Anda di halaman 1dari 8

HUKUM PERIKATAN

TUGAS MERANGKUM

NAMA : YOSSA FEBLINA TANGKULUNG

NIM : EAA 118 094

KELOMPOK :B

DOSEN PENGAJAR : YESSIARIE SILVANNY SIBOT ,SH.,MH

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PALANGKARAYA
BAB 2

PERIKATAN YANG LAHIR DARI PERJANJIAN

A. PENGERTIAN DAN BENTUK PERJANJIAN


1. Pengertian Perjanjian
Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua belah pihak berdasarkan nama pihak
yang saru berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain. Pihak yang berhak menuntut disebut
kreditur (si berpiutang), sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu disebut
debitur (si berutang).
Pasal 1233 KUH Perdata mengatur bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena
persetujuan atau perjanjian, baik karena undang-undang. Suatu perjanjian adalah suatu
peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan suatu hal.

2. Bentuk Perjanjian
Dalam hal dibuat secara tertulis, perjanjian mempunyai makna sebagai alat bukti bila pihak-
pihak dalam perjanjian itu mengalami perselisihan. Untuk perjanjian tertentu , undang-
undang menentukan bentuk tersendiri sehingga bila bentuk itu diingkari maka perjanjian
tersebut tidak sah.
Dengan demikian bentuk tertulis suatu perjanjian tidak saja sebagai alat pembuktian,
tetapi juga untuk memenuhi syarat adanya peristiwa (perjanjian) itu. Misalnya, tentang
pendirian suatu PT, undang-undang mewajibkan anggaran dasarnya harus dibuat secara
autentik.

B. UNSUR-UNSUR PERJANJIAN
1. Unsur Essensialia
Eksistensi dari suatu perjanjian ditentukan secara mutlak oleh unsur essensialia , karena
tanpa unsur ini suatu janji tidak pernah ada. Contohnya tentang “sebab yang halal”,
merupakan essensialia akan ada perjanjian. Dalam jual beli, harga dan barang, yang
disepakati oleh penjual dan pembeli merupakan unsur essensialia.

2. Unsur Naturalia
Dalam hal ini ketentuan undang-undang bersifat mengatur atau menambah (regelend atau
aanvullendrecht). Misalnya, kewajiban penjual menanggung biaya penyerahan atau
kewajiban pembeli menanggung biaya pengembalian. Hal ini diatur dalam pasal 1476 KUH
Perdata : “biaya penyerahan dipikul oleh si penjual, seangkan biaya pengembalian dipikul
oleh si pembeli”.

3. Unsur Accidentalia
Unsur ini sama halnya dengan unsur naturalia dalam perjanjian yang sifatnya penambahan
dari para pihak . undang-undang (hukum) sendiri tidak mengatur tantang hal itu. Contohnya
dalam perjanjian jual beli, benda-benda pelengkap tertentu bisa ditiadakan.
C. ASAS-ASAS PERJANJIAN
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas konsensualisme yang diuraikan sebelumnya mempunyai korelasi dengan asas
kebebasan berkontrak yang diatur dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan
bahwa : “semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”.

2. Asas Konsensualisme
Asas ini menentukan perjanjian dan dikenal baik dalam sistem hukum civil law maupun
common law, dalam KUH Perdata asas ini disebutkan pada pasal 1320 yang mengandung
arti “kemauan atau will” para pihak untuk saling berpartisipasi mengikatkan diri .

3. Asas Kepribadian
Asas ini diatur dalam pasal 1315 jo. Pasal 1340 KUH Perdata. Bunyi pasal 1315 KUH
Perdata:
“pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta
ditetapkan suatu janji selain dari pada untuk dirinya sendiri”
Sedangkan menurut pasal 1340 KUH Perdata :
“persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya”

4. Asas Keseimbangan
Asas ini menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian tersebut
secara seimbang. Kreditur mempunyai hak untuk menuntut prestasi, bila perlu melalui
kekayaan debitur, tetapi ia juga berkewajiban melaksanakan janji itu dengan itikad baik.

5. Asas kepastian Hukum


Suatu perjanjian merupakan perwujudan hukum sehingga mengandung kepastian hukum .
hal ini tersirat dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, kepastian ini terungkap dari kekuatan
mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.

6. Asas Moral
Asas ini dapat dijumpai dalam perbuatan sukarela dari seseorang seperti zaakwaarneming
yang diatur dalam pasal 1339 KUH Perdata yang memberi motivasi kepada pihak-pihak
untuk melaksanakan perjanjian yang tidak hanya hal-hal dengan tegas dinyatakan
didalamnya, tetapi juga kebiasaan dan kepatutan (moral).

7. Asas Kepatutan
Pasal 1339 KUH Perdata menyebutkan bahwa :
“perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan di
dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh
kepatutan”.
D. JENIS PERJANJIAN
1. Perjanjian Sepihak dan Timbal Balik
Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian yang dinyatakan oleh salah satu pihak saja, tetapi
mempunyai akibat dua pihak, yaitu pihak yang memiliki hak tagih yang dalam bahasa bisnis
disebut pihak kreditur, dan pihak yang dibebani kewajiban yang dalam bahasa bisnis disebut
debitur.

2. Perjanjian Cuma-Cuma dan atas Beban


Kedua jenis perjanjian ini diatur dalam pasal 1314 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa :
“suatu persetujuan adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu
memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain tanpa menerima suatu menfaat bagi dirinya
sendiri. Suatu persetujuan atas beban, adalah suatu persetujuan yang mewajibkan masing-
masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu”.
Berdasarkan ketentuan diatas , dapat dikatakan bahwa perjanjian Cuma-Cuma adalah
perjanjian yang memberikan keuntugan bagi salah satu pihak. Misal ketentuan pasal 1666
KUH Perdata tetnag hibah dan pasal 875 KUH Perdata tentang testament , yang isinya telah
disebutkan dimuka.

3. Perjanjian bernama dan tidak bernama


Mengenai kedua jenis perjanjian ini dapat dibaca dalam pasal 1319 KUH Perdata, bahwa :
“semua persetujuan, baik yang mempunyai satu nama khusus, maupun yang tidak
terkenal, dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat
dalam bab ini dan bab yang lalu”.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, terdapat dua macam perjanjian, yaitu perjanjian
yang oleh undang-undang diberikan suatu nama khusus yang dapat disebut sebagai
perjanjian bernama . adapun perjanjian yang dalam undang-undang tidak terkenal dengan
suatu nama tertentu, yang dapat disebut sebagai perjanjian tidak bernama.

4. Perjanjian Konsensual dan Riil


Perjanjina konsensual adalah perjanjian yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih, dimana
bila mereka telah encapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Berdasarkan
ketentuan pasal 1338 KUH Perdata perjanjian tersebut sudah mempunyai kekuatan mengikat
bagaikan undang-undang.
Mengenai perjanjian riil terjadi sebaliknya yaitu perjanjian yang hanya berlaku
sesudah terjadi penyerahan barang . misalnya perjanjian penitipan barang yang diatur dalam
pasal 1694 KUH Perdata yang berbunyi :
“penitipan adalah terjadi apabila seseorang menerima suatu barang dari seorang lain,
dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikannya dalam wujud asalnya”.

5. Perjanjian Obligatoir dan Kebendaan


Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang hanya menyoalkan kesepakatan para pihak
untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain .
Perjanjian kebendaan , yaitu suatu perjanjian dengan mana seseorang meyerahkan hak
nya atas suatu benda kepada pihak lain, atau suatu perjanjian yang membebenkan kewajiban
pihak untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain. Penyerahan itu sendiri
merupakan perjanjian kebendaan.

6. Perjanjian Formal
Suatu perjanjian yang tidak hanya harus memenuhi asas konsesus, tetapi juga harus
dituangkan dalam suatu bentuk tertentu atau harus disertai dengan formalitas tertentu.

7. Perjanjian Liberatoir
Perjanjian antara dua pihak yang isinya adalah untuk mehapuskan perikatan yang ada antara
mereka.

