Anda di halaman 1dari 5

E.

Asas-Asas Hukum Perjanjian

Melihat perkembangan kegiatan usaha hulu sejak tahun 1910, Indonesia


telah mengenal tiga macam bentuk kontrak pengelolaan migas. Bentuk kontrak
yang pertama adalah berdasarkan Pasal 5A Indische Mijnwet, yang digunakan
sampai dengan tahun 1963 dan kemudian diganti dengan Perjanjian Karya dan
Kontrak Bagi Hasil menurut UU Migas 1960 dan UU Migas 2001. karena itu
usaha hulu migas tersebut tunduk pada asas-asas Hukum Perjanjian baik yang
universal maupun yang diatur dalam Buku III KUH Perdata.
Di dalam Buku III KUH Perdata dikenal empat asas penting yang bersifat
universal, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas pacta sunt servanda, asas itikad
baik dan asas konsensualisme. Tiga asas yang pertama (kebebasan berkontrak,
pacta sunt servanda dan itikad baik) dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 KUH
Perdata yang menyatakan bahwa:
“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat
ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena
alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus
dilaksanakan dengan itikad baik.”
Asas konsensualisme mengandung arti “kemauan” (will) dan terdapat
didalam Pasal 1320, yang menyatakan bahwa: “Untuk Sahnya suatu perjanjian
diperlukan empat syarat: Sepakat mereka yang mengikat dirinya; Kecakapan untuk
membuat suatu perikatan; Suatu hal tertentu; Suatu sebab yang halal.
Dengan demikian, perjanjian atau perikatan yang timbul pada dasarnya
sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidak
diperlukan sesuatu formalitas untuk menjadikannya sah. Kebebasan berkontrak
berlatar belakang pada faham individualisme yang lahir dalam zaman Yunani
dan berkembang pesat dalam zaman renaissance. Faham ini berpandangan
bahwa setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya. Asas
kebebasan berkontrak ini juga merupakan dasar dalam Principles of Internasional
Commercials Contracts, seperti tercantum dalam Article 1.1 UNIDROIT yang
berbunyi: The Parties are free to enter into contract and to determine its content”1
Di Indonesia, setelah proklamasi kemerdekaan muncul pemikiran apakah
kebebasan berkontrak ini harus tetap dipertahankan sebagai asas esensial di
dalam Hukum Perjanjian. Mariam Darus Badrulzaman berpendapat bahwa
kebebasan berkontrak tetap perlu dipertahankan sebagai asas utama di dalam
Hukum Perjanjian Nasional.2 Pemahaman asas berkontrak ini bukan dalam

1 UNIDROIT, Principles of International Commercial Contracts, Rome, 1994, hlm 7.


2 Mariam Darus Badrulzaman , et. Al, op. Cit, hlm 85.
pengertian kebebasan yang mutlak karena dalam kebebasan tersebut terdapat
berbagai pembatasan antara lain oleh undang-undang, ketertiban umum dan
kesusilaan. Seperti dikatakan oleh Friedman bahwa kebebasan berkontrak masih
dianggap aspek yang esensial dari kebebasan individu, tetapi tidak lagi
mempunyai nilai absolut seperti satu abad yang lalu.3
Selanjutnya, di dalam setiap perjanjian meskipun tidak dengan tegas
dinyatakan selalu tersirat adanya itikad baik dari para pihak. Asas itikad baik
merupakan asas bahwa para pihak harus melaksanakan substansi kontrak,
berdasarkan kepercayaan atau keyakinan atau kemauan baik dari para pihak.
Itikad baik ini tidak terbatas pada waktu mengadakan hubungan hukum, akan
tetapi juga pada waktu melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
timbul dari hubungan hukum tersebut.
Menurut Subekti, itikad baik merupakan suatu sendi yang terpenting
dalam hukum perjanjian. Apabila pada waktu awalnya di tanah air para ahli
hukum menganggap itikad baik bersifat subyektif, maka di Belanda pengertian
itikad baik telah berkembang yang memandang bahwa itikad baik itu juga
bersifat obyektif. Misalnya, dalam Nieuwe Burgerlijk Wetboek (NBW) pengertian
itikad baik itu juga mengandung asas kepantasan dan kepatutan (redelijkheid en
billijkheid). Dengan demikian selain terletak pada hati sanubari manusia, itikad
baik dalam melaksanakan hak-hak dan kewajiban manusia, itikad baik dalam
melaksanakan hak-hak dankewajiban-kewajiban yang timbul dai suatu
hubungan hukum (perjanjian) harus mengindahkan norma-norma kepatutan
dan keadilan dengan menjauhkan diri dari perbuatan yang mungkin
menimbulkan kerugian pihak lain.4
Selanjutnya Subekti menyatakan bahwa hukum itu selalu mengejar dua
tujuan, yaitu menjamin kepastian (ketertiban) dan memenuhi tuntutan keadilan,
kalau ayat pertama Pasal 1338 KUHPerdata dapat dipandang sebagai suatu
syarat atau tuntutan kepastian hukum (janji itu mengikat), maka ayat ketiga
Pasal 1338 KUH Perdata harus dipandang sebagai suatu tuntutan keadilan. 5

