Anda di halaman 1dari 11

Bahasa Hukum

Karakteristik Bahasa
Hukum

Ari Wibowo, SHI., SH., MH


Karakteristik Bahasa Hukum

1. Kejelasan makna
2. Kepaduan pikiran
3. Kelugasan
4. Keresmian
1. Kejelasan Makna
• Gagasan dan ungkapan yang disampaikan menuntut
kejelasan dalam pemilihan kata maupun kalimat, sehigga
tidak menimbulkan multitafsir. Sebagai jabaran dari asas
legalitas, dalam hukum pidana dikenal prinsip “Nullum
crimen, nulla poena sine lege certa” yang artinya “tidak
ada perbuatan pidana, tanpa UU yang jelas.” Prinsip ini
mengandung konsekuensi bahwa rumusan perbuatan
pidana harus jelas, sehingga tidak mengandung multitafsir.
• Penyusunan kalimat tentang bahasa hukum harus cermat,
sehingga dapat dimengerti dan dipahami oleh si penerima.
Contoh
• Pasal 1 UU No. 11/PnPs/1963: “Dipersalahkan melakukan
tindak pidana subversi: Barang-siapa melakukan sesuatu
perbuatan dengan maksud atau nyata-nyata dengan maksud
atau yang diketahuinya atau patut diketahuinya dapat
memutar balikkan, merongrong atau menyelewengkan
ideologi negara Pancasila atau haluan negara.”
• Klausul “memutar balikkan, merongrong atau
menyelewengkan ideologi negara” dalam Pasal tersebut
tidak jelas maknanya, sehingga menimbulkan multitafsir.
2. Kepaduan Pikiran
• Bahasa hukum sebagai
bahasa ilmiah harusnya
disusun secara cermat dan
tepat, sehingga mempunyai
kesatuan makna yang jelas
atau tidak bertentangan
satu sama lain, misalnya
dalam putusan pengadilan,
antara pertimbangan
(motivering) dan putusan
harus bersesuaian.
Contoh: Putusan Pengadilan Tipikor, Jakarta
no. 54/Pid.B/Tpk/2012/PN.Jkt.Pst
• Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta di atas dapat diperoleh fakta
bahwa Terdakwa telah menerima hadiah atau janji berupa uang untuk
pemenuhan 5% dari nilai proyek, di mana janji tersebut diberikan oleh
Permai Group/Mindo Rosalina Manullang kepada Terdakwa, dan
berdasarkan fakta-fakta sebagaimana diuraikan di atas ternyata dapat
dibuktikan atas janji tersebut dilakukan penyerahan sejumlah uang adalah
sebanyak 4 (empat) kali dengan jumlah sebesar Rp. 2.500.000.000,- (dua
milyar lima ratus juta rupiah) dan sebesar US $. 1.200.000,- (satu juta dua
ratus ribu Dollar Amerika Serikat), di mana merupakan realisasi janji yang
diberikan oleh Permai Group melalui saksi Mindo Rosalina Manulang
kepada Terdakwa, meskipun dalam penyerahan hadiah berupa mata uang
rupiah maupun mata uang dollar Amerika diterima secara tidak langsung
oleh Terdakwa, yaitu melalui orang lain, kurir atau orang kepercayaan
Terdakwa, maka dapat disimpulkan bahwa pemberian hadiah atau janji
tersebut adalah dalam hubungannya dengan usulan atau pembahasan proyek
di Kemendiknas.
• Menyatakan Terdakwa ANGELINA PATRICIA PINGKAN
SONDAKH telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan “TINDAK PIDANA KORUPSI SECARA BERLANJUT”
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 11 Undang-
Undang R.I. Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UndangUndang R.I. Nomor
31 Tahun 1999 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
• Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Terdakwa ANGELINA
PATRICIA PINGKAN SONDAKH, dengan pidana penjara selama 4
(empat) tahun dan 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp.
250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan
apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan
selama 6 (enam) bulan
3. Kelugasan
• Kelugasan adalah apa adanya, kesahajaan atau kesederhanaan.
• Satu kata atau kalimat dalam bahasa hukum harus memiliki satu makna.
• Disusun dengan kalimat yang padat dan jelas, tidak terlalu panjang.
• Kelugasan dalam bahasa hukum memerlukan tiga pendekatan:
 dari sudut bahasa, yaitu harus dipahami kaidah-kaidah bahasa yang baik
dan benar, sehingga setiap kata dan kalimat mempunyai pengertian
yang jelas, runtut dan mudah dipahami;
 dari sudut hukum, yaitu memahami dengan sesungguhnya pokok
substansi hukum;
 dari segi psikologi massa, yaitu perlu diketahui dengan siapa hukum itu
dibicarakan atau dengan kata lain harus dilihat dan dinilai apakah orang
yang menerima komunikasi tersebut memahami apa yang dibicarakan.
Contoh 1
• Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999: “Setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
dipidana dengan ...”
• Bahasa dalam Pasal 2 tersebut memenuhi aspek kelugasan
karena dirumuskan secara padat, jelas dan tidak terlalu
panjang.
Contoh 2
• Pasal 6 UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme: “Setiap orang yang
dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas
atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas
kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau
mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital
yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas
internasional.”
• Rumusan pasal di atas tidak mencerminkan aspek kelugasan karena
terlalu panjang dan tidak jelas, misalnya istilah “suasana teror” dan “rasa
takut terhadap orang secara meluas” sesungguhnya memiliki makna yang
sama. Adanya duplikasi tersebut membuka peluang aparat penegak
hukum untuk menfasirkan “suasana teror” sesuai seleranya, sehingga
membuka peluang adanya otoritaroianisme.
4. Keresmian
Bahasa hukum yang
digunakan seharusnya
menggunakan bahasa resmi
yang kata-kata dan susunan
kalimatnya merupakan
bahasa Indonesia yang
baku.

Anda mungkin juga menyukai