8. Perjanjian Pembuktian
Perjanjian yang memuat keinginan para pihak untuk menetapkan alat-alat bukti yang dapat
digunakan dalam hal terjadi perselisihan antara para pihak kelak .

9. Perjanjian Untung-untungan
Perjanjian yang prestasi atau objeknya ditentukan kemudian.

10. Perjanjian Campuran


Perjanjian yang mempunyai ciri-ciri dari dua atau lebih perjanjian bernama. Jenis perjanjian
ini tidak diatur dalam undang-undang, tetapi didalamnya mempunyai nama sendiri, yang
unsur-unsurnya mirip atau sama dengan unsur-unsur perjanjian bernama, yang terjalain
menjadi satu sedemikian rupa sehingga tak dapat dipisah-pisahkan sebagai perjanjian yang
berdiri sendiri.

E. JANJI UNTUK PIHAK KETIGA


Pasal 1317 KUH Perdata memberikan kesempatan untuk meminta ditetapkan suatu janji
guna kepentingan pihak ketiga. Jadi ada perjanjian dua pihak tetapi mempunyai akibat
hukum yang langsung terhadap pihak ketiga, bukan pihak ketiga yang meminta perjanjian
suatu hak untuk dirinya, melainkan salah satu pihak dalam perjanjian itu. Demikina itu
disebut “janji untuk pihak ketiga”.

F. SYARAT SAH NYA PERJANJIAN


1. Kesepakatan
Ini berarti bahw kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak, artinya
masing-masing pihak tidak mendapat suatu tekanan yang mengakibatkan adanya cacat
dalam mewujudkan kehendaknya.

2. Kecakapan
Orang-orang atau pihak-pihak dalam membuat suatu perjanjian haruslah cakap menurut
hukum , hal ini ditegaskan dakam pasal 1329 KUH Perdata :
“setiap otang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika oleh undang-
undang tidak dinyatakan tak cakap”.
3. Hal Tertentu
Perjanjian haruslah memiliki objek tertentu yang sekurang-kurangnya dapat ditentukan .
objek perjanjian itu diatur dalam pasal 1333 KUH Perdata :
“suatu persetujuan harus mempunyai pokok suatu barang yang paling sedikit
ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu , asal saja
jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung”.

4. Sebab (causa) yang halal


Merupakan syarat keempat dari suatu perjanjian yang disebutkan dalam pasal 1320 KUH
Perdata sebagai “sebab yang halal” menurut badrulzaman (1996:100), causa dalam hal ini
bukanlah hubungan sebab akibat , sehingga tidak memiliki hubungan sama sekali dengan
ajaran causaliteit, bukan juga merupakan sebab yang mendorong para pihak untuk
mengadakan perjanjian . karena apa yang menjadi motif dari seseorang untuk mengadakan
perjanjian itu tidak menjadi perhatian .

G. PIHAK-PIHAK DALAM PERJANJIAN


Pihak-pihak yang dimaksud dalam hal ini adalah siapa saja yang terlibat alam suatu
perjanjian. Pihak-pihak yang dimaksud adalah para pihak yang mengadakan perjanjian itu
sendiri.

H. SAAT LAHIRNYA PERJANJIAN


1. Teori pernyataan (uitings theorie)
Perjanjian telah lahir pada saat penawaran telah ditulis pada surat jawaban penerimaan.
Dengan kata lain, perjanjian itu telah lahir pada saat pihak lain menyatakan penerimaannya
(penerimaan dinyatakan dalam bentuk tertulis).

2. Teori pengiriman (verzendings theorie)


Teori ini mengajarkan pada saat pengiriman jawaban penerimaan , merupakan saat lahirnya
perjanjian . teori ini ralatif pasti, karena tanggal cap pos dapat dijadikan patokan saat
lahirnya perjanjian dan sejak saat itu penerimaan tidak lagi memiliki kekuasaan atas jawaban
penerimaan tersebut.

3. Teori pengetahuan (vernemimgs theorie)


Untuk mengatasi kelemahan teori pengiriman tersebut, makan digeserlah saat lahirnya
perjanjian hingga sampai pada jawaban penerimaan diketahui oleh orang yang menawarkan.
Jadi perjanjian itu lahir pada saat surat jawaban penerimaan diketahui isinya oleh pihak yang
menawarkan.

4. Teori penerimaan (ontvangs theorie)


Ajaran ini timbul sebagai upaya menutupi kekurangan teori pengetahuan yang telah
disebutkan dimuka. Perjanjian itu lahir saat diterimanya jawaban.
I. PEMBATALAN PERJANJIAN
Syarat perjanjian yang menyangkut kesepakatan dan kecakapan disebut syarat subjektif,
sedangkan yang berkenaan dengan hal tertentu dan sebab yang halal disebut syarat objektif.
Masing-masing syarat tersebut membawa konsekuensi sendiri-sendiri. Apabila syarat
subjektif perjanjian cacat atau tidak dipenuhi maka perjanjian itu dapat dimintakan
pembatalan oleh salah satu pihak ke pengadilan.

J. ACTIO PAULIANA
1. Pengertian
Mempunyai hubungan dengan pasal 1131 KUH Perdata yang menyatakan bahwa :
“segala kebendaan si berutang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik
yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari menjadi tanggungan untuk
segala perikatannya perseorangan”.

2. Unsur-unsur pasal 1341 KUH Perdata


“meskipun demikian , tiap orang berpiutang boleh mengajukan batalnya segala
perbuatan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh si berutang dengan nama
apapun juga, yang merugikan prang-orang berpiutang, asal dibuktikan bahwa ketika
perbuatan dilakukan itu membawa akibat yang merugikan orang-orang berpiutang.

3. Actio pauliana Diberikan kepada kreditur


Pada asasnya dapat diajukan oleh kepada setiap kreditur, kecuali dalam hal kepailitan karea
dalam kepailitan hak itu dilaksankan oleh kurator.

K. PENAFSIRAN PERJANJIAN
Mengenai penafsiran dalam perjanjian diatur dalam bab kedua buku III KUH Perdata
tentang penafsiran persetujuan. Bila kehendak yang satu dinyatakan dan diterima dengan
jelas bagi pihak lawannya maka tidak ada masalah mengenai isi perjanjian itu bagi kedua
belah pihak .
1. Pasal 1342 KUH Perdata
2. Pasal 1343 KUH Perdata
3. Pasal 1344 KUH Perdata
4. Pasal 1345 KUH Perdata
5. Pasal 1346 KUH Perdata
6. Pasal 1349 KUH Perdata

L. IKTIKAD BAIK (GOEDER TROUW)


1. Sekilas mengenai iktikad baik
Perkataan tentang iktikad baik dirumuskan dalam pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang
berbunyi : “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Ketenytuan pasal ini
mempersoalkan pada tataran pelaksanaan suatu perjanjian, dimana perjanjian tersebut dalam
keadaan sudah ada.

2. Iktikad baik dalam praktik


Sikap batinnya dalah “iktikad baik subjektif”, yaitu apakah yang bersangkutan menyadari
bahwa tindakannya bertentangan dengan iktikad baik.

M. KEPATUTAN DAN KEBIASAAN ATAU UNDANG-UNDANG DALAM


PERJANJIAN
1. Pengantar
Kedua unsur diatas disebutan dalam pasal 1339 KUH Perdata :
“suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan
didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian , diharuskan oleh
kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang”.

2. Kepatutan
Kepatutan baru dapat diakui sebagai sumber perikatan tersendiri, bila undang-undang dan
kesepakatan para pihak tidak mengaturnya dalam suatu perjanjian, maka kepatutanlah yang
mengisi kekosongan itu .

3. Kebiasaan
Apabila undang-undang dan sepakat tidak mengatur sesuatu hal dalam perjanjian , maka
kebiasaan mengisi kekosongan itu. Ini berarti bahwa kebiasaan ikut menentukan isi
perjanjian.

Anda mungkin juga menyukai