Anda di halaman 1dari 14

PENYELESAIAN KASUS

TIMOR TIMOR
PASCAJAJAK PENDAPAT
Pasca pengumuman hasil jajak pendapat tersebut, kerusuhan dan
kekerasan berkobar di Timor Timur. Milisi pro integrasi yang merasa
kecewa dengan hasil jajak pendapat melakukan penyerangan
terhadap kelompok anti integrasi. Akibat kerusuhan ini, Dili dan
kota-kota di Timor Timur rusak berat, ratusan orang tewas, dan
ratusan ribu orang mengungsi ke Nusa Tenggara Barat. Kekerasan
yang bersifat massif di Timor Timur pasca referendum, kemudian
dikaitkan dengan intervensi TNI sebagai pemegang otoritas
keamanan di Timor Timur. PBB kemudian membentuk UNAMET
(United Nation Assistance Mission for East Timor) demi memfasilitasi
dan mengawasi pelaksanaan jajak pendapat. UNAMET juga disinyalir
kurang netral dalam perekrutan staf lokal di Timor Timur dengan
cenderung memilih dari kalangan anti integrasi dibanding dari
kalangan pro integrasi. Masalah keamanan menjadi batu sandungan
bagi pemerintah Indonesia.
di Timor Timur pasca jajak pendapat. Tidak terpublikasikan secara jelas
substansi laporan KKR Timor Timur tersebut. Namun yang jelas,
berdasarkan perkembangan terbaru (kesediaan pemerintah Timor Timur
bersama pemerintah Indonesia membentuk Komisi Kebenaran dan
Persahabatan, padahal sebenarnya mereka telah memiliki KKR sendiri).
Mereka tidak mempermasalahkan lebih lanjut secara serius persoalan
pelanggaran HAM berat yang dituduhkan kepada sebagian perwira militer
Indonesia terkait peristiwa tahun 1999.
Kentalnya nuansa keterlibatan militer Indonesia dalam konflik Timor
Timur, terutama pada peristiwa kerusuhan pasca jajak pendapat,
mengantarkan pada keluarnya Keputusan Presiden RI Nomor 96/2001
tentang pembentukan peradilan HAM Ad Hoc di Indonesia. Pada akhirnya
semua perwira militer yang dituduh terlibat dalam tindak pelanggaran
HAM berat di Timor Timur dibebaskan. Masalah yang kemudian muncul
sebagai implikasinya adalah : ketidakpuasan publik Internasional,
terutama PBB yang terwakili oleh sikap sekjennya, Kofi Anan, yang
kemudian berkeras membentuk Komisi Ahli yang ditugaskan untuk
mengusut lebih lanjut peristiwa pelanggaran HAM berat yang dituduhkan.
Adapun pelanggaran HAM berat dalam konteks
Indonesia yang mengundang keterlibatan DK PBB
adalah menyangkut tindak kekerasan yang terjadi di
Timor Timur. Kekerasan di Timor Timur terjadi setelah
pemerintah RI mengeluarkan dua opsi pada tanggal 27
Januari 1999 menyangkut masa depan Timor Timur,
yaitu menerima atau menolak otonomi khusus. Sejak
opsi diberikan, terlebih setelah diumumkannya hasil
jajak pendapat, berkembang berbagai bentuk tindak
kekerasan yang diduga merupakan pelanggaran HAM
berat.
Rumusan Masalah
1.Pengertian dan Sejarah Beserta
Contoh Kasus Pelanggaran HAM
Berat dan Kronologi MEI 1998 –
OKTOBER 1999 Di Timor Timur
Pengertian dan Sejarah HAM
Hak-hak asasi manusia itu adalah hak yang dimiliki oleh
seseorang sekadar karena orang itu adalah manusia. Gagasan
yang sepintas tampak sederhana ini memiliki akibat-akibat
politik dan sosial yang mendalam.
Hak-hak Manusia, karena hak-hak itu berdasarkan tak lebih
daripada adanya sebagai manusia, bersifat universal,
merata, dan tak dapat dialihkan. Hak-hak tersebut dimiliki
oleh seluruh umat manusia, secara universal. Setiap
masyarakat memiliki pengertian mengenai keadilan,
kejujuran, martabat, dan rasa hormat.
Mulai tahun 1990-an, persoalan hak-hak asasi manusia (HAM) semakin marak di Indonesia. Hal
ini ditandai dengan semakin meningkatnya tuntutan anggota masyarakat, baik individual
maupun kolektif terhadap pelanggaran HAM yang dialaminya. Secara umum, apa yang
dinamakan HAM adalah hak pokok atau hak dasar, yaitu hak yang bersifat fundamental,
sehingga keberadaannya merupakan suatu keharusan, tidak dapat diganggu gugat, bahkan harus
dilindungi, dihormati, dan dipertahankan dari segala macam ancaman, hambatan, dan
gangguan dari manusia lainnya.
Istilah hak asasi manusia merupakan terjemahan dari istilah droits de l'homme dalam bahasa
Perancis yang berarti "hak manusia", atau dalam bahasa Inggrisnya human rights, yang dalam
bahasa Belanda disebut menselijke rechten. Di Indonesia umumnya dipergunakan istilah "hak-
hak asasi", yang merupakan terjemahan dari basic rights dalam bahasa Inggris dan grondrechten
dalam bahasa Belanda. Sebagian orang menyebutkannya dengan istilah hak-hak fundamental,
sebagai terjemahan dari fundamental rights dalam bahasa Inggris dan fundamentele rechten
dalam bahasa Belanda.
“ HAM itu harus memperhatikan struktur sosial dan budaya
setempat, maka saling menuduh antar negara itu tidak akan
terjadi. Indonesia yang mengukuhkan diri sebagai negara
hukum mempunyai prinsip tersendiri. Berdasarkan berbagai
pendapat yang berkembang, secara teori konstitusional,
sebagai negara hukum Indonesia harus memiliki empat prinsip,
yaitu:
- Setiap perbuatan warga negaranya harus sesuai hukum;
- Pembagian kekuasaan negara yang jelas dalam negara;

- Adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas;
- Adanya pengakuan terhadap HAM
Contoh Kasus Pelanggaran HAM Berat di Timor Timur dengan
Terdakwa Asep Kuswani, Adios Salova dan Leoneto Martins.

Perkara pelanggaran HAM berat termasuk dalam satu kasus yang


menyedot perhatian publik, baik dari dalam maupun luar negeri.
Proses peradilan terhadap perkara Pelanggaran Hak Asasi
Manusia berat yang dilaksanakan dengan mengacu pada Undang –
Undang Nomor 26 Tahun 2000 dan Undang – Undang Nomor 8
tahun 1981 tentang Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Hal ini secara tegas dinyatakan dalam pasal 10 Undang
– Undang Nomor 26 Tahun 2000 yang berbunyi sebagai berikut :
"Dalam hal tidak ditentukan lain dalan Undang – Undang ini,
hukum acara atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang
berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana.”
Kronologi Kejadian

Terdakwa 1, bertugas sebagai Komandan Distrik Militer


1638 Liquisa, terdakwa sebagai Kepolisian Resort
Liquisa dan terdakwa 3 selaku Bupati Kepala Daerah
Tingkat II Liquisa. Jaksa Penuntut Umum mendakwa
terdakwa tidak melakukan atau tidak mengambil
tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang
lingkup kewenangannya untuk mencegah atau
menghentikan perbuatan pasukan atau bawahannya
atau menyerahkan pelaku kepada pejabat yang
berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan. Tindakan terdakwa mengakibatkan 22
orang yang berada pada kompleks Gereja Pastor Rafael
di Liquisa tewas.
Pada tanggal 3 April 1999 kelompok pro kemerdekaan telah
melakukan ancaman pembunuhan terhadap kelompok pro integrasi
BMP di desa Dato Liquisa. Pada tanggal 4 April 1999 massa pro
kemerdekaan pimpinan Jacinto Da Costa melakukan pembakaran
terhadap rumah-rumah milik kelompok pro integrasi. Pembakaran
tersebut dilakukan karena massa BMP dianggap telah membakar
rumah kelompok pro kemerdekaan dan membunuh salah satu
anggota kelompok pro kemerdakaan. Pada tanggal 5 April 1999
massa dari kelompok pro integrasi dan kelompok pro kemerdekaan
mengungsi ke kediaman Pastor Rafael. Pastor Henry mengatakan
bahwa kelompok massa BMP akan datang menyerang.
Kelompok pro kemerdekaan pimpinan Jacinto Da Costa kemudian
berangkat ke perbatasan Maubara-Liquisa untuk mengatasi rencana
penyerangan kelompok pro integrasi BMP. Namun pada saat bertemu
di Batu Blete, pihak kelompok pro integrasi BMP dibantu TNI telah
menembak anggota kelompok pro kemerdekaan dan menyebabkan
tujuh orang tewas.
ANALISA KASUS

Proses peradilan terhadap perkara pelanggaran Hak Asasi


Manusia yang berat dilaksanakan dengan mengacu pada Undang –
Undang Nomor 26 tahun 2000 dan Undang – Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Hal ini secara tegas dinyatakan dalam pasal 10 Undang –
Undang Nomor 26 Tahun 2000 yang berbunyi “"Dalam hal tidak
ditentukan lain dalam Undang – Undang ini, hukum acara atas
perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan
berdasarkan ketentuan hukum acara pidana"
KESIMPULAN

Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat bukan semata-mata


masalah hukum, lebih dari itu pelanggaran Hak Asasi Manusia sangat
sarat dengan muatan politis dan melibatkan banyak kepentingan, dan
yang tak kalah pentingnya lagi adalah bahwa pelanggaran Hak Asasi
Manusia bukan merupakan kejahatan biasa.
Penyelesaian perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat pun
tidak semata-mata berlandaskan hukum semata, karena apabila
penyelesaiannya berdasarkan hukum semata maka pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang berat tak ubahnya seperti tidak pidana biasa
SARAN
1. Menjadikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip
HAM dan Kemanusiaan yang universal
sebagai dasar utama dalam pengadilan
kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor
Timur.
2. Meletakkan HAM sebagai salah satu
bidang yang berprioritas utama dalam
pembangunan nasional,
3. Turut berpartisipasi aktif dalam
usaha Internasional/global untuk
melindungi, mengembangkan,
memajukan dan menegakkan HAM.

Anda mungkin juga menyukai