F. Asas Pacta sunt servanda

Suatu perikatan hukum yang dilahirkan dari suatu perjanjian mempunyai


dua atribut, yaitu hak dan kewajiban hukum. Kewajiban hukum adalah

3 Friedman, Legal Theory, Steven & Sons Limited, Fourth edition, 1960, hlm 369.
4 Subekti, Hukum Perjanjian, op.cit. hlm 41.
Lihat juga Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas hukum perjanjian, Cetakan VII, Sumur Bandung,
Bandung, 1979 hlm 85.
5 Subekti, Loc.cit.
mengikatkan diri untuk melakukan sesuatu kepada pihak lain, sementara hak
atau manfaat berupa tuntutan dilaksanakannya sesuatu yang disanggupi dalam
perjanjian itu. Karena itu dalam setiap perjanjian masing-masing pihak harus
menepati janjinya untuk melaksanakan kewajibannya dan juga menghormati
hak pihak lain.
Grotius mencari dasar konsensus itu dalam Hukum Kodrat dengan
mengatakan bahwa “janji itu mengikat” (Pacta sunt servanda) dan “kita harus
memenuhi janji kita” (promissorrum implendorum obligati). Falsafah ini juga
terdapat dalam Syari’at Islam, sebagaimana dalam surat Al Maidah ayat pertama
yang berbunyi “Yaa ayyuhalladziina aamanuu aufuu bil ‘uqud”’ yang artinya
“wahai orang-orang yang beriman tepatilah janji-janji itu” dan surat Al Isra ayat
34 yang berbunyi “wa aufu bil”ahdi innal ‘ahda kana mas uulan” yang artinya” dan
penuhilah olehmu akan janji, sesungguhnya janji itu akan ditanyakan
[dimintakan pertanggungjawaban]”. Namun syariat Islam juga sangat
memperhatikan kesadaran individu dengan motif, aspirasi, kesadaran yang baik
dan itikad baik. Dengan itikad baik seseorang tidak akan mengambil
keuntungan dari kesulitan orang lain yang tidak terlihat sebelumnya, karena hal
itu bukan merupakan bagian dari hal yang disepakati.
Selanjutnya, menurut Grotius asas pacta sunt servanda ini timbul dari
premise bahwa kontrak secara alam dan sudah menjadi sifatnya mengikat
berdasarkan dua alasan. Alasan pertama adalah sifat kesederhanaan bahwa
seorang harus berinteraksi dan bekerjasama dengan orang lain yang berarti
bahwa orang-orang ini harus saling mempercayai, yang pada gilirannya akan
memberikan kejujuran dan kesetiaan. Alasan kedua adalah setiap individu
memiliki hak, dimana yang paling mendasar adalah hak milik yang dapat
dialihkan. Apabila seorang individu memiliki hak untuk melepaskan miliknya,
maka tidak ada alasan mengapa dicegah untuk melepaskan haknya yang
kurang penting seperti melalui kontrak.6
Meskipun sudah dimasukkan ke dalam Hukum Gereja sejak abad XIII,
masih beberapa abad sebelumnya prinsip nudus consensus, obligat, pacta nuda
servanda sunt ini diakui dalam jus civile. Adagium pacta sunt servanda
mempunyai arti yang besar sejak abad XVI, bukan saja dibidang hukum privat
melainkan juga dalam bidang-bidang hukum tata negaradan hukum
internasional. Penerapan asas pacta sunt servanda dalam suatu perjanjian pada
awalnya sebagai Hukum Gereja dikuatkan dengan sunpah. Namun dibawah
pengaruh kaum teologi moral sedikit demi sedikit telah dikembangkan prinsip,

