Anda di halaman 1dari 61

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMICU PERKEMBANGAN KRIMINOLOGI

Kriminologi termasuk cabang ilmu yang baru. Berbeda dengan Hukum Pidana
yang muncul begitu manusia bermasyarakat. Kriminologi baru berkembang tahun 1850
bersama-sama sosiologi, antropologi dan psikologi, cabang-cabang ilmu yang
mempelajari gejala/tingkah laku manusia dalam masyarakat.
Berawal dari pemikiran bahwa manusia merupakan srigala bagi manusia lain
(Homo homimi lupus), selalu mementingkan diri sendiri dan tidak mementingkan
keperluan orang lain maka diperlukan suatu norma untuk mengatur kehidupannya. Hal
tersebut penting untuk menghindari konflik di masyarakat.
Tujuan dari norma adalah untuk ditaati dan untuk ditaati diperlukan suatu sanksi.
Dalam ilmu hukum dikenal berbagai bentuk norma yang berlaku dalam masyarakat.
Norma kesopanan, norma kesusilaan, norma adat, norma agama dan norma hukum. Di
antara norma-norma tersebut bentuk sanksi yang paling hebat terdapat dalam hukum
pidana yaitu sanksi berupa derita atau nestapa yang diberikan secara sadar dan sengaja
pada seseorang yang telah melakukan suatu pelanggaran hukum. Pasal 10 KUHP
menetapkan empat bentuk hukuman pokok bagi seorang pelaku tindak pidana yaitu
hukuman mati, penjara, kurungan dan denda.
Hukum pidana sudah ada dengan sanksi yang begitu hebat sudah ada tetapi
mengapa kejahatan tetap terjadi? Pada dasarnya para pembentuk hukum pidana
mengharapkan bahwa pada suatu saat kejahatan akan lenyap dan disinilah kriminologi
memegang peranan penting.
Adalah suatu kenyataan bahwa hukum pidana tidaklah efektif. Thomas More
membuktikan bahwa sanksi yang berat bukanlah faktor yang utama untuk memac:u
efektivitas dari hukum pidana. Contoh pencopet, pencuri, koruptor, narkoba padahal
sudah ada sanksi hukuman.
Pada perkembanganya ada dha faktor yang memicu perkembangan dari
kriminologi:
A. KETIDAKPUASAN TERHADAP HUKUM PIDANA, HUKUM ACARA
PIDANA DAN SISTEM PENGHUKUMAN
Hukum pidana pada abad ke-16 hingga abad ke-18 semata-mata dijalankan untuk
menakut-nakuti dengan jalan menjatuhkan hukuman yang sangat berat. Hukuman mati
yang dilakukan dengan berbagai cara, umumnya dilakukan dengan cara yang
mengerikan dan hukuman badan merupakan hal yang biasa dijatuhkan terhadap
kejahatan yang terjadi di masyarakat. Yang menjadi tujuan pada waktu itu adalah
bagaimana supaya masyarakat pada umumnya dapat terlindungi dari kejahatan.
Dalam hukum acara pidana, hal yang sama pun terjadi. Bonger melukiskan bahwa
terdakwa diperlakukan seperti barang untuk diperiksa. Pemeriksaan dilakukan secara
rahasia dan pembuktian digantungkan kepada kemauan si pemeriksa.
Dulam kurun waktu selanjutnya gerakan menentang sistem tersebut pun lahir.
Montesqueu (1089-1755) membuka Plan dengan bukunya Esprit des Lois (1748)
menentang tindakan sewenang-wenang, hukuman yang kejam dan banvaknva hukuman
yang dijatuhkan. Rousseau (1712-1778) memperdengarkan suara menentang perlakuan
kejam terhadap para penjahat. Voltaire (1649-1778) hada tahun 1672 tampil ke muka
dengan pembelaannva untuk Jenn Calas yang tidak berdosa, yang telah dijatuhi
hukuman mati dan menjadi penentang yang paling keras terhadap peradilan pidana yang
sewenang-wenang itu.
Adalah Cesare Beccaria (1738-1794) yang merupakan tokoh yang paling
menonjol dalam usaha menentang kesewenang-wenangan lembaga peradilan pada saat
itu. Bangsawan Itali yang lahir pada 15 Mei 1738 ini bukanlah seorang ahli hukum,
tetapi ia adalah seorang ahli matematik dan ekonomi yang menaruh perhatian besar
pada kondisi hukum saat itu. Dalam bukunva Dei delitti e delle pene, ia telah secara
gamblang menguraikan keberatan-keberatannva terhadap hukum pidana, hukum acara
pidana dan sistem penghukuman yang ada pada masa itu. Di dalam tulisannya inilah
tergambar delapan prinsip yang menjadi landasan bagaimana hukum pidana, hukum
acara pidana, dan proses penghukuman dijalankan.
Kedelapan prinsip tersebut adalah:
1. Perlunyu dibentuk suatu masyarakat berdasarkan prinsip social contract.
2. Sumber Hukum adalah Undang-undang dan bukan hakim. Penjatuhan hukuman oleh
hakim harus didasarkan semata-mata karena undang-undang.
3. Tugas Hakim hanyalah menentukan kesalahan seseorang.
4. Menghukum adalah merupakan hak negara, dan hak itu diperlukan untuk melindungi
masyarakat dari keserakahan individu.
5. Harus dibuat suatu skala perbandingan antara kejahatan dan penghukuman.
6. Motif manusia pada dasarnya didasarkan pada keuntungan dan kerugian, artinya
manusia dalam melakukan perbuatan akan selalu menimbang kesenangan atau
kesengsaraan yang akan didapatnya (prinsip hedonisme).
7. Dalam menentukan besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu kejahatan maka
yang menjadi dasar penentuan hukuman adalah perbuatannya dan bukan niatnya.
8. Prinsip dari hukum pidana adalah ada pada sanksinya yang positif.
Prinsip-prinsip ini kemudian diterapkan oleh Napoleon dalam undang-undangnya
yang dikenal sebagai Code Civil Napoleon (1791).
Ada tiga prinsip yang diadopsi dalam undang-undang tersebut yaitu:
1. Kepastian Hukum.
Asas ini diartikan bahwa hukum harus dibuat dalam bentuk tertulis. Beccaria bahkan
melarang hakim menginterpretasikan undang-undang karena ia bukan lembaga
legislative. Hak untuk membuat undang-undang hanya dapat dilakukan oleh lembaga
ini.
2. Persamaan di depan hukum.
Asas ini menentang keberpihakan di depan hukum. Untuk itulah maka dituntut untuk
menyamakan derajat setiap orang di depan hukum.
3. Keseimbangan antara kejahatan dengan hukuman.
Beccaria melihat bahwa dalam pengalaman ada putusan-putusan hakim yang tidak
sama antara satu dengan yang lain terhadap suatu kejahatan yang sama. Hal ini
disebabkan karena spirit of the law ada pada hakim melalui kekuasaannva dalam
menginterpretasikan suatu undang-undang. Karenanva Beccaria menuntut adanya
keseimbangan kejahatan dengan hukuman yang diberikan.
Selain Beccaria, dalam kepustakaan tercatat nama Jeremy Bentham (1745-1832)
sebagai tokoh yang menghendaki perubahan terhadap sistem penghukunrun yang ada
pada waktu itu. Karya utamanva adalah Introduction to the principles of moral. Di
tahun 1791 ia menerbitkan suatu rencana pembuatan rumah penjara dengan nama
panopticon atau the Inspection House.
B. PENERAPAN METODE STATISTIK
Statistik adalah pengamatan massal dengan menggunakan angka-angka yang
merupakan salah satu faktor pendorong perkembangan ilmu pengetahuan sosial pada
abad ke-17. J. Graunt (1620-1674), pengarang Natural and Political Observation upon
The Bills of Mortality (1662) yang menerapkan statistik dengan membuat daftar angka-
angka yang bersangkutan menemukan bahwa jumlah kematian dan kelahiran dari tahun
ke tahun selalu kembali dengan teratur sekali.
Adalah Queteler (1796-1829) ahli ilmu pasti dan sosiologi dari Belgia yang
pertama kali menerapkan statistik dalam pengamatannya tentang kejahatan. Olehnya
statistik kriminil dijadikan alat utama dalam sosiologi kriminil dan dialah yang
membuktikan pertama kali bahwa kejahatan adalah fakta kemasyarakatan. Dalam
pengamatannya Quatelet melihat bahwa dalam kejahatan terdapat pola-pola yang setiap
tahun selalu sama. Quetelet dalam pengamatannva berkesimpulan bahwa kejahatan
dapat diberantas dengan memperbaiki tingkat kehidupan masyarakat.
Sarjana lain yang penting untuk dicatat dalam perkembangan statistik kriminil
adalah G. Von Mayr (1841-1925). Dalam bukunya Statistik, der Gerichtlichen
Polizeiim Konrgreiche Bayern und in einigen andern Laradern, ia menemukan bahwa
dalam perkembangan antara tingkat pencurian dengan tingkat harga gandum terdapat
kesejajaran (positif). Tiap-tiap kenaikan harga gandum 5 sen dalam tahun 1835-1861 di
Bayern, jumlah pencurian bertambah dengan 1 dari antara 100.000 penduduk. Dalam
perkembangannya ternyata tingkat kesejajaran ini tidak selalu tampak. Karena
adakalanva perkembangan ini menjadi berbanding terbalik (invers) antara
perkembangan ekonomi dengan tingkat kejahatan.
Otto Polack (AS-1955) meneliti tentang kejahatan yang dilakukan oleh para
wanita. Didapati suatu kenyataan bahwa banvak kejahatan yang dilakukan oleh para
wanita tidak diketahui karena sifat kewanitaan dari pelakunya.

