Anda di halaman 1dari 7

Kasus 1.

1. Pelaksanaan perjanjian ini harus memenuhi syarat sah perjanjian yang diatur di Pasal
1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang berbunyi :

“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 syarat:”

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;


2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu; dan
4. Suatu sebab yang halal.

Kesepakatan ini terkait dalam pembuatan sebuah perjanjian yang harus kita ketahui
tentang hal apa yang kita sepakati atau tujuan kesepakatan tersebut. Kedua pihak yang
saling memberikan kesepakatannya, keduanya harus menyepakati apa yang mereka
kehendaki. Seperti yang terdapat didalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang
menyebutkan:

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya.”

selaku pembeli akan melakukan pembelian rumah karena si penjual menaikkan harga
jual secara sepihak tanpa ada konfirmasi kepada kita atau pada kesepakatan di awal
perjanjian. Hal dalam jual beli ini seharusnya kembali pada harga awal yang
diperjanjikan dan dianggap sudah terjadi jual beli antara penjual dan pembeli,
sebagaimana di jelaskan dalam pasal 1457 KUH Perdata dan 1458 KUH Perdata yang
menyebutkan :

Pasal 1457 KUHPerdata

“Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya
untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang
dijanjikan.”

Pasal 1458 KUHPerdata

“Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang-orang
itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun barang
itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar.”

Namun, kita dimungkinkan untuk melakukan upaya hukum wanprestasi untuk


pengembalian DP atau uang muka karena si Penjual seharusnya menjual dengan harga
sebagaimana disepakati dari awal atau tidak secara sepihak mengubah harga jual
sehingga kita sebagai pembeli merasa dirugikan. Dalam praktek Peradilannya, sudah
ada beberapa putusan Mahkamah Agung yang tujuannya menegaskan untuk
mengembalikan pembayaran DP kepada Pembeli rumah. Berikut ini putusannya :

Putusan Mahkamah Agung Nomor 685 K/Pdt/2018 :

“Majelis Hakim Mahkamah Agung memperbaiki amar Putusan Pengadilan Tinggi


Jakarta Nomor 94/PDT/2017/PT. DKI sehingga amarnya menjadi sebagai berikut:
menghukum tergugat untuk mengembalikan pembayaran DP kepada penggugat
sejumlah SGD 610.000 yang dikonversikan ke dalam rupiah. Selain itu tergugat juga
harus membayar bunga sebesar 10%. Hal ini disebabkan tergugat telah cidera
janji/wanprestasi terhadap penggugat karena tidak melaksanakan kewajiban-
kewajiban sebagaimana disepakati dalam Mutual Agreement tanggal 7 Oktober
2013.”

2. Perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang
menyatakan bahwa: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Berdasarkan rumusan
tersebut dapat diketahui bahwa suatu perjanjian adalah:

a. Suatu perbuatan.

b. Antara sekurangnya dua orang.

c. Perbuatan tersebut melahirkan perikatan di antara pihak-pihak yang berjanji tersebut.

Perbuatan yang disebutkan dalam rumusan awal ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata
menjelaskan kepada kita semua bahwa perjanjian hanya mungkin terjadi jika ada suatu
perbuatan nyata, baik dalam bentuk ucapan, maupun tindakan secara fisik, dan tidak hanya
dalam bentuk pikiran semata-mata. Menurut Sudikno, perjanjian merupakan satu hubungan
hukum yang didasarkan atas kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Hubungan
hukum tersebut terjadi antara subyek hukum yang satu dengan subyek hokum yang lain,
dimana subyek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga suyek hukum yang lain
berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakati. Subekti
mendefinisikan perjanjian sebagai suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang
lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Sementara
itu, Purwahid Patrik memberikan pengertian perjanjian yaitu perbuatan hukum, perbuatan
hukum adalah perbuatanperbuatan dimana untuk terjadinya atau lenyapnya hukum atau
hubungan hukum sebagai akibat yang dikehendaki oleh perbuatan orang atau orang-orang
itu. Dalam pasal 1313 KUHPerdata bahwa suatu “persetujuan adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya dengan satu orang atau lebih.”

Kasus 2.

1. Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan
melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja.
Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPer. Pasal 1315 KUHPer
menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau
perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk
mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri.
Pasal 1340 KUHPer berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang
membuatnya.” Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para
pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu
terdapat pengecualiannya sebagaimana diintridusir dalam Pasal 1317 KUHPer yang
menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila
suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang
lain, mengandung suatu syarat semacam itu.” Pasal ini mengkonstruksikan bahwa
seseorang dapat mengadakan perjanjian/ kontrak untuk kepentingan pihak ketiga,
dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318
KUHPer, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk
kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya.
Jika dibandingkan kedua pasal itu, maka Pasal 1317 KUHPer mengatur tentang
perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPer untuk
kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari
yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 KUHPer mengatur tentang
pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPer memiliki ruang lingkup yang luas.

2. Perundang-undangan memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mengadakan


perjanjian apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan, kepatutan dan ketertiban umum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1338
KUH Perdata yang menyebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Prof. Subekti menyimpulkan bahwa dari ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata tersebut
dikandung suatu asas kebebasan dalam membuat perjanjian (kebebasan berkontrak).
Perkataan “semua” mengandung pengertian tentang diperbolehkannya membuat suatu
perjanjian apa saja (asalkan dibuat secara sah) dan perjanjian itu akan mengikat
mereka yang membuatnya, seperti undang-undang, sedangkan Pasal-Pasal lainnya
dari hukum perjanjian hanya berlaku bila atau sekadar tidak diatur atau tidak terdapat
dalam perjanjian yang dibuat itu (Subekti, 1984).

Kasus 3.

1. Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, terdapat 4 (empat) syarat sahnya


perjanjian yang harus dipenuhi ketika membuat surat perjanjian. Di bawah ini Libera
akan menjabarkan secara detail mengenai syarat-syarat yang membuat suatu
perjanjian dianggap sah menurut hukum yang berlaku.

Kesepakatan Para Pihak


Dalam membuat suatu surat perjanjian, Anda harus mencapai kesepakatan para pihak
atas hal-hal yang diperjanjikan. Kesepakatan yang dimaksud di sini adalah
kesepakatan tersebut lahir dari kehendak para pihak tanpa ada unsur kekhilafan,
paksaan, ataupun penipuan. Sebagai contoh, jika seorang pembeli
menyepakati perjanjian jual-beli rumah atas dasar paksaan oleh pihak penjual atau
pihak lain, maka adanya unsur paksaan tersebut dapat dijadikan argumen bagi pihak
yang dirugikan untuk mengajukan pembatalan atas perjanjian jual beli tersebut.

Kecakapan Para Pihak

Istilah kecakapan yang dimaksud dalam hal ini berarti wewenang para pihak untuk
membuat perjanjian. KUHPerdata menentukan bahwa setiap orang dinyatakan cakap
untuk membuat perjanjian, kecuali jika menurut undang-undang dinyatakan tidak
cakap. Menurut Pasal 1330 KUHPerdata, orang-orang yang dinyatakan tidak cakap
adalah mereka yang:

1. Belum dewasa, berarti mereka yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau
belum menikah. Sebagai contoh, seorang anak yang baru berusia 8 tahun tidak dapat
membuat perjanjian untuk dirinya sendiri.
2. Berada di bawah pengampuan, seseorang dianggap berada di bawah pengampuan
apabila ia sudah dewasa, namun karena keadaan mental atau pikirannya yang
dianggap kurang sempurna, maka dipersamakan dengan orang yang belum dewasa.
Berdasarkan Pasal 433 KUHPerdata, seseorang dianggap berada di bawah
pengampuan apabila orang tersebut dalam keadaan sakit jiwa, memiliki daya pikir
yang rendah, serta orang yang tidak mampu mengatur keuangannya sehingga
menyebabkan keborosan yang berlebih.

Adanya Objek Perjanjian

Suatu perjanjian harus memiliki objek yang jelas. Objek tersebut tidak hanya berupa
barang dalam bentuk fisik, namun juga dapat berupa jasa yang dapat ditentukan
jenisnya.

Sebab yang Halal

Sebab yang halal berhubungan dengan isi perjanjian itu sendiri, di mana perjanjian
tersebut dibuat berdasarkan tujuan yang tidak bertentangan dengan hukum yang
berlaku. Perjanjian yang dibuat berdasarkan sebab yang tidak benar atau dilarang
membuat perjanjian tersebut menjadi tidak sah.

Sebab yang tidak halal adalah sebab dilarang oleh Undang-Undang, berlawanan
dengan norma kesusilaan, atau ketertiban umum. Nilai-nilai kesusilaan dan ketertiban
umum sendiri ditentukan berdasarkan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat di mana
perjanjian tersebut dibuat. Contoh dari perjanjian yang sebabnya tidak halal adalah
ketika seseorang melakukan perjanjian untuk membunuh orang lain. Hal ini
dikarenakan membunuh orang lain dilarang oleh Undang-Undang, sehingga
perjanjian tersebut menjadi tidak sah.

Akibat Hukum jika Melanggar Syarat Sah Perjanjian

Keempat syarat sah perjanjian yang telah dijabarkan di atas memiliki 2 (dua) kategori,
yakni:

1. Syarat subjektif; dan


2. Syarat objektif.

Dari keempat syarat sah perjanjian, yang termasuk ke dalam syarat subjektif adalah
kesepakatan dan kecakapan para pihak. Sedangkan adanya objek perjanjian dan sebab
yang halal merupakan syarat objektif. Tidak dipenuhinya syarat sah perjanjian akan
berujung pada pembatalan perjanjian. Namun, pembatalan perjanjian ini dibagi
menjadi 2 (dua) berdasarkan kategori syarat sah perjanjian.

Apabila para pihak tidak memenuhi syarat subjektif, maka konsekuensinya adalah
perjanjian yang telah dibuat dapat dibatalkan atau voidable. Artinya, salah satu pihak
yang merasa dirugikan dapat mengajukan permohonan pembatalan kepada hakim.
Namun, perjanjian tersebut tetap mengikat para pihak sampai adanya keputusan dari
hakim mengenai pembatalan tersebut.

Lain halnya jika para pihak tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut
akan dianggap batal demi hukum atau null and void. Artinya, perjanjian ini dianggap
tidak pernah ada sehingga tidak akan mengikat para pihak.

Untuk itu, sebelum Anda membuat perjanjian dalam transaksi bisnis, Anda perlu
memenuhi keempat syarat sah perjanjian di atas agar perjanjian tersebut dapat
dilaksanakan sebagaimana mestinya oleh para pihak. Tentunya pengaturan tersebut
ditujukan untuk memperjelas sebuah kerja sama atau transaksi, serta menghindari
kerugian pada pihak manapun di kemudian hari. Sebagai pemilik bisnis, Anda perlu
memerhatikan isi perjanjian dengan detail. Karena, jika Anda mengabaikan bahkan
tidak membacanya secara lengkap, kemungkinan terjadi sengketa di kemudian hari
menjadi lebih besar.
2 Pembatalan Perjanjian:

1. Batal demi hukum (null and void) apabila dari awal objeknya tidak dipenuhi.
2. Pembatalan (voidable)apabila subjektif tidak terpenuhi, bukan batal demi hukum
tetapi salah satu pihak dapat meminta pembatalan itu. Perjanjian sendiri tetap
mengikat kedua belah pihak, selama belum dibatalkan (oleh hakim) atas
permintaan pihak yang berhak mengajukan pembatalan.

Pasal 1266 KUH Perdata: “syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam
persetujuan yang timbal balik, andaikata salah satu pihak tidak memenuhi
kewajibannya. Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi
pembatalan harus dimintakan kepada pengadilan”

Pasal 1267 KUH Perdata: “seseorang tidak hanya bertanggung jawab, atas kerugian
yang disebabkan perbuatan sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan
perbuatan-perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan
barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”

Tidak harus melalui pengadilan namun dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan


para pihak itu sendiri asalkan dalam perjanjian mengecualikan tidak memberlakukan
pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata.

Pasal 1449 KUH Perdata: “Perikatan-perikatan yang dibuat dengan paksaan,


kekhilafan atau penipuan, menerbitkansuatu tuntutan untuk membatalkannya”.

Pengertian Sewa Menyewa: Dalam hubungan sewa menyewa Pihak yang


menyewakan hanya memberikan hak pemakaian saja kepada penyewa bukan hak
milik, Ketentuan dalam Pasal 1548 KUH Perdata:“Sewa menyewa ialah suatu
perjanjian, dengan pihak yang satu mengikat dirinya untuk memberikan kepada
pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selam suatu waktu tertentu
dengan pembyaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu
disanggupi pembayarannya”

Kewajiban dalam sewa menyewa: “Dimana pihak yang menyewa (pemilik) memiliki
kewajiban untuk menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak penyewa,
sedangkan pihak penyewa memiliki kewajiban untuk melakukan pembayaran harga
sewa. Jadi barang yang disewakan tidak untuk dimiliki melainkan hanya untuk
dipakai dan dinikmati kegunaannya”

Jangka Waktu sewa menyewa: Pasal 1548 KUH Perdata “sewa menyewa itu
berlangsung selama waktu tertentu, yang berarti bahwa dalam perjanjian sewa
menyewa harus selalu ditentukan jangka waktu tertentu” Dan tujuan ini untuk
memberikan batasan dan kepastian dalam hukum.

Bentuk perjanjian sewa menyewa Tertulis dan Lisan: Perjanjian sewa menyewa
adalah termasuk dalam perjanjian konsensual, dimana perjanjian sudah sah dan
mengikat pada detik tercapainya kesepakatan mengenai unsur-unsur pokoknya.
Pasal 1570 KUH Perdata: “Jika sewa dibuat dengan tulisan, maka sewa itu berakhir
demi hukum, apabila waktu yang ditentukan telah lampau, tanpa diperlukannya
sesuatu pemberhentian untuk itu”

Pasal 1571 KUH Perdata: “Jika sewa tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa itu
tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak lain
memberitahukan bahwa ia hendak menghentikan sewanya, dengan mengindahkan
tenggang-tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat”

Anda mungkin juga menyukai