Anda di halaman 1dari 8

Tugas 1

Kasus 1
Dalam sebuah transaksi pembelian rumah, disepakati harga sebesar Rp 600.000.000,-
dalam kesepakatan tersebut pembeli harus membayar DP (Downpayment) sebesar Rp
25.000.000,- dan sisa pembayaran akan dilaksanakan dalam beberapa waktu
pelunasan, transaksi tersebut dibuatkan perjanjian tertulis. Setelah dalam beberapa hari
sebelum pelunasan oleh pembeli, penjual meminta tambahan dengan alasan bahwa
nilai tanah telah meningkat 2 kali lipat dari harga yang disepakati. Kemudian secara
sepihak penjual rumah menaikkan harga jual menjadi Rp 650.000.000,- atau naik Rp
50.000.000,-
Pertanyaan

1. Jika dikaitkan dengan perikatan, perjanjian dan kontrak, apakah transaksi jual
beli rumah antara penjual dan pembeli tersebut akan bermasalah secara hukum?

JAWABAN:
Kesepakatan yang awalnya tercipta antara penjual rumah dan kita sebagai
penjual atas perjanjian jual beli rumah yang diawali pembayaran yang muka atau
yang lebih dikenal dengan Down Payment (DP). Pembayaran Uang muka atau
DP ini dilakukan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Pelaksanaan
perjanjian ini harus memenuhi syarat sah perjanjian yang diatur di Pasal 1320
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang berbunyi :
“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 syarat:”
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu; dan
4. Suatu sebab yang halal.
Kesepakatan ini terkait dalam pembuatan sebuah perjanjian yang harus kita
ketahui tentang hal apa yang kita sepakati atau tujuan kesepakatan tersebut.
Kedua pihak yang saling memberikan kesepakatannya, keduanya harus
menyepakati apa yang mereka kehendaki. Seperti yang terdapat didalam pasal
1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyebutkan:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya.”
Dalam arti bahwa kedua belah pihak menjadi kewajibannya untuk mentaati dan
melaksanakan perjanjian yang telah disepakati sebagaimana mentaati undang-
undang. Pengertian sepakat tersebut mencakup tidak saja sepakat untuk
mengikat diri, tetapi juga sepakat untuk mendapatkan prestasi. Harga awal
mengenai kesepakatan yang sudah disepakati dan kita terima serta digunakan
seterusnya dalam jual beli rumah tersebut.
Meskipun perjanjian tersebut dibuat tidak tertulis antara Sahabat yuridis selaku
pembeli rumah dan penjual rumah tersebut, maka sah dimata hukum. Dasar hal
ini diatur dalam pasak 1338 KUH Perdata yang berbunyi :
“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat
ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena
2

alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus


dilaksanakan dengan itikad baik.”
Dari hal ini, maka akan timbul suatu hubungan antara dua pihak yang dinamakan
perikatan. Perjanjian ini menerbitkan suatu perikatan antara dua pihak yang
saling membuatnya. Perjanjian berupa suatu rangkaian perkataan yang berisikan
janji atau kesanggupan yang tertulis atau diucapkan. Macam-macam perjanjian
ini secara jelas diatur didalam pasal 1234 KUH Perdata yang menyebutkan :
“Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau
untuk tidak berbuat sesuatu.”
Artinya macam-macam perjanjian ini terbagi kedalalam 3 macam prestasi yakni :
1. untuk memberikan/menyerahkan suatu barang;
2. untuk berbuat sesuatu;
3. untuk tidak berbuat sesuatu.
Mengenai Uang Muka atau DP ini memang berdasarkan pasal 1646 KUH
Perdata tidak dapat dikembalikan yakni berbunyi :
“Jika pembelian dilakukan dengan memberi uang panjar, maka salah satu pihak
tak dapat membatalkan pembelian itu dengan menyuruh memiliki atau
mengembalikan uang panjarnya.”
Tetapi kemungkinan lain terjadi karena sahabat yuridis selaku pembeli akan
melakukan pembelian rumah karena si penjual menaikkan harga jual secara
sepihak tanpa ada konfirmasi kepada kita atau pada kesepakatan di awal
perjanjian. Hal  dalam jual beli ini seharusnya kembali pada harga awal yang
diperjanjikan dan dianggap sudah terjadi jual beli antara penjual dan pembeli,
sebagaimana di jelaskan dalam pasal 1457 KUH Perdata dan 1458 KUH Perdata
yang menyebutkan :
Pasal 1457 KUHPerdata
“Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan
dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar
harga yang dijanjikan.”
Pasal 1458 KUHPerdata
“Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang-
orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya,
meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar.”
Namun, kita dimungkinkan untuk melakukan upaya hukum wanprestasi untuk
pengembalian DP atau uang muka karena si Penjual seharusnya menjual
dengan harga sebagaimana disepakati dari awal atau tidak secara sepihak
mengubah harga jual sehingga kita sebagai pembeli merasa dirugikan. Dalam
praktek Peradilannya, sudah ada beberapa putusan Mahkamah Agung yang
tujuannya menegaskan untuk mengembalikan pembayaran DP kepada Pembeli
rumah. Berikut ini putusannya :
Putusan Mahkamah Agung Nomor 685 K/Pdt/2018 :
“Majelis Hakim Mahkamah Agung memperbaiki amar Putusan Pengadilan Tinggi
Jakarta Nomor 94/PDT/2017/PT. DKI sehingga amarnya menjadi sebagai
berikut: menghukum tergugat untuk mengembalikan pembayaran DP kepada
penggugat sejumlah SGD 610.000 yang dikonversikan ke dalam rupiah. Selain
itu tergugat juga harus membayar bunga sebesar 10%. Hal ini disebabkan
tergugat telah cidera janji/wanprestasi terhadap penggugat karena tidak
3

melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana disepakati dalam Mutual


Agreement tanggal 7 Oktober 2013.”
Sumber :
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Putusan Mahkamah Agung Nomor 685 K/Pdt/2018.

2. Bagaimana agar perjanjian jual beli rumah dapat berjalan sesuai dengan
ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata?

JAWABAN:
Perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH
Perdata”) adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikat dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih.
 
R. Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian menjelaskan bahwa untuk
didapatkan adanya suatu perjanjian minimal harus ada dua pihak sebagai subjek
hukum, di mana masing-masing pihak sepakat untuk mengikatkan dirinya dalam
suatu hal tertentu. Adapun hal tertentu yang dimaksud dapat berupa untuk
menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu, maupun untuk tidak berbuat sesuatu.
Sedangkan dalam bentuknya perjanjian dapat berupa suatu rangkaian perkataan
yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan maupun ditulis
(hal. 1).
 
Kemudian, menurut Pasal 1457 KUH Perdata, jual beli adalah suatu perjanjian,
dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu
barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Jual
beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelah kedua
belah pihak telah sepakat mengenai barang dan harganya, meskipun barang
tersebut belum diserahkan dan harganya belum dibayar.[1]
Sedangkan untuk menentukan sahnya suatu perjanjian maka perjanjian tersebut
harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal
1320 KUH Perdata sebagai berikut:
 
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;

1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;


2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang.
4

Kasus 2
Dalam perjanjian terdapat asas kepribadian yang menentukan bahwa seseorang
membuat perjanjian hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Pada sebuah kegiatan
Joko membuat perjanjian dengan Joni mengenai pembelian sebuah mobil. Joko
membeli mobil yang dijual oleh Joni senilai Rp. 250.000.000,-. Dalam hal ini Joni
merupakan kuasa dari Ali si pemilik mobil tersebut.
 Pertanyaan

1. Berdasarkan asas kepribadian, apakah perjanjian antara Joni dan Joko telah tepat ?

JAWABAN;
Asas Kepribadian (personality)

Pasal 1315 KUHPer menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat


mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini
sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk
kepentingan dirinya sendiri

2. Perjanjian antara Joni dan Joko di atas apakah dapat memenuhi asas itikad baik
sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata?
JAWABAN:

Disarikan dari buku Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak


Komersial (hal. 104-171), Agus Yudha Hernoko menerangkan asas-asas hukum
kontrak menurut UNIDROIT (The International Institute for the Unification of Private
Law) di antaranya terdiri dari:
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Yang dimaksud dengan kebebasan berkontrak dapat dilihat secara implisit
dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”),
di antaranya yaitu para pihak memiliki kebebasan untuk (hal. 111):
a. Menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan dibuatnya;
b. Menentukan objek perjanjian;
c. Menentukan bentuk perjanjian;
d. Menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional
(aanvullend, optional).
Meskipun para pihak memiliki kehendak bebas, Agus kemudian merujuk
pendapat Niewenhuis yang menegaskan, terdapat pengecualian kebebasan
berkontrak, yakni dalam hal kontrak-kontrak formal dan riil (bentuk perjanjian) dan
syarat kausa yang diperbolehkan (isi perjanjian).
5

Kasus 3
Pada sebuah perjanjian penyewaan rumah kos antara Tono seorang mahasiswa dan
Amin pemilik kos selama 1 tahun, dengan kriteria sewa 1 unit rumah kos terdiri dari
ruang tidur, ruang tamu, kamar mandi dalam, dilengkapi dengan AC dan
fasilitas carport untuk masing-masing kamar, akses internet wifi dan tentunya listrik dan
air dengan biaya sewa perbulannya sebesar Rp. 2.000.000,-. Dalam perjalanannya
setelah satu bulan ditempati, Tono merasa akses internet wifi dan fasilitas carport tidak
tersedia dengan baik. Carport yang dijanjikan untuk masing-masing kamar ternyata
untuk bersama dan banyak digunakan oleh pemilik lain sehingga Tono tidak dapat
menggunakannya, dan akses internet wifi tidak dapat tersambung.
Pertanyaan

1. Apakah perjanjian sewa rumah kos antara Tono dan Amin dapat disebut sebagai
perjanjian yang telah memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif? Jelaskan
sesuai dengan aturan yang mendasarinya!
JAWABAN;

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang berlaku


sebagai dasar hukum perjanjian di Indonesia, pada dasarnya para pihak diberi
kebebasan untuk menentukan isi perjanjian yang disepakati. Namun, kebebasan
tersebut tidak menghilangkan kewajiban para pihak untuk tetap mematuhi
ketentuan yang berlaku. Anda perlu memerhatikan apakah surat perjanjian yang
dibuat telah memenuhi seluruh syarat sah perjanjian? Menurut Pasal 1320
KUHPerdata, terdapat 4 (empat) syarat sahnya perjanjian yang harus dipenuhi
ketika membuat surat perjanjian. Di bawah ini Libera akan menjabarkan secara
detail mengenai syarat-syarat yang membuat suatu perjanjian dianggap sah
menurut hukum yang berlaku.

Kesepakatan Para Pihak


Dalam membuat suatu surat perjanjian, Anda harus mencapai kesepakatan para
pihak atas hal-hal yang diperjanjikan. Kesepakatan yang dimaksud di sini adalah
kesepakatan tersebut lahir dari kehendak para pihak tanpa ada unsur kekhilafan,
paksaan, ataupun penipuan. Sebagai contoh, jika seorang pembeli menyepakati
perjanjian jual-beli rumah atas dasar paksaan oleh pihak penjual atau pihak lain,
maka adanya unsur paksaan tersebut dapat dijadikan argumen bagi pihak yang
dirugikan untuk mengajukan pembatalan atas perjanjian jual beli tersebut.

Kecakapan Para Pihak


Istilah kecakapan yang dimaksud dalam hal ini berarti wewenang para pihak
untuk membuat perjanjian. KUHPerdata menentukan bahwa setiap orang
dinyatakan cakap untuk membuat perjanjian, kecuali jika menurut undang-
undang dinyatakan tidak cakap. Menurut Pasal 1330 KUHPerdata, orang-orang
yang dinyatakan tidak cakap adalah mereka yang:

Belum dewasa, berarti mereka yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun
atau belum menikah. Sebagai contoh, seorang anak yang baru berusia 8 tahun
tidak dapat membuat perjanjian untuk dirinya sendiri.
6

Berada di bawah pengampuan, seseorang dianggap berada di bawah


pengampuan apabila ia sudah dewasa, namun karena keadaan mental atau
pikirannya yang dianggap kurang sempurna, maka dipersamakan dengan orang
yang belum dewasa. Berdasarkan Pasal 433 KUHPerdata, seseorang dianggap
berada di bawah pengampuan apabila orang tersebut dalam keadaan sakit jiwa,
memiliki daya pikir yang rendah, serta orang yang tidak mampu mengatur
keuangannya sehingga menyebabkan keborosan yang berlebih.
Lalu bagaimana jika Anda melakukan transaksi dengan PT atau badan hukum
lainnya? Kecakapan yang dimaksud tidak terbatas pada individu, melainkan juga
meliputi wewenang seseorang dalam menandatangani perjanjian. Misalnya jika
Anda melakukan transaksi dengan PT, maka orang yang berwenang untuk
menandatangani perjanjian untuk dan atas nama PT adalah direktur dari PT
tersebut, sesuai dengan anggaran dasarnya. Apabila direktur berhalangan untuk
menandatangani perjanjian, maka direktur dapat memberikan kuasa kepada
manajer atau salah satu timnya untuk menandatangani perjanjian tersebut.

Adanya Objek Perjanjian


Suatu perjanjian harus memiliki objek yang jelas. Objek tersebut tidak hanya
berupa barang dalam bentuk fisik, namun juga dapat berupa jasa yang dapat
ditentukan jenisnya. Sebagai contoh, dalam suatu perjanjian jual beli, Bapak
Rudi berniat untuk menjual mobil Toyota Avanza berwarna hitam yang diproduksi
tahun 2012 kepada Bapak Santo dengan harga Rp115.000.000. Dalam
perjanjian, Bapak Rudi secara jelas menyatakan barang apa yang akan dijual
beserta jenis, harga, hingga ciri-ciri barang tersebut.

Sebab yang Halal


Sebab yang halal berhubungan dengan isi perjanjian itu sendiri, di mana
perjanjian tersebut dibuat berdasarkan tujuan yang tidak bertentangan dengan
hukum yang berlaku. Perjanjian yang dibuat berdasarkan sebab yang tidak benar
atau dilarang membuat perjanjian tersebut menjadi tidak sah.

Sebab yang tidak halal adalah sebab dilarang oleh Undang-Undang, berlawanan
dengan norma kesusilaan, atau ketertiban umum. Nilai-nilai kesusilaan dan
ketertiban umum sendiri ditentukan berdasarkan nilai-nilai yang dianut oleh
masyarakat di mana perjanjian tersebut dibuat. Contoh dari perjanjian yang
sebabnya tidak halal adalah ketika seseorang melakukan perjanjian untuk
membunuh orang lain. Hal ini dikarenakan membunuh orang lain dilarang oleh
Undang-Undang, sehingga perjanjian tersebut menjadi tidak sah.

Akibat Hukum jika Melanggar Syarat Sah Perjanjian


Keempat syarat sah perjanjian yang telah dijabarkan di atas memiliki 2 (dua)
kategori, yakni:

Syarat subjektif; dan


Syarat objektif.
Dari keempat syarat sah perjanjian, yang termasuk ke dalam syarat subjektif
adalah kesepakatan dan kecakapan para pihak. Sedangkan adanya objek
7

perjanjian dan sebab yang halal merupakan syarat objektif. Tidak dipenuhinya
syarat sah perjanjian akan berujung pada pembatalan perjanjian. Namun,
pembatalan perjanjian ini dibagi menjadi 2 (dua) berdasarkan kategori syarat sah
perjanjian.

Apabila para pihak tidak memenuhi syarat subjektif, maka konsekuensinya


adalah perjanjian yang telah dibuat dapat dibatalkan atau voidable. Artinya, salah
satu pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan permohonan pembatalan
kepada hakim. Namun, perjanjian tersebut tetap mengikat para pihak sampai
adanya keputusan dari hakim mengenai pembatalan tersebut.

Lain halnya jika para pihak tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian
tersebut akan dianggap batal demi hukum atau null and void. Artinya, perjanjian
ini dianggap tidak pernah ada sehingga tidak akan mengikat para pihak.

2. Dari kasus di atas, apakah Tono dapat membatalkan perjanjian sewa rumah
kos? Jelaskan sesuai dengan dasar hukumnya!

JAWABAN:
berdasarkan dasar hukum sewa menyewa pasal 1338 ayat 2 Kitab Undang-
undang Hukum (KUH) Perdata, jawabannya tak bisa.
 
Menurut peraturan tersebut, secara umum suatu perjanjian sewa menyewa apa
pun tak dapat diakhiri secara sepihak.
 
Pasalnya, suatu perjanjian tak dapat ditarik kembali, kecuali telah ada
kesepakatan dari pihak pemberi sewa dan penyewa.
 
Dasar hukum sewa menyewa tersebut juga berlaku bagi peraturan sewa
menyewa rumah, apalagi jika telah ada perjanjian hitam di atas putih.

Bagaimana Jika Tak Ada Surat Perjanjian?

bagaimana seharusnya jika tak ada surat perjanjian sewa menyewa rumah? 
 
Menurut Pasal 1571 KUH Perdata, kegiatan sewa menyewa dapat diakhiri
apabila salah satu pihak menghentikan perjanjiannya.
 
Secara hukum, hal ini tentu sangat berisiko. Pasalnya, pihak mana pun
diperbolehkan menghentikan perjanjian tanpa konsekuensi hukum.
 
Baik pemberi sewa ataupun penyewa rumah dapat menghentikan masa sewa di
luar jangka waktu yang telah ditetapkan.
 
Oleh karena itu, jika tak ada surat perjanjian sewa menyewa rumah, Anda harus
siap dengan semua risikonya.
 
8

Berbeda apabila ada perjanjian hitam di atas putih, semua peraturan akan
mengacu pada isi perjanjiannya.
 
Hubungan sewa menyewa pun dapat diputuskan sebelum jangka waktu sewa
berakhir, apabila salah satu pihak tak menaati hak dan kewajibannya.
 
Berikut konsekuensi yang harus siap Anda terima apabila kontrak berakhir di luar
jangka waktu sewa yang telah disepakati.

Konsekuensi.
Konsekuensi ini mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) 4/1994. Apa
saja? Yuk, disimak!
 
-. Jika yang dirugikan adalah penyewa, maka pemberi sewa berkewajiban untuk
mengembalikan uang sewa.
-. Jika yang dirugikan adalah pemberi sewa, maka penyewa berkewajiban
mengembalikan rumah dengan baik seperti keadaan semula.
-. Selain itu, penyewa juga tak dapat meminta kembali uang sewa yang telah
dibayarkan.

Anda mungkin juga menyukai