ILMU KRIMINOLOGI

Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan.


Nama kriminologi yang ditemukan oleh P. Topinard (1830-1911) seorang ahli
antropologi Perancis, secara harFah berasal dad kata “crimen” yang berarti kejahatan
atau penjahat dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi dapat
berarti ilmu tentang kejahatan atau penjahat. Beberapa sarjana memberikan definisi
berbeda mengenai kriminologi ini di antaranya:
BONGER memberikan definisi kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang
bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya. Melalui definisi ini, Bonger lalu
membagi kriminologi ini menjadi kriminologi murni yang mencakup:
1. Antropologi Kriminil
ialah ilmu pengetahuan tentang manusia yang jahat (somatis). Ilmu pengetahuan ini
memberikan jawaban atas pertanyaan tentang orang jahat dalam tubuhnya
mempunyai tanda-tanda seperti apa? Apakah ada hubungan antara suku bangsa
dengan kejahatan dan seterusnya.
2. Sosiologi Kriminil
ialah ilmu pengetahuan tentang kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat. Pokok
persoalan yang dijawab oleh bidang ilmu ini adalah sampai di mana letak sebab-
sebab kejahatan dalam masyarakat.
3. Psikologi Kriminil
ilmu pengetahuan tentang penjahat yang dilihat dari sudut jiwanya.
4. Psikopatologi dan Neuropatologi Kriminil
ialah ilmu tentang penjahat yang sakit jiwa atau urat syaraf.
5. Penologi
ialah ilmu tentang tumbuh dan berkembangnya hukuman.
Disamping itu terdapat kriminologi terapan yang berupa
1. Higiene kriminil
Usaha yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan. Misalnya usaha-usaha
yang dilakukan oleh pemerintah untuk menerapkan undang-undang, sistem jaminan
hidup dan kesejahteraan yang dilakukan semata-mata untuk mencegah terjadinya
kejahatan.
2. Politik Kriminif
Usaha penanggulangan kejahatan di mana suatu kejahatan telah terjadi. Di sini
dilihat sebab-sebab seorang melakukan kejahatan. Bila disebabkan oleh faktor
ekonomi maka usaha yang dilakukan adalah meningkatkan keterampilan atau
membuka lapangan kerja. Jadi tidak semata-mata dengan penjatuhan sanksi.
3. Kriminalistik (policie scientific) yang merupakan ilmu tentang pelaksanaan
penyidikan teknik kejahatan dan pengusutan kejahatan.
SUTHERLAND merumuskan kriminologi sebagai keseluruhan ilmu pengetahuan
yang bertalian dengan perbuatan jahat sebagai gejala sosial (The body of knowledge
regarding crime as a social phenomenon). Menurut Sutherland kriminologi mencakup
proses-proses pembuatan hukum, pelanggaran hukum dan reaksi atas pelanggaran
hukum. Kriminologi olehnya dibagi menjadi tiga cabang ilmu utama yaitu:
1. sosiologi hukum
Kejahatan itu adalah perbuatan yang oleh hukum dilarang dan diancam dengan
suatu sanksi. Jadi yang menentukan bahwa suatu perbuatan itu adalah kejahatan
adalah hukum. Di sini menyelidiki sebab-sebab kejahatan harus pula menyelidiki
faktor-faktor apa yang menyebabkan perkembangan hukum (khususnya hukum
pidana).
2. etiologi kejahatan
merupakan cabang ilmu kriminologi yang mencari sebab musabab dari kejahatan.
Dalam kriminologi, etiologi kejahatan merupakan kajian yang paling utama.
3. penology
pada dasarnya merupakan ilmu tentang hukuman, akan tetapi Sutherland
memasukkan hak-hak yang berhubungan dengan usaha pengendalian kejahatan baik
represif maupun preventif.
Oleh Thorsten
Sellin definisi ini diperluas dengan memasukkan conduct norms sebagai salah satu
lingkup penelitian kriminologi, sehingga penekanannya disini lebih sebagai gejala sosial
da(am masyarakat.
Paul Mudigdo Mulyono tidak sependapat dengan definisi yang diberikan oleh
Sutherland. Menurutnya definisi itu seakan-akan tidak memberikan gambaran bahwa
pelaku kejahatan itupun mempunyai andil atas terjadinya suatu kejahatan, karena
terjadinya kejahatan bukan semata-mata perbuatan yang ditentang oleh masyarakat,
akan tetapi adanya dorongan dari si pelaku untuk melakukan perbuatan yang ditentang
oleh masyarakat tersebut. Karenanya Paul Mudigdo Mulyono memberikan definisi
kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai masalah
manusia.
Michael dan Adler berpendapat bahwa kriminologi adalah keseluruhan keterangan
mengenai perbuatan dan sifat dari para penjahat, lingkungan mereka dan cara mereka
secara resmi diperlakukan oleh lembaga-lembaga penertib masyarakat dan oleh para
anggota masyarakat.
Wood berpendirian bahwa istilah kriminologi meliputi keseluruhan pengetahuan
yang diperoleh berdasarkan teori atau pengalaman, yang bertalian dengan perbuatan
jahat dan penjahat, termasuk di dalamnya reaksi dari masyarakat terhadap perbuatan
jahat dan para penjahat.
Noach merumuskan kriminologi sebagai ilmu pengetahuan tentang perbuatan
jahat dan perilaku tercela yang menyangkut orang-orang yang terlibat dalam perilaku
jahat dan perbuatan tercela itu.
Wolfgang, Savitz dan Johnston dalam The Sociology of Crime and Delinquency
memberikan definisi kriminologi sebagai kumpulan ilmu pengetahuan tentang
kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan dan pengey-tian tentang
gejala kejahatan dengan jalan mempelajari dan menganalisa secara ilmiah ke-
terangan-keterangan, keseragaman-keseragaman, pola-pola dan faktor faktor kausal
yang berhubungan dengan kejahatan, pelaku kejahatan serta reaksi masyarakat
terhadap keduanya. Jadi obyek studi kriminologi melingkupi:
a. perbuatan yang disebut sebagai kejahatan
b. pelaku kejahatan dan
c. reaksi masyarakat yang ditujukan baik terhadap perbuatan maupun terhadap
pelakunya.
Ketiganya ini tidak dapat dipisah-pisahkan. Suatu perbuatan baru dapat dikatakan
sebagai kejahatan bila ia mendapat reaksi dari masyarakat.

