Anda di halaman 1dari 34

BAB II

MASALAH HUKUM DAN TINJAUAN TEORETIK

A. Masalah Hukum

Berdasarkan latar belakang dan kasus posisi yang telah peneliti

susun, peneliti merumuskan permasalahan hukum yang akan diangkat

adalah seagai berikut:

1. Bagaimana status hukum bagi pekerja kontrak berdasarkan

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang perjanjiannya

diperbaharui tanpa jeda waktu dan bagaimana akibat hukumnya

terhadap pekerja yang diPHK sepihak berdasarkan Undang-

Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan?

2. Apakah putusan Mahkamah Agung RI Nomor 696/K.Pdt.Sus-

PHI/2014 telah sesuai dengan Undang-Undang No. 13 Tahun

2003 Tentang Ketenagakerjaan?

B. Tinjauan Teoretik

1. Perjanjian Pada Umumnya

Istilah “Perjanjian” dalam “Hukum Perjanjian” merupakan

kesepadanan dari istilah Overeenkomst dalam Bahasa Belanda,

atau Agreement dalam Bahasa Inggris1

Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH

Perdata) menjelaskan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu

1
Munir Fuady, “Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis)”, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1999, hlm. 2

21
22

perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

terhadap satu orang lain atau lebih”

Buku “Pokok-Pokok Hukum Perikatan” R. Setiawan

menyebut perjanjian dengan istilah persetujuan, namun pada

dasarnya adalah sama saja.Rumusan pada KUH Perdata selain

tidak lengkap juga sangat luas. Tidak lengkap karena hanya

menyebutkan persetujuan sepihak saja. Sangat luas karena

dengan dipergunakannya perkataan “perbuatan” tercakup juga

perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Sehingga

perumusannya menjadi : persetujuan adalah suatu perbuatan

hukum, dimana satu orang atau lebih saling mengikatkan dirinya

terhadap satu orang atau lebih.2

Persetujuan selalu merupakan perbuatan hukum bersegi

dua atau jamak, di mana untuk itu diperlukan kata sepakat para

pihak. Akan tetapi tidak semua perbuatan hukum bersegi banyak

merupakan persetujuan, misalnya pemilihan umum. 3

Adapula yang berpendapat bahwa perjanjian tidak sama

dengan persetujuan.4 Perjanjian merupakan terjemahan dari

oveereenkomst sedangkan persetujuan merupakan terjemahan

dari toestemming yang ditafsirkan sebagai wilsovereenstemming

(persesuaian kehendak/kata sepakat).

2
R. Setiawan, “Pokok Pokok Hukum Perikatan”, Putra A Bardin, 1999, hlm. 49
3
R. Setiawan, Ibid
4
Sudikno Mertokusumo, “Hukum Acara Perdata Indonesia”, Yogyakarta: Liberty, 1985,
hlm. 97
23

Menurut Subekti, suatu perjanjian merupakan suatu

peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain, atau di

mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 5

Sri Soedewi, berpendapat bahwa perjanjian merupakan perbuatan

hukum dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap

seorang lain atau lebih.6

Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu

orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau

lebih (Pasal 1313 BW). Pengertian perjanjian ini mengandung

unsur :7

a. Perbuatan

Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang

Perjanjian ini lebih tepat jika diganti dengan kata

perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena

perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para

pihak yang memperjanjikan;

b. Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih,

Suatu perjanjian paling sedikit harus ada dua pihak yang

saling berhadap-hadapan dan saling memberikan

5
Subekti, “Pokok-Pokok Hukum Perdata”, PT. Intermasa, Jakarta, 2001, hlm. 36

6
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, “Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok-Pokok Hukum
Jaminan dan Jaminan Perorangan”, Liberty, (Yogyakarta, 1980)., hlm. 1.

7
AS Tobing, Pengertian Umum Hukum Perjanjian,
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23887/3/Chapter%20II.pdf, 16.24 WIB, 29
Mei 2016
24

pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. Pihak

tersebut adalah orang atau badan hukum.

c. Mengikatkan dirinya,

Dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh

pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam

perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang

muncul karena kehendaknya sendiri.

Sebelum suatu perjanjian disusun perlu diperhatikan

identifikasi para pihak, penelitian awal tentang masing-masing

pihak sampai dengan konsekuensi yuridis yang dapat terjadi pada

saat perjanjian tersebut dibuat.8

2. Syarat Sahnya Perjanjian

Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian itu sah

harus terpenuhi 4 syarat, yaitu:

a. Adanya kata sepakat;

b. Kecakapan untuk membuat perjanjian;

c. Adanya suatu hal tertentu;

d. Adanya causa yang halal.

Syarat pertama dan kedua adalah syarat yang harus

dipenuhi oleh subyek suatu perjanjian, oleh karena itu disebut

sebagai syarat subyektif Syarat ketiga dan keempat adalah syarat

8
Salim H.S dkk, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU),
Jakarta: Sinar grafika, 2007, hlm. 124.
25

yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian oleh karena itu disebut

syarat obyektif. Adapun penjelasan dari masing-masing adalah

sebagai berikut:

a. Kata sepakat

Kata sepakat berarti persesuaian kehendak,

maksudnya memberikan persetujuan atau kesepakatan.

Jadi sepakat merupakan pertemuan dua kehendak

dimana kehendak pihak yang satu saling mengisi dengan

apa yang dikehendaki pihak lain dan kehendak tersebut

saling bertemu. Menurut Subekti, yang dimaksud dengan

kata sepakat adalah persesuaian kehendak antara dua

pihak yaitu apa yang dikehendaki oleh pihak ke satu juga

dikehendaki oleh pihak lain dan kedua kehendak tersebut

menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.

Dijelaskan lebih lanjut bahwa dengan hanya

disebutkannya "sepakat" saja tanpa tuntutan sesuatu

bentuk cara (formalitas) apapun sepertinya tulisan,

pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, dapat

disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu,

maka sahlah sudah perjanjian itu atau mengikatlah

perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai Undang undang

bagi mereka yang membuatnya.9

9
Subekti, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 4.
26

J. Satrio, menyatakan, kata sepakat sebagai

persesuaian kehendak antara dua orang di mana dua

kehendak saling bertemu dan kehendak tersebut harus

dinyatakan. Pernyataan kehendak harus merupakan

pernyataan bahwa ia menghendaki timbulnya hubungan

hukum. Dengan demikian adanya kehendak saja belum

melahirkan suatu perjanjian karena kehendak tersebut

harus diutarakan, harus nyata bagi yang lain dan harus

dimengerti oleh pihak lain.10

Dalam KUH Perdata tidak dijelaskan mengenai kata

sepakat ini, tetapi di dalam Pasal 1321 ditentukan syarat

bahwa tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu

diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya karena

dengan paksaan atau penipuan. Dari Pasal ini dapat

disimpulkan bahwa terjadinya kata sepakat antara

masing-masing pihak harus diberikan secara bebas atau

tidak boleh ada paksaan, kekhilafan dan penipuan.

Menurut Soebekti,11 yang dimaksud paksaan adalah

paksaan rohani atau paksaan jiwa (psychis) jadi bukan

paksaan badan (fisik). Selanjutnya kekhilafan terjadi

apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang

pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat


10
J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1993, hlm. 129
11
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Intermasa, 1996, hlm. 23-24.
27

yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian.

Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa sehingga

seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal

tersebut ia tidak akan memberikan persetujuan.

Kemudian penipuan terjadi apabila satu pihak dengan

sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu

atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat unuk

membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya.

Dengan demikian suatu perjanjian yang kata sepakatnya

didasarkan paksaan, kekhilafan, penipuan maka

perjanjian itu di kemudian hari dapat dimintakan

pembatalannya oleh salah satu pihak.

b. Cakap untuk membuat perjanjian (bertindak)

Dalam Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa

setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu

perjanjian dengan ketentuan oleh undang-undang tidak

ditentukan lain yaitu ditentukan sebagai orang yang tidak

cakap untuk membuat suatu perjanjian.

Selanjutnya Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan

bahwa orang yang tidak cakap membuat perjanjian:

1) Orang yang belum dewasa

2) Mereka yang berada di bawah pengampuan/

perwalian dan
28

3) Orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapkan

oleh Undang-undang dan semua orang kepada siapa

undang-undang telah melarang membuat perjanjian-

perjanjian tertentu.

c. Adanya suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu dalam perjanjian ialah objek

perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi

pokok perjanjian yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri

bisa berupa perbuatan untuk memberikan suatu,

melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.

Dalam KUH Perdata Pasal 1333 ayat (1)

menyebutkan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai

suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu barang

yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Mengenai

jumlahnya tidak menjadi masalah asalkan di kemudian

hari ditentukan (Pasal 1333 ayat (2))

d. Adanya suatu sebab/kausa yang halal

Sebab atau kausa yang halal di sini bukanlah sebab

yang mendorong orang tersebut melakukan perjanjian.

Sebab atau kausa suatu perjanjian adalah tujuan

bersama yang hendak dicapai oleh para pihak, 12

sedangkan sebagaimana yang telah dikemukakan

12
Sri Soedewi Masjchon, Op.Cit., Yogyakarta: Liberty, 1980, hlm. 319
29

Soebekti, adanya suatu sebab yang dimaksud tiada lain

daripada isi perjanjian.

Pada Pasal 1337 KUH Perdata menentukan bahwa

suatu sebab atau kausa yang halal adalah apabila tidak

dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan

ketertiban umum dan kesusilaan. Perjanjian yang tidak

mempunyai sebab yang tidak halal akan berakibat

perjanjian itu batal demi hukum.

Pembebanan mengenai syarat subyektif dan syarat

obyektif itu penting artinya berkenaan dengan akibat yang

terjadi apabila persyaratan itu tidak terpenuhi. Tidak

terpenuhinya syarat subyektif mengakibatkan perjanjian

tersebut merupakan perjanjian yang dapat dimintakan

pembatalannya. Pihak di sini yang dimaksud adalah pihak yang

tidak cakap menurut hukum dan pihak yang memberikan

perizinannya atau menyetujui perjanjian itu secara tidak bebas.

