Anda di halaman 1dari 20

28

yang sama karena semata-mata untuk memudahkan pemahaman

terhadap rangkaian kalimat yang disusun. Definisi perjanjian menurut

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1313 yaitu: “Suatu

perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau

lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.

Subekti, mengatakan bahwa:

Definisi dari perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang


berjanji pada seorang lain atau di mana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan suatu hal.14

KRMT Tirtodiningrat, mengatakan bahwa:

Perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum berdasakan


kata sepakat di antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan
akibat-akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undang-
undang.15

Dengan demikian, bisa ditarik kesimpulan bahwa pengertian dari

perjanjian yaitu hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan

subjek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, di mana subjek

hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum

yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan

yang telah disepakatinya16.

2. Asas-Asas Perjanjian

Tujuan dari adanya asas-asas perjanjian ini merupakan suatu

bentuk perlindungan kepada pihak-pihak pelaku bisnis pada saat

14
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2005), hlm. 2.
15
A. Qirom Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perikatan Beserta Perkembangannya,
(Yogyakarta: Liberty, 1985), hlm. 8.
29

16
Salim, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusuntan Kontrak, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006, Cet. Keempat), hlm. 27.
melakukan perjanjian agar terhindar dari ingkar janji (wanprestasi).

Disisi lain, adanya asas-asas perjanjian ini memberikan bingkai atau

rambu-rambu aturan main kepada pelaku bisnis, sehingga saat

melakukan transaksi bisnis masing-masing pihak dapat memenuhi

prestasi yang telah dicantumkan dalam klausul perjanjian. Terkait

dengan asas-asas perjanjian, banyak para ahli yang mengemukakan

asas-asas yang menjadi tiang-tiang dalam berkontrak.

Namun, Dari berbagai asas-asas perjanjian yang ada, terdapat

empat asas yang dijadikan sebagai saka guru hukum kontrak, yaitu:

a. Asas Kebebasan Berkontrak

b. Asas Konsensualisme

c. Asas Pacta Suntt Servanda

d. Asas Iktikad Baik17.

Hadirnya asas-asas hukum perjanjian berfungsi untuk sebagai

pembangunan sistem, dan lebih lanjut asas-asas itu sekaligus

membentuk sistem “check and balance” 18. Dengan adanya asas-asas

tersebut diharapkan terciptanya suatu hubungan kontraktual yang

proposional antara kedua pihak sebagai suatu pola hubungan

simbiosis mutualisme.

17
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas dalam Kontrak
Komersial, hlm. 15.
30

18
Hendry P. Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden)
sebagai Alasan (baru) untuk Pembatalan Perjanjian (Berbagai Perkembangan Hukum di
Belanda), (Yogyakarta: Liberty, 1992, Cet. Pertama), hlm. 7.
a. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) merupakan

suatu hal paling mendasar dalam melakukan suatu kontrak bagi pelaku

bisnis. Hal tersebut dikarenakan asas kebebasan berkontrak mempunyai

posisi yang sentral dalam hubungan kontraktual meskipun tidak

dituangkan menjadi aturan hukum yang baku, namun memiliki pengaruh

yang sangat kuat bagi para pihak.

Agus Yudha Hernoko, mengatakan bahwa:

Asas kebebasan berkontrak lahir dari adanya paham


individualisme yang secara embrional lahir dari zaman Yunani,
dilanjutkan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat pada
zaman Renaissance (dan semakin ditumbuh kembangkan pada
zaman Aufklarung) melalui ajaran-ajaran Hugo de Groot, Thomas
Hobbes, John Locke, dan Rousseau.19

Berbeda halnya dengan pendapat Kartini Muljadi dan

Gunawan Widjaja.