OBYEK STUDI KRIMINOLOGI DAN PENGERTIANNYA

Dari uraian terdahulu, secara umum dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa obyek
studi dalam kriminologi mencakup tiga hal yaitu penjahat, kejahatan dan reaksi
masyarakat terhadap keduanya.
Dalam khasanah literatur kriminologi, banyak sekali perdebatan yang kontraversil
mengenai pengertian dari ketiga obyek studi ini. Oleh Soerjono Soekanto dan kawan-
kawan, pendapat para sarjana ini dibagi atas golongan-golongan sebagai berikut:
A. PARA SARJANA YANG MENGANUT ALIRAN HUKUM ATAU YURIDIS
Para sarjana yang menganut aliran ini menyatakan bahwa sasaran perhatian yang
layak bagi kriminologi adalah mereka yang diputuskan oleh pengadilan pidana sebagai
penjahat oleh karena kejahatan yang dilakukannya.
Paul W Tappan menyatakan bahwa kejahatan adalah:
The Criminal Law (statutory or case law), committed without defense or excuse,
and penalized by the state as a felony and misdemeanor.
Huge D Barlow juga menyatakan bahwa definisi dari kejahatan adalah a human
act that violates the criminal law.
Sutherland menekankan bahwa ciri pokok dari kejahatan adalah perilaku yang
dilarang oleh negara karena merupakan perbuatan yang merugikan negara dan terhadap
perbuatan itu negara bereaksi dengan hukuman sebagai upaya pamungkas.
Dalam pengertian yuridis membatasi kejahatan sebagai perbuatan yang telah
ditetapkan oleh negara sebagai kejahatan dalam hukum pidananya dan diancam dengan
suatu sanksi. Sementara penjahat merupakan para pelaku pelanggar hukum pidana
tersebut dan telah diputus oleh pengadilan atas perbuatannya tersebut. Penetapan aturan
dalam hukum pidana itu merupakan gambaran dari reaksi negatif masyarakat atas suatu
kejahatan yang diwakili oleh para pembentuk undang-undang pidana. Meski tidak
sepenuhnya setuju dengan definisi yang diberikan oleh para sarjana yang menganut
aliran yuridis, Bonger menyatakan bahwa kejahatan merupakan perbuatan anti sosial
yang secara sadar mendapat reaksi dari negara berupa pemberian derita dan kemudian
sebagai reaksi terhadap rumusan-rumusan hukum (legal definitions) mengenai
kejahatan.
Alasan diterimanya definisi yuridis tentang kejahatan ini oleh Hasskef dan
Yabfonsky adalah:
1. Statistik kejahatan berasal dari pelanggaran-pelanggaran hukum yang diketahui oleh
polisi, yang dipertegas dalam catatan-catatan penahanan atau peradilan serta data-
data yang diperoleh dari orang-orang yang berada dari dalam penjara atau parole.
Periiaku yang tidak normatif serta perilaku anti-sosial yang tidak melanggar hukum
tidak mungkin menjadi bagian catatan apapun;
2. Tidak ada kesepakatan umum mengenai apa yang dimaksud perilaku anti-sosial;
3. Tidak ada kesepakatan umum mengenai norma-norma yang pelanggarannya
merupakan perilaku non normatif dengan suatu sifat kejahatan (kecuali bagi hukum
pidana);
4. Hukum menyediakan perlindungan bagi stigmatisasi yang tidak adil. Adalah suatu
kesalahan apahila meninggalkan hal ini dalam rangka membuat pengertian
kejahatan menjadi lebih inklusif.

B. PARA SARJANA YANG MENGANUT ALIRAN NON YURIDIS ATAU


DIKENAL SEBAGAI ALIRAN SOSIOLOGIS
Golongan keclua ini merupakan para sarjana yang tidak menyetujui pembatasan
definisi kejahatan dalam pengertian yuridis tersebut di atas. Meski definisi yuridis telah
memberikan kepastian atas batasan perilaku mana yang dimaksud dengan kejahatan dan
penjahat, namun definisi tersebut sama sekali tidak memuaskan para sarjana
kriminologi karena sifatnya yang statis.
Thorsten Sellin mengutarakan bahwa pemberian batasan definisi kejahatan secara
yuridis itu tidak memenuhi tuntutan-tuntutan keilmuan. Suatu dasar yang lebih baik
bagi perkembangan kategori-kategori ilmiah menurutnya adalah dengan memberikan
dasar yang lebih baik dengan mempelajari norma-norma kelakuan (conduct norms),
karena konsep norma-norma perilaku yang mencakup setiap kelompok atau lembaga
seperti negara serta merupakan ciptaan kelompok-kelompok normatif manapun, serta
tidak terkurung oleh batasan-batasan politik dan tidak selalu harus terkandung dalam
hukum.
Secara sosiologis kejahatan merupakan suatu perilaku manusia yang diciptakan
oleh masyarakat. Walaupun masyarakat memiliki berbagai macam perilaku yang
berbeda-beda, akan tetapi ada di dalamnya bagian-bagian tertentu yang memiliki pola
yang sama. Keadaan ini dimungkinkan oleh karena adanya sistem kaedah dalam
masyarakat.
Gejala yang dinamakan kejahatan pada dasarnya terjadi di dalam proses di mana
ada interaksi sosial antara bagian-bagian dalam masyarakat yang mempunyai
kewenangan untuk melakukan perumusan tentang kejahatan dengan pihak-pihak mana
yang memang melakukan kejahatan.
Austin Turk memberikan gambaran tentang kejahatan sebugai berikut:
1. There is apparently not pattern of human behavior which has nor been at least
tolerated in sonze normative structure;
2. The behavioral elements comparison illegal act are not specific to criminal as
distinguished from other human behavior;
3. There is selective and differential perception of every element (individuals,
testimony, actions, sequences of evens, location involving a criminal act);
4. An individual’s range of behavioral included many more acceptable than,
intolerable actions, objectives and relations;
5. Criminal acts attributed to the some individual vary in terms both than actual of
imputed behavior on separated occasions and of the frequencies of particulars act.
6. Most criminal acts do not become known and recorded;
7. Not all persons known to have violated laws providing for penalties imposed by
authorities are subjected to punitive legal recognition;
8. For most offense categories, the rates are relatively high for lower status, minority
groups, young male, transient, urban populations.

