3 Friedman, Legal Theory, Steven & Sons Limited, Fourth edition, 1960, hlm 369.
4 Subekti, Hukum Perjanjian, op.cit. hlm 41.
Lihat juga Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas hukum perjanjian, Cetakan VII, Sumur Bandung,
Bandung, 1979 hlm 85.
5 Subekti, Loc.cit.
mengikatkan diri untuk melakukan sesuatu kepada pihak lain, sementara hak
atau manfaat berupa tuntutan dilaksanakannya sesuatu yang disanggupi dalam
perjanjian itu. Karena itu dalam setiap perjanjian masing-masing pihak harus
menepati janjinya untuk melaksanakan kewajibannya dan juga menghormati
hak pihak lain.
Grotius mencari dasar konsensus itu dalam Hukum Kodrat dengan
mengatakan bahwa “janji itu mengikat” (Pacta sunt servanda) dan “kita harus
memenuhi janji kita” (promissorrum implendorum obligati). Falsafah ini juga
terdapat dalam Syari’at Islam, sebagaimana dalam surat Al Maidah ayat pertama
yang berbunyi “Yaa ayyuhalladziina aamanuu aufuu bil ‘uqud”’ yang artinya
“wahai orang-orang yang beriman tepatilah janji-janji itu” dan surat Al Isra ayat
34 yang berbunyi “wa aufu bil”ahdi innal ‘ahda kana mas uulan” yang artinya” dan
penuhilah olehmu akan janji, sesungguhnya janji itu akan ditanyakan
[dimintakan pertanggungjawaban]”. Namun syariat Islam juga sangat
memperhatikan kesadaran individu dengan motif, aspirasi, kesadaran yang baik
dan itikad baik. Dengan itikad baik seseorang tidak akan mengambil
keuntungan dari kesulitan orang lain yang tidak terlihat sebelumnya, karena hal
itu bukan merupakan bagian dari hal yang disepakati.
Selanjutnya, menurut Grotius asas pacta sunt servanda ini timbul dari
premise bahwa kontrak secara alam dan sudah menjadi sifatnya mengikat
berdasarkan dua alasan. Alasan pertama adalah sifat kesederhanaan bahwa
seorang harus berinteraksi dan bekerjasama dengan orang lain yang berarti
bahwa orang-orang ini harus saling mempercayai, yang pada gilirannya akan
memberikan kejujuran dan kesetiaan. Alasan kedua adalah setiap individu
memiliki hak, dimana yang paling mendasar adalah hak milik yang dapat
dialihkan. Apabila seorang individu memiliki hak untuk melepaskan miliknya,
maka tidak ada alasan mengapa dicegah untuk melepaskan haknya yang
kurang penting seperti melalui kontrak.6
Meskipun sudah dimasukkan ke dalam Hukum Gereja sejak abad XIII,
masih beberapa abad sebelumnya prinsip nudus consensus, obligat, pacta nuda
servanda sunt ini diakui dalam jus civile. Adagium pacta sunt servanda
mempunyai arti yang besar sejak abad XVI, bukan saja dibidang hukum privat
melainkan juga dalam bidang-bidang hukum tata negaradan hukum
internasional. Penerapan asas pacta sunt servanda dalam suatu perjanjian pada
awalnya sebagai Hukum Gereja dikuatkan dengan sunpah. Namun dibawah
pengaruh kaum teologi moral sedikit demi sedikit telah dikembangkan prinsip,
6Grotius, H., The Law of war and Peace: De Jure Belli et Pacis, 1664 ed., Kelsey, F.W. trans.,
Oxford, 1916-25 dan Pupendorf, S., The Law of Naturaeet Gentium, 1688 ed. Oxford, 1934, TLDB
Document ID: 105700, diakses dari http://uni-koeln.de/php/pub.
bahwa persetujuan-persetujuan yang tidak dikuatkan dengan pengangkatan
sumpah juga mempunyai kekuatan mengikat.7
Dengan demikian, adagium tersebut telah berubah sifatnya, yaitu
sekarang telah menjadi kekuatan mengikat suatu persetujuan. Prinsip bahwa
kita terikat pada janji- janji dan kesanggupan- kesanggupan kontraktual, bukan
saja harus dipenuhi secara moral, tetapi juga merupakan kewajiban hukum. Hal
ini harus dianggap sebagai sesuatu yang berlaku sendirinya, sehingga tidak
perlu dipersoalkan lebih lanjut.
Dengan meningkatnya pergaulan hidup, maka kebutuhan akan kontrak
yang beraneka ragam juga meningkat. Pergaulan hidup yang berbasiskan
tatanan tukar-menukar barang-barang dan jasa-jasa memerlukan suatu
kebebasan tertentu untuk mengadakan hubungan-hubungan kontraktual. Hal ini
pada gilirannya memerlukan peningkatan kepercayaan dan kepastian bahwa
janji-janji dan kesanggupan- kesanggupan sedemikian ini akan dipenuhi, maka
masyarakat tidak dapat berkembang dengan baik. Dengan hilangnya kepastian,
maka lalu lintas ekonomi juga tidak dapat berjalan lancar.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pacta sunt servanda diterima
sebagai salah satu prinsip yang umum dalam perdagangan internasional dan
perjanjian antara negara. Pasal 26 Konvensi Wina 1969 menyatakan bahwa setiap
perjanjian (Treaty) mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad
baik.8 Para pihak berkewajiban untuk melaksanakan suatu kontrak sedemikin
rupa menurut yang telah disepakati, meskipun pelaksanaan tersebut menjadi
tidak menguntungkan atau sulit bagi salah satu pihak. Ketentuan ini merupakan
aturan dasar (basic rule) dari “lex mercatoria”, yang dimaksudkan untuk
menjamin perdagangan.
Prinsip pacta sunt servanda ini telah dikenal baik dalam sistem hukum
kontinental maupun common law yang mendukung adanya jaminan dan
kepastian perdagangan dan telah diintegrasikan dalam hukum internasional.
Karena itu adagium ini dapat dipandang bagian dari hukum kebiasaan, yang
penerapannya mencapai kehidupan pribadi dan bangsa. Meskipun banyak
pelanggaran dari kontrak telah terjadi, namun fakta menunjukkan bahwa prinsip
kesucian kontrak internasional ini tetap hidup. Ingkar janji selalu dianggap
sebagai suatu tindakan yang salah yang dikenakan keharusan memberikan
kompensasi (ganti rugi).
Sebagaimana dikatakan oleh Hans Wehberg, adagium pacta sunt servanda
sebagai prinsip hukum yang umum dijumpai di semua negara dan akan