Misalkan orang yang belum dewasa yang memintakan

pembatalan orang tua atau walinya ataupun ia sendiri apabila ia

sudah menjadi cakap dan orang yang ditaruh di bawah

pengampuan yang menurut hukum tidak dapat berbuat bebas

dengan harta kekayaannya diwakili oleh pengampu atau

kuratornya. Apabila syarat obyektif tidak terpenuhi, maka

perjanjian itu batal demi hukum, artinya dari semula tidak


30

pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu

perikatan, artinya tujuan para pihak yang mengadakan

perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum

adalah gagal, maka tiada dasar untuk saling menuntut di depan

hakim. Perjanjian seperti itu disebut null and void, sedangkan

tidak terpenuhinya syarat obyektif mengakibatkan suat

perjanjian batal demi hukum.

3. Asas-Asas Dalam Perjanjian

Sajipto Raharjo mengatakan bahwa, asas hukum adalah

unsur yang  penting dan pokok dari peraturan hukum. Asas hukum

adalah jantungnya peraturan hukum karena ia merupakan landasan

yang paling luas bagi lahirnya peraturan hukum atau ia adalah

sebagai ratio legisnya peraturan hukum.13

Dengan demikian, asas hukum merupakan pikiran dasar

yang bersifat umum dan terdapat dalam hukum positif atau

keseluruhan peraturan perundang-undangan atau putusan-putusan

hakim yang merupakan ciri-ciri umum dari peraturan konkrit

tersebut.

Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, dinyatakan semua

perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang

bagi mereka yang membuatnya. Jadi, dalam Pasal ini terkandung 3

macam asas utama dalam perjanjian, yaitu: asas kebebasan

berkontrak, asas konsensualisme, dan asas pacta sunt-servanda.


13
Raharjo Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000, hlm.
31

Selain asas-asas itu, masih terdapat asas itikad baik dan asas

kepribadian.

a. Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas

yang sangat penting dalam hukum kontrak. Kebebasan

berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum biasanya

didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa

semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Demikian pula

ada yang mendasarkan pada Pasal 1320 KUH Perdata yang

menerangkan tentang syarat-syarat sahnya perjanjian.

Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan

kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal

yang berkaitan dengan perjanjian, sebagaimana yang

dikemukakan Ahmadi Miru, di antaranya:14

1) bebas menentukan apakah ia akan melakukan

perjanjian atau tidak;

2) bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan

perjanjian;

3) bebas menentukan isi atau klausul perjanjian;

4) bebas menentukan bentuk perjanjian; dan

14
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2007, hlm. 4.
32

5) kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar

yang menjamin kebebasan orang dalam melakukan kontrak. Hal

ini tidak terlepas juga dari sifat Buku III KUH Perdata yang

hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak

dapat menyimpanginya (mengesampingkannya), kecuali

terhadap Pasal-Pasal tertentu yang sifatnya memaksa. 15

b. Asas Konsensualisme

Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal

1338 KUH Perdata. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata ditemukan

istilah "semua". Kata “semua” menunjukkan bahwa setiap orang

diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang

dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat

erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan

perjanjian.16

Perjanjian yang telah terbentuk dengan tercapainya kata

sepakat (consensus) di antara para pihak. Perjanjian ini tidak

memerlukan formalitas lain lagi sehingga dikatakan juga

perjanjian ini sebagai perjanjian bebas bentuk. Jika perjanjian ini

dituangkan dalam bentuk tertulis, maka tulisan itu hanya

15
Ahmadi Miru, Ibid., hlm. 4
16
Mariam Darus Badrulzaman, Perdata Buku III, Hukum Perikatan Dengan Penjelasan,
Bandung: Alumni, 1996, hlm. 113
33

merupakan alat bukti saja dan bukan syarat untuk terjadinya

perjanjian. Perjanjian tersebut dinamakan perjanjian konsensuil.

Ada kalanya menetapkan perjanjian itu harus diadakan

secara tertulis atau dengan akta Notaris, akan tetapi hal ini ada

pengecualiannya yaitu undang-undang menetapkan formalitas-

formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian karena

adanya ancaman batal apabila perjanjian tersebut tidak

memenuhi syarat-syarat yang dimaksud Pasal 1320 KUH

Perdata, seperti perjanjian hibah harus dengan akta notaris,

perjanjian perdamaian harus secara tertulis. Perjanjian yang

ditetapkan dengan suatu formalitas tertentu tersebut dengan

perjanjian formil.

c. Asas Pacta Sunt Servanda

Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian dan

tersimpul dalam kalimat "berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya" pada akhir Pasal 1338 ayat (1) KUH

Perdata. Jadi, perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak

mengikat para pembuatnya sebagai undang-undang. Dan

kalimat ini pula tersimpul larangan bagi semua pihak termasuk

di dalamnya "hakim" untuk mencampuri isi perjanjian yang telah

dibuat secara sah oleh para pihak tersebut. Oleh karenanya

asas ini disebut juga asas kepastian hukum.

Asas ini dapat dipertahankan sepenuhnya dalam hal:


34

1) Kedudukan para pihak dalam perjanjian itu seimbang;

2) Para pihak cakap untuk melakukan perbuatan hukum.

d. Asas itikad baik

Asas itikad baik terkandung dalam Pasal 1338 KUH

Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian harus

dilaksanakan dengan itikad baik. Asas ini berkenaan dengan

pelaksanaan perjanjian dan berlaku bagi debitur maupun bagi

kreditur.