C. PANDANGAN KRIMINOLOGI BARU TENTANG KEJAHATAN,


PENJAHAT DAN REAKSI MASYARAKAT
Aliran kriminologi baru lahir dari pemikiran yang bertolak pada anggapan bahwa
perilaku menyimpang yang disebut sebagai kejahatan, harus dijelaskan dengan melihat
pada kondisi-kondisi struktural yang ada dalam masyarakat dan menempatkan perilaku
menyimpang dalam konteks ketidakmerataan kekuasaan, kemakmuran dan otoritas serta
kaitannya dengan perubahan-perubahan ekonomi dan politik dalam masyarakat.
Ukuran dari menyimpang atau tidaknya suatu perbuatan bukan ditentukan oleh
nilai-nilai dan norma-norma yang dianggap sah oleh mereka yang duduk pada posisi-
posisi kekuasaan atau kewibavaan, melainkan oleh besar kecilnya kerugian atau
keparahan sosial (social injuries) yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut dan dikaji
dalam konteks ketidakmerataan kekuasaan dan kernakrnuran dalam masyarakat.
Perilaku menyimpang sebagai proses sosial dianggap terjadi sebagai reaksi terhadap
kehidupan kelas seseorang. Di sini yang menjadi nilai-nilai utama adalah keadilan dan
hak-hak asasi manusia.
Rumusan kejahatan dalam kriminologi semakin diperluas. Sasaran perhatian
terutama diarahkan kepada kejahatan-kejahatan yang secara politis, ekonomis dan sosial
amat merugikan yang berakibat jatuhnya korban-korban bukan hanya korban individual
melainkan juga golongan-golongan dalam masyarakat. Pengendalian sosial dalam arti
luas dipahami sebagai usaha untuk memperbaiki atau mengubah struktur politik,
ekonomi dan sosial sebagai keseluruhan.
Robert F Meier mengungkapkan bahwa salah satu kewajiban dari kriminologi
baru ini adalah untuk mengungkap tabir hukum pidana, baik surnber-sumber maupun
penggunaan-penggunaannya, guna menelanjangi kepentingan-kepentingan penguasa.
Suatu catatan kritis terhadap pemikiran ini diungkapkan oleh Paul Mudigdo.
Dinyatakan bahwa kadar kebenaran dan nilai-nilai praktis dari teori kritis dapat
bertambah apabila hal itu dikembangkan dalam situasi kongkrit demi kepentingan atau
bersama-sama mereka yang diterbelakangkan, guna memperbaiki posisi hukum atau
pengurangan keterbelakangan mereka dalam masyarakat. Akan tetapi, bahaya dari
praktek pengalaman yang terbatas adalah adanya penyempitan kesadaran dan
diadakannya generalisasi yang terlalu jauh jangkauannya. Mereka sampai pada
perumusan-perumusan tentang kejahatan dan perilaku penyimpangan yang tidak dapat
dipertahankan oleh karena adanya generalisasi yang berlebihan bahwa delik-delik
adalah pernyataan dari perlawanan sadar dan rasioml terhadap masyarakat yang tidak
adil yang hendak menyamaratakan orang-orang menjadi obyek-obyek peraturan oleh
birokrasi ekonomi dan politik.

