Anda di halaman 1dari 6

ANALISIS HUKUM PERIKATAN

Aditiya Rachmawati
120117322
Kp A
No 07

Fakultas Hukum

2020
 Kronologi Kasus

PT Metro Batavia salah satu perusahaan pesawat terkemuka tersandung masalah dengan PT
Garuda Maintenance Facility (GMF) Aero Asia. Kasus ini muncul saat keduanya menjalin
kerjasama pada juli 2006. Kala itu, Batavia membeli mesin ESN 857854 dan ESN 724662 dari
Debisin Air Supply Pte. Ltd. Singapura. Lalu dimasukkan ke GMF untuk memenuhi standar
nasional. Kemudian, pada 12 September 2007 mesin selesai diperbaiki dan digunakan untuk
pesawat rute Jakarta-Balikpapan. Tak berselang lama dari itu, tepatnya tanggal 23 Oktober 2007
mesin ESN 857854 rusak setelah terbang 300 jam terbang. Batavia menuding anak perusahaan
PT Garuda Indonesia ini mengingkari kontrak perbaikan mesin pesawat mereka yang menurut
perjanjian memiliki garansi perbaikan hingga 1.000 jam terbang. Saat itu Batavia meminta mesin
tersebut diservis kembali lantaran baru dipakai 300 jam sudah ngadat, akan tetapi GMF menolak.
Alasannya, kerusakan itu di luar yang diperjanjikan. Dalam kontrak, garansi diberikan jika
kerusakan karena kesalahan pengerjaan. Ini yang membuat pihak Batavia naik pitam. Pada April
2007 Batavia pun menggugat GMF US$ 5 juta (Rp 76 miliar) ke Pengadilan Negeri Tangerang.
Mediasi memang sempat dilakukan, tapi menemui jalan buntu. Dengan dasar hasil itu, pada
Agustus 2008 Batavia mengalihkan gugatannya ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat. Tapi ternyata gugatan itu ditolak oleh pengadilan. Padahal di sisi lain, Batavia
memiliki hutang perawatan pesawat milik GMF sejak Agustus 2006, dan tiba-tiba di tengah
transaksi perjanjian tersebut Batavia memutuskan secara sepihak beberapa kontrak perjanjian
perbaikan dan pembelian pesawat, padahal pesawat sudah sudah siap untuk diserahkan sehingga
kerugian di pihak GMF mencapai ratusan juta rupiah disebabkan pengingkaran atas perjanjian
secara sepihak tersebut dan atas ini yang kemudian masuk hutangnya, dan sudah jatuh tempo
sejak awal 2007. Tapi tak kunjung dilunasi oleh Batavia hingga pertengahan tahun 2008. Pada
mulanya pihak GMF tidak ingin memperkeruh permasalahan ini mengingat hubungan antara
GMF dan Batavia sangat baik, namun setelah dilakukan melalui cara kekeluargaan oleh pihak
GMF dengan cara mendatangi pihak Batavia di kantor Batavia, tetap saja tidak ada respon
timbal-balik dari Batavia. Padahal jika dilihat dari perlakuan yang dilakukan oleh Batavia
dengan membawa perkara mesin itu ke pengadilan bisa yang berbanding terbalik dengan
perlakuan GMF yang ingin menyelesaikan perkara hutang Batavia dengan cara kekeluargaan
tanpa di bawa ke pengadilan. Setelah pihak GMF bertenggang rasa selama tiga bulan, akhirnya
permasalahan ini diserahkan kepada kuasa hukumnya Sugeng Riyono S.H. Menurut Sugeng
“Batavia sebagai salah satu perusahaan pesawat telah melakukan transaksi hutang yang semena-
mena dengan didasarkan i’tikad buruk, tidak pernah memikirkan kondisi dan kepentingan klien
yang diajak bekerjasama bahkan tiga somasi yang telah dilayangkan olrh pihak GMF terhadap
Batavia pun masih tidak ada konfirmasi balik kepada pihak GMF”, dengan dasar ini pula Sugeng
selaku kuasa hukum GMF akan menggugat Batavia ke pengadilan. Begitulah, Batavia benar-
benar dalam keadaan siaga satu.

 Analisis Kasus

Perseteruan yang terjadi antara PT Metro Batavia, milik perusahaan ternama di bidang pesawat
dengan PT Garuda Maintenance Facility (GMF) Aero Asia tidak kunjung usai, hal ini
disebabkan karena:

1. Kerjasama yang dilakukan oleh pihak Batavia dengan GMF dilakukan dengan transaksi
bisnis berlandaskan i’tikad buruk.
2. Pihak Batavia tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, dalam hal ini Batavia sebagai
debitur dinyatakan “ingkar janji” (wanprestassi).
3. Pihak Batavia telah mengadakan pembatalan pembelian atas pemesanan pesawat, padahal
pesawat sudah selesai dikerjakan dan siap untuk diserahkan, hal ini menyebabkan
kerugian ratusan juta (tak terhingga) oleh GMF.
4. Pembayaran hutang perawatan oleh pihak Batavia yang melampaui tempo ayng
diperjanjikan.

