir pada detik tercapainya kata sepakat dari para pihak. Dengan kata lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diharuskan adanya suatu formalitas tertentu (Subekti, 1985: 15). Terdapat pengecualian dalam asas konsensualisme, yakni bahwa dalam perjanjian tertentu oleh undang-undang ditetapkan adanya formalitas-formalitas tertentu. Pengecualian tersebut seperti perjanjian penghibahan benda tidak bergerak (tanah) yang harus dilakukan dengan akta notaris. Jadi, perjanjian tersebut harus dalam bentuk tertulis. Apabila perjanjian semacam ini tidak dilakukan dengan akta notaris maka perjanjian tersebut batal. Asas konsensualisme didasarkan pada Pasal 1329 ayat (1) KUHPerdata yang menyebutkan salah satu syarat dalam perjanjian adalah adanya “kesepakatan kedua pihak” Walaupun terjadi kesepakatan, tetapi perlu tetap diperhatikan unsur “kehendak”. Apabila kehendak melakukan perjanjian atas dasar kedua belah pihak, maka perjanjian dianggap sah. Namun, apabila perjanjian yang dilakukan dengan adanya paksaan (conradictio interminis), maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan dengan memohon kepada pengadilan. Dalam KUHPerdata terdapat hal-hal yang dapat dikategoru dengan “cacat kehendak” yang membuat perjanjian dapat dibatalkan, yaitu: a. Kesesatan (dwaling) b. Penipuan (bedrog) c. Paksaaan (dwang)
Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)
Asas pacta sunt servanda dipatuhi sebagai sebuah prinsip yang menetapkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata). Dengan kata lain, asas ini melandasi pernyataan bahwa sebuah perjanjian akan mengakibatkan suatu kewajiban hukum sehingga para pihak terikat untuk melaksanakan perjanjian tesebut. Perjanjian dibuat sendiri oleh para pihak dan mereka juga yang menentukan isinya serta cara pelaksanaannya. Perjanjian yang dibuat secara sah tersebut memunculkan akibat hukum yang sama dengan undang-undang bagi para pihak. Dalam pengertian ini, apabila salah satu pihak tidak atau lalai melaksanakan kewajibannya menurut perjanjian maka pihak lainnya yang dirugikan atau dilanggar haknya akan mendapat perlindungan hukum dari negara yang bersangkutan melalui pengadilan. Selanjutnya, para pihak harus memenuhi apa yang tela mereka sepakati dalam perjanjian yang telah mereka buat. Asas Kepribadian (Personalitas) Asas Kepribadian disimpulkan dari Pasal 1315 KUH Perdata yang berbunyi "Pada umumnya tiada seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji, melainkan untuk dirinya sendiri." Perikatan hukum yang dilahirkan oleh suatu perjanjian hanya mengikat orang- orang yang membuat perjanjian itu dan tidak mengikat orang lain. Sebuah perjanjian hanya meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara para pihak yang membuatnya. Orang lain atau pihak ketiga tidak mempunyai sangkut paut dengan perjanjian tersebut (Subekti, 1985: 30). Seorang tidak diperbolehkan membuat perjanjian yang meletakkan kewajiban bagi orang lain atau pihak ketiga tanpa adanya kuasa dari pihak ketiga tersebut. Dalam asas kepribadian, berlaku dua pengecualian berikut. 1. Janji untuk pihak ketiga Pada janji ini, seseorang membuat suatu perjanjian yang isinya menjanjikan hak-hak bagi orang lain. 2. Perjanjian garansi Seseorang membuat perjanjian dengan orang lain, sebut saja A dan B. Dalam perjanjian ini, A menjanjikan bahwa orang lain (C) akan berbuat sesuatu dan A menjamin bahwa C pasti akan melaksanakan. Akan tetapi, jika C tidak melaksanakan sesuatu hal yang disebutkan dalam perjanjian ini maka A bertanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban C tersebut. Perjanjian ini lazim dipraktikkan dalam perbankan.
Asas Iktikad Baik
Silondae dan Fariana (2010: 12) mengemukakan bahwa semua perjanjian yang dibuat harus dilandasi dengan iktikad yang baik (in good faith). Lebih lanjut, pengertian iktikad baik mempunyai dua arti, yaitu: 1. Perjanjian yang dibuat harus mempertahankan norma-norma kepatutan dan kesusilaan; 2. Perjanjian yang dibuat harus mencerminkan suasana batin yang tidak menunjukkan adanya kesengajaan untuk merugikan pihak lain.