Anda di halaman 1dari 6

1.

Perikatan adalah suatu perbuatan hukum yang mengikat antara dua orang atau lebih
Dimana satu pihak mempunyai hak dan pihak yang lain mempunyai kewajiban atas Suatu
prestasi.
Berdasarkan bunyi dari ketentuan pasal 1233 KUH Perdata tersebut, jelas ditegaskan bahwa
sumber dari perikatan ada dua, yaitu :
-Persetujuan atau perjanjian
-Undang-undang.
Menurut Pasal 1313 KUHPerdata, pengertian perjanjian sendiri adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Dalam pasal 1319 KUHPerdata membedakan perjanjian bernama (artinya nama kontrak oleh
undang-undang sudah diberi nama), jika mengikuti nama perjanjian yang sudah ditentukan
tersebut, maka ketentuan yang mengatur perjanjian tersebut harus diperhatikan.
Perjanjian bernama terbatas jumlahnya sebagaimana yang ditentukan dalam titel I, II, III, IV
dan V sampai dengan titel XVIII KUHPerdata, yaitu :
Jual Beli
Tukar Menukar
Sewa Menyewa
Perjanjian Melakukan Pekerjaan
Persekutuan Perdata
Badan Hukum
Hibah
Penitipan Barang
Pinjam Pakai
Pinjam Meminjam
Pemberian Kuasa

2. A. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)


Asas kebebasan berkontrak terdapat dalam Pasal 1338 KUHPrdt, yang berbunyi: “Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.”
Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
A. Membuat atau tidak membuat perjanjian;
B. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
C. Menentukan isis perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta
D. Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.

B. Asas (concensualism)

Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPer. Pada pasal
tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata
kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa
perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya
kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan
pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPer adalah berkaitan dengan bentuk
perjanjian.
C. Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda)
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas
yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas
bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para
pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan
intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt
servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPer.
D. Asas Itikad Baik (good faith)
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPer yang berbunyi: “Perjanjian
harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu
pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan
atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi
menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama,
seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang
kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif
untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.
E. Asas Kepribadian (personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan
dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat
dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPrdt. Pasal 1315 KUHPrdt menegaskan:“Pada
umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya
sendiri.”
Unsur unsur;.
a. Ada pihak-pihak sedikitnya dua orang
Pihak-pihak ini disebut dengan subjek perjanjian yang dapat berupa manusia Pribadi dan
badan hukum yang harus mampu cakap atau berwenang Melakukan perbuatan hukum
seperti yang ditetapkan oleh Undang-Undang, Bagi manusia pribadi cakap disini berarti
sudah dewasa dan atau sehat Jasmani dan rohani.
b. Ada persetujuan antara pihak-pihak itu
Persetujuan disini bukanlah perundingan melainkan hasil dari perundingan Itulah yang
menjadi persetujuan, hal itu dikarenakan perundingan adalah Tindakan pendahuluan
untuk menuju kepada adanya persetujuan.
c. Ada tujuan yang hendak dicapai
Tujuan yang hendak dicapai ini umumnya adalah untuk memenuhi Kebutuhan para paihak,
yaitu kebutuhan yang hanya dapat dipenuhi jika Mengadakan perjajnjian dengan pihak lain,
Dan perlu diingat bahwa tujuan Itu sama sekali tidak boleh bertentangan dengan ketertiban
umum kesusilaan Dan tidak dilarang oleh Undang-undang.

d. Ada prestasi yang dilaksanakan


Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai Dengan syarat-
sarat perjanjian.
e. Ada bentuk tertentu
Bentuk ini perlu ditentukan karena ada ketentuan undang-undang bahwa Hanya dengan
bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan Mengikat dan kekuatan bukti.
Bentuk dari suatu perjanjian secara umum Adalah lisan dan tertulis.
f. Ada syarat-syarat tertentu
Yarat-syarat inilah yang menjadi unsur penting dari suatu perjanjian karena Syarat-syarat
inilah yang sebenarnya menetukan apakah suatu perjanjian itu Sah atau tidak