6Grotius, H., The Law of war and Peace: De Jure Belli et Pacis, 1664 ed., Kelsey, F.W. trans.,
Oxford, 1916-25 dan Pupendorf, S., The Law of Naturaeet Gentium, 1688 ed. Oxford, 1934, TLDB
Document ID: 105700, diakses dari http://uni-koeln.de/php/pub.
bahwa persetujuan-persetujuan yang tidak dikuatkan dengan pengangkatan
sumpah juga mempunyai kekuatan mengikat.7
Dengan demikian, adagium tersebut telah berubah sifatnya, yaitu
sekarang telah menjadi kekuatan mengikat suatu persetujuan. Prinsip bahwa
kita terikat pada janji- janji dan kesanggupan- kesanggupan kontraktual, bukan
saja harus dipenuhi secara moral, tetapi juga merupakan kewajiban hukum. Hal
ini harus dianggap sebagai sesuatu yang berlaku sendirinya, sehingga tidak
perlu dipersoalkan lebih lanjut.
Dengan meningkatnya pergaulan hidup, maka kebutuhan akan kontrak
yang beraneka ragam juga meningkat. Pergaulan hidup yang berbasiskan
tatanan tukar-menukar barang-barang dan jasa-jasa memerlukan suatu
kebebasan tertentu untuk mengadakan hubungan-hubungan kontraktual. Hal ini
pada gilirannya memerlukan peningkatan kepercayaan dan kepastian bahwa
janji-janji dan kesanggupan- kesanggupan sedemikian ini akan dipenuhi, maka
masyarakat tidak dapat berkembang dengan baik. Dengan hilangnya kepastian,
maka lalu lintas ekonomi juga tidak dapat berjalan lancar.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pacta sunt servanda diterima
sebagai salah satu prinsip yang umum dalam perdagangan internasional dan
perjanjian antara negara. Pasal 26 Konvensi Wina 1969 menyatakan bahwa setiap
perjanjian (Treaty) mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad
baik.8 Para pihak berkewajiban untuk melaksanakan suatu kontrak sedemikin
rupa menurut yang telah disepakati, meskipun pelaksanaan tersebut menjadi
tidak menguntungkan atau sulit bagi salah satu pihak. Ketentuan ini merupakan
aturan dasar (basic rule) dari “lex mercatoria”, yang dimaksudkan untuk
menjamin perdagangan.
Prinsip pacta sunt servanda ini telah dikenal baik dalam sistem hukum
kontinental maupun common law yang mendukung adanya jaminan dan
kepastian perdagangan dan telah diintegrasikan dalam hukum internasional.
Karena itu adagium ini dapat dipandang bagian dari hukum kebiasaan, yang
penerapannya mencapai kehidupan pribadi dan bangsa. Meskipun banyak
pelanggaran dari kontrak telah terjadi, namun fakta menunjukkan bahwa prinsip
kesucian kontrak internasional ini tetap hidup. Ingkar janji selalu dianggap
sebagai suatu tindakan yang salah yang dikenakan keharusan memberikan
kompensasi (ganti rugi).
Sebagaimana dikatakan oleh Hans Wehberg, adagium pacta sunt servanda
sebagai prinsip hukum yang umum dijumpai di semua negara dan akan

7 Soedjono Dirdjosiswono, op.cit., hlm. 104.


8 UN Conventions on the Law of Treaties, Viena (23 May 1969), Article 26: “Every treaty in force
is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith”.
diberlakukan sama, apakah itu dalam perjanjian antara negara atau kontrak
antara negara dan perusahaan swasta. Kehidupan masyarakat internasional
tidak hanya didasarkan pada hubungan antara negara tetapi juga meliputi
hubungan antara negara dan perusahaan asing. Tanpa asas pacta sunt servanda,
upaya menyelesaikan sengketa melalui proses peradilan akan sia-sia.
Pada saat ini, prinsip tersebut diatas tidak memiliki ciri yang mutlak
(absolute). Lingkupnya dibatasi dengan pengecualian, yang diberikan oleh
hukum, misalnya, perbuatan yang tidak mungkin baik secara hukum maupun
fisik dan memperkaya diri secara tidak adil. Hak suatu pihak untuk
mengundurkan diri dari kontrak bertentangan dengan prinsip kesucian kontrak
(sanctity of contracts). Kepentingan terutama para pihak, mungkin dapat terjadi
kontrak tersebut dilaksanakan tidak sempurna atau dalam beberapa hal tidak
dilaksanakan sama sekali. Dalam situasi demikian, pihak yang dirugikan
dilengkapi dengan perangkat hukum lengkap dengan cara penanggulangannya.
Tindakan yang paling drastis karena tidak memenuhi persyaratan kontrak
adalah pemutusan kontrak.

Anda mungkin juga menyukai