PENDAHULUAN
A. UMUM
1. Pengertian Perikatan
Perikatan (verbintenis) adalah hubungan hukum antara dua pihak di dalam
lapangan harta kekayaan, di mana pihak yang satu (kreditur) berhak atas
suatu profesi, dan pihak yang lain (debitur) berkewajiban memenuhi prestasi
itu. Oleh karena itu, dalam setiap perikatan terdapat “hak” di satu pihak dan
“kewajiban” di pihak yang lain (Riduan Syahreni, 2009: 194).
Menurut Subekti (1979: 1), perikatan dikatakan sebagai hubungan hukum
antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak
menuntut suatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lain berkewajiban
untuk memenuhi tuntutan itu.
Hal ini dipertegas lagi berdasarkan ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata yang menyatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Buku III KUH Perdata tentang Perikatan, tidak memberikan suatu
rumusan dari perikatan itu sendiri. Menurut Badrulzaman (1982: 1)
Perikatan ialah hubungan yang terjadi di antara dua orang atau lebih yang
terletak di dalam lapangan harta kekayaan di mana pihak yang satu berhak
atas prestasi dan pihak yang lainnya wajib memenuhi prestasi itu.
Vollmar (dalam Badrulzaman: 1) menyatakan, ditinjau dari isinya bahwa
perikatan itu ada selama seseorang itu harus melakukan sesuatu prestasi yang
mungkin dapat dipaksakan terhadap kreditur, kalau perlu dengan bantuan
hakim.
Unsur-unsur dari suatu perikatan terdiri atas adanya hubungan hukum,
kekayaan, pihak-pihak, dan prestasi. Pentingnya menyoalkan unsur-unsur
tersebut adalah untuk mempertegas bahwa hukum melekatkan “hak” pada
satu pihak dan melekatkan “kewajiban” pada pihak yang lainnya dalam
hubnungan-hubungan yang terjadi di masyarakat.
2. Sistem Hukum Perikatan
Dalam Hukum Benda, macam-macam hak atas benda adalah terbatas dan
aturan-aturan mengenai hak atas benda itu juga bersifat memaksa.
Lain halnya dalam Hukum Perikatan yang memberikan kebebasan seluas-
luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perikatan yang berisi apa
saja, asalkan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
Menurut pembuat undang-undang (Badrulzaman, 1995: 107), kata
“semua” dalam pasal tersebut menunjukkan bahwa perjanjian yang
dimaksud bukan semata-mata perjanjian bernama, tetapi juga meliputi
perjanjian tidak bernama.
Kata “semua” itu terkandung suatu asas partij autonomie. Beda dengan
Subekti (1995: 14), kata “semua” dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata
dimaknai sebagai suatu kebolehan bagi masyarakat untuk membuat janji
yang berupa dan berisi apa saja dan janji itu mengikat mereka yang
membuatnya seperti undang-undang.
Dalam Hukum Perikatan dikenal adanya asas Konsensualisme ialah suatu
perikatan yang lahir sejak detik tercapainya kesepakatan. Pengecualian
terhadap Konsensualisme adalah perjanjian formal, perjanjian riil dan lain-
lainnya.
Dalam Buku III KUH Perdata terdiri atas dua bagian, yaitu bagian umum
yang memuat aturan yang berlaku bagi perikatan umum misalnya kapan
perikatan lahir, kapan perikatan hapus. Bagian khusus memuat aturan
mengenai perjanjian-perjanjian yang sudah banyak dikenal oleh masyarakat
dan sudah memiliki nama tertentu misalnya jual beli, sewa menyewa,
perjanjian perburuhan dan lain-lainnya.
B. MACAM-MACAM PERIKATAN
1. Perikatan Murni
Dalam suatu perikatan masing-masing pihak terdiri atas hanya satu orang
saja, sedangkan yang dituntut juga berupa satu hal saja dan penuntutannya
dapat dilakukan seketika maka perikatan semacam ini disebut Perikatan
Murni (Subekti, 1979: 4).
2. Perikatan Bersyarat
Kata “syarat” diartikan “peristiwa” yang masih akan datang dan belum tentu
akan terjadi.
Terdapat dua macam perikatan bersyarat, yakni sebagai berikut.
a. Perikatan Bersyarat Tangguh
Adalah perikatan yang lahir apabila peritiwa yang dimaksud itu terjadi.
4. Perikatan Manasuka
Perikatan ini diatur dalam Pasal 1272 KUH Perdata yang berbunyi: “Dalam
perikatan-perikatan manasuka si berutang dibebaskan jika ia menyerahkan
salah satu dari dua barang yang disebutkan dalam perikatan, tetapi ia tidak
dapat memaksa si berpiutang untuk menerima sebagian dari barang yang
lain.”
Perikatan Manasuka dapat berubah menjadi Perikatan Murni dengan
beberapa cara, yaitu:
a. Bila salah satu dari barang yang dijanjikan tidak dapat menjadi pokok
perikatan (Pasal 1274 KUH Perdata);
b. Bila salah satu dari barang-barang yang dijanjikan itu hilang atau musnah
(Pasal 1275 KUH Perdata);
c. Bila salah satu dari barang-barang yang dijanjikan karena kesalahan si
berutang tidak lagi dapat diserahkan (Pasal 1275 Kuh Perdata);
2. Wanprestasi
a. Pengertian
Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti “prestasi buruk”
(Subekti, 1967: 45).
b. Bentuk Wanprestasi
1) Memenuhi prestasi tapi tidak tepat pada waktunya.
2) Tidak memenuhi prestasi, artinya prestasi itu tidak hanya terlambat, tetapi
juga tidak bisa dijalankan.
3) Memenuhi prestasi tidak sempurna, artinya prestasi diberikan, tetapi tidak
sebagaimana mestinya.
c. Akibat Wanprestasi
1) Kreditur tetap berhak atas pemenuhan perikatan, jika hal itu masih
dimungkinkan.
2) Kreditur juga mempunyai hak atas ganti kerugian baik bersamaan dengan
pemenuhan prestasi maupun sebagai gantinya pemenuhan prestasi.
3) Sesudah adanya wanprestasi, maka overmacht tidak mempunyai kekuatan
untuk membebaskan debitur.
4) Pada perikatan yang lahir dari kontrak timbal balik, maka wanprestasi
dari pihak pertama memberi hak kepada pihak lain untuk minta
pembatalan kontrak oleh Hakim.
b. Macam-macam Overmacht
Menurut Subekti (2010: 150) Overmacht ada yang bersifat mutlak apabila
sama sekali tidak mungkin lagi melaksanakan perikatan. Ada juga yang
bersifat tidak mutlak, yaitu suatu keadaan suatu perikatan masih dapat
dilaksanakan.
c. Teori Overmacht
1) Teori ketidakmungkinan (on mogelijkeheid), menyatakan bahwa
overmacht adalah suatu keadaan tidak mungkin melakukan pemenuhan
prestasi yang diperjanjikan. Ajaran ini dibedakan menjadi:
a) Ketidakmungkinan absolut atau objektif, artinya suatu
ketidakmungkinan sama sekali dari debitur untuk melakukan
prestasinya.
b) Ketidakmugnkinan relatif atau subjektif, yaitu ketidakmungkinan bagi
debitur untuk memenuhi prestasinya.
e. Akibat Overmacht
Ketentuan yang mengatur akibat dari adanya overmacht dapat dibaca pada
pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata. Pasal 1244 KUH Perdata menyatakan
bahwa:
“Jika ada alasan untuk itu, siberutang harus dihukum mengganti biaya,
rugi dan bunga apabila ia tidak dapat membuktikan bahwa hal tidak atau
tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan
suatu hal yang tak terduga pun tak dapat dipertanggungjawabkan
padanya, kesemuanya itu pun jika iktikad buruk tidaklah ada pada
pihaknya.
Pasal 1245 KUH Perdata menyebutkan:
“Tidaklah biaya, rugi, dan bunga harus diganti apabila lantaran keadaan
memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang
berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau
lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.
3. Somasi
Ajaran Somasi dapat dibedakan menjadi:
a. Pendapat yang lama: Somasi dapat dilakukan apabila perikatan telah
dapat dipenuhi sedangkan pendapat yang sekarang kreditur sebelumnya
telah dapat memberikan Somasi yang menyatakan agar debitur memenuhi
perikatan tepat waktunya dan jika tidak maka debitur telah melakukan
wanprestasi;
b. Pendapat yang baru: tiap Somasi harus memuat tenggang waktu yang
wajar. Kreditur memberikan kesempatan kepada debitur untuk memenuhi
perikatan.
Menurut Subekti (2010: 147), peringatan Pasal 1238 KUH Perdata adalah
peringatan tertulis. Penyampaian Somasi melalui juru sita Pengadilan
dipandang lebih aman karena ada berita acara penyampaiannya.