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, mengatakan bahwa:

Yang mengemukakan bahwa dasar hukum asas kebebasan


berkontrak terdapat pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Pasal 1320 yang berbunyi untuk sahnya perjanjian-perjanjian,
diperlukan empat syarat yaitu Kesepakatan mereka yang mengikat
dirinya, Kecakapan untuk membuat suatu perikatan Suatu pokok
persoalan tertentu, Suatu sebab yang tidak terlarang. 20

Pada Ayat (4) tersebut menampilkan eksistensi dari asas kebebasan

berkontrak (freedom of contract) yang memberikan pemahaman bahwa

dengan asas kebebasan berkontrak ini, pihak-pihak yang membuat dan


31

19
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas dalam Kontrak
Komersial, hlm. 108.
20
Ibid
mengadakan suatu perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan

membuatkan kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban

apa saja, sepanjang isi prestasi yang tercantum bukan hal yang dilarang.

Hal tersebut kembali diperjelas dengan ketentuan yang ada di

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada Pasal 1338 yang berbunyi:

“Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang,

atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.”

Artinya, asas kebebasan berkontrak memberikan penjelasan bahwa

semua perjanjian dapat dibuat dan diselenggarakan oleh setiap orang.21.

Jadi, asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) dapat

diartikan kebebasan para subjek hukum untuk mengadakan atau tidak

mengadakan perjanjian, kebebasan untuk menentukan dengan siapa

mengadakan perjanjian dan kebebasan untuk menentukan isi dan bentuk

perjanjian22. Namun, kadangkala ada saja kecacatan para pihak dalam

melakukan sebuah perjanjian yang dinilai menimbulkan gagalnya dari

suatu perjanjian.

Hal yang menjadi penyebab cacat kehendak (wilsgebreke) bisa

bermacam-macam. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata cacat

kehendak (wilsgebreke) meliputi tiga hal, yaitu :

1) Kesesatan atau dwaling

2) Penipuan atau bedrog

21
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian,
32

(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003, Cet. Pertama), hlm. 46.


22
Christiana Tri Budhayati, Asas Kebebasan Berkontrak dalam Hukum Perjanjian
Indonesia, Jurnal Fakultas Hukum UKSW Vol. 10, No. 3, (Januari, 2009), hlm. 233.
3) Paksaan atau dwang.
Artinya, asas konsensualisme sebagaimana yang telah

disimpulkan dari ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Pasal 1320 Ayat (1) tentang kesepakatan atau toestemming), yang

menyatakan bahwa perjanjian itu telah lahir cukup dengan adanya

kata sepakat, hendaknya tidak juga diinterprestasi semata-mata

secara gramatikal23. Jadi, pemahaman asas konsensualisme ini

menekankan kata “sepakat” kepada para pihak yang menjadi

landasan berpikir bagi perjanjian bahwa kontrak merupakan orang

yang menjunjung tinggi komitmen dan tanggung jawab dalam lalu

lintas hukum, orang yang beriktikad baik, yang berlandaskan pada

“satunya kata satu perbuatan”24.

b. Asas Pacta Sunt Servanda

Asas ini mencerminkan wujud kepastian hukum bagi para pihak

yang melakukan, mengadakan atau membuat sebuah perjanjian. Karena

pacta sunt servanda atau perjanjian yang berlaku sebagai undang

undang merupakan konsekuensi logis dari ketentuan Pasal 1233 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata yang menjelaskan bahwa: “Perikatan

lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang”.

Apabila perjanjian dibuat dengan secara sukarela atau tanpa paksaan,

maka segala sesuatu yang telah disepakati dan disetujui oleh para pihak

harus
33

23
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas dalam Kontrak
Komersial, hlm. 122.
24
Ibid, hlm. 12.
dilaksanakan olehnya sebagaimana dikehendaki oleh mereka. Sebaliknya

jika para pihak dalam melakukan prestasinya tidak terlaksana secara baik,

maka pihak lain dalam perjanjian yang telah disepakati berhak untuk

melaksanakan pelaksanaannya melalui mekanisme dan jalur hukum yang

berlaku. Hal tersebut bisa terjadi karena asas pacta sunt servanda bisa

juga disebut dengan asas kepastian hukum dimana asas tersebut

berhubungan erat dengan akibat perjanjian.

Maka dari itu asas pacta sunt servanda adalah asas bahwa hakim

atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh

para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang25.

c. Asas Iktikad Baik (Good Faith)

Asas Iktikad Baik (Good Faith) sama halnya dengan asas-asas

yang lain dengan mempunyai dasar hukum yang ada pada Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata. Asas iktikad baik (good faith) pada Pasal 1338

Ayat (3) menjelaskan bahwa: “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan

dengan iktikad baik.”

Jika memperhatikan definisi dari ikitikad baik (good faith)

penafsirannya sangat umum, sehingga perundang-undangan pun tidak bisa

menjadi tolak ukur dari pengertian iktikad baik tersebut. Apabila melihat

dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan iktikad baik
34

adalah kepercayaan, keyakinan yang teguh atau maksud yang baik.

Berbeda

25
M. Muhtarom, Asas-Asas Hukum Perjanjian; Suatu Landasan dalam Pembuatan
Kontrak, Jurnal SUHUF, Vol. 26, No. 1, (Mei, 2014), hlm. 52.
halnya dengan kamus hukum Fockema Andrea dijelaskan arti dari iktikad

baik atau geode trouw adalah maksud, semangat yang menjiwai para

peserta dalam suatu perbuatan hukum atau tersangkut dalam suatu

hubungan hukum.

Jadi, Iktikad baik (good faith) dapat diartikan atau didefinisikan

menurut Pasal 1963 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa

kemauan baik atau kejujuran orang itu pada saat ia mulai menguasai

barang, di mana ia mengira bahwa syarat-syarat yang diperlukan untuk

mendapatkan hak milik atas barang itu telah terpenuhi. Iktikad baik harus

dimaknai dengan keseluruhan proses kontraktual, artinya iktikad baik

harus didasari hubungan para pihak pada tahap pra kontraktual,

kontraktual, dan pelaksanaan kontraktual. Oleh karena itu, konsep dari

iktikad baik (good faith) pada perjanjian kedua pihak harus berlandaskan

dengan keadilan, kejujuran serta kepercayaan pada saat melaksanakan pra

kontraktual, kontraktual, dan pelaksanaan kontraktual.

3. Unsur-Unsur Perjanjian

Perjanjian memiliki unsur-unsur inti yang terkandung didalamnya. Unsur

unsur tersebut terdiri dari:

a. Unsur Essentialia, unsur essentialia merupakan unsur yang mutlak dalam

sebuah perjanjian agar pada sebuah perjanjian itu sah. Unsur essentialia
35

dalam perjanjian mewakili ketentuan-ketentuan berupa prestasi-prestasi

yang wajib dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak, yang mencerminkan

sifat dari perjanjian tersebut, yang membedakannya secara prinsip dari

jenis perjanjian lainnya. Unsur essentialia ini pada umumnya

dipergunakan dalam memberikan rumusan, definisi, atau pengertian dari

suatu perjanjian26.

b. Unsur Naturalia, unsur naturalia yaitu dimana unsur yang tanpa

diperjanjikan khusus dalam perjanjian secara diam- diam dengan

sendirinya dianggap ada dalam perjanjian karena sudah merupakan

pembawaan atau melekat pada perjanjian. Unsur naturalia pasti ada dalam

suatu perjanjian tertentu yaitu berupa kewajiban dari penjual untuk

menanggung kebendaan yang dijual dari cacat-cacat tersembunyi.