Menurut Subekti, pengertian itikad baik dapat ditemui

dalam hukum benda (pengertian subyektif) maupun dalam

hukum perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3)

(pengertian obyektif).17

e. Asas kepribadian

Asas kepribadian ini sebenarnya menerangkan pihak-

pihak mana yang terikat pada perjanjian. Asas ini terkandung

pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata.

Pada Pasal 1315 disebutkan bahwa pada umumnya tak

seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau

meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya.

Selanjutnya Pasal 1340 menyatakan bahwa perjanjian-

perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya,

perjanjian itu tidak dapat membawa rugi atau manfaat kepada

pihak ketiga, selain dalam hal yang diatur klaim Pasal 1317.
17
Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2001, hlm. 42.
35

Oleh karena perjanjian itu hanya mengikat para pihak yang

membuatnya dan tidak dapat mengikat pihak lain. Maka asas ini

dinamakan asas kepribadian.

4. Perjanjian Kerja

Subekti mengemukakan bahwa perjanjian kerja adalah

perjanjian antara seorang “buruh” dengan seorang “majikan”,

perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri: adanya suatu upah atau gaji

tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan diperatas

yang dalam bahasa Belandanya disebut dienstverhoeding, yaitu

suatu yang berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak

memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak lain. 18

Iman Soepomo berpendapat bahwa perjanjian kerja adalah

suatu perjanjian dimana pihak satu (buruh), mengikatkan diri untuk

bekerja dengan menerima upah dari pihak kedua yakni majikan,

dan majikan mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh dengan

membayar upah.19

KUH Perdata Pasal 1601 a memberikan pengertian

perjanjian kerja sebagai berikut : “Perjanjian kerja adalah suatu

perjanjian di mana pihak kesatu (si buruh), mengikatkan dirinya

untuk di bawah perintah pihak lain, si majikan untuk suatu waktu

tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah.”

18
Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: Alumni, 1977, hlm. 63
19
Iman Soepomo, dalam Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Edisi Revisi,
Depok: Raja Grafindo Persada, 2014, hlm. 62
36

Dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka 14 memberi pengertian yakni :

“Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja/buruh dan

pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja

hak dan kewajiban kedua belah pihak.”

Menyimak pengertian perjanjian kerja menurut KUH Perdata

seperti tersebut di atas tampak bahwa ciri khas perjanjian kerja

adalah “di bawah perintah pihak lain,” di bawah perintah ini

menunjukkan bahwa hubungan antara pekerja dan pengusaha

adalah hubungan bawahan dan atasan (subordinasi). Pengusaha

sebagai pihak yang lebih tinggi secara sosial-ekonomi memberikan

perintah kepada pihak pekerja/buruh yang secara sosial-ekonomi

mempunyai kedudukan yang lebih rendah untuk melakukan

pekerjaan tertentu. Adanya wewenang perintah inilah yang

membedakan antara perjanjian kerja dengan perjanjian lainnya. 20

Pengertian perjanjian kerja menurut Undang-Undang No. 13

Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sifatnya lebih umum.

Dikatakan lebih umum karena menunjuk pada hubungan antara

pekerja dan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan

kewajiban para pihak. Syarat kerja berkaitan dengan pengakuan

terhadap serikat pekerja, sedangkan hak dan kewajiban para pihak

20
Lalu Husni, Ibid., hlm. 62
37

seperti, waktu kerja, jaminan sosial, keselamatan kerja dan

kesehatan kerja, upah dan yang lainnya.21

5. Unsur-Unsur Perjanjian Kerja

Perjanjian kerja memuat kesepakatan antara pekerja dan

perusahaan, yang dalam hal ini sering diwakili oleh manajemen

atau direksi perusahaan. F.X. Djumialdy menyebutkan tiga unsur

perjanjian kerja, yaitu sebagai berikut: 22

a. Orang yang diperintah orang lain,

b. Penunaian kerja

c. Upah.

Seorang pakar Hukum Perburuhan dan Hukum Sosial

Belanda Rood mengatakan bahwa pejanjian kerja mengandung

empat unsur, yaitu:23

a. Adanya unsur work atau pekerjaan

Dalam suatu hubungan kerja harus ada pekerjaan yang

diperjanjikan (objek perjanjian), pekerjaan tersebut

haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja, hanya dengan

seizin majikan dapat menyuruh orang lain, sebab apabila

para pihak itu bebas untuk melakukan pekerjaannya,

untuk dilakukan sendiri atau menyuruh pada orang lain

21
Lalu Husni, Ibid., hlm. 63
22
R Joni Bambang, Op.Cit., hlm 110.
23
Rood, M.S., Hukum Perburuhan (Bahan Penataran), Bandung: Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran, 1989, hlm 28.
38

untuk melakukannya, akibatnya hal tersebut akan sulit

dikatakan sebagai pelaksanaan dari perjanjian kerja. 24

Hal ini dijelaskan dalam KUH Perdata Pasal 1603 a yang

berbunyi:

“Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya; hanya

dengan seizin majikan ia dapat menyuruh orang ketiga

menggantikannya.”

b. Adanya unsur Service atau pelayanan

Bahwa yang melakukan pekerjaan sebagai manifestasi

adanya perjanjian kerja tersebut, adalah bahwa pekerja

harus tunduk pada/di bawah perintah orang lain, yaitu

pihak pemberi kerja/majikan/pengusaha.25

Dengan adanya ketentuan tersebut maka seorang dokter

misalnya, dalam melaksanakan tugasnya, yaitu

memeriksa atau mendiagnosa pasiennya atau seorang

notaris yang melayani kliennya, mereka itu dalam

melakukan pekerjaannya, tidak dapat disamakan dengan

pengertian melaksanakan perjanjian kerja. Alasannya

karena unsur service dalam melakukan pekerjaan

tersebut tidak terdapat di dalamnya. Sebab mereka itu

dalam melakukan pekerjaannya, tidak tunduk dan di

bawah perintah orang lain. Karena mereka mempunyai


24
Koko Kosidin, Perjanjian Kerja Perjanjian Perburuhan dan Peraturan Perusahaan,
Bandung: Mandar Maju, 1999, hlm. 11
25
Koko Kosidin, Ibid., hlm. 12
39

keahlian tertentu yang tidak dipunyai dan dikuasai si

pemberi kerja, yaitu si pasien atau klien.26

c. Adanya unsur Time atau waktu tertentu

Unsur time atau waktu tertentu di sini bahwa dalam

melakukan hubungan kerja tersebut haruslah

disesuaikan dengan waktu yang telah ditentukan dalam

perjanjian kerja atau dalam peraturan perundang-

undangan.27

d. Adanya unsur Pay atau upah

Unsur pay atau upah ini merupakan unsur yang paling

penting dan menentukan dalam setiap perjanjian kerja.

Apabila seseorang bekerja bertujuan bukan mencari

upah/pay maka sulit dikatakan sebagai pelaksanaan dari

perjanjian kerja. Jika seseorang bekerja bertujuan untuk

mendapatkan manfaat bagi diri si pekerja dan bukan

bertujuan untuk mencari upah, maka unsur keempat ini

tidak terpenuhi.28

Dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang No. 13 Tahun

2003 Tentang Ketenagakerjaan disebutkan hubungan kerja adalah

hubungan antara pengusaha dengan buruh/pekerja berdasarkan

perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, perintah dan

upah. Berdasarkan pengertian tersebut jelaslah bahwa berbicara


26
FX. Djumialdji, Perjanjian Kerja, Jakarta: Rajawali Pers Cet. III, 1995, hlm. 60
27
Koko Kosidin, Op.Cit., hlm. 13
28
Koko Kosidin, Ibid.
40

mengenai hubungan kerja tidak dapat dipisahkan dari perjanjian

kerja karena syarat adanya hubungan kerja harus ada perjanjian

kerja. Karena itu dapat ditarik beberapa unsur dari hubungan kerja

yakni;29

a. Adanya Unsur work atau pekerjaan

Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang

diperjanjikan (obyek perjanjian), pekerjaan tersebut haruslah

dilakukan sendiri oleh pekerja, hanya dengan seizin pemberi

kerja dapat menyuruh orang lain. Hal ini dijelaskan dalam

Pasal 1603 a KUH Perdata yang berbunyi :

“Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya; hanya


dengan seizin majikan ia dapat menyruh orang ketiga
menggantikannya”.

Sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat

pribadi karena bersangkutan dengan

keterampilan/keahliannya, maka menurut hukum apabila

pekerja meninggal dunia maka perjanjian kerja tersebut batal

demi hukum.

b. Adanya Unsur Perintah

Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada

pekerja/buruh oleh pengusaha/perusahaan adalah

pekerja/buruh yang bersangkutan harus tunduk pada

perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan yang sesuai

dengan yang diperjanjikan. Di sinilah perbedaan hubungan


29
Lalu Husni, Loc.Cit., hlm. 63-64
41

kerja dengan hubungan lainnya, misalnya hubungan dokter

dengan pasien, pengacara dengan klien. Hubungan tersebut

bukan merupakan hubungan kerja karena dokter, pengacara

tidak tunduk pada perintah pasien atau klien.

c. Adanya Upah

Upah memegang peranan penting dalam hubungan kerja

(perjanjian kerja), bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan

utama seorang pekerja/buruh bekerja pada

pengusaha/perusahaan adalah untuk memperoleh upah,

sehingga jika tidak ada unsur upah maka suatu hubungan

tersebut bukan merupakan hubungan kerja. Seperti seorang

narapidana yang diharuskan untuk melakukan pekerjaan

tertentu, seorang mahasiswa perhotelan yang sedang

melakukan praktik lapangan di hotel.

Apabila dalam KUH Perdata Pasal 1320 diatur bahwa suatu

perjanjian dinyatakan sah apabila memenuhi 4 (empat) syarat,

dalam hukum ketenagakerjaan secara khusus diatur dalam Pasal

52 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan bahwa syarat sahnya suatu perjanjian kerja harus

memenuhi 4 persyaratan sebagai berikut: 30

a. Kesepakatan kedua belah pihak

b. Kemampuan atau keckapan dalam melakukan perbuatan

hukum
30
R Joni Bambang, Loc. Cit., hlm 111
42

c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan

d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan

ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa pada KUH

Perdata, suatu perjanjian kerja pun apabila tidak memenuhi syarat

pada huruf a dan b di atas, maka dapat dibatalkan, sedangkan

yang tidak memenuhi syarat pada huruf c dan d maka batal demi

hukum.31

Kesepakatan kedua belah pihak yang lazim disebut

kesepakatan bagi yang mengikatkan dirinya maksudnya bahwa

pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kerja harus

setuju/sepakat, seiya-sekata mengenai hal-hal yang diperjanjikan.

