Reparation for injuries Suffered in The Services of The
United Nations 1949
Oleh: Muhammad Ryan Dwi Saputra 110110110180
Dosen: Prof. Dr. Hj. Etty R. Agoes, S.H., LL.M. Siti Noor Malia Putri, S.H., LL.M,
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2014 I. FAKTA HUKUM Pada tahun 1948, tepatnya tanggal 17 September, seorang mediator PBB bernama Count Folke Bernadotte dan ajudannya Kolonel Serot, terbunuh dalam perjalanan dinas ke Yerusalem. Mereka dibunuh oleh anggota dari kelompok Lehi, yang terkadang disebut dengan Stern Gang. Kelompok ini merupakan organisasi radikal zionis yang telah melakukan beberapa serangan terhadap warga Inggris dan Arab. Pembunuhan terhadap Bernadotte ini, telah disepakati oleh ketiga pemimpin kelompok Lehi, yaitu : Yitzhak Shamir, Natan Yelli-Mor, dan Yisrael Eldad, dan direncanakan oleh kepala operasi Lehi di Yerusalem, Yehoshua Zetler.
Empat orang yang dipimpin oleh Meshulam Makover, kemudian menyerang kendaraan yang ditumpangi oleh Bernadotte, dan salah satu diantara mereka yaitu Yehoshua Cohen menembak Bernadotte. Count Folke Bernadotte adalah pejabat sipil internasional yang bekerja untuk PBB Count Folke Bernadotte adalah warga negara Swedia Pembunuh Bernadotte, Yehoshua Cohen, adalah warga negara Israel Pembunuhan terhadap Bernadotte terjadi di wilayah pengawasan Israel.
II. PERMASALAHAN HUKUM Majelis Umum PBB memutuskan untuk menyerahkan beberapa permasalahan hukum berikut ini kepada Mahkamah Internasional untuk diberikan advisory opinion: i. Dalam hal seorang agen PBB sedang menjalani tugasnya menderita kerugian di dalam keadaan yang melibatkan tanggung jawab suatu negara, apakah PBB, sebagai Organisasi, mempunyai kapasitas untuk membuat gugatan internasional terhadap pemerintah de jure atau de facto yang bertanggungjawab untuk mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang berdampak a) kepada PBB; b) kepada korban atau kepada orang-orang yang berhak atas namanya?
ii. Apabila poin i (b) dapat diterima, bagaimana tindakan yang harus dilakukan PBB untuk mengembalikan hak-hak yang dimiliki oleh negara dimana korban tersebut berasal?
III. PUTUSAN
Mengenai masalah i (a):
(i) Dengan suara bulat, Bahwa, dalam hal seorang agen PBB sedang menjalankan tugasnya menderita kerugian dalam keadaan yang melibatkan tanggung jawab suatu negara anggota PBB, PBB sebagai sebuah organisasi mempunyai kapasitas untuk membuat gugatan internasional terhadap pemerintah de jure atau de facto yang bertanggungjawab untuk mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang berdampak kepada PBB. (ii) Dengan suara bulat, Bahwa, dalam hal seorang agen PBB sedang menjalankan tugasnya menderita kerugian dalam keadaan yang melibatkan tanggung jawab suatu negara yang bukan merupakan anggota PBB, PBB sebagai sebuah organisasi mempunyai kapasitas untuk membuat gugatan internasional terhadap pemerintah de jure atau de facto yang bertanggungjawab untuk mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang berdampak kepada PBB. Mengenai masalah i (b):
(i) Dengan 11 banding 4 suara, Bahwa, dalam hal seorang agen PBB sedang menjalankan tugasnya menderita kerugian dalam keadaan yang melibatkan tanggung jawab suatu negara anggota PBB, PBB sebagai sebuah organisasi mempunyai kapasitas untuk membuat gugatan internasional terhadap pemerintah de jure atau de facto yang bertanggungjawab untuk mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang berdampak kepada korban atau kepada orang-orang yang berhak atas namanya. (ii) Dengan 11 banding 4 suara, Bahwa, dalam hal seorang agen PBB sedang menjalankan tugasnya menderita kerugian dalam keadaan yang melibatkan tanggung jawab suatu negara yang bukan merupakan anggota PBB, PBB sebagai sebuah organisasi mempunyai kapasitas untuk membuat gugatan internasional terhadap pemerintah de jure atau de facto yang bertanggungjawab untuk mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang berdampak kepada korban atau kepada orang-orang yang berhak atas namanya.
Mengenai masalah ii
Dengan 10 banding 5 suara,
Saat PBB sebagai sebuah organisasi membuat gugatan terhadap ganti rugi akan kerugian yang berdampak kepada agennya, hal tersebut hanya bisa dilakukan apabila gugatan tersebut berdasarkan atas pelanggaran kewajiban kepada PBB itu sendiri; aturan ini mencegah konflik antara tindakan dari PBB dan hak-hak yang dimiliki negara kebangsaan agen tersebut, dan juga membawa rekonsiliasi diantara gugatan kedua belah pihak; lebihnya lagi, rekonsiliasi ini bergantung pada pertimbangan yang berlaku terhadap setiap kasus yang berbeda, dan pada peranjian yang dibuat diantara organisasi dan masing-masing negara, baik secara umum ataupun pada setiap kasus.
IV. PERTIMBANGAN PUTUSAN
Dalam advisory opinion, Mahkamah melakukan penelitian awal terhadap permasalah yang diserahkan kepadanya. Hal itu dilakukan untuk mendefinisikan beberapa istilah yang diajukan untuk diberi pendapat, lalu menganalisa isi dari formula: kapasitas untuk membuat gugatan internasional. Kapasitas tersebut tentunya adalah milik sebuah negara. Apakah kapasitas tersebut juga dimiliki oleh sebuah organisasi? Ini sama saja dengan menanyakan apakah sebuah organisasi mempunyai sifat internasional. Dalam menjawab pertanyaan tersebut, dimana tidak ditentukan oleh ketentuan kongkrit dalam Piagam PBB, mahkamah internasional mempertimbangkan karakteristik apa yang dimaksudkan oleh Piagam PBB untuk diberikan kepada organisasi. Dalam hubungan ini, Mahkamah menyatakan bahwa hak dan kewajiban yang Piagam PBB berikan kepada organisasi itu berbeda dengan para anggotanya. Mahkamah menekankan, lebih lanjut, tugas politik penting dari organisasi: pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Dengan demikian Mahkamah menyimpulkan bahwa organisasi memiliki seperti halnya hak dan kewajiban, dan juga pada saat yang sama memiliki sifat internasional yang besar dan kapasitas untuk mengoperasikan pesawat internasional, meskipun organisasi tentunya bukan sebuah negara super.
Lalu Mahkamah memeriksa inti dari subjek, yaitu, apakah jumlah dari hak internasional dari organisasi meliputi hak untuk membuat gugatan internasional untuk mendapatkan ganti rugi dari suatu negara atas kerugian yang diderita oleh pejabatnya dalam rangka menjalankan tugasnya.
Dalam poin pertama, i (a), Mahkamah dengan suara bulat mencapai kesimpulan bahwa organisasi mempunyai kapasitas untuk membuat gugatan internasional terhadap suatu negara (baik anggota ataupun non-anggota) untuk kerugian yang dihasilkan dari pelanggaran oleh negara tersebut dari kewajibannya terhadap organisasi. Mahkamah menunjukkan bahwa hal tersebut tidak bertujuan untuk menentukan batas yang tepat dari ganti rugi dimana organisasi berhak untuk menerima; ukuran dari ganti rugi tersebut harus tergantung kepada jumlah dari beberapa faktor yang mahkamah berikan sebagai contoh.
Lalu Mahkamah melanjutkan untuk memeriksa poin i (b), yaitu, Dalam hal seorang agen PBB sedang menjalani tugasnya menderita kerugian di dalam keadaan yang melibatkan tanggung jawab suatu negara, apakah PBB, sebagai Organisasi, mempunyai kapasitas untuk membuat gugatan internasional terhadap pemerintah de jure atau de facto yang bertanggungjawab untuk mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang berdampak kepada korban atau kepada orang-orang yang berhak atas namanya. Dalam menangani poin tersebut, Mahkamah menganalisa permasalah perlindungan diplomasi dari negara. Mahkamah menunjukkan dalam hubungan ini bahwa benar hanya organisasi yang mempunyai kapasitas untuk mengajukan gugatan dalam situasi seperti yang dimaksud, setiap gugatan internasional harus didasari oleh suatu pelanggaran kewajiban terhadap organisasi dari negara tergugat. Di dalam kasus ini negara kebangsaan korban tidak bisa mengeluh atas pelanggaran kewajiban terhadap negara tersebut. Bagaimanapun juga, Mahkamah mengakui analogi dari aturan tradisionil perlindungan diplomatik dari negara luar tidak dengan sendirinya memberikan jawaban persetujuan. Faktanya, tidak ada hubungan kewarganegaraan antara organisasi dengan pejabatnya. Ini merupakan situasi baru dan harus dianalisis. Apakah ketentuan dalam piagam PBB mengenai fungsi dari organisasi mempunyai maksud bahwa organisasi memberikan kekuasaan kepada pejabatnya untuk memastikan perlindungan terbatas pejabatnya? Kekuasaan ini, yang merupakan hal penting untuk menjalankan funsi dari organisasi, harus dianggap sebagai keterlibatan penting yang timbul dari piagam PBB. Dalam melaksanakan fungsinya, Organisasi perlu untuk mempercayakan pejabatnya dengan misi penting untuk dijalankan di daerah bermasalah di belahan dunia. Pejabat tersebut harus dipastikan dengan perlindungan yang efektif. Ini merupakan satu-satunya cara untuk pejabat tersebut agar melaksanakan tugasnya secara memuaskan. Oleh karena itu Mahkamah mencapai kesimpulan bahwa organisasi mempunyai kapasitas untuk melakukan perlindungan fungsional terhadap pejabatnya. Situasi ini relatif sederhana apabila negara anggota PBB, telah diasumsikan berbagai kewajiban terhadap organisasi. Tapi bagaimana apabila gugatan tersebut diajukan kepada negara yang bukan merupakan negara anggota PBB? Mahkamah berpendapat bahwa negara-negara anggota PBB menciptakan kesatuan dalam memiliki sifat internasional yang objektif dan bukan hanya sifat yang diakui oleh mereka sendiri. Seperti dalam kasus ini di permasalahan i (a), Mahkamah, oleh karena itu memberikan persetujuannya terhadap permasalahan i (b). Permasalahan no.ii mengacu kepada perdamaian terhadap tindakan PBB dengan hak-haknya yang dimiliki oleh negara kebangsaan korban. Dalam kata lain, yang terlibat adalah kemungkinan perseteruan antara hak perlindungan diplomatik dengan perlindungan fungsional Mahkamah tidak menyatakan mana diantara dua kategori perlindungan tersebut yang mempunyai prioritas dan dalam keadaan negara anggota PBB, Mahkamah menekankan tugas mereka untuk memberikan segala bantuan yang disediakan dalam pasal 2 Piagam PBB. Mahkamah menambahkan bahwa resiko perseteruan antara organisasi dan negara kebangsaan bisa dikurangi atau dihilangkan baik dengan konvensi umum atau dengan perjanjian tertentu. Akhirnya, Mahkamah memeriksa kasus dimana pejabat tersebut menyandang kebangsaan dari negara tergugat. Karena gugatan yang dibawa oleh organisasi tidak berdasarkan atas negara kebangsaan dari korban tetapi malah berdasarkan statusnya sebagai pejabat organisasi, hal tersebut tidak penting apakah negara yang diajukan dakwaan menganggap dia sebagai negara kebangsaannya. Situasi hukum tersebut tidak bisa dirubah demikian.
V. ANALISIS
ICJ menganggap bahwa personalitas yuridik dari organisasi internasional merupakan sifat yang mutlak dimiliki oleh setiap organisasi internasional. Disamping itu, organisasi internasional memiliki personalitas internasional sebagai hak, yang merupakan suaru konsekuensi dari dasar pembentukan organisasi itu yang berada di bawah hukum internasional. Personalitas yuridik organisasi tersebut memungkinkannya untuk melakukan tindakan-tindakan internasional, bahkan bagi negara-negara yang belum diketahui sebelumnya di dalam instrumen pokoknya.
Mahkamah Internasional hakikatnya adalah merupakan lembaga peradilan tetap yang memiliki yurisdiksi untuk menyelesaikan permasalahan antarnegara yang diajukan oleh negara-negara tersebut berdasarkan kesepakatan. Yurisdiksi Mahkamah diatur dalam Bab II Statuta Mahkamah Internasional. Mengenai material jurisdiction dari Mahkamah Internasional, telah diatur di dalam Pasal 36 ayat (1) Statuta yang menyatakan bahwa : Yurisdiksi Mahkamah meliputi semua perkara yang diajukan pihak-pihak yang bersengketa, terutama yang terdapat dalam Piagam PBB atau dalam perjanjian dan konvensi yang berlaku.
Selanjutnya mengenai pihak yang dapat mengajukan perkara ke Mahkamah Internasional telah diatur secara jelas dalam Pasal 34 ayat (1) Statuta, yang menyatakan bahwa hanya negara yang dapat menjadi pihak dalam perkara di depan Mahkamah. Dalam konteks ini yang dimaksud adalah seluruh anggota PBB yang secara otomatis menjadi negara pihak dalam Statuta, maupu negara di luar PBB dengan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam tiap-tiap kasus oleh Majelis Umum atas usul Dewan Keamanan PBB.
Statuta Mahkamah Internasional tidak mencantumkan mengenai kompetensi suatu organisasi internasional untuk dapat menjadi pihak dalam perkara di depan Mahkamah. Mahkamah tidak memiliki yurisdiksi untuk menangani permohonan perkara dari individu, organisasi non-pemerintah, perusahaan atau badan swasta lainnya, dikarenakan tidak tesedianya konseling hukum untuk membantu mereka dalam hubungannya dengan pihak berwenang dari Negara manapun. Namun suatu negara dapat mengambil kasus salah seorang warga negaranya dan melawan negara lain untuk kemudian menjadi sengketa antara negara.
Penolakan akses subyek hukum internasional selain negara untuk berpekara di Mahkamah Internasional seperti individu bukan berarti sengketa yang diajukan ke Mahkamah tidak pernah menyangkut permasalahan individu. Melalui mekanisme perlindungan diplomatik, negara dapat mengambil alih dan memperjuangkan kepentingan warga negaranya di depan Mahkamah, seperti perkara Ambatielos, dan perkara Interhandel. Demikian pula dengan organisasi internasional. Pasal 34 ayat (2) dan (3) Statuta Mahkamah menyebutkan bahwa dapat diadakan suatu kerjasama antara organisasi internasional dan Mahkamah dalam penyelesaian suatu perkara.
Upaya Hukum Organisasi Internasional Untuk Menyelesaikan Sengketa Internasional dalam Kaitannya Dengan Mahkamah Internasional Meskipun organisasi internasional tidak dapat berpekara di hadapan Mahkamah, namun organisasi internasional dapat mengajukan permintaan pendapat Mahkamah dalam suatu kasus tertentu, atau yang biasa dikenal dengan advisory opinion (pendapat yang tidak mengikat). Advisory opinion merupakan fungsi konsultatif dari Mahkamah yang bertujuan untuk memberikan penjelasan kepada badan atau lembaga yang mengajukan pertanyaan kepada Mahkamah. Kebalikan dari fungsi penyelesaian sengketa, fungsi konsultatif ini hanya terbuka bagi organisasi internasional. Berdasarkan Pasal 96 Piagam PBB, Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB dapat meminta advisory opinion mengenai permasalahan hukum ke Mahkamah. Hak mengajukan advisory opinion ini juga diberikan kepada organ- organ lain PBB dan badan-badan khusus, dengan syarat harus mendapatkan otorisasi terlebih dahulu dari Majelis Umum PBB. Organisasi internasional di luar PBB dan badan-badan khusus PBB hanya dapat meminta advisory opinion seputar permasalahan hukum yang timbul dalam ruang lingkup kegiatannya. Meskipun advisory opinion erat kaitannya dengan Mahkamah Internasional, namun yurisdiksi ini juga dikenal di sejumlah pengadilan, seperti The European Court of Justice, The Inter-American Court of Human Rights (yang mana telah menghasilkan pendapat penting dimana negara juga dapat meminta pendapat) dan The Benelux Union Court of Justice.
Upaya hukum berupa advisory opinion ini pernah ditempuh oleh PBB dalam kasus Pangeran Bernadotte. Dalam menjawab pertanyaannya, Mahkamah menyatakan bahwa PBB memiliki kemampuan untuk mengajukan klaim internasional terkait dengan perwujudan perlindungan bagi perwakilannya yang sedang menjalankan suatu misi atau tugas.
VI. KESIMPULAN Pihak yang dapat mengajukan perkara ke Mahkamah Internasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 34 Statuta Mahkamah dan Pasal 93 ayat (1) dan (2) Piagam PBB adalah hanya negara anggota PBB, dan negara di luar PBB yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam tiap-tiap kasus oleh Majelis Umum atas usul Dewan Keamanan PBB. Sehingga, subyek hukum internasional selain negara, termasuk organisasi internasional tidak dapat menjadi pihak yang berpekara di depan Mahkamah Internasional. Mahkamah Internasional memiliki fungsi konsultatif yang dapat dimanfaatkan oleh organisasi internasional untuk berkonsultasi dan meminta advisory opinion kepada Mahkamah dalam menyelesaikan permasalahan yang dialaminya. Namun klaim internasional dapat dilakukan oleh PBB untuk menjamin perlindungan bagi anggotanya yang sedang menjalankan tugas di negara tertentu