Anda di halaman 1dari 8

DIKTAT

HUKUM PERJANJIAN

Oleh:

Dr. Anne Gunawati, S.H., M.Hum.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
SERANG
2020
HUKUM PERJANJIAN

A. PENGERTIAN PERJANJIAN
Menurut Pasal 1313 BW:
“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih”.

B. ASAS-ASAS HUKUM PERJANJIAN


1. Asas Konsensualisme
Pasal 1320 ayat (1) BW menyatakan
Konsensualisme berasal dari perkataan “konsensus” yang berarti kesepakatan. Dengan
kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai
suatu persesuaian kehendak, apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu dikehendaki
pula oleh pihak yang lain.
Tercapainya sepakat dinyatakan oleh kedua belah pihak dengan mengucapkan “setuju” /
“sepakat”/ “accoord”/ “oke”, dan lain-lain, ataupun dengan bersama-sama menaruh
tanda tangan di bawah pernyataan-pernyatan tertulis sebagai bukti bahwa kedua belah
pihak telah menyetujui / sepakat segala apa yang tertera di atas tulisan tersebut.
Kesepakatan yang dilahirkan oleh para pihak dengan tidak ada paksaan (dwang),
kekeliruan (dwaling), dan penipuan (bedrog). Persetujuan dapat dinyatakan secara tegas
maupun secara diam-diam.

2. Asas Kebebasan Berkontrak (Freedom of contract / Liberty of contract / Partij


otonomie)
Pasal 1338 ayat (1) BW menyatakan “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) BW tersebut pada
dasarnya:
a. Memberikan kebebasan untuk membuat perjanjian, baik perjanjian bernama atau
perjanjian tidak bernama atau tidak membuat suatu perjanjian;
b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun;
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
d. Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

Kebebasan apa yang diperjanjikan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan


perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan.
Asas Kebebasan Berkontrak adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak
asasi manusia. Asas Kebebasan Berkontrak berlatar belakang pada paham
individualisme yang secara embrional lahir pada zaman Yunani, diteruskan oleh kaum
Epicuristen dan berkembang pesat pada zaman Renaissance melalui ajaran Hugo de
Groot, Thomas Hobbes, John Locke, JJ Rousseau. Puncak perkembangannya pada
zaman revolusi Perancis.

3. Asas Kekuatan Mengikat


Pasal 1338 ayat (1) dan ayat (2) BW menyatakan
(1) “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”.

(2) “Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua
belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan
cukup untuk itu”.

Terikatnya para pihak pada perjanjian tidak semata-mata terbatas pada apa yang
diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh
kebiasaan, kepatutan serta moral.

4. Asas Iktikad Baik (Goeder Trouw)


Pasal 1338 ayat (3) BW menyatakan “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan
dengan iktikad baik”

5. Asas Kepastian Hukum / pacta sunt servanda.


Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang-
undang bagi para pihak.

6. Asas Persamaan Hukum


Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan.
Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua
pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.

7. Asas Kepribadian

8. Asas Kepercayaan (Vertrouwenseginsel)


Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan
diantara kedua pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata
lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu, maka
perjanjian tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak.

9. Asas Keseimbangan
Asas ini menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu.
Asas ini merupakan kelanjutan dari Asas Persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan
untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui
kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian
itu dengan iktikad baik. Dapat dilihat di sini bahwa kedudukan kreditur yang kuat
diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan iktikad baik sehingga
kedudukan kreditur dan debitur seimbang.

10. Asas Moral


Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang
tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontra prestasi dari pihak debitur.
Juga di dalam zaakwaarneming, dimana seseorang yang melakukan suatu perbuatan
dengan sukarela (moral) yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk
meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya juga asas ini terdapat dalam Pasal 1339
BW.
Faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan
hukum itu berdasarkan pada kesusilaan moral sebagai panggilan dari hati nuraninya.
11. Asas Kepatutan dan Kebiasaan
Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 BW, berkaitan dengan isi perjanjian. Melalui
asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.