Apa yang dikehendaki pihak yang satu dikehendaki pihak yang lain.

Pihak pekerja menerima pekerjaan yang ditawarkan, dan pihak

pengusaha menerima pekerja tersebut untuk dipekerjakan. 32

Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak yang

membuat perjanjian maksudnya pihak pekerja maupun pengusaha

cakap membuat perjanjian. Seseorang dianggap cakap membuat

perjanjian jika yang bersangkutan telah cukup umur. Ketentuan

hukum ketenagakerjaan memberikan batasan umur minimal 18

31
R Joni Bambang, Ibid.
32
Lalu Husni, Op.Cit., hlm. 65
43

tahun.33 Selain itu seseorang dikatakan cakap membuat perjanjian

jika orang tersebut tidak terganggu jiwanya/waras.

Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dalam istilah Pasal

1320 KUH Perdata adalah hal tertentu. Pekerjaan yang

diperjanjikan merupakan obyek dari perjanjian kerja antara pekerja

dengan pengusaha, yang akibat hukumnya melahirkan hak dan

kewajiban para pihak.

Obyek perjanjian (pekerjaan) harus halal yakni tidak boleh

bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan

kesusilaan. Jenis pekerjaan yang diperjanjikan merupakan salah

satu unsur perjanjian kerja yang harus disebutkan secara jelas.

Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif artinya harus

dipenuhi semuanya baru dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut

sah. Syarat kesepakatan dan kecakapan kedua belah pihak dalam

membuat perjanjian dalam hukum perdata disebut sebagai syarat

subyektif karena menyangkut mengenai orang yang membuat

perjanjian , sedangkan syarat mengenai adanya pekerjaan yang

diperjanjikan dan pekerjaan yang diperjanjikan harus halal disebut

syarat obyektif karena menyangkut obyek perjanjian. 34 Kalau syarat

obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum,

artinya dari semula perjanjian tersebut tidak pernah ada. Jika yang

tidak terpenuhi syarat subyektif, maka akibat hukum dari perjanjian

33
Pasal 1 angka 26 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
34
Lalu Husni, Loc. Cit, hlm. 66.
44

tersebut dapat dibatalkan, pihak-pihak yang tidak memberikan

persetujuan secara tidak bebas, demikian juga oleh orang tua/wali

atau pengampu bagi orang yang tidak cakap membuat perjanjian

dapat meminta pembatalan perjanjian itu kepada hakim. Dengan

demikian perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum selama

belum dibatalkan oleh hakim.

6. Bentuk dan Jangka Waktu Perjanjian Kerja

Abdul Hakim dalam bukunya menjelaskan, perjanjian kerja

dibagi menjadi dua macam (Pasal 51 ayat (1) UU No. 13 Tahun

2003 Tentang Ketenagakerjaan), yaitu : 35

a. Perjanjian kerja secara tertulis

Yaitu perjanjian kerja yang harus dibuat sesuai dengan

peraturan perundang-undangan. Contoh : PKWT, perjanjian

kerja antar kerja antar daerah (AKAD), perjanjian kerja antar

kerja antar negara (AKAN), dan perjanjian kerja laut. Dalam

membuat perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-

kurangnya isi dari perjanjian tersebut harus memuat keterangan

:36

1) Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;

2) Nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerja/buruh;

3) Jabatan atau jenis pekerjaan;

4) Tempat pekerjaan
35
Abdul Khakim, Dasar-dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bandung: PT.Citra
Aditya Bakti, 2009., hlm. 60.
36
Pasal 54 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
45

5) Besarnya upah dan cara pembayaran;

6) Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban

pengusaha dan pekerja/buruh;

7) Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;

8) Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat;

9) Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja. 37

b. Perjanjian kerja secara lisan (tidak tertulis)

Perjanjian kerja secara lisan yaitu perjanjian kerja yang

dibuat sesuai kondisi masyarakat secara tidak tertulis. Dari

aspek yuridis perjanjian kerja secara lisan (tidak tertulis) diakui

eksistensinya. Namun, kepentingan litigasi memiliki kelemahan

untuk pembuktian jika timbul perselisihan dikemudian hari.

Secara normatif bentuk tertulis menjamin kepastian hak dan

kewajiban para pihak, sehingga jika terjadi perselisihan akan

sangat membantu proses pembuktian.

Namun tidak dapat dipungkiri masih banyak perusahaan-

perusahaan yang tidak atau belum membuat perjanjian kerja

secara tertulis disebabkan oleh ketidakmampuan sumber daya

manusia maupun karena kelaziman, sehingga atas dasar

kepercayaan membuat perjanjian kerja secara lisan.

Perjanjian kerja yang dikaitkan dengan jangka waktunya

dibagi menjadi 2 jenis perjanjian kerja. Kedua jenis perjanjian

kerja yang diperbolehkan undang-undang tersebut adalah


37
Lalu Husni, Op.Cit, hlm. 67.
46

Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian

Kerja Untuk Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).38

Pengertian PKWT dan PKWTT tersebut diatur dalam

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.

100/MEN/IV/2004 tentang Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu

Tertentu disebutkan sebagai berikut: 39

“Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang selanjutnya

disebut PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh

dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam

waktu tertentu atau unuk pekerja tertentu. Perjanjian Kerja

Waktu Tidak Tertentu yang selanjutnya disebut PKWTT adalah

perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk

mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap.”

7. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja

Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)

Perjanjian kerja untuk waktu tertentu atau biasa disebut

dengan istilah PKWT dapat dibuat :

a. Berdasarkan jangka waktu :

Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka

waktu tertentu dapat diadakan untuk waktu paling lama 2 (dua)

38
R Joni Bambang, Loc.Cit., hlm. 112
39
R Joni Bambang, Ibid.
47

tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka

waktu paling lama 1 (satu) tahun. Untuk memperpanjang

perjanjian kerja waktu tertentu pengusaha paling lama 7 (tujuh)

hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu yang berlaku

berakhir, telah memberitahukan secara tertulis kepada pekerja

yang bersangkutan. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang

diperpanjang telah berakhir dapat diadakan pembaruan.

Pembaruan perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat

diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh)

hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama

sekali, paling lama 2 (dua) tahun.40

b. Berdasarkan selesainya suatu pekerjaan tertentu :

PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara

sifatnya yang penyelesaiannya paling lama 3 (tiga) tahun.

1) Dalam hal pekerjaan tertentu yang dikerjakan dalam

PKWT dapat diselesaikan lebih cepat dari waktu yang

diperjanjikan, maka PKWT tersebut putus demi hukum

pada saat selesainya pekerjaan.

2) Dalam PKWT harus dicantumkan batasan suatu

pekerjaan dinyatakan selesai.

3) Dalam hal PKWT karena kondisi tertentu pekerjaan

belum dapat diselesaikan, dapat dilakukan pembaruan.

40
F.X. Djumialdji, Perjanjian Kerja (edisi revisi), Jakarta, Sinar Grafika, 2005., hlm. 23.
48

4) Pembaruan dilakukan setelah melebihi masa tenggang

waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berakhir perjanjian

kerja.

5) Selama tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari tidak ada

hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha. 41

PKWT memiliki dasar batasan bahwa jangka waktu

perjanjian kerja sudah ditetapkan dari awal, dibatasi oleh suatu

dasar khusus. Di dalam UUK disebutkan bahwa PKWT

didasarkan atas jangka waktu tertentu. Dengan demikian,

terdapat perjanjian kerja yang dibatasioleh waktu tertentu

sebagaimana terdapat dalam istilah kerja kontrak, dan terdapat

perjanjian kerja tanpa batas waktu sebagaimana diistilahkan

dengan pekerja tetap.42

Untuk perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu yang

tidak tertentu biasanya disebut dengan perjanjian kerja tetap

dan status pekerjaannya adalah pekerja tetap.

Sementara perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu

terjadi karena hal-hal sebagai berikut :

a. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dibuat dalam

bahasa Indonesia dan huruf Latin,

41
Ibid, hlm. 23-24.
42
R Joni Bambang, Op.Cit., hlm. 112.
49

b. Perjanjian kerja waktu tertentu yang tidak dibuat untuk

pekerjaan yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan

pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :

1) Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara

sifatnya;

2) Pekerjaan yang diperkirakan dapat diselesaikan dalam

waktu yang tidak terlalu lama, paling lama 3 (tiga) tahun;

3) Pekerjaan yang bersifat musiman;

4) Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru,

kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam

percobaan atau penjajakan.

c. Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu diadakan untuk

pekerjaan yang bersifat tetap.

d. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang didasarkan atas

jangka waktu tertentu diadakan untuk lebih dari 2 (dua)

tahun dan diperpanjang lebih dari satu kali untuk jangka

waktu lebih dari 1 (satu) tahun.

e. Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian

kerja waktu tertentu, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum

perjanjian kerja untuk waktu tertentu tersebut berahir tidak

memberikan maksudnya secara tertulis kepada pekerja yang

bersangkutan.
50

f. Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu diadakan tidak

melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari

berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama.

Pembaruan perjanjian kerja untuk waktu tertentu ini

diadakan lebih dari 1 (satu) kali dan lebih dari 2 (dua) tahun

Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu harus

dibuat secara tertulis.43 Ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih

menjamin atau menjaga hal-hal yang tidak diinginkan sehubungan

dengan berakhirnya kontrak kerja. Perjanjian kerja untuk waktu

tertentu tidak boleh mensyaratkan adanya masa percobaan. 44

Masa percobaan adalah masa atau waktu untuk menilai

kinerja dan kesungguhan, keahlian seorang pekerja. Lama masa

percobaan adalah 3 (tiga) bulan, dalam masa percobaan

pengusaha dapat mengakhiri hubungan kerja secara sepihak

(tanpa seizin dari pejabat yang berwenang). Ketentuan yang tidak

memperbolehkan adanya masa percobaan dalam perjanjian kerja

untuk waktu tertentu karena perjanjian kerja berlangsung relatif

singkat. Dalam masa percobaan ini pengusaha dilarang membayar

upah di bawah upah minimum yang berlaku.

