TUGAS MERANGKUM
KELOMPOK :B
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PALANGKARAYA
BAB 2
2. Bentuk Perjanjian
Dalam hal dibuat secara tertulis, perjanjian mempunyai makna sebagai alat bukti bila pihak-
pihak dalam perjanjian itu mengalami perselisihan. Untuk perjanjian tertentu , undang-
undang menentukan bentuk tersendiri sehingga bila bentuk itu diingkari maka perjanjian
tersebut tidak sah.
Dengan demikian bentuk tertulis suatu perjanjian tidak saja sebagai alat pembuktian,
tetapi juga untuk memenuhi syarat adanya peristiwa (perjanjian) itu. Misalnya, tentang
pendirian suatu PT, undang-undang mewajibkan anggaran dasarnya harus dibuat secara
autentik.
B. UNSUR-UNSUR PERJANJIAN
1. Unsur Essensialia
Eksistensi dari suatu perjanjian ditentukan secara mutlak oleh unsur essensialia , karena
tanpa unsur ini suatu janji tidak pernah ada. Contohnya tentang “sebab yang halal”,
merupakan essensialia akan ada perjanjian. Dalam jual beli, harga dan barang, yang
disepakati oleh penjual dan pembeli merupakan unsur essensialia.
2. Unsur Naturalia
Dalam hal ini ketentuan undang-undang bersifat mengatur atau menambah (regelend atau
aanvullendrecht). Misalnya, kewajiban penjual menanggung biaya penyerahan atau
kewajiban pembeli menanggung biaya pengembalian. Hal ini diatur dalam pasal 1476 KUH
Perdata : “biaya penyerahan dipikul oleh si penjual, seangkan biaya pengembalian dipikul
oleh si pembeli”.
3. Unsur Accidentalia
Unsur ini sama halnya dengan unsur naturalia dalam perjanjian yang sifatnya penambahan
dari para pihak . undang-undang (hukum) sendiri tidak mengatur tantang hal itu. Contohnya
dalam perjanjian jual beli, benda-benda pelengkap tertentu bisa ditiadakan.
C. ASAS-ASAS PERJANJIAN
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas konsensualisme yang diuraikan sebelumnya mempunyai korelasi dengan asas
kebebasan berkontrak yang diatur dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan
bahwa : “semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”.
2. Asas Konsensualisme
Asas ini menentukan perjanjian dan dikenal baik dalam sistem hukum civil law maupun
common law, dalam KUH Perdata asas ini disebutkan pada pasal 1320 yang mengandung
arti “kemauan atau will” para pihak untuk saling berpartisipasi mengikatkan diri .
3. Asas Kepribadian
Asas ini diatur dalam pasal 1315 jo. Pasal 1340 KUH Perdata. Bunyi pasal 1315 KUH
Perdata:
“pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta
ditetapkan suatu janji selain dari pada untuk dirinya sendiri”
Sedangkan menurut pasal 1340 KUH Perdata :
“persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya”
4. Asas Keseimbangan
Asas ini menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian tersebut
secara seimbang. Kreditur mempunyai hak untuk menuntut prestasi, bila perlu melalui
kekayaan debitur, tetapi ia juga berkewajiban melaksanakan janji itu dengan itikad baik.
6. Asas Moral
Asas ini dapat dijumpai dalam perbuatan sukarela dari seseorang seperti zaakwaarneming
yang diatur dalam pasal 1339 KUH Perdata yang memberi motivasi kepada pihak-pihak
untuk melaksanakan perjanjian yang tidak hanya hal-hal dengan tegas dinyatakan
didalamnya, tetapi juga kebiasaan dan kepatutan (moral).
7. Asas Kepatutan
Pasal 1339 KUH Perdata menyebutkan bahwa :
“perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan di
dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh
kepatutan”.
D. JENIS PERJANJIAN
1. Perjanjian Sepihak dan Timbal Balik
Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian yang dinyatakan oleh salah satu pihak saja, tetapi
mempunyai akibat dua pihak, yaitu pihak yang memiliki hak tagih yang dalam bahasa bisnis
disebut pihak kreditur, dan pihak yang dibebani kewajiban yang dalam bahasa bisnis disebut
debitur.
6. Perjanjian Formal
Suatu perjanjian yang tidak hanya harus memenuhi asas konsesus, tetapi juga harus
dituangkan dalam suatu bentuk tertentu atau harus disertai dengan formalitas tertentu.
7. Perjanjian Liberatoir
Perjanjian antara dua pihak yang isinya adalah untuk mehapuskan perikatan yang ada antara
mereka.
8. Perjanjian Pembuktian
Perjanjian yang memuat keinginan para pihak untuk menetapkan alat-alat bukti yang dapat
digunakan dalam hal terjadi perselisihan antara para pihak kelak .
9. Perjanjian Untung-untungan
Perjanjian yang prestasi atau objeknya ditentukan kemudian.
2. Kecakapan
Orang-orang atau pihak-pihak dalam membuat suatu perjanjian haruslah cakap menurut
hukum , hal ini ditegaskan dakam pasal 1329 KUH Perdata :
“setiap otang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika oleh undang-
undang tidak dinyatakan tak cakap”.
3. Hal Tertentu
Perjanjian haruslah memiliki objek tertentu yang sekurang-kurangnya dapat ditentukan .
objek perjanjian itu diatur dalam pasal 1333 KUH Perdata :
“suatu persetujuan harus mempunyai pokok suatu barang yang paling sedikit
ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu , asal saja
jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung”.
J. ACTIO PAULIANA
1. Pengertian
Mempunyai hubungan dengan pasal 1131 KUH Perdata yang menyatakan bahwa :
“segala kebendaan si berutang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik
yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari menjadi tanggungan untuk
segala perikatannya perseorangan”.
K. PENAFSIRAN PERJANJIAN
Mengenai penafsiran dalam perjanjian diatur dalam bab kedua buku III KUH Perdata
tentang penafsiran persetujuan. Bila kehendak yang satu dinyatakan dan diterima dengan
jelas bagi pihak lawannya maka tidak ada masalah mengenai isi perjanjian itu bagi kedua
belah pihak .
1. Pasal 1342 KUH Perdata
2. Pasal 1343 KUH Perdata
3. Pasal 1344 KUH Perdata
4. Pasal 1345 KUH Perdata
5. Pasal 1346 KUH Perdata
6. Pasal 1349 KUH Perdata
2. Kepatutan
Kepatutan baru dapat diakui sebagai sumber perikatan tersendiri, bila undang-undang dan
kesepakatan para pihak tidak mengaturnya dalam suatu perjanjian, maka kepatutanlah yang
mengisi kekosongan itu .
3. Kebiasaan
Apabila undang-undang dan sepakat tidak mengatur sesuatu hal dalam perjanjian , maka
kebiasaan mengisi kekosongan itu. Ini berarti bahwa kebiasaan ikut menentukan isi
perjanjian.