C. UNSUR-UNSUR PERJANJIAN
1. Unsur Essensialia
Adalah unsur perjanjian yang selalu harus ada didalam suatu perjanjian, unsur mutlak,
dimana tanpa adanya unsur tersebut perjanjian tidak mungkin ada.

2. Unsur Naturalia
Adalah unsur perjanjian yang oleh undang-undang diatur, tetapi oleh para pihak dapat
disingkirkan atau diganti.

3. Unsur Accidentalia
Adalah unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak, undang-undang sendiri
tidak mengatur tentang hal tersebut.

D. KEABSAHAN / SYARAT SAHNYA PERJANJIAN


Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian diatur di dalam Pasal 1320 BW, yaitu:

1. Syarat Subyektif, karena menyangkut tentang orang atau subyek perjanjian.


a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Mengandung arti bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau
persesuaian kemauan atau kehendak atau saling menyetujui kehendak masing-masing,
yang dilahirkan oleh para pihak dengan tidak ada paksaan (dwang), kekeliruan
(dwaling), dan penipuan (bedrog). Persetujuan dapat dinyatakan secara tegas maupun
secara diam-diam.

b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian


Cakap (bekwaam) merupakan syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum
secara sah yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu
peraturan perundang-undangan untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu.

2. Syarat Obyektif, karena menyangkut tentang obyek atau benda perjanjian.


a. Suatu hal tertentu
1) Obyeknya harus tertentu / dapat ditentukan.
Pasal 1320 angka 3 BW:
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat salah satunya adalah
“Suatu hal tertentu”.

Pasal 1333 ayat (1) dan ayat (2) BW:


(1) Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling
sedikit ditentukan jenisnya.
(2) Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah
itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung.
Menurut Pasal 1333 BW, barang yang menjadi obyek suatu perjanjian ini harus
tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu
ditentukan, asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan.

Menurut Pasal 1334 ayat (1) BW:


Barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi pokok suatu
perjanjian”.

Menurut Pasal 1332 BW:


“Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu
perjanjian”.

b. Sebab / kausa yang halal


Pasal 1335 BW:
Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu
atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.

Pasal 1337 BW:


Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila
berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.

E. AKIBAT HUKUM PERJANJIAN


1. Dapat Dibatalkan
Apabila syarat-syarat subyektif tidak dipenuhi, perjanjiannya dapat dibatalkan oleh
hakim atas permintaan pihak yang tidak cakap atau yang memberikan kesepakatan
secara tidak bebas. Hak untuk memint pembatalan perjanjian ini dibatasi dalam waktu 5
(lima) tahun. Selama tidak dibatalkan maka perjanjian tersebut tetap mengikat.

2. Batal Demi Hukum


Apabila syarat-syarat obyektif tidak dipenuhi, perjanjiannya batal demi hukum. Artinya
dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada perikatan.
Sehingga tidak ada dasar untuk saling menuntut di muka hakim (pengadilan).

F. BENTUK-BENTUK PERJANJIAN
1. Tertulis
2. Tidak Tertulis

Pada asasnya, BW tidak mensyaratkan suatu bentuk perjanjian, tetapi ada perjanjian-
perjanjian tertentu mensyaratkan agar perjanjian tersebut dituangkan ke dalam bentuk
tertentu.
Contoh:
- Dading / Perdamaian harus diwujudkan dalam suatu perjanjian tertentu {Pasal 1851 ayat
(2) BW};
- Wessel {Pasal 100 WvK};
- Perjanjian jual beli tanah harus dengan akta otentik yaitu akta PPAT {PP Nomor 10 Tahun
1961};
- Perjanjian kawin harus dengan akta notarill {Pasal 147 BW}.
G. JENIS-JENIS PERJANJIAN
1. Perjanjian Timbal Balik
Adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan hak dan kewajiban kepada kedua
belah pihak yang membuat perjanjian. Misalnya perjanjian jual beli (Pasal 1457 BW)
perjanjian sewa-menyewa (Pasal 1548 BW).

2. Perjanjian Cuma-cuma
Adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya
hibah.

3. Perjanjian Atas Beban


Adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat
kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya
menurut hukum.