SEJARAH PERKEMBANGAN AKAL PEMIKIRAN MANUSIA YANG


MENJADI DASAR DIBANGUNNYA TEORI-TEORI KRIMINOLOGI

George B Vold menyebutkan teori adalah bagian dari suatu penjelasan yang
muncul manakala seseorang dihadapkan pada suatu gejala yang tidak dimengerti. Upaya
mencari penjelasan mengenai sebab kejahatan, sejarah peradaban manusia mencatat
adanya dua bentuk pendekatan yang menjadi landasan bagi lahirnya teori-teori dalam
kriminologi yaitu:
A. SPIRITUALISME
Dalam penjelasan tentang kejahatan, spiritualisme memiliki perbedaan mendasar
dengan metode penjelasan kriminologi yang ada saat ini. Berbeda dengan teori-teori
saat ini, penjelasan spiritualisme memfokuskan perhatiannya pada perbedaan antara
kebaikan yang datang dari tuhan atau dewa dan keburukan yang datang dari setan.
Seseorang yang telah melakukan suatu kejahatan dipandang sebagai orang yang telah
terkena bujukan setan (evil/demon).
Penjelasan tentang kepercayaan manusia pada yang gaib tersebut dapat kita
peroleh dari berbagai literature sosiologi, arkeologi dan sejarah selama berabad-abad
yang lalu. Sebagaimana kita ketahui, bagi orang-orang dengan kepercayaan primitif,
bencana alam selalu dianggap sebagai hukuman dari pelanggaran norma yang
dilakukan.
Dalam perkembangan selanjutnya aliran spicitualisme ini masuk dalam lingkup
pergaulan politik dan sosial kaum feodal. Landasan pemikiran yang paling rasional dari
perkembangan ini adalah bahwa pada periode sebelumnya kejahatan dianggap sebagai
permasalahan antara korban dan keluarga korban dengan pelaku dan keluarganya
Akibatnya adalah konflik berkepanjangan antar keluarga yang dapat mengakibatkan
musnahnya keluarga tersebut. Juga menjadi suatu masalah adalah bahwa pelaku
kejahatan yang berasal dari keluarga yang memiliki posisi kuat dalam masyarakat tidak
akan dapat dihukum. Sebagai upaya pemecahan terhadap permasalahan tersebut maka
masyarakat membentuk lembaga-lembaga yang dapat menjad dasar pembenar terhadap
upaya pembalasan terhadap seseorang yang telah melakukan kejahatan. Konsep Carok
misalnya dikenal dalam masyarakat Madura. Konsep perang tanding antara keluarga
yang menjadi korban dengan keluarga pelaku merupakan wadah pembalasan dendam
dan kerugian dari pihak korban. Dalam hal ini ada suatu kepercayaan dari masyarakat
bahwa kebenaran akan selalu menang dan kejahatan pasti akan mengalami kebinasaan.
Namun akibat lain dari kepercayaan ini adalah bila keluarga pelaku memenangkan
pertarungan tersebut maka mereka akan dianggap benar dan keluarga korban mengalami
celaan ganda.
Metode untuk membuktikan kesalahan seseorang dalam masyarakat primitif
memiliki banyak model. Menceburkan seseorang ke dalam sungai dengan cara
mengikatnya pada sebuah batu besar. Diyakini bahwa jika orang itu tidak bersalah,
maka Tuhan akan menolongnya dari rasa sakit atau bahkan kematian. Namun jika orang
tersebut bersalah, maka Tuhan akan memberikan kepadanya rasa sakit dan kematian
yang amat menyiksa.
Meski dalam kenyataan di masyarakat, dapat dilihat secara nyata bahwa
penjelasan spiritual ini ada dan berlaku dalam berbagai bentuk dan tingkat kebudayaan,
namun aliran ini memiliki kelemahan. Kelemahannya itu adalah bahwa penjelasan ini
tidak dapat dibuktikan secara ilmiah.