Berbeda dengan perjanjian kerja kontrak, pengertian

mengenai perjanjian kerja tetap tidak ditemui dalam ketentuan

ketenagakerjaan kita, yang ada hanya istilah pekerja tetap atau

43
Pasal 57 ayat (1) Undang Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
44
Lalu husni, Loc.Cit, 2003, hlm. 60.
51

pekerjaan yang bersifat tetap. Pekerjaan bersifat tetap adalah

pekerjaan yang sifatnya terus menerus, tidak terputus-putus, tidak

dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi

dalam suatu perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman. 45

Secara yuridis perjanjian kerja tetap terjadi karena dua hal :

a. Kesepakatan para pihak, yaitu antara pekerja/buruh dan

pengusaha.

b. Tidak terpenuhinya dan atau akibat adanya pelanggaran

terhadap ketentuan ketenagakerjaan. 46

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1603 q ayat (1) KUH

Perdata disebutkan bahwa :

“waktu lamanya hubungan kerja tidak ditentukan baik dalam

perjanjian atau peraturan majikan maupun dalam peraturan

perundang-undangan atau pula menurut kebiasaan, maka

hubungan kerja itu dipandang diadakan untuk waktu tidak tertentu.”

Sementara dalam hal tercapainya perjanjian kerja waktu

tidak tertentu (PKWTT) tersebut, dapat melalui beberapa cara

antara lain :

a. Kesepakatan para pihak untuk mengadakan perjanjian

kerja untuk waktu yang tidak ditentukan dan berlangsung

secara terus-menerus.

45
Pasal 59 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
46
Abdul Khakim, Op. Cit, hlm. 64.
52

b. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu yang dibuat

secara lisan, konsekuensinya pengusaha/perusahaan

wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh

yang dipekerjakannya sesuai dengan ketentuan yang

terdapat dalam Pasal 63 UU No. 12 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan.

c. Berubahnya status PKWT menjadi PKWTT, hal ini

disebabkan oleh ketidakcermatan dalam menyusun suatu

perjanjian kerja, disinilah peran pentingnya seorang

perancang kontrak (contract drafter) dalam menyusun

suatu perjanjian kerja. Apabila tidak cermat dapat

merugikan perusahaan, baik secara yuridis maupun

ekonomis.47

Ketentuan mengenai perubahan PKWT menjadi PKWTT

telah diatur dalam Pasal 57 ayat (2) dan Pasal 59 ayat (7) UU No.

13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan KEPMEN 100 Tahun

2004, antara lain :

a. PKWT yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 59 ayat

(1), (2), (4), (5), dan (6) UU No. 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan.

b. PKWT yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan

Pasal 57 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan.
47
Abdul Hakim, Ibid, hlm. 72.
53

c. PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia atau

huruf latin.

d. PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan Pasal 4 ayat (2),

dan Pasal 5 ayat (2) KEPMEN 100 Tahun 2004.

e. Dalam hal PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang

berhubungan dengan produk baru menyimpang dari

ketentuan Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) KEPMEN 100

Tahun 2004.

f. Dalam hal pembaruan PKWT tidak melalui masa

tenggang waktu tiga puluh hari setelah berakhirnya

perpanjangan PKWT dan tidak diperjanjikan lain

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 KEPMEN 100

Tahun 2004.

Sebagai konsekuensi hukum atas perubahan yang terjadi

tersebut, maka apabila pengusaha mengakhiri hubungan kerja,

hak-hak pekerja/buruh dan prosedur penyelesaian dilakukan sesuai

ketentuan peraturan perundang-undangan bagi PKWTT. 48

Dalam proses pembuatan perjanjian kerja, terdapat istilah

yang sering kita jumpai, yakni masa percobaan. 49Pada umumnya

setiap perusahaan tertentu mengadakan masa percobaan bagi

para calon pekerja (magang) sebelum di terima di perusahaan

tersebut, hal ini dilakukan untuk memperhatikan calon pekerja

48
Abdul Hakim, Ibid, hlm. 73.
49
F.X. Djumialdji, Op. Cit, hlm. 15.
54

(magang) tersebut apakah mampu untuk melaksanakan pekerjaan

yang akan diserahkan kepadanya.

Mengenai masa percobaan kerja diatur dalam Pasal 60 Jo.

Pasal 154 huruf a UU No. 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan menjelaskan sebagai berikut :

a. PKWTT dapat mensyaratkan masa percobaan kerja.

b. Masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan.

c. Dibuat secara tertulis.

d. Upah yang dibayarkan tidak boleh dibawah upah

minimum yang berlaku.

Sebaliknya, bagi PKWT dilarang adanya masa percobaan,

sebab jangka waktu PKWT sangatlah pendek dan apabila pekerja

tidak layak menjalankan pekerjaan, pengusaha hanya menunggu

masa berakhirnya perjanjian kerja dalam waktu yang tidak lama.

Anda mungkin juga menyukai