4. Perjanjian Bernama (Benoemd)


Adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Perjanjian ini diatur dan diberi
nama oleh pembentuk undang-undang. Perjanjian ini terdapat dalam Bab V s.d. Bab
XVIII BW.

5. Perjanjian Tidak Bernama (Onbenoemde Overeenkomst)


Adalah perjanjian yang tidak diatur di dalam BW, tetapi terdapat di dalam
masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan nama yang disesuaikan
dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya.

6. Perjanjian Obligatoir
Adalah perjanjian dimana pihak-pihak sepakat mengikatkan diri untuk melakukan
penyerahan suatu benda kepada pihak lain.

7. Perjanjian Kebendaan (Zakelijk)


Adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan haknya atas sesuatu benda
kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban (oblige) pihak itu untuk
menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain (levering, transfer).

8. Perjanjian Konsensual
Adalah perjanjian dimana diantara kedua belah pihak telah tercapai persesuaian
kehendak untuk mengadakan perikatan.

9. Perjanjian Riil
Adalah perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadi penyerahan barang, misalnya
perjanjian penitipan barang (Pasal 1694 BW), perjanjian pinjam pakai (Pasal 1740
BW).

10. Perjanjian yang sifatnya Istimewa


a. Perjanjian Liberatoir
Adalah perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada,
misalnya pembebasan utang (kwijtschelding) Pasal 1438 BW.

b. Perjanjian Pembuktian
Adalah perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang
berlaku di antara mereka.

c. Perjanjian Untung-untungan
Adalah perjanjian yang objeknya ditentukan kemudian, misalnya perjanjian
asuransi (Pasal 1774 BW).

d. Perjanjian Publik
Adalah perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik,
karena salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah. Diantara keduanya
terdapat hubungan atasan dengan bawahan, (subordinated) jadi tidak berada
dalam kedudukan yang sama (co-ordinated), misalnya perjanjian ikatan dinas.

e. Perjanjian Campuran (Contractus Sui Generis)


Adalah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, misalnya pemilik
hotel yang menyewakan kamar (sewa menyewa), tapi pula menyajikan makanan
(jual beli) dan juga memberikan pelayanan.

H. RUANG LINGKUP PERIKATAN YANG BERSUMBER PERJANJIAN


1. Perjanjian yang Diatur di Dalam KUH Perdata (Perjanjian Bernama / Nominat)
a. Jual Beli (Pasal 1457 BW);
b. Tukar Menukar (Pasal 1541 BW);
c. Sewa Menyewa (Pasal 1548 BW);
d. Perjanjian-perjanjian untuk Melakukan Pekerjaan (Pasal 1601 BW);
e. Persekuan (Pasal 1618 BW);
f. Perkumpulan (Pasal 1653 BW);
g. Hibah (Pasal 1666 BW);
h. Penitipan Barang (Pasal 1694 BW);
i. Pinjam Pakai (Pasal 1740 BW);
j. Pinjam Meminjam (Pasal 1754 BW);
k. Perjanjian Bunga Tetap atau Bunga Abadi (Pasal 1770 BW);
l. Perjanjian Untung-untungan (Pasal 1774 BW);
m. Pemberian Kuasa (Pasal 1792 BW);
n. Penanggungan (Pasal 1820 BW);
o. Perdamaian (Pasal 1851 BW).

2. Perjanjian yang Diatur di Luar KUH Perdata (Perjanjian Tidak Bernama /


Innominat)
a. Perjanjian Lisensi;
b. Perjanjian Pembiayaan Konsumen;
c. Perjanjian Sewa Beli;
d. Perjanjian Sewa Guna Usaha (Leasing);
e. Perjanjian Anjak Piutang (Factoring);
f. Perjanjian Waralaba (Franchising);
g. Perjanjian BOT (Built Operate Transfer).

3. Perjanjian yang Terdapat di Dalam WvK


a. Perjanjian Perseroan / Vennootschap;
b. Perjanjian perwakilan khusus, seperti komisioner, makelar, agen;
c. Perjanjian Pengangkutan;
d. Perjanjian Asuransi.

Anda mungkin juga menyukai