B. NATURALISME
Naturalisme merupakan model pendekatan lain yang sudah ada sejak berabad-
abad yang lalu. Adalah “Hippocrates” (460 S.M.) yang menyatakan bahwa “the brain is
organ of the mind”. Perkembangan paham rasionalisme yang muncul dari
perkembangan ilmu alam setelah abad pertengahan menyebabkan manusia mencari
model penjelasan lain yang lebih rasional dan mampu dibuktikan secara ilmiah. Dalam
perjalanan sejarah kedua model penjelasan ini beriringan meski bertolak belakang.
Lahirnya rasionalisme di Eropa menjadikan pendekatan ini mendominasi pemikiran
tentang kejahatan pada abad selanjutnya.
Dalam perkembangan lahirnya teori-teori tentang kejahatan, maka dapat dibagi
dalam tiga mazhab atau aliran yaitu:
1) Aliran Klasik
Dasar pemikiran dari ajaran klasik ini adalah adanya pemikiran bahwa pada
dasarnya manusia adalah makhluk yang memiliki kehendak bebas (Free Will). Di
mana dalam bertingkah laku, ia memiliki kemampuan untuk memperhitungkan
segala tindakan berdasarkan keinginannya (hedonisme). Dengan kata lain manusia
dalam berperilaku dipandu oleh dua hal yaitu penderitaan dan kesenangan yang
menjadi resiko dari tindakan yang dilakukannya. Dalam hal ini hukuman dijatuhkan
berdasarkan tindakannya, bukan kesalahannya.
Berdasarkan pemikiran tersebut di atas, Cesare Bonesana Marchese de
Beccaria menuntut adanya persamaan di hadapan hukum bagi semua orang dan
keadilan dalam penerapan sanksi. la menginginkan kesebandingan antara tindakan
dan hukuman yang dijatuhkan. Ini dapat diungkap secara tersirat dalam tulisannya
“The Crimes and Punishment” yang pernah diungkapkan pada bab terdahulu.
Agaknya Beccaria bukan merupakan sarjana satu-satunva yang berbicara
tentang free will dan hedonisme manusia. Adalah Jeremy Bentham, seorang sarjana
Inggris yang berbicara mengenai hal yang diungkapkan oleh Beccaria tersebut di
atas. Sebagai seorang ahli hukum ia menyatakan bahwa tujuan dari pemberian
sanksi semata-mata berfungsi sebagai alat preventie bagi lahirnya kejahatan.
Ide dari para sarjana ini mengilhami lahirnya Code Civil Napoleon 1791 dan
juga konstitusi Amerika pada masa itu. Adanya persamaan dihadapan hukum dan
keseimbangan antara hukuman dan kejahatan diterapkan secara murni pada masa
itu.
2) Aliran Neo Klasik
Aliran neo-klasik pada dasarnya bertolak pada pemikiran mazhab klasik.
Namun demikian para sarjana mazhab neoklasik ini justru menginginkan
pembaharuan pemikiran dari mazhab klasik setelah pada kenyataannya pemikiran
pada mazhab klasik justru menimbulkan ketidakadilan.
Pemberlakuan secara kaku Code Penal Perancis terhadap pelaku kejahatan
dibawah umur, di mana tidak adanya suatu pembedaan pemberian hukuman
terhadapnya, dinilai sebagai suatu ketidakadilan. Aspek mental dan kesalahan
seseorang tidak diperhitungkan oleh Code Penal Perancis tersebut.
Meski mazhab neoklasik, tidak dilandaskan pada pemikiran ilmiah, namun
aspek-aspek kondisi pelaku dan lingkungannya mulai diperhatikan. Hal tersebut
yang membuatnya berbeda dengan mazhab klasik.
3) Aliran Positifis
Secara garis besar aliran positifis membagi dirinya menjadi dua oandangan
yaitu:
a. Determinisme Biologis
Teori-teori yang masuk dalam aliran ini mendasari pemikiran bahwa perilaku
manusia sepenuhnya tergantung pada pengaruh biologis yang ada dalam dirinya.
b. Determinisme Cultural
Teori-teori yang masuk dalam aliran ini mendasari pemikiran mereka pada
pengaruh sosial, budaya dari lingkungan di mana seseorang itu hidup.
Penjelasan berikut ini akan memulai pembagian dari pandangan determinisme
biologis sebagai asal mula lahirnya mazhab positifis ini.
I. Lombrosso Sebagai Pelopor Lahirnya Mazhab Positifis
Dalam khasanah kriminologi, orang tidak akan pernah melupakan seorang sarjana
bernama Cesare Lombrosso (1835-1909). Seorang dokter kelahiran Itali yang mendapat
julukan Bapak Kriminologi Modern. Jasanya bukan karena teori Born Criminal-nya
yang terkenal tetapi karena Lombrosso merupakan orang pertama yang meletakkan
metode ilmiah (rational-scientist thinking and experimental) dalam mencari penjelasan
tentang sebab kejahatan serta melihatnya dari banyak faktor.
Teori “Born Criminal” Lombrosso lahir dari ide yang diilhami oleh teori Darwin
tentang Evolusi Manusia. Di sini Lombrosso membantah tentang sifat free will yang
dimiliki manusia. Doktrin Atavisme menurutnya membuktikan adanya sifat hewani
yang diturunkan oleh nenek moyang manusia. Gen ini dapat muncul sewaktu-waktu
dari turunannya yang memunculkan sifat jahat pada manusia modern.
Dalam perkembangan teorinva ini Lombrosso mendapati kenyataan bahwa
manusia jahat dapat ditandai dari sifat-sifat fisiknya. Lombrosso menggunakan
posisinya sebagai dokter militer, untuk meneliti 3000 tentara melalui rekarn medis
(medical-record)-nya. Antara lain: telinga yang tidak sesuai ukurannya, dahi yang
menonjol, tangan yang parajang, rahang yang menonjol, ataupun hidung yang bengkok.
Penelitian ini melahirkan berbagai tulisannya pada masa itu.
Berdasarkan penelitiannya ini, Lombrosso mengklasifikasikan Penjahat kedalam
empat golongan yaitu:
1. Born Criminal yaitu orang berdasarkan pada doktrin atavisme tersebut di atas;
2. Insane Criminal yaitu orang-orang yang tergolong ke dalam kelompok idiot; embisiil
atau paranoid;
3. Occasional Criminal atau Criminaloid yaitu pelaku kejahatan berdasarkan
pengalaman yang terus menerus sehingga mempengaruhi pribadinya;
4. Criminals of passion yaitu pelaku kejahatan yang melakukan tindakannya karena
marah, cinta atau karena kehormatan.

II. Kritik Terhadap Lombrosso


Teori Biologi Lombrosso tersebut pada akhir abad ke-19 mendapat kritik dari
berbagai sarjana antaranya Lacassagne (1834-1924), Manouvier (1850-1927) dan Tarde
(1834-1904). Kritik ini muncul bersamaan dengan pesatnya perkembangan ilmu-ilmu
alam di Eropa pada masa itu, khususnya di Perancis, Lacassagne mendasarkan
pendapatnya pada anggapan bahwa kejahatan merupakan suatu jenis penyakit yang
disebabkan oleh kuman, namun berkembangnya kuman tetap digantungkan pada
kondisi manusianya. Pandangan ini berdasarkan tren yang ada pada masa itu di mana
mikroskop baru ditemukan.
Pendapat lain dilontarkan oleh Manouvier. la tidak menyetujui generalisasi yang
dilakukan oleh Lombrosso yang menyatakan bahwa asal muasal kejahatan berasal dari
gen kebuasan dan sikap liar yang diturunkan oleh nenek moyang manusia. Nenek
moyang manusia tersebut oleh Manouvier dianggap biadab hanya bila diukur dari
kebudayaan yang ada sekarang. Jadi menurut Manouvier, kejahatan dan penjahat akan
ditentukan oleh kebudayaan yang menjadi tolok ukurnya. Menurut Manouvier kejahatan
lebih banyak disebabkan oleh milieu atau lingkungan di mana manusia yang
bersangkutan itu hidup. Pengaruh lingkungan inilah yang menurutnya banyak
mempengaruhi sikap jahat seseorang. Kritik lain dilontarkan oleh Tarde. Antropolog ini
pun menggunakan milieu sebagai landasan teorinya. la menyatakan bahwa perilaku
jahat seseorang sesungguhnya timbul dari hukum imitasi atau meniru perilaku orang
lain. Ketiga orang ini menolak teori Born Kriminal yang dilontarkan oleh Lombrosso.
Enrico Ferri, murid Lombrosso kemudian menengahinya dengan merangkum semua
teori di atas. Meski tetap berkeyakinan bahwa ada orang-orang yang dilahirkan jahat,
namun lingkungan pun memiliki pengaruh dalam membentuk perilaku jahat tersebut.
Disamping teori biologi dari Lombrosso tersebut, terdapat beberapa teori lain
yang menitikberatkan pada kondisi individu penjahat, antara lain:
1. Teori Psikis, di mana sebab-sebab kejahatan dihubungkan dengan kondisi kejiwaan
seseorang. Sarana yang digunakan adalah tes-tes mental seperti tes IQ. Metode ini
sempat tampil dengan meyakinkan setelah dibuat tes terhadap sejumlah nara
pidana, yang ternyata rata-rata memiliki IQ dibawah 100. Jadi penjahat menurut
teori ini adalah orang-orang yang memiliki keterbelakangan mental atau bodoh.
Namun teori ini gugur, manakala dilakukan tes berupa pada para serdadu Amerika
pada perang dunia I. Mereka yang dipandang sebagai pahlawan dan orang yang
baik ternyata sebagian besar memiliki IQ dibawah 100.

2. Teori yang menyatakan balwa penjahat memiliki bakat yang diwariskan oleh orang
tuanya. Pada mulanya amat mudah mendapati anak yang memiliki karakter seperti
orang tuanya, namun ternyata hasil yang sama pun tidak jarang ditemui pada anak-
anak yang diadopsi atau anak-anak angkat.
3. Teori Psikopati: berbeda dengan teori-teori yang mcnekankan pada intelejensia
ataupun kekuatan mental pelaku, teori psikopati mencari sebab-sebab kejahatan dari
kondisi jiwanya yang abnormal. Seorang penjahat di sini terkadang tidak memiliki
kesadaran atas kejahatan yang telah diperbuatnya sebagai akibat gangguan jiwanya.
4. Teori bahwa kejahatan sebagai gangguan kepribadian sempat digunakan di
Amerika untuk menjelaskan beberapa perilaku yang dikategorikan sebagai crime
without victim (kcjahatan tanpa korban) seperti pemabuk, gelandangan, perjudian,
prostitusi, penggunaan obat bius.
Disamping teori-teori yang menitikberatkan pada kondisi individu, ada pula
golongan sarjana yang mencari sebab kejahatan pada pengaruh sosial kebudayaan, yang
kemudian dapat digolongkan kedalam empat kelompok besar yaitu:
1) Kelompok teori yang menghubungkan kejahatan dengan kondisi ekonomi;
2) Kelompok yang melihat kejahatan sebagai perilaku yang dipelajari secara normal;
3) Kelompok teori yang melihat konflik kelompok sebagai sebab musabab kejahatan;
4) kelompok teori yang disebut teori kritis atau modern.
Berikut kita akan melihat beberapa penggolongan (tipologi) ajaran-ajaran mengenai
sebab musabab kejahatan dari beberapa orang sarjana.
Ajaran Tahun Isi Penjelasan Metode
Berkembang
I Klasik 1775 Hedonisme Kursi sandar
lengan (Arm-chair)
II Kartografik 1830 Ecology, cultur, komposisi Peta-peta Statistik
penduduk
III Sosialis 1850 Determinisme ekonomi Statistik

IV Typology
1. Lombroso 1875 Type morfologis, born Klinis statistik
criminal
2. Mental tes 1905 Kelemahan pikiran Klinis, tes, statistik
3. Psychiatris 1905 Psychopathy Klinis, statistik
V Sosiologis 1915 Proses-proses kelompok dan Klinis, statistik
sosial (group and social
process)
Sumber : Purnianti dan M. Kemal Darmawan; Mazjhab dan penggolongan Teori dan
Kriminologi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994) hlm.20
Ajaran Klasik
Ajaran klasik dari hukum pidana mulai berkembang di Inggris pada akhir abad ke-
19 dan meluas ke lain-lain negara Eropa dan Amerika.
Dasar ajaran ini adalah bedonistic psychology. Menurut ajaran ini manusia
mengatur tingkah lakunya atas dasar pertimbangan suka dan duka. Suka yang diperoleh
dari tindakan tertentu dibandingkan dengan duka yang diperoleh dari tindakan yang
sama. Sipetindak diperkirakan berkehendak bebas dan menentukan pilihannya
berdasarkan perhitungan hedonistis saja. Inilah yang dianggap penjelasan final dan
komplit dari sebab musabab kejahatan.
Beccaria dalam tahun 1764 menerapkan doktrin ini kepada penology dengan
maksud untuk mengurangi kesewenang-wenangan dan kekuasaan hukuman.
Menurutnya, semua orang yang melanggar undang-undang tertentu harus menerima
hukuman yang sama, tanpa mengingat umur, kesehatan jiwa, kaya/miskin, posisi social
dan keadaan-keadaan lainnya. Hukuman yang dijatuhkan harus sedemikian beratnya,
sehingga melebihi suka yang diperoleh dari pelanggaran Undang-undang tersebut.
Pendapat ekