Anda di halaman 1dari 9

M A K A LA H

KAPITA SELEKTA HUKUM


“ PERJANJIAN TUKAR-MENUKAR “

DISUSUN OLEH :

CLARITA MEILAN PULANGA


D 101 16 394

UNIVERSITAS TADULAKO
FAKULTAS HUKUM
2018/2019
BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tukar menukar merupakan metode yang sangat efektif dan menguntungkan pada
zaman dahulu. Bukan hanya merupakan alternatif untuk transaksi biasa, namun sebagai
sarana untuk alat tukar menukar barang dan jasa. Sistem barter ini masih dipakai dalam
kehidupan masyarakat dan masih melekat terutama pada masyarakat desa yang kental akan
adat istiadat. Hanya saja, sering kali sulit untuk benar-benar memuaskan keinginan kedua
belah pihak. Selain itu, barter hanya dapat dilakukan dengan orang yang dikenal. Dengan
semakin berkembangnya teknologi zaman sekarang sistem barter sudah semakin berkembang
seiring perubahan zaman, dari yang tadinya barang dan jasa sekarang sudah berubah, walau
tidak secara otentik dalam perubahannya. Namun sistem barter dalam fungsi dan perannya
tetap sama, hanya saja yang dulunya barter untuk alat perdagangan.

Tukar menukar adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak mengikatkan
dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara bertimbal balik sebagai gantinya suatu
barang lain. Sebagaimana dapat dilihat berdasarkan pada pengertian tukar menukar tersebut
maka perjanjian tukar menukar ini adalah juga suatu perjanjian konsensuil dalam arti bahwa
perjanjian tersebut sudah jadi dan mengikat pada saat tercapainya kesepakatan mengenai
barang-barang yang menjadi obyek perjanjiannya. Perjanjian tukar menukar dapat pula
dilihat sebagai suatu perjanjian “obligatoir” seperti pada perjanjian jual beli, dalam arti
bahwa perjanjian tersebut belum memindahkan hak milik tetapi baru pada taraf memberikan
hak dan kewajiban. Masing-masing pihak mendapat hak untuk menuntut diserahkannya hak
milik atas barang yang menjadi obyek perjanjian.
Ketentuan tentang tukar – menukar dalam KUH perdata diatur pada bab ke enam, dari
Pasal 1541 sampai dengan pasal 1546. Ketentuan tersebut sangat singkat karena hanya terdiri
dari enam pasal, akan tetapi walaupun hanya terdiri dari enam pasal, ketentuan tersebut
sangat luas karena pasal 1546 KUH perdata mengatakan bahwa aturan – aturan tentang
persetujuan jual – beli berlaku terhadap persetujuan tukar menukar.

Kita telah mengatahui bahwa untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi syarat –
syarat yang telah ditetapkan dalam undang – undang. Syarat – syarat itu diatur dalam Pasal
1320 KUH perdata, maka untuk sahnya suatu perjanjian tukar – menukar haruslah memenuhi
syarat – syarat yang telah ditetapkan dalam Pasal 1320 KUH perdata. Selain mengatur syarat
untuk sahnya suatu perjanjian dalam membahas ketentuan umum tentang perjanjian penulis
telah menguraikanbahwa dari pasal 1320 tersebut dapat disimpulkan asas konsensualitas yang
berlaku dalam hukum perjanjian.

Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian baik karena undang-undang.


Ketentuan tersebut dipertegas lagi dengan rumusan ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan
di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”. Setiap
perjanjian yang melahirkan suatu perikatan diantara kedua belah pihak adalah mengikat bagi
keduabelah pihak yang membuat perjanjian, hal ini berdasarkan atas ketentuan hukum yang
berlaku di dalam Pasal 1338 (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi
“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.”

Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua
belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Salah satunya adalah
perjanjian Tukar Menukar. Tukar-menukar diatur dalam Pasal 1541 sampai dengan Pasal
1546 KUH Perdata. Perjanjian tukar-menukar adalah "Suatu persetujuan, dengan mana kedua
belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara bertimbal
balik sebagai suatu ganti barang lainnya." (Pasal 1451 KUH Perdata)

Definisi ini terlalu singkat, karena yang ditonjolkan adalah saling memberikan benda
antara satu sama lain. Dalam perjanjian itu pihak yang satu berkewajiban menyerahkan
barang yang ditukar, begitu juga pihak lainnya berhak menerima barang yang ditukar. Barang
yang ditukar oleh para pihak, dapat berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak.
Penyerahan barang bergerak cukup penyerahan nyata, sedangkan barang tidak bergerak
menggunakan penyerahan secara yuridis formal.

B . RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud dengan perjanjian tukar menukar?


2. Bagaimana hak dan kewajiban para pihak dalam tukar-menukar?
3. Apa resiko dalam perjanjian tukar-menukar?
BAB II

PEMBAHASAN

A . Pengertian Perjanjian Tukar Menukar

Perjanjian tukar menukar adalah perjanjian timbal balik (Bilateral enitrael)


maksudnya suatu perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak.
Perjanjian tukar menukar diatur dalam pasal 1541 sampai dengan pasal 1546 KUH pendata.
Perjanjian tukar menukar bersifat konsensual yakni perikatan telah terjadi pada saat
tercapainya kata sepakat antara pihak – pihak yang membuat perjanjian dengan kata lain
perjanjian itu sudah sah dan mempunyai kekuatan hukum atau akibat hukum sejak saat
tercapainya kata sepakat antara pihak – pihak mengenai pokok perjanjian. Akan tetapi
perjanjian yang dibuat pihak – pihak itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban
saja, belum memindahkan hak milik (Ownership) hak milik baru berpindah setelah dilakukan
penyerahan (leverning).
Tukar-menukar diatur dalam Pasal 1541 sampai dengan Pasal 1546 KUH Perdata.
Perjanjian tukar-menukar adalah "Suatu persetujuan, dengan mana kedua belah pihak
mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara bertimbal balik sebagai
suatu ganti barang lainnya." (Pasal 1451 KUH Perdata). Algra mengartikan perjanjian tukar-
menukar adalah "Suatu perjanjian di mana pihak-pihak mengikatkan diri untuk saling
memberikan benda kepada satu sama lain." (Algra, dkk. 1983: 487)
Definisi ini terlalu singkat, karena yang ditonjolkan adalah saling memberikan benda
antara satu sama lain. Akan tetapi menurut hemat penulis, perjanjian tukar-menukar adalah
suatu perjanjian yang dibuat antara pihak yang satu dengan pihak lainnya, dalam perjanjian
itu pihak yang satu berkewajiban menyerahkan barang yang ditukar, begitu juga pihak
lainnya berhak menerima barang yang ditukar. Barang yang ditukar oleh para pihak, dapat
berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak. Penyerahan barang bergerak cukup
penyerahan nyata, sedangkan barang tidak bergerak menggunakan penyerahan secara yuridis
formal.Unsur-unsur yang tercantum dalam kedua definisi di atas adalah :
a. Adanya subjek hokum
b. Adanya kesepakatan subjek hokum
c. Adanya objek, yaitu barang bergerak maupun tidak bergerak; dan
d. Masing-masing subjek hokum menerima barang yang enjadi objek tukar-
menukar.
Sifat konsensualitas dalam perjanjian tukar menukar tidak dinyatakan secara tegas
dalam bab keenam, walaupun dalam bab tersebut tidak dinyatakan dengan tegas, sifat
konsensualitas itu dapat juga kita lihat dengan jelas dari Pasal 1458 KUH perdata yang
berbunyi sebagai berikut: “ Jual – beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak,
seketika setelahnya orang – orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan
harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar”.

Selanjutnya mengenai sifat obligatoir yang telah diuraikan dalam ketentuan umum
tentang perjanjian, juga kita lihat dalam bab kelima tentang jual – beli yang dinyatakan
dengan tegas dalam Pasal 1459 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut :

“Hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada sipembeli, selama
penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal 612, 613 dan 616”.

Dari uraian diatas maka jelaslah bagi kita, bahwa perjanjian tukar–menukar adalah
perjanjian tukar–menukar adalah perjanjian konsensuil, dalam arti bahwa ia sudah jadi dan
mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai barang – barang yang menjadi objek
perjanjiannya.

Selain asas konsensuil, dari uraian diatas dapat juga kita lihat bahwa perjanjian tukar
menukar adalah perjanjian obligatoir, dalam arti bahwa perjanjian itu belum memindahkan
hak milik, akan tetapi baru pada taraf memberikan hak dan kewajiban untuk saling
memberikan sesuatu barang tertentu.

B . Hak dan Kewajiban Para Pihak

Dalam perjanjian tukar menukar pihak pertama dan pihak kedua berkewajiban untuk
menyerahkan barang yang ditukar, sedangkan haknya menerima barang yang ditukar

Sewaktu membuat perjanjian masing – masing pihak dapat memberikan pengertian


sendiri – sendiri mengenai hal – hal yang diperjanjikan, sehingga tidak jarang terjadi
timbulnya persoalan atau perbedaan pendapat dalam pelaksanaannya.1 Persoalan-persoalan
tersebut tidak Nampak pada waktu membuat perjanjian. Oleh karena itu, untuk menentukan
hak dan kewajiban para pihak sangat diperlukan pedoman dalam melaksanakan dan
menafsirkan sesuatu perjanjian.

1
R. Wirjono Prodjo dikoro. Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu. Sumur: Bandung,
1995) h. 158
1. Dalam KUH Perdata, pedoman – pedoman untuk melaksanakan dan menafsirkan
sesuatu perjanjian tersebut dinyatakan dalam pasal- pasal sebagai berikut:
2. Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata mengatakan, semua perjanjian yang sah mengikat
masing – masing pihak dan berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang
membuatnya.
3. Pasal 1342 KUH Perdata menyatakan apabila kata – kata dari suatu persetujuan begitu
jelasnya sehingga tidak mungkin menimbulkan keraguan lagi, tidaklah diperkenankan
memberikan pengertian lain.
4. Pasal 1345 KUH Perdata mengatakan apabila terdapat kata – kata yang dapat
mempunyai berbagai pengertian haus diambil pengertian yang sesuai dengan sifat
persetujuan itu.
5. Pasal 1348 KUH Perdata menyatakan, janji – janji dalam persetujuan harus dilihat
dan ditafsirkan adanya hubungan dengan persetujuan secara menyeluruh.
6. Pasal 1351 KUH Perdata mengatakan, kalau dalam suatu persetujuan dinyatakan
suatu hal untuk mengurangi maupun membatasi kekuatan persetujuan menurut hukum
dalam hal – hal yang tidak dinyatakan.
7. Pasal 1343 KUH Perdata mengatakan, apabila kata – kata dalam persetujuan dapat
menimbulkan tafsiran yang berlainan, lebih dahulu harus diteliti apa yang menjadi
maksud dari kedua belah pihak yang menjadi maksud dari kedua belah pihak yang
membuat persetujuan itu.
8. Pasal 1346 KUH Perdata mengatakan, apa yang meragu–ragu kan harus ditafsirkan
menurut apa yang menjadi kebiasaan dalam negeri atau tempat dimana persetujuan
telah dibuat.
9. Pasal 1347 KUH Perdata mengatakan hal – hal yang menurut kebiasaan selamanya
diperjanjikan dianggap secara diam – diam dimasukkan dalam persetujuan, meskipun
tidak dengan tegas dinyatakan.
10. Pasal 1349 KUH Perdata mengatakan, jika ada keragu – raguan, maka suatu
persetujuan harus ditafsirkan atas telah meminta di perjanjikannya sesuatu hal dan
untuk keuntungan orang yang telah mengikatkan dirinya untuk itu.
11. Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata menyatakan Persetujuan harus dilakukan dengan
itikad baik. Itikad baik tersebut tersebut dinilai menurut keadilan dan kepatutan.
Berdasarkan ketentuan – ketentuan tersebut, maka dapatlah kita lihat bahwa hak dan
kewajiban para pihak dalam sesuatu perjanjian tukar – menukar harus dilihat berdasarkan
undang – undang kebiasaan serta maksud dari perjanjian itu sendiri.

Menurut Pasal 1235 KUH Perdata, tiap – tiap perikatan untuk memberikan sesuatu
adalah termasuk kewajiban untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk
merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai saat penyerahan. Bila mana si
berutang lalai akan kewajibannya, maka menurut Pasal 1236 KUH Perdata, dia berkewajiban
untuk memberikan ganti biaya rugi dan bunga kepada si berpiutang.2

Dengan demikian, para pihak yang terikat dalam perjanjian tukar-menukar adalah
berkewajiban untuk menyerahkan benda yang diperjanjikan, menanggung kenikmatan
tenteram serta menanggung terhadap cacat-cacat yang tersembunyi atas benda-benda yang
diperjanjikan.

C. Resiko Dalam Perjanjian Tukar-Menukar

Jika barang yang menjadi objek tukar-menukar musnah di luar kesalahan salah satu
pihak maka perjanjian tukar-menukar itu menjadi gugur. Pihak yang telah menyerahkan
barang dapat menuntut kembali barang yang telah diserahkannya (Pasal 1545 KUH Perdata).
Pasal-pasal yang mengatur tentang tukar-menukar sangat sedikit, jika dibandingkan dengan
perjanjian jual beli. Namun, di dalam ketentuan mengenai tukar-menukar disebutkan bahwa
ketentuan tentang jual beli berlaku bagi perjanjian tukar-menukar.
Resiko dalam perjanjian tukar-menukar diatur dalam pasal 1545 yang berbunyi : “jika
suatu barangtertentu yang telah dijanjikan untuk ditukar, musnah diluar kesalahan
pemiliknya, maka persetujuan dianggap sebagai gugur dan siapa yang dari pihaknya telah
memenuhi persetujuan, dapat menuntut kembali barang yang ia telah berikan dalam tukar
menukar”.

2
R. Wirjono Prodjo dikoro. Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu. Sumur: Bandung, 1995
h. 160
BAB 3

PENUTUP

A . KESIMPULAN

Hukum perjanjian tukar menukar adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah
pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara bertimbal balik,
sebagai gantinya suatu barang lain. Yang mana di dalam perjanjian tersebut terdapat unsur-
unsur, hak dan kewajiban, resiko serta ada masa dimana perjanjian tersebut dapat berakhir
karena adanya suatu ketentuan.

Untuk memahami hal tersebut di atas ada baiknya penulis membuat beberapa kesimpulan :

1. Tukar menukar adalah merupakan perjanjian konsensual, yaitu perjanjian yang sudah
jadi dan mengikat pada detik tercapainya sepakat dari para pihak yang mengikatkan
dirinya dalam tukar-menukar.
2. Dalam tukar-menukar masing-masing pihak berkewajiban untuk :
● Menyerahkan barang yang dijanjikan dalam tukar menukar
● Menanggung atas kenikmatan tentram dan terhadap cacat-cacat tersembunyi
3. Perjanjian tukar-menukar adalah perjanjian obligatoir saja, yaitu baru meletakkan hak
dan kewajiban bertimbal balik bagi masing-masing pihak. Untuk pengalihan hak
kebendaan atas barang-barang yang diperjanjikan masing-masing pihak harus
melakukan penyerahan atas barang yang diperjanjikan.
4. Dalam perjanjian tukar menukar jugamemiliki resiko didalamnya yang dimana
perjanjian tersebut dapat berakhir karena adany suatuketentuan yang berlaku. Resiko
Perjanjian Tukar-menukar juga telah diatur dalam KUH Perdata pasal 1525.
DAFTAR PUSTAKA

Yahya Harahap.1982.Segi-segi Hukum Perjanjian. Alumni: Bandung.

Subekti.2002.Aneka Perjanjian. PT Intermasa :Jakarta.

Wirjono Prodjo dikoro.2005.Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu.


Sumur: Bandung

R.M. Suryodiningrat. 1978. Azas-azas Hukum Perikatan. Tarsito : Bandung

Salim H.S.1993. Hukum Kontrak. Sinar Grafika: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai