DISUSUN OLEH :
UNIVERSITAS TADULAKO
FAKULTAS HUKUM
2018/2019
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tukar menukar merupakan metode yang sangat efektif dan menguntungkan pada
zaman dahulu. Bukan hanya merupakan alternatif untuk transaksi biasa, namun sebagai
sarana untuk alat tukar menukar barang dan jasa. Sistem barter ini masih dipakai dalam
kehidupan masyarakat dan masih melekat terutama pada masyarakat desa yang kental akan
adat istiadat. Hanya saja, sering kali sulit untuk benar-benar memuaskan keinginan kedua
belah pihak. Selain itu, barter hanya dapat dilakukan dengan orang yang dikenal. Dengan
semakin berkembangnya teknologi zaman sekarang sistem barter sudah semakin berkembang
seiring perubahan zaman, dari yang tadinya barang dan jasa sekarang sudah berubah, walau
tidak secara otentik dalam perubahannya. Namun sistem barter dalam fungsi dan perannya
tetap sama, hanya saja yang dulunya barter untuk alat perdagangan.
Tukar menukar adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak mengikatkan
dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara bertimbal balik sebagai gantinya suatu
barang lain. Sebagaimana dapat dilihat berdasarkan pada pengertian tukar menukar tersebut
maka perjanjian tukar menukar ini adalah juga suatu perjanjian konsensuil dalam arti bahwa
perjanjian tersebut sudah jadi dan mengikat pada saat tercapainya kesepakatan mengenai
barang-barang yang menjadi obyek perjanjiannya. Perjanjian tukar menukar dapat pula
dilihat sebagai suatu perjanjian “obligatoir” seperti pada perjanjian jual beli, dalam arti
bahwa perjanjian tersebut belum memindahkan hak milik tetapi baru pada taraf memberikan
hak dan kewajiban. Masing-masing pihak mendapat hak untuk menuntut diserahkannya hak
milik atas barang yang menjadi obyek perjanjian.
Ketentuan tentang tukar – menukar dalam KUH perdata diatur pada bab ke enam, dari
Pasal 1541 sampai dengan pasal 1546. Ketentuan tersebut sangat singkat karena hanya terdiri
dari enam pasal, akan tetapi walaupun hanya terdiri dari enam pasal, ketentuan tersebut
sangat luas karena pasal 1546 KUH perdata mengatakan bahwa aturan – aturan tentang
persetujuan jual – beli berlaku terhadap persetujuan tukar menukar.
Kita telah mengatahui bahwa untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi syarat –
syarat yang telah ditetapkan dalam undang – undang. Syarat – syarat itu diatur dalam Pasal
1320 KUH perdata, maka untuk sahnya suatu perjanjian tukar – menukar haruslah memenuhi
syarat – syarat yang telah ditetapkan dalam Pasal 1320 KUH perdata. Selain mengatur syarat
untuk sahnya suatu perjanjian dalam membahas ketentuan umum tentang perjanjian penulis
telah menguraikanbahwa dari pasal 1320 tersebut dapat disimpulkan asas konsensualitas yang
berlaku dalam hukum perjanjian.
Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua
belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Salah satunya adalah
perjanjian Tukar Menukar. Tukar-menukar diatur dalam Pasal 1541 sampai dengan Pasal
1546 KUH Perdata. Perjanjian tukar-menukar adalah "Suatu persetujuan, dengan mana kedua
belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara bertimbal
balik sebagai suatu ganti barang lainnya." (Pasal 1451 KUH Perdata)
Definisi ini terlalu singkat, karena yang ditonjolkan adalah saling memberikan benda
antara satu sama lain. Dalam perjanjian itu pihak yang satu berkewajiban menyerahkan
barang yang ditukar, begitu juga pihak lainnya berhak menerima barang yang ditukar. Barang
yang ditukar oleh para pihak, dapat berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak.
Penyerahan barang bergerak cukup penyerahan nyata, sedangkan barang tidak bergerak
menggunakan penyerahan secara yuridis formal.
B . RUMUSAN MASALAH
PEMBAHASAN
Selanjutnya mengenai sifat obligatoir yang telah diuraikan dalam ketentuan umum
tentang perjanjian, juga kita lihat dalam bab kelima tentang jual – beli yang dinyatakan
dengan tegas dalam Pasal 1459 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut :
“Hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada sipembeli, selama
penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal 612, 613 dan 616”.
Dari uraian diatas maka jelaslah bagi kita, bahwa perjanjian tukar–menukar adalah
perjanjian tukar–menukar adalah perjanjian konsensuil, dalam arti bahwa ia sudah jadi dan
mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai barang – barang yang menjadi objek
perjanjiannya.
Selain asas konsensuil, dari uraian diatas dapat juga kita lihat bahwa perjanjian tukar
menukar adalah perjanjian obligatoir, dalam arti bahwa perjanjian itu belum memindahkan
hak milik, akan tetapi baru pada taraf memberikan hak dan kewajiban untuk saling
memberikan sesuatu barang tertentu.
Dalam perjanjian tukar menukar pihak pertama dan pihak kedua berkewajiban untuk
menyerahkan barang yang ditukar, sedangkan haknya menerima barang yang ditukar
1
R. Wirjono Prodjo dikoro. Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu. Sumur: Bandung,
1995) h. 158
1. Dalam KUH Perdata, pedoman – pedoman untuk melaksanakan dan menafsirkan
sesuatu perjanjian tersebut dinyatakan dalam pasal- pasal sebagai berikut:
2. Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata mengatakan, semua perjanjian yang sah mengikat
masing – masing pihak dan berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang
membuatnya.
3. Pasal 1342 KUH Perdata menyatakan apabila kata – kata dari suatu persetujuan begitu
jelasnya sehingga tidak mungkin menimbulkan keraguan lagi, tidaklah diperkenankan
memberikan pengertian lain.
4. Pasal 1345 KUH Perdata mengatakan apabila terdapat kata – kata yang dapat
mempunyai berbagai pengertian haus diambil pengertian yang sesuai dengan sifat
persetujuan itu.
5. Pasal 1348 KUH Perdata menyatakan, janji – janji dalam persetujuan harus dilihat
dan ditafsirkan adanya hubungan dengan persetujuan secara menyeluruh.
6. Pasal 1351 KUH Perdata mengatakan, kalau dalam suatu persetujuan dinyatakan
suatu hal untuk mengurangi maupun membatasi kekuatan persetujuan menurut hukum
dalam hal – hal yang tidak dinyatakan.
7. Pasal 1343 KUH Perdata mengatakan, apabila kata – kata dalam persetujuan dapat
menimbulkan tafsiran yang berlainan, lebih dahulu harus diteliti apa yang menjadi
maksud dari kedua belah pihak yang menjadi maksud dari kedua belah pihak yang
membuat persetujuan itu.
8. Pasal 1346 KUH Perdata mengatakan, apa yang meragu–ragu kan harus ditafsirkan
menurut apa yang menjadi kebiasaan dalam negeri atau tempat dimana persetujuan
telah dibuat.
9. Pasal 1347 KUH Perdata mengatakan hal – hal yang menurut kebiasaan selamanya
diperjanjikan dianggap secara diam – diam dimasukkan dalam persetujuan, meskipun
tidak dengan tegas dinyatakan.
10. Pasal 1349 KUH Perdata mengatakan, jika ada keragu – raguan, maka suatu
persetujuan harus ditafsirkan atas telah meminta di perjanjikannya sesuatu hal dan
untuk keuntungan orang yang telah mengikatkan dirinya untuk itu.
11. Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata menyatakan Persetujuan harus dilakukan dengan
itikad baik. Itikad baik tersebut tersebut dinilai menurut keadilan dan kepatutan.
Berdasarkan ketentuan – ketentuan tersebut, maka dapatlah kita lihat bahwa hak dan
kewajiban para pihak dalam sesuatu perjanjian tukar – menukar harus dilihat berdasarkan
undang – undang kebiasaan serta maksud dari perjanjian itu sendiri.
Menurut Pasal 1235 KUH Perdata, tiap – tiap perikatan untuk memberikan sesuatu
adalah termasuk kewajiban untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk
merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai saat penyerahan. Bila mana si
berutang lalai akan kewajibannya, maka menurut Pasal 1236 KUH Perdata, dia berkewajiban
untuk memberikan ganti biaya rugi dan bunga kepada si berpiutang.2
Dengan demikian, para pihak yang terikat dalam perjanjian tukar-menukar adalah
berkewajiban untuk menyerahkan benda yang diperjanjikan, menanggung kenikmatan
tenteram serta menanggung terhadap cacat-cacat yang tersembunyi atas benda-benda yang
diperjanjikan.
Jika barang yang menjadi objek tukar-menukar musnah di luar kesalahan salah satu
pihak maka perjanjian tukar-menukar itu menjadi gugur. Pihak yang telah menyerahkan
barang dapat menuntut kembali barang yang telah diserahkannya (Pasal 1545 KUH Perdata).
Pasal-pasal yang mengatur tentang tukar-menukar sangat sedikit, jika dibandingkan dengan
perjanjian jual beli. Namun, di dalam ketentuan mengenai tukar-menukar disebutkan bahwa
ketentuan tentang jual beli berlaku bagi perjanjian tukar-menukar.
Resiko dalam perjanjian tukar-menukar diatur dalam pasal 1545 yang berbunyi : “jika
suatu barangtertentu yang telah dijanjikan untuk ditukar, musnah diluar kesalahan
pemiliknya, maka persetujuan dianggap sebagai gugur dan siapa yang dari pihaknya telah
memenuhi persetujuan, dapat menuntut kembali barang yang ia telah berikan dalam tukar
menukar”.
2
R. Wirjono Prodjo dikoro. Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu. Sumur: Bandung, 1995
h. 160
BAB 3
PENUTUP
A . KESIMPULAN
Hukum perjanjian tukar menukar adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah
pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara bertimbal balik,
sebagai gantinya suatu barang lain. Yang mana di dalam perjanjian tersebut terdapat unsur-
unsur, hak dan kewajiban, resiko serta ada masa dimana perjanjian tersebut dapat berakhir
karena adanya suatu ketentuan.
Untuk memahami hal tersebut di atas ada baiknya penulis membuat beberapa kesimpulan :
1. Tukar menukar adalah merupakan perjanjian konsensual, yaitu perjanjian yang sudah
jadi dan mengikat pada detik tercapainya sepakat dari para pihak yang mengikatkan
dirinya dalam tukar-menukar.
2. Dalam tukar-menukar masing-masing pihak berkewajiban untuk :
● Menyerahkan barang yang dijanjikan dalam tukar menukar
● Menanggung atas kenikmatan tentram dan terhadap cacat-cacat tersembunyi
3. Perjanjian tukar-menukar adalah perjanjian obligatoir saja, yaitu baru meletakkan hak
dan kewajiban bertimbal balik bagi masing-masing pihak. Untuk pengalihan hak
kebendaan atas barang-barang yang diperjanjikan masing-masing pihak harus
melakukan penyerahan atas barang yang diperjanjikan.
4. Dalam perjanjian tukar menukar jugamemiliki resiko didalamnya yang dimana
perjanjian tersebut dapat berakhir karena adany suatuketentuan yang berlaku. Resiko
Perjanjian Tukar-menukar juga telah diatur dalam KUH Perdata pasal 1525.
DAFTAR PUSTAKA