Sehubungan dengan hal tersebut, dimana juga berkaitan dengan

ketentuana Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang

berbunyi “Perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang

dengan tegas dinyatakan di dalamnya, melainkan juga untuk segala

sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan,

kebiasaan, atau undang-undang27.”

c. Unsur Accidentalia, unsur ini disebut sebagai pelengkap dari pada

suatu perjanjian. Unsur accidentalia juga merupakan ketentuan-

ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak sesuai

dengan kehendak para pihak, merupakan persyaratan khusus yang


36

ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak, Dengan demikian, maka

unsur ini pada

26
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya, Cet.
Ketiga, 2000), hlm. 224-225.
27
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2009),
hlm. 118-119.
hakikatnya bukan merupakan suatu bentuk prestasi yang harus

dilaksanakan atau dipenuhi oleh para pihak28.

4. Syarat Sahnya Perjanjian

Dalam perjanjian, ada muatan-muatan yang harus dipenuhi berdasarkan

ketentuan yang berlaku. Muatan-muatan tersebut yaitu syarat sahnya perjanjian

yang telah diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Adapun isi dari Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut

berbunyi “Untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat:

a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

c. Suatu pokok persoalan tertentu;

d. Suatu sebab yang tidak terlarang.”

Dari keempat unsur tersebut, dalam ilmu hukum dapat dibagi menjadi dua

golongan. Unsur pertama disebut sebagai unsur subjektif, dimana unsur subjektif

ini menyangkut tentang perihal subjek (pihak) yang mengadakan perjanjian

tersebut29. Sedangkan unsur yang kedua yaitu dinamakan unsur objektif, unsur

objektif ini adalah unsur yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian30.

5. Penyebab Hapusnya Perjanjian dan Perikatan


37

Hapusnya perikatan dan hapusnya perjanjian memiliki suatu perbedaan

yang wajib diketahui, hapusnya perikatan belum tentu menghapuskan suatu

28
Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 8.
29
Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, hlm. 93.
30
Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Ibid, hlm. 93.

perjanjian, kecuali semua perikatan- perikatan yang ada pada perjanjian

tersebut sudah dihapus. Sedangkan hapusnya perjanjian mengakibatkan

hapusnya perikatan.

Penyebab hapusnya Perjanjian yaitu terdiri dari sebagai berikut:

a. Karena tujuan perjanjian sudah tercapai

b. Dengan persetujuan kedua belah pihak sesuai dengan Kitab Undang-

Undang Pasal 1338 Ayat (2)

c. Karena ketentuan Undang-Undang, misalnya pada Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata Pasal 1601 tentang perburuhan, jika si buruh

meninggal, maka perjanjian perburuhan dihapus.

d. Karena ditentukan oleh para pihak mengenai perjanjian dengan jangka

waktu tertentu.

e. Karena Keputusan Hakim, dan

f. Karena diputuskan oleh salah satu pihak, yaitu jika salah satu pihak

tidak melakukan prestasi, maka pihak lainnya tidak wajib melakukan

kontra prestasi.

B. Lembaga-lembaga Pembiayaan

1. Pengertian Lembaga Pembiayaan


38

Istilah lembaga pembiayaan mungkin belum sepopuler lembaga

perbankan dan lembaga keuangan. Karena belum tersebar secara luas

maka hanya sedikit orang yang tahu tentang lembaga pembiyaan. Hal

tersebut dikarenakan eksistensinya relatif baru jika dibandingkan dengan

lembaga keuangan yaitu bank.

Mengenal sejarah tentang lembaga pembiayaan itu sendiri, dulunya

lembaga pembiayaan baru dikenal sejak adanya Paket Deregulasi pada

tahun 1988. Dengan adanya Paket Deregulasi 1988, lembaga pembiayaan

setiap tahun semakin berkembang dengan dimunculkan Paket Deregulasi

27 Oktober 1988 (PAKTO 88) dan Paket Deregulasi 20 Desember 1988

(PAKDES 88).

Isitilah lembaga pembiayaan merupakan padanan dari istilah

bahasa Inggris financing institution. financing institution (lembaga

pembiayaan) sebagai lembaga yang bertugas dalam penyediaan dana

serta barang modal kepada masyarakat yang membutuhkan untuk kegiatan

usaha. Jadi, lembaga pembiayaan adalah lembaga yang menawarkan

bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana

secara langsung dari masyarakat.

Secara komprehensif bahwa lembaga pembiayaan begerak pada

bentuk penyediaan dana dan menarik dari masyarakat secara tidak

langsung. Dengan demikian, pengertian dari lembaga pembiayaan dapat

didefinisikan suatu badan usaha di luar bank atau lembaga pembiayaan

bukan bank yang secara khusus didirikan untuk melakukan fungsi dan
39

tugas sebagai kegiatan usahanya membiayai orang atau perusahaan pihak

lainnya. Selain itu pengertian dari lembaga pembiayaan menurut Undang-

Undang Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Otoritas Jasa Keuangan adalah

badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk

penyediaan dana atau barang modal yang termasuk salah satu dari

Lembaga Jasa Keuangan.

2. Jenis-Jenis Lembaga Pembiayaan

Aktifitas lembaga pembiayaan didukung dengan bermacam-

macam bidang usaha dalam menyediakan dana, mengelola dana, dan

melayani dana masyarakat. Berdasarkan paket kebijaksanaan pemerintah

yang dibentuk dengan adanya Paket Deregulasi 20 Desesmber 1988

(PAKDES 1988), pemerintah mengenalkan beberapa jenis bidang usaha

yang termasuk kedalam lembaga pembiayaan. Demi mengembangkan

eksistensi dari lembaga pembiayaan, maka pemerintah menuangkan isi

dari Paket Deregulasi 20 Desember (PAKDES 1988) tersebut kedalam

Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 Tentang Lembaga

Pembiayaan.

Adapun jenis-jenis lembaga pembiayaan menurut Keputusan

Presiden Nomor 61 Tahun 1988 Tentang Lembaga Pembiayaan adalah

sebagai berikut:

a. Sewa Guna Usaha (leasing)

Sewa Guna Usaha (leasing) adalah kegiatan

pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal, baik


40

secara finance lease maupun operating lease untuk

digunakan oleh penyewa guna usaha (lessee) selama jangka

waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.

Sewa guna usaha merupakan suatu kontrak atau persetujuan

sewa-menyewa antara lessor dengan lessee. Objek sewa

guna usaha yaitu barang modal, dan pihak lessee

mempunyai hak opsi dengan harga berdasarkan nilai sisa.

b. Modal Ventura (venture capital)

Modal Ventura (venture capital) adalah kegiatan

pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal ke dalam

perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan (investee

company) untuk jangka waktu tertentu. Modal ventura

merupakan jenis pembiayaan yang memiliki resiko

tinggi. dilaksanakan dalam bentuk kredit atau pinjaman

sebagaimana oleh bank, tetapi dengan cara melakukan

penyertaan langsung ke dalam perusahaan pasangan usaha

(PPU) atau investee company.

c. Anjak Piutang (factoring)

Anjak piutang (factoring) merupakan kegiatan

pembiayaan dalam bentuk pembelian dan/atau pengalihan

serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek suatu

perusahaan dari transaksi perdagangan dalam atau luar

negeri. Perusahaan yang dapat menjadi perusahaan anjak


41

piutang (factoring) yaitu sebagai berikut Perusahaan yang

bergerak khusus dalam usaha anjak piutang (factoring),

atau, Perusahaan multifinance, yang di samping bergerak di

bidang anjak piutang tetapi juga bergerak di bidang usaha

finansial lainnya, seperti bidang leasing, consumer finance,

kartu kredit, dan sebagainya; atau, Bank yang

diperkenankan beroperasi di bidang usaha anjak piutang

berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1999

Tentang Perbankan, yaitu sebagaimana ditentukan dalam

Pasal 6 Ayat (1), dengan bentuk badan usaha perseroan dan

koperasi. Maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan pokok

anjak piutang (factoring) meliputi Pembelian dan/atau

pengalihan piutang jangka pendek yang timbul dari

transaksi perdagangan; Menatausahakan penjualan kredit;

Penagihan piutang perusahaan klien.

d. Pembiayaan konsumen (consumer finance)

Kartu kredit (credit card) adalah kegiatan

pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan

kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran angsuran

atau berkala oleh konsumen. Kartu kredit (credit card)

pada umumnya hanya dapat diterbitkan oleh bank atau

perusahaan tertertentu yang dapat digunakan sebagai alat

pembayaran atas transaksi barang atau jasa atau menjamin


42

keabsahan cek yang dikeluarkan di samping untuk

melakukan penarikan uang tunai. Kartu kredit (credit

card) dapat juga disebut sebagai jenis alat pembayaran

yang dapat digunakan oleh masyarakat yang termasuk

alat pembayaran yang bersifat elektronik. Selain itu, kartu

kredit (credit card) dapat diterbitkan atau dikeluarkan

berdasarkan penjanjian kartu kredit dengan nasabah bank

atau perusahaan tersebut. Berdasarkan perjanjian tersebut,

nasabah dapat memperoleh dana/uang dari bank atau

perusahaan pembiayaan. Kemudian, nasabah yang

menerima kartu kredit (credit card) akan menerima serta

memegang kartu dari bank atau perusahaan pembiayaan

yang telah diterbitkan sebagai pengganti mata uang.

e. Perdagangan Surat Berharga (securities company)

Perdagangan Surat Berharga (securities company)

merupakan suatu kegiatan pembiayaan dalam bentuk surat

berharga. Jika melihat perkembangannya, perdagangan

surat berharga ini lahir dengan adanya Keputusan Menteri

Keuangan Nomor 1256/KMK.00/1989 yang dikeluarkan

pada lingkup usaha lembaga pembiayaan. Hal tersebut

disebabkan karena kegiatan perdagangan surat berharga

(securities company) sangat terkait dengan kegiatan di

bidang pasar modal, sehingga peraturan dan pembinaan


43

kegiatannya dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan

sebagai otoritas pasar modal.

3. Peranan Lembaga Pembiayaan.

Peranan lembaga pembiayaan menjadi gerbang utama dalam

pembangunan ekonomi nasional untuk menyejahterakan masyarakat.

Lembaga pembiayaan merupakan salah satu bentuk usaha di bidang

lembaga keuangan bukan bank yang mempunyai peranan sangat

penting dalam pembiayaan.

Lembaga pembiayaan juga menjadi salah satu alternatif dalam

bentuk penyediaan dana atau barang modal bagi masyarakat untuk

mendapatkan dana atau barang modal yang ingin digunakan pada

keperluan kehidupan sehari-hari. Selain itu, ada beberapa kemudahan

yang bisa didapat dari adanya lembaga pembiayaan salah satunya

pembayaran kredit bisa dicicil sesuai dengan perjanjian. Disisi lain,

lembaga pembiayaan hadir sebagai solusi keuangan bagi perusahaan atau

usaha kecil menengah yang membutuhkan modal usahanya.

C. Aspek-Aspek Leasing (Sewa Guna Usaha)

1. Pengertian Leasing

Definisi dari leasing sebenarnya berasal dari kata lease yang

berarti sewa atau lebih umum sebagai sewa-menyewa. Definisi tersebut

juga masih umum digunakan dipakai dalam bidang sewa- menyewa rumah

atau gedung perkantoran. Padahal, istilah yang biasa pada iklan adalah

“for lease” untuk rumah ataupun gedung perkantoran.


44

Definisi lain dari leasing juga terdapat Surat Keputusan Bersama

Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan

Republik Indonesia No. Kep-122/MK/IV/2/1974, 32/M/SK/2/1974,

30/Kpb/I/1974 tanggal 7 Februari 1974. Definisi dalam Surat Keputusan

Bersama tersebut Leasing ialah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan

dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh

suatu perusahaan untuk suatu jangka waktu tertentu, berdasarkan

pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih bagi

perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang

bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai

sisa yang telah disepakati bersama. Pada definisi dari Surat Keputusan

Bersama ini lebih menekankan pada penggunaan barang modal, jadi bukan

dilihat dari jenis barangnya.

2. Pihak-Pihak dalam Perjanjian Leasing

Untuk melakukan kegiatan suatu perjanjian leasing tentunya

melibatkan pihak-pihak. Adapun pihak-pihak yang berkaitan dalam

perjanjian lease (kontrak) atau disebut sebagai subjek perjanjian lease

yaitu terdiri dari:

a) Lessor

Lessor adalah pihak yang menyewakan barang, dapat terdiri dari

beberapa perusahaan. Disebut juga sebagai Investors, Equity-holders,

Owner-participants atau Trusters – Owner.

b) Lessee
45

Lessee adalah pihak yang menikmati barang tersebut dengan

membayar sewa dan yang mempunyai hak opsi.

c) Kreditur Lender

Kreditur atau Lender atau juga disebut sebagai Debt- Holders atau

Loan Participants dalam transaksi leasing. Mereka ini umumnya

terdiri dari Bank, Insurance Company, Trusts, Yayasan.

d) Supplier

Supplier adalah penjual dan pemilik barang yang disewakan, dapat

terdiri dari perusahaan (manufactures) yang berada di dalam negeri

atau yang mempunyai kantor pusat di luar negeri.

3. Jenis-Jenis Leasing

Jenis-jenis leasing ini bisa dibedakan menjadi dua bagian yang utama.

a. Financial Lease

Financial lease merupakan suatu perjanjian kontrak lease

yang jangka waktunya lebih singkat dari umur ekonomis barang

modal yang disewakan. Pada konsep financial lease ini, seluruh

modal yang disewakan baik bunga, pajak, asuransi, biaya

pemeliharaan dan sebagainya ditanggung oleh pihak lessee. Maka

dari itu biaya sewa yang telah dibayarkan oleh lessee harus

dibayarkan meliputi biaya tersebut, disamping juga harga barang

modal yang disewakan.

b. Operating Lease
46

Sebenarnya operating lease sama dengan sewa menyewa

biasa. Akan tetapi, jangka waktu sewanya lebih pendek dari umur

ekonomis property dan lease biasanya tidak mempunyai hak

membeli atau purchase option, dan saat habisnya kontrak lease

berakhir barang tidak menjadi milik si penyewa atau lessee.

Tujuan utama dari adanya operating lease ini yaitu menjual barang

modal apabila kelak telah habis jangka waktu perjanjian lease,

sehingga untuk ini dapat diberikan syarat- syarat yang lebih ringan.

Selain itu, operating lease mempunyai kelebihan dari financial

lease yaitu harga sewa/cicilan jauh lebih kecil dibandingkan

financial lease.

4. Peran dan Manfaat Leasing

Sejak hadirnya leasing sebagai bentuk dari kegiatan yang

mendukung pada pembangunan perekonomian nasional, tentu ada

keuntungan dan manfaat dari kegiatan leasing dalam mewujudkan

perusahaan atau badan-badan dalam memperoleh modal barang yang

diperlikan untuk kegiatan usahanya masing-masing. Dengan adanya

leasing perusahaan juga bisa mengangsur pembayaran barang-barang

modal yang digunakan sesuai kesepakatan dengan perjanjian kontrak

oleh pihak leasing

Selain itu, leasing juga memiliki keuntungan dimana perusahaan

atau badan-badan usaha dapat memperoleh barang-barang modal yang

dibutuhkan dengan cepat tanpa perlu menunggu waktu lama. Bagi


47

perusahaan yang modalnya kurang, dengan menggunakan leasing akan

memberikan kesempatan memiliki barang modal yang mereka sewa.

Setelah lease selesai, perusahaan atau badan-badan usaha dapat memiliki

barang modal yang bersangkutan.

Anda mungkin juga menyukai