3. Ada beberapa asas dalam hukum perikatan, diantaranya:


A.Pacta Sund Servanda

Pacta Sund Servanda memiliki pengertiaan sebagaimana yang ada di dalam pasal 1338
KUHPerdata:
“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain
dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh
undangundang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
B. Kepastian Hukum
Menurut Sudikno Mertokusumo Kepastian Hukum ialah jaminan bahwa hukum tersebut
harus dijalankan dengan cara yang baik. Jadi didalam suatu perikatan masing-masing pihak
harus menjalankannya sesuai dengan hukum dan perikatan tersebut menjadi UU bagi para
pihak yang membuatnya.
C. Konsensualisme
Konsensualisme dalam hal ini mengacu pada pasal 1320 KUHPerdata, yakni:Supaya terjadi
persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat Kesepakatan mereka yang mengikatkan
dirinya Kecakapan untuk membuat suatu perikatan Suatu pokok persoalan tertentu Suatu
sebab yang tidak terlarang.

4. Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan adanya 4 (empat ) syarat sahnya suatu perjanjian,
yakni:
Adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya;
Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan;
Suatu hal tertentu; dan
Suatu sebab (causa) yang halal.
Persyaratan yang pertama dan kedua disebut syarat subjektif karena berkenaan dengan
subjek perjanjian. Sedangkan, persyaratan yang ketiga dan keempat berkenan dengan objek
perjanjian dinamakan syarat objektif.

5. Perikatan Bersyarat Pasal 1253 KUHPerdata menyebutkan yang dimaksud dengan perikatan
bersyarat sebagai berikut :”Suatu perikatan adalah bersyarat manakata ia digantungkan
pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum tentu akan terjadi, baik
secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara
membatatkan perikatan menurut terjadi maupun tidak terjadinya peristiwa
tersebut”Berdasarkan hal tersebut perikatan bersyarat adalah perikatan yang lahir atau
hapusnya tergantung pada suatu peristiwa yang belum tentu terjadi. Dengan demikian,
perikatan ini ada dan tidaknya digantungkan pada syaratnya. Perikatan bersyarat terbagi
atas perikatan dengan syarat tangguh dan perikatan dengan syarat batal. Perikatan dengan
syarat tangguh baru lahir jika peristiwa yang dimaksudkan terjadi, misalnya Amir akan
melepaskan sahamnya jika keadaan ekonomi membaik. Sedangkan perikatan dengan syarat
batal sudah lahir dan justru menjadi batal jika peristiwa yang dimaksud terjadi, misalnya
Santa akan menarik investasinya jika Amir masuk menjadi pemegang saham baru.
Perikatan dengan Ketetapan Waktu Pasal 1268 KUHPerdata menjelaskan bahwa suatu
perikatan dengan ketetapan waktu tidak menangguhkan perikatan melainkan hanya
menangguhkan pelaksanaannya. Perikatan dengan ketetapan waktu, adalah perikatan yang
sudah ada, tetapi pelaksananya ditangguhkan sampai waktu tertentu, misalnya Andi
memesan mobil yang baru akan datang dan diserahkan padanya 90 hari sejak
ditandatangani perjanjian jual-beli. Selain itu, termasuk juga perikatan ketetapan waktu
adalah perikatan yang sudah ada, tetapi jangka waktu pelaksanaannya ditentukan atau
pelaksanaannya berakhir sampai dengan jangka waktu tertentu, misalnya Angki
dipekerjakan oleh Briant selama 2 tahun.
Perikatan Alternatif Dalam perikatan alternatif atau mana suka menurut Pasal 1272 KUH
Perdata si debitur atau orang yang mempunyai kewajiban atau yang seharusnya berprestasi
dalam perjanjian mempunyai kebebasan menyerahkan salah satu dari dua barang yang
diserahkan dalam perikatan, tetapi ia tidak dapat memaksa si berpiutang untuk menerima
sebagian dari barang yang satu dan menerima sebagian dari barang yang lain, misalnya Ani
membeli mobil dari sebuah dealer diberikan pilihan atau alternatif apakah memilih Type E
dengan diskon khusus atau Type G dengan menambah uang pembayaran.
Perikatan Tanggung-Menanggung Suatu perikatan tanggung-menanggung atau perikatan
tanggung renteng terjadi antara beberapa orang berpiutang, jika di dalam perjanjian secara
tegas kepada masing-masing diberikan hak untuk menuntut pemenuhan seluruh utang
sedang pembayaran yang dilakukan oleh salah satu membebaskan orang yang berutang
meskipun perikatan menurut sifatnya dapat dipecah dan dibagi di antara beberapa orang
tadi (Pasal 1278 KUH Perdata). Dalam perikatan ini seorang kreditur mempunyai hubungan
hukum dengan beberapa orang debitur. Hal ini umumnya terjadi dalam hal penghukuman
atau putusan pengadilan yang menetapkan demikian. Misalnya, direksi dan komisaris
dihukum secara tanggung menanggung membayar ganti rugi kepada penggugat sebesar
Rp5.000.000.000,-.
Perikatan yang Dapat Dibagi atau yang Tak Dapat Dibagi Perikatan ada yang dapat dibagi
atau di subkontrakkan dan ada perikatan yang tidak dapat dibagi (Pasal 1296 KUH Perdata).
Dapat dibagi atau tidaknya suatu perikatan tergantung dari jenis barang dan maksud atau isi
perjanjian. Dilihat dari sifat barang yang menjadi obyek perjanjian, sebuah mobil adalah
tidak dapat dibagi karena jika dibagi maka mobil tersebut kehilangan hakikatnya sebagai
sebuah mobil. Lain halnya jika obyek perjanjiannya misalnya perlengkapan pemilu maka hal
tersebut dapat dibagi kepada beberapa debitur dengan kewajibannya sendiri, misalnya
untuk perusahaan A menyediakan tanda gambar pemilu, perusahaan B menyediakan tinta
pemilu, perusahaan C menyediakan kotak pemilu, dan sebagainya, bahkan jika jumlahnya
banyak, hal tersebut bisa dibagi lagi kepada perusahaan lainnya, misalnya Perusahaan A
hanya menyediakan 50 juta tanda gambar pemilu dari 150 juta yang harus disediakan,
sisanya dibagi atau di subkontrakkan kepada perusahaan D dan E.
6. 1. Terjadi Pembayaran
Menurut hukum perikatan, pembayaran adalah setiap tindakan pemenuhan prestasi. Jadi,
pembayaran dalam hal ini bukan hanya berupa penyerahan ataupun pembayaran sejumlah
uang saja, tetapi juga penyerahan barang oleh penjual.
Pada prinsipnya, debitur lah yang melakukan pembayaran kepada kreditur. Secara umum,
pembayaran tersebut dilakukan di tempat tinggal (rumah) kreditur atau langsung di tempat
dimana pembelian menurut perjanjian. Dengan dilakukan pembayaran tersebut maka pada
saat itu pula berakhirlah perikatan.
2. Penawaran pembayaran tunai dan diikuti dengan penitipan
Penawaran pembayaran ini merupakan suatu cara pembayaran yang harus dilakukan oleh
debitur apabila kreditur menolak pembayaran.
3. Kadaluwarsa
Yang dimaksud kadaluwarsa atau lewat waktu pembayaran menurut pasal 1946 KUH
Perdata, merupakan suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari
suatu perikatan, dengan cara lewatnya waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang
ditentukan oleh undang-undang.
Dari rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa undang-undang mengenal dua bentuk
daluwarsa (lewat waktu), yakni :
Daluwarsa acquisitif, yaitu daluwarsa untuk memperoleh hak milik atas suatu barang.
Daluwarsa extinctif, yaitu daluwarsa yang dapat membebaskan / melepaskan seseorang dari
suatu perikatan.

4. Pembatalan
Semua perikatan yang dibuat oleh orang-orang yang menurut undang-undang tidak cakap
untuk bertindak sendiri. Seperti misalnya oleh anak yang masih dibawah umur, orang yang
berada di bawah pengampuan. Atau bisa juga dibatalkan karena perikatan itu dibuat karena
paksaan, kekhilafan atau penipuan.
Orangtua atau wali dan pengampu (bagi mereka yang dianggap tidak cakap) atau yang
bersangkutan sendiri (bagi perikatan yang dibuat karena terpaksa, kekhilafan atau penipuan)
dapat mengajukan pembatalan perikatan tersebut kepada pengadilan. Dengan disahkannya
pembatalan tersebut oleh hakim, berarti berakhirlah perikatan yang termaksud, sesuai bunyi
pasal 1446 dan 1449 KUH Perdata.
5. Persetujuan Pembebasan Utang
Pembebasan utang adalah perbuatan hukum, dimana kreditur melepaskan haknya untuk
menagih piutangnya dari debitur. Pembebasan ini harus disetujui atau diterima oleh debitur,
baru kemudian dapat dikatakan bahwa perikatan utang piutang telah hapus karena
pembebasan. Karena ada juga kemungkinan seorang debitur tidak mau dibebaskan dari
piutangnya.
6. Berlakunya Syarat Batal
Berakhirnya perikatan karena berlakunya syarat batal ini erat sekali hubungannya dengan
perikatan bersyarat. Suatu perikatan adalah persyaratan jika ia digantungkan pada suatu
peristiwa yang akan datang yang belum tentu terjadi.
Di dalam pasal 1253 KUH Perdata, perikatan itu ada yang berupa perikatan bersyarat yang
menghapuskan atau disebut juga perikatan dengan suatu syarat batal, yaitu suatu perikatan
yang sudah dilahirkan justru akan berakhir atau dibatalkan apabila peristiwa yang dimaksud
itu terjadi.
Jadi, dengan terpenuhinya syarat batal tersebut maka berakhirlah perikatannya. Sebagai
contoh, Anisa menyewakan sebuah rumahnya kepada Risa, dengan ketentuan bahwa
persewaan itu akan berakhir jika anak Anisa yang sedang bertugas di luar negeri kembali ke
tanah air. Jadi dengan kembalinya anak Anisa ke tanah air berarti pada saat itu berakhirlah
perikatan antara Anisa dan Risa yang ditimbulkan dari perjanjian sewa menyewa.

7. Pembaharuan Utang
Pembaharuan utang atau disebut juga dengan “novasi” adalah suatu perjanjian yang
menyebabkan hapusnya suatu perikatan lama. Akan tetapi, pada saat itu juga menimbulkan
suatu perikatan yang baru. Sebagai contoh, seorang penjual barang membebaskan pembeli
dari pembayaran harga barang itu, akan tetapi pembeli itu disuruh menandatangani suatu
perjanjian pinjam uang yang nilai atau jumlahnya sama dengan harga barang tersebut.
Jadi, dengan dibebaskannya pembeli dari pembayaran harga barang tersebut, berarti
berakhirlah perikatan yang lama, dan dengan ditandatanganinya perjanjian pinjam uang,
berarti menimbulkan perikatan yang baru. Pembaharuan utang atau novasi ini ada dua
macam, yaitu :
Novasi obyektif, di mana perikatan yang telah ada diganti dengan perikatan lain. Misalnya,
kewajiban untuk membayar sejumlah uang diganti dengan kewajiban untuk menyerahkan
seseuatu barang tertentu.Novasi subyektif, subyek perikatan yang diganti, misalnya, :
Penggantian debitur.Penggantian kreditur
8. Pencampuran Utang
Percampuran utang dapat terjadi dikarenakan kedudukan kreditur dan debitur bersatu
dalam diri satu orang. Misalnya Oka (kreditur) menikah dengan Tita (debitur), dengan
menikahnya mereka, berarti harta mereka bersatu menjadi harta perkawinan (bersama).
Bisa juga debitur dalam surat wasiat ditunjuk sebagai satu-satunya ahli waris kreditur.
9. Musnahnya Barang yang Terutang
Hal ini terjadi apabila barang yang menjadi obyek perikatan itu musnah atau hilang di luar
kesalahan atau kelalaian debitur sebelum menyerahkan. Dengan hilang atau musnahnya
barang tersebut, berarti debitur terbebas dari kewajiban untuk menyerahkan barang
tersebut, atau dengan kata lain hapus / berakhirlah perikatan tersebut.
10. Perjumpaan Utang
Perjumpaan utang atau “konpensasi” merupakan salah satu cara berakhirnya perikatan. Hal
ini karena masing – masing pihak saling memperjumpakan atau memperhitungkan utang –
piutang mereka secara timbal balik.

7. Berdasarkan ketentuan Pasal 1352 KUH Perdata tersebut, dapat disimpulkan bahwa
perikatan yang lahir karena undang-undang, dapat digolongkan menjadi :
Karena undang-undang saja.
Karena undang-undang sebagai akibat perbuatan orang

Anda mungkin juga menyukai