Sebelum menganalisis poin-poin di atas yang akan dihubungkan dengan pasal-pasal dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, akan dipaparkan mengenai pengertian perjanjian yang sesuai
dengan Pasal 1313 B.W. dalam pasal ini dapat diambil kesimpulan bahwa dalam pasal ini
menurut pakar hukum perdata (pada umumnya) bahwa definisi perjanjian terdapat di dalam
ketentuan di atas tidak lengkap karena hanya bersifat sepihak saja, kata perbuatan mencakup juga
tanpa konsensus, pengertian perjanjian terlalu luas, dan tanpa menyebut tujuan, akan tetapi
berdasarkan alasan tersebut perjanjian dapat dirumuskan, yaitu perjanjian adalah suatu
persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan
suatu hal mengenai harta kekayaan. Pada poin pertama di atas disebutkan bahwa, Kerjasama
yang dilakukan oleh pihak Batavia dengan GMF dilakukan dengan transaksi bisnis berlandaskan
i’tikad buruk. Pada dasarnya, sebelum mengadakan perjanjian diwajibkan atas pihak-pihak yang
mengadakan perjanjian untuk mengetahui dengan seksama akan pentingnya asas-asas perjanjian,
yang mana hal ini dapat mencegah adanya permasalahan yang akan terjadi diantara kedua belah
pihak. Asas yang digunakan adalah Asas Konsensualisme karena asas ini merupakan syarat
mutlak bagi hukum perjanjian yang modern dan bagi terciptanya kepastian hukum. Ketentuan
yang mengharuskan orang dapat dipegang adalah ucapannya, adalah suatu tuntutan kesusilaan
dan memanglah benar bahwa kalau orang ingin dihormati sebagai manusia, ia harus dapat
dipegang perkataannyam namun hukum yang harus menyelenggarakan ketertiban dan
menegakkan keadilan dalam masyarakat, memerlukan asas konsesualisme itu demi tercapainya
Kepastian Hukum. Asas konsesulaisme tersebut dapat dikatakan sudak merupakan asas universil,
dalam B.W disimpulkan dari Pasal 1320 jo Pasal 1338 (1):Semua perjajian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan istilah “semua”
maka pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa perjanjian yang dimaksudkan bukanlah
hanya semata-mata perjanjian bernama, tetapi juga perjanjian yang tidak bernama. Dengan
istilah “secara sah” pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian harus
menurut. Semua persetujuan yang dibuta menurut hukum atau secara sah adalah mengikat,
maksudnya secara sah disini ialah bahwa pembuatan perjanjian (pasal 1320) KUH Perdata harus
diikuti, perjanjian yang telah dibuat secara sah mempunyai kekuatan atau mengikat pihak-pihak
sebagai undang-undang, disini juga akan tersimpulkan bahwa asas yang tercantum adalah asas
kepastian hukum. Sebagaimana pernyataan kuasa hukum GMF, Sugeng Riyono S.H, “Batavia
sebagai salah satu perusahaan pesawat telah melakukan transaksi hutang yang semena-mena
dengan didasarkan i’tikad buruk, tidak pernah memikirkan kondisi dan kepentingan klien yang
diajak bekerjasama bahkan tiga somasi yang telah dilayangkan olrh pihak GMF terhadap Batavia
pun masih tidak ada konfirmasi balik kepada pihak GMF.” I’tikad baik diwaktu membuat
perjanjian berarti kejujuran. Orang yang beri’tikad baik akan menaruh kepercayaan sepenuhnya
kepada pihak lawan, yang dianggapnya jujur dan tidak menyembunyikan sesuatu yang buruk
yang dikemudian hari dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan. I’tikad baik diwaktu membuat
perjanjian berarti kejujuran, maka i’tikad baik ketika dalam tahap pelaksanaan perjanjian adalah
kepatuhan, yaitu suatu penilaian baik terhadap tidak-tanduk suatu pihak dalam hal melaksanakan
apa yang telah diperjanjikan, pernyataan ini sesuai Pasal 1338 B.W. Pihak Batavia tidak
melaksanakan apa yang diperjanjikan, dalam hal ini Batavia sebagai debitur dinyatakan “ingkar
janji” (wanprestasi). Wanprestasi yang dilakukan Batavia merupakan sesuatu yang disebabkan
dengan apa yang dijanjikan akan tetapi terlambat, sebagaimana Subekti, Wanprestasi berarti
kelalaian seorang debitor, dalam hal:

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan.


b. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan.
c. Melakukan apa yang dijanjikan akan tetapi terlambat.
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya

Kelalaian Batavia terhadap GMF menjadikan terhambatnya kinerja produksi lain yang akan
dibuat oleh GMF. Sesuai dengan Pasal 1243 B.W. Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi
terhadap timbulnya hak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi
untuk memberikan ganti rugi dan bunga, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu
pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut. Untuk adanya kewajiban ganti rugi bagi
debitur maka undang-undang menentukan bahwa debitur harus terlebih dahulu dinyatakan dalam
keadaan lalai (ingebrekestelling). Lembaga “pernyataan lalai” ini adalah merupakan upaya
hukum untuk sampai kepada suatu fase, dimana debitur dinyatakan “ingkar janji” wanprestasi.
Jadi maksudnya adalah peringatan atau pernyataan dari kreditur tentang saat selambat-lambatnya
debitur wajib memebuhi prestasi. Dalam Pasal 1238 B.W disebutkan bahwa : Si berutang adalah
lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai,
atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa ai berutang harus dianggap
lalai dengan lewatnya waktu yan gtelah ditentukan. Bahwasanya peryataan lalai diperlukan
dalam hal orang meminta ganti rugi atau meminta pemutusan perikatan dengan membuktikan
adanya ingkar janji. Hal ini digunakan untuk mengantisipasi kemungkinan agar debitur tidak
merugikan kreditur. Disebutkan dalam poin ketiga adala pihak Batavia telah mengadakan
pembatalan sepihak hutang perawatan dan pembelian pesawat sehari setelah pesawat selesai
dibuat, hal ini menyebabkan produksi yang akan dibuat oleh GMF menjadi terbengkalai.
Pembatalan ini tanpa ada alasan yang jelas dari Batavia. Disebutkan dalam Pasal 1338 (2) B.W:
Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selai dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena
alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Pasal ini menjelaskan
bahwa perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak kecuali dengan sepakat antara
keduanya. Di samping itu, apabila seseorang telah tidak melaksanakan prestasinya sesuai
ketentuan dalam kontrak, maka pada umunya (dengan beberapa pengecualian) tidak dapat
dengan sendirinya dia telah melakukan wanprestasi. Apabila tidak ditentukan lain dalam kontrak
atau undang-undang maka wanprestasinya si debitor dinyatakan lalai oleh kreditor
(ingebrekestelling) yakni dengan dikeluarkannya “akta lalai” (somasi) oleh pihak kreditor (pasal
1238 B.W). dikeluarkannya akta ini berdasarkan mekanisme yang telah ditentukan oleh undang-
undang. Dalam hal ketentuan di atas maka Batavia dikenakan beberapa pasal, antara lain:

1. Pasal 1243 B.W : Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya perikatan
barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi
perikatannya, tetap melalaikannya atau jika sesuatu yang harus diberikan atas dibuatnya,
hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.
2. Pasal 1246 B.W : Biaya, rugi dan bunga yang oleh si berpiutang boleh dituntut akan
penggantiannya, terdirilah pada umumnya atas rugi yang telah dideritanya dan untung
yang sedianya harus dapat dinikmatinya, dengan tak mengurangi pengecualian-
pengecualian serta perubahan-perubahan yang akan disebut dibawah ini.
3. Pasal 1247 B.W : Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya, rugi dan bunga yang
nyata telah, atau sedianya harus dapat diduganya sewaktu perikatan dialahirkannya,
kecuali jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan sesuatu tipu daya yang
dialakukan olehnya.
4. Pasal 1249 B.W : Jika dalam perikatan ditentukannya, bahwa si yang lalai memenuhinya,
sebagai ganti rugi harus membayar suatu jumlh uang tertentu, maka kepada pihak yang
lain tak boleh diberikan suatu jumlah yang lebih maupun kurang daripada jumlah itu.
5. Pasal 1250 B.W : Dalam tiap-tiap perikatan yang semata-mata berhubungan denga
pembayaran sejumlah uang, penggantian biaya, rugi dan bunga sekedar disebabkan
terlambatnya pelaksanaannya, hanya terdiri atas bunga yang ditentukan undang-undang,
denga tidak mengurangi peraturan undang-undang khusus. Penggantian biaya, rugi dan
bunga tersebut wajib dibayar dengan tidak usah dibuktikannya sesuatu kerugian oleh si
berpiutang.

Ganti rugi yang diterima dari hitungan materiil yakni berupa penyitaan tujuh pesawat milik
Batavia sendiri, bukan lea asing, yang bernilai Rp18,3 milliar mugkin sudah memadai kerugian
yang diderita si berpiutang akibat tidak dipenuhinya perjanjian oleh si berutang, namun rasa
kecewa tidak mungkin dapat ditebus, sebagaimana Batavia yang tidak merespon baik ketika
pihak GMF datang menemui Batavia di kantornya untuk menagih utang Batavia yang tersendat
menimbulkan dampak pada produksi lain, mengingat hubungan baik Batavia-GMF mengundang
rasa kecewa dikarenakan akhir cerita kerjasama yang dilakukannya mengalami permasalahan
hukum. Dengan demikian, ganti rugi hanyalah merupakan “obat” atas derita yang dialami karena
apa yang diinginkan itu tidak datang atau diberikan oleh pihak lawan

Anda mungkin juga menyukai