Anda di halaman 1dari 6

3.

Sumber - Sumber Hukum Perikatan di Indonesia


Sumber - sumber hukum perikatan di Indonesia dapat digambarkan
melalui grafik berikut.
Perikatan
1233 BW
bersumber dari

Perjanjian Undang - Undang


1313 BW 1352 BW

Undang - Undang Saja Undang - Undang


Karena perbuatan manusia
1353 BW

Perbuatan yang sesuai Perbuatan yang melawan


Dengan hukum (rechtmatige) hukum (onrechtmatige)
1354 BW (zaakwarneming) Pasal 1365 s.d 1380
1359 BW (onverschuldigde betaling)

Pasal 1233 KUH Perdata, berbunyi, “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik


karena persetujuan, baik karena undang-undang. ”
Dari ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata tersebut, jelas ditegaskan bahwa
sumber dari perikatan ada dua, yaitu :

1. Persetujuan atau Perjanjian

2. Undang-Undang.

Perikatan yang bersumber dari perjanjian (Pasal 1313 KUH Perdata), terdiri
dari:
1) Perjanjian bernama,yakni perjanjian yang sudah ditentukan dan diatur
dalam Perpu/UU. Misalnya, perjanjian jual-beli, sewa-menyewa, tukar-
menukar, dan sebagainya.
2) Perjanjian tidak bernama, yakni perjanjian yang belum ada dalam
Undang - Undang. misalnya leasing, dan sebagainya.

Dalam perikatan yang timbul karena perjanjian, kedua pihak debitur dan
kreditur dengan sengaja bersepakat saling mengikatkan diri, dalam Perikatan
mana kedua pihak mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi.
Pihak debitur wajib memenuhi prestasi dan pihak kreditur berhak atas
prestasi.

Perikatan yang bersumber pada undang-undang, dapat dibedakan menjadi :


a. Perikatan yang hanya terjadi karena undang-undang
Demikian itu sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1352 KUH
Perdata, yang berbunyi, “Perikatan-perikatan yang dilahirkan demi undang-
undang, timbul dari undang-undang saja, atau dari undang-undang sebagai
akibat perbuatan orang.” Contohnya : hak alimentasi (Pasal 104 KUH
Perdata), hak numpang pekarangan (Pasal 625 KUH Perdata).

b. Perikatan yang timbul dari undang-undang karena perbuatan manusia


Selanjutnya, perikatan yang timbul dari undang-undang karena
perbuatan
manusia, digolongkan menjadi :
1. Perbuatan yang halal (Pasal 1354 KUH Perdata)
2. Perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUH Perdata)

Sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 1353 KUH Perdata, yang


berbunyi, “Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang sebagai
akibat perbuatan orang, terbit dari perbuatan halal atau dari perbuatan
melawan hukum.”

Dalam perikatan yang timbul karena Undang-Undang, hak dan kewajiban


debitur dan kreditur ditetapkan oleh Undang-Undang. Pihak debitur dan
kreditur wajib memenuhi ketentuan Undang-Undang. Undang-Undang
mewajibkan debitur berprestasi dan kreditur berhak atas prestasi. Kewajiban
ini disebut kewajiban Undang-Undang. Jika kewajiban tidak dipenuhi, berarti
pelanggaran Undang-Undang.

Perbuatan hukum adalah perbuatan dengan mana orang yang


melakukan perbuatan tersebut bermaksud untuk menimbulkan suatu akibat
hukum. Perbuatan hukum dapat digolongkan menjadi :
 Perbuatan hukum bersegi satu, yaitu perbuatan hukum yang untuk
terjadinya cukup dengan pernyataan kehendak dari seorang saja.
 Perbuatan hukum bersegi banyak, yaitu perbuatan hukum yang untuk
terjadinya disyaratkan kata sepakat antara dua orang atau lebih.

Tindakan yang dilakukan seorang, selain bisa dikategorikan sebagai


perbuatan hukum, ada pula suatu tindakan yang bukan merupakan
perbuatan hukum, di mana seorang yang melakukannya tidak memikirkan
akibat-akibat hukumnya. Suatu perbuatan yang bukan merupakan perbuatan
hukum, digolongkan menjadi :
 Perbuatan menurut hukum
Yang dimaksud dengan perbuatan menurut hukum adalah setiap
perbuatan yang dilakukan oleh seorang, yang sesuai atau telah diatur
oleh ketentuan perundang-undangan (hukum). Yang termasuk dalam
golongan ini, misalnya perwakilan sukarela dan pembayaran tidak
terutang.
 Perbuatan melawan hukum
Yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum adalah
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1365 KUH Perdata, yang berbunyi,
"Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada
orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Jadi, jika dibandingkan sumber perikatan di atas dengan kenyataan-


kenyataan hukum yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, maka akan
terlihat bahwa :
a) Perikatan yang bersumber pada perjanjian, termasuk ke dalam golongan
perbuatan hukum bersegi banyak.
b) Perikatan yang timbul dari undang-undang saja, termasuk dalam
perbuatan-perbuatan, yang bukan merupakan perbuatan-perbuatan
hukum.
c) Perikatan yang bersumber dari undang-undang karena perbuatan
manusia, termasuk dalam perbuatan menurut hukum dan perbuatan
melawan hukum.

Dibedakannya sumber perikatan ke dalam perjanjian dan undang-


undang, menimbulkan kritik dari beberapa ahli hukum, yaitu bahwa :
1) Dalam Pasal 1233 KUH Perdata, ditegaskan undang-undang dibedakan
dari perjanjian. Padahal, hal tersebut tidaklah perlu, ketentuan adanya
perjanjian dapat menimbulkan perikatan, adalah karena undang-undang
menentukan demikian. Jadi menurut beberapa ahli hukum, undang-
undanglah sebagai satu-satunya sumber perikatan. Pendapat tersebut
ditentang oleh Pitlo, yang mengemukakan bahwa sekalipun undang-
undang tidak menyebutkan perjanjian sebagai sumber perikatan, ia tetap
masih merupakan sumber perikatan. Hal ini disebabkan karena
kehidupan bersama menuntut bahwa manusia itu dapat menepati
perkataannya, yang merupakan tuntutan kesusilaan.
2) Perikatan tidak pernah akan timbul hanya dari undang-undang saja,
karena undang-undang tidak mungkin menciptakan suatu perikatan dari
hal yang tidak ada. Menurut Pitlo, adapun yang dimaksud oleh
pembentuk undang-undang adalah bahwa perikatan yang terjadi karena
undang-undang saja sebagai lawan dari perikatan yang ditimbulkan oleh
perbuatan hukum (perjanjian).
3) Dalam menentukan sumber-sumber perikatan, undang-undang tidak
mencakup seluruh sumber perikatan. Selain perjanjian dan undang-
undang masih terdapat fakta-fakta hukum lainnya yang dapat
menimbulkan perikatan. Misalnya, apabila seseorang dalam surat wasiat
membuat suatu legaat, maka pada waktu orang tersebut meninggal
dunia, timbul suatu perikatan antara para ahli waris dengan legataris, di
mana yang pertama berkewajiban dan yang kedua berhak.

Hapusnya Perikatan
Menurut Pasal 1381 KUH Perdata, hapusnya perikatan terjadi karena:
 Pembayaran
Pelunasan berupa prestasi dalam perjanjian (Pasal 1382 sampai
dengan Pasal 1403 KUH Perdata).
 Penawaran pembayaran diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
Diatur dalam Pasal 1404 sampai dengan Pasal 1412 KUH Perdata,
jika si berpiutang menolak pembayaran, maka si berutang dapat
melakukan penawaran pembayaran tunai dengan perantaraan notaris
atau juru sita, jika si berpiutang menolaknya, maka si berutang
menitipkan uang atau barangnya kepada Paniter Pengadilan Negeri
untuk disimpan. Maka hal ini akan membebaskan si berutang dan
berlaku sebagai pembayaran.
 Pembaharuan Utang (novasi)
Hapusnya perikatan karena pembaharuan utang diatur dalam Pasal
1413 sampai dengan Pasal 1424 KUH Perdata. Menurut Prof. Subekti,
pembaharuan utang adalah pembuatan perjanjian baru yang
menghapuskan perikatan yang lama, sambil meletakkan suatu perikatan
baru.
 Perjumpaan utang
Hapusnya perikatan karena perjumpaan utang diatur dalam Pasal
1425 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1435 KUH Perdata. Pasal 1425
KUH Perdata menyatakan bahwa jika dua orang saling berutang satu
dengan yang lain, maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan
utang, dengan mana utang - utang antara kedua orang tersebut
dihapuskan. Dengan demikian, perjumpaan itu harus diajukan atau
dimintakan oleh pihak - pihak yang berkepentingan.
 Percampuran utang
Percampuran utang terjadi apabila kedudukan sebagai orang
berpiutang (kreditur) dan orang berutang (debitur) berkumpul apda 1
orang(1436 KUHPer). Pencampuran yang terjadi pada diri debitur utama
berlaku juga untuk keuntungan para penanggung utangnya.
 Pembebasan utang
Suatu perbuatan hukum di mana kreditur dengan sukarela
membebaskan/melepaskan haknya dari debitur dari segala
kewajibannya (Pasal 1438 sampai dengan Pasal 1443 KUH Perdata).
 Musnahnya barang yang terutang (Pasal 1444 sampai dengan Pasal
1445 KUH Perdata)
Barang yang menjadi oyek perjanjian musnah, tidak dapat lagi diapa-
apakan.
 Pembatalan
Hapusnya perikatan karena pembatalan diatur dalam Pasal 1446
sampai dengan Pasal 1456 KUH Perdata, disebutkan pembatalan
perikatan apabila:
(a) Perikatan itu dibuat oleh mereka yang tidak cakap hukum (Pasal
1446 KUH Perdata) seperti belum dewasa, ditaruh di bawah
pengampuan dan wanita yang bersuami.
(b) Perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan dan penipuan
(Pasal 1449 KUH Perdata)
 Berlakunya suatu syarat batal
Suatu syarat batal adalah syarat yang apabila dipenuhi,
menghentikan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada
semula, seolah-olah tidak terjadi perikatan. Dengan demikian, syarat
batal ini mewajibkan si berutang mengembalikan apa yang telah
diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan terjadi (Pasal 1265
KUH Perdata).

Sumber :
https://www.sumbbu.com/2016/04/hukm-perdata-hukum-perikatan-
pengertian-macam-sumber.html
Pokok-Pokok Hukum Perikatan - R. Seriawan, SH dan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata

Anda mungkin juga menyukai