Anda di halaman 1dari 5

Perjanjian polis asuransi dalam tinjauan KUHPerdata

Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang
usaha perasuransian: “Asuransi atau pertanggungan, adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak
atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikat diri kepada tertanggung dengan
menerima premi asuransi untuk memberikan pengganti kepada tertanggung karena kerugian,
kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada
pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang
tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggalnya
atau hidupnya seorang yang dipertanggungkan”.

Hukum Perjanjian diatur dalam Buku III KUHPerdata yang mengatur tentang
perikatan. Pasal 1313 KUHPerdata mengatur bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lainnya. Pasal
ini menerangkan secara sederhana tentang pengertian perjanjian yang menggambarkan
tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri. Pengertian ini sebenarnya tidak
begitu lengkap, tetapi dengan pengertian ini sudah jelas bahwa dalam perjanjian itu terdapat
satu pihak mengikatkan dirinya kepada pihak lain.

Asuransi merupakan salah satu jenis perjanjian khusus yang diatur dalam KUHD.
Sebagai perjanjian, maka ketentuan syarat-syarat sah suatu perjanjian dalam KUHPdt berlaku
juga bagi perjanjian. Dalam perjanjian asuransi kebakaran ini berlaku ketentuan Pasal 1320
KUHPdt.

Menurut Pasal 1320 KUHPdt, syarat- syarat sah perjanjian:

1. Kesepakatan
Sebelum ada persetujuan, biasanya pihak-pihak mengadakan perundingan (negotiation),
pihak yang satu memberitahu kepada pihak yang lain mengenai benda yang menjadi
objek, pengalihan risiko, pembayaran premi, evenemen, ganti kerugian dan syarat-syarat
khusus asuransi. Pihak yang lain menyatakan pula kehendaknya, sehingga tercapai
persetujuan. Hal ini berhubungan dengan asas konsensual yang mengandung arti bahwa
perjanjian itu terjadi sejak saat tercapai kata sepakat (konsensus) antara pihak-pihak
dalam hal ini penanggung dan tertanggung mengenai pokok perjanjian asuransi sejak saat
perjanjian mengikat dan mempunyai kekuatan hokum.
2. Kewenangan
Kewenangan berbuat ada yang bersifat subjektif dan ada yang bersifat objektif.
Kewenangan subjektif artinya sudah dewasa yakni mencapai 21 tahun atau sudah kawin
walaupun belum 21 tahun ( Pasal 1330 KUHPdt), sehat ingatan, tidak berada di bawah
perwalian, atau pemegang kuasa yang sah. Kewenangan objektif artinya tertanggung
mempunyai hubungan yang sah dengan objek asuransi karena benda tersebut adalah
kekayaannya sendiri.
3. Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, objek perjanjian, prestasi yang wajib
dipenuhi. Objek tertentu dalam perjanjian asuransi adalah objek yang diasuransikan,
dapat berupa harta kekayaan dan kepentingan yang melekat pada pada harta kekayaan
(asuransi kerugian), dapat pula berupa jiwa dan raga manusia (asuransi jiwa). Objek
perjanjian harus ditentukan dengan jelas dan pasti. Kejelasan mengenai pokok perjanjian
atau objek perjanjian ialah untuk kemungkinan pelaksanaan hak dan kewajiban pihak-
pihak.
4. Suatu sebab yang halal (kausa yang halal)
Undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan
perjanjian, yang diperhatikan atau yang diawasi oleh undang- undang ialah “isi
perjanjian” yang menggambarkan tujuan yang hendak dicapai oleh pihak-pihak, apakah
dilarang oleh undang-undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum
dan kesusilaan atau tidak (Pasal 1337 KUHPdt).
Syarat pertama dan kedua di atas merupakan syarat subjektif dan syarat ketiga dan
keempat dinamakan syarat objektif. Syarat subjektif jika tidak dipenuhi maka perjanjian
dapat dibatalkan sedangkan syarat objektif jika tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi
hukum.
Asas-asas Perjanjian
Hukum perjanjian memiliki beberapa asas, yaitu:
a) Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang penting dalam hukum
perjanjian. Asas ini merupakan perwujudan manusia yang bebas, pancaran hak asasi
manusia. Asas kebebasan berkontrak berhubungan erat dengan isi perjanjian, yakni
kebebasan untuk menentukan “apa” dan dengan “siapa” perjanjian diadakan.
b) Asas Konsensualisme
Asas Konsensualisme dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dalam Pasal
1320 KUHPerdata disebutkan secara tegas bahwa untuk sahnya perjanjian harus ada
kesepakatan antara kedua belah pihak. Dalam Pasal 1338 KUHPerdata ditemukan
dalam perkataan “semua” menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk
menyatakan kehendak yang dirasakan baik untuk menciptakan perjanjian.
c) Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan menghendaki para pihak memenuhi dan melaksanakan
perjanjian yang mereka buat. Kreditur mempunyai hak untuk menuntut pelaksanaan
prestasi dengan melunasi utang melalui kekayaan debitur. Namun kreditur juga
mempunyai beban untuk melaksanakan perjanjian dengan itikad baik, sehingga
dapat dikatakan bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajiban
untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur
seimbang.
d) Asas Kepercayaan
Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain, menumbuhkan
kepercayaan di antara para pihak antara satu dengan yang lain akan memegang
janjinya untuk memenuhi prestasi di kemudian hari. Tanpa adanya kepercayaan itu,
maka perjanjian tidak mungkin diadakan para pihak.
e) Asas Kebiasaan
Asas Kebiasaan diatur dalam Pasal 1339 KUHPerdata jo Pasal 1347 KUHPerdata.
Menurut asas ini perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur,
tetapi juga hal-hal yang dalam keadaan dan kebiasaan lazim diikuti.

Berakhirnya Perjanjian

Dalam suatu perjanjian kita harus tahu kapan perjanjian itu berakhir. Perjanjian
dapat berakhir, karena:
a) Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak, misalnya persetujuan yang berlaku untuk
waktu tertentu.
b) Ditentukan oleh Undang-Undang mengenai batas berlakunya suatu perjanjian, misalnya
menurut Pasal 1066 ayat (3) KUHPerdata disebutkan bahwa para ahli waris dapat
mengadakan perjanjian untuk selama waktu tertentu untuk tidak melakukan pemecahan
harta warisan,
c) tetapi waktu persetujuan tersebut oleh ayat (4) dibatasi hanya dalam waktu 5 (lima)
tahun.
d) Ditentukan oleh para pihak atau Undang-Undang bahwa perjanjian akan hapus dengan
terjadinya peristiwa tertentu. Misalnya jika salah satu pihak meninggal dunia, maka
perjanjian tersebut akan berakhir.
e) Pernyataan menghentikan persetujuan (opzegging). Opzegging dapat dilakukan oleh
kedua belah pihak atau salah satu pihak. Opzegging hanya ada pada perjanjian-perjanjian
yang bersifat sementara, misalnya:
a. Perjanjian kerja;
b. Perjanjian sewa-menyewa.
f) Perjanjian hapus karena putusan hakim.
g) Tujuan perjanjian telah dicapai.
h) Berdasarkan kesepakatan para pihak (herroeping).

Wanprestasi
Wanprestasi adalah keadaan di mana debitor tidak memenuhi kewajiban prestasinya
dalam perjanjian atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya atau menurut selayaknya.
Unsur- unsur dari wanprestasi adalah sebagai berikut:
a. Debitor sama sekali tidak berprestasi; atau Dalam hal ini debitor sama sekali tidak
memberikan prestasinya. Hal itu bisa disebabkan karena debitor memang tidak mau
berprestasi atau bisa juga disebabkan karena memang kreditor objektif tidak mungkin
berprestasi lagi atau secara subjektif tidak ada gunanya lagi untuk berprestasi. Pada
peristiwa yang pertama memang kreditor tidak bisa lagi berprestasi, sekalipun ia mau.
b. Debitor keliru berprestasi; atau Di sini debitor memang dalam pemikirannya telah
memberikan prestasinya, tetapi dalam kenyataannya, yang diterima kreditor lain dari
pada yang diperjanjikan. Kreditor membeli bawang putih, ternyata yang dikirim
bawang merah. Dalam hal demikian kita tetap beranggapan bahwa debitor tidak
berprestasi. Jadi dalam kelompok ini (tidak berprestasi) termasuk “penyerahan yang
tidak sebagaimana mestinya” dalam arti tidak sesuai dengan yang diperjanjikan.
c. Debitor terlambat berprestasi Di sini debitor berprestasi, objek prestasinya betul,
tetapi tidak sebagaimana diperjanjikan. Sebagaimana sudah disebutkan di atas,
debitor digolongkan ke dalam kelompok “terlambat berprestasi” kalau objek
prestasinya masih berguna bagi kreditor. Orang yang terlambat berprestasi dikatakan
dalam keadaan lalai atau mora.
Subekti, menyebutkan bahwa wanprestasi debitor dapat berupa:
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
b. Melaksanakan apa yang diperjanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang
diperjanjikan;
c. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat; d. Melakukan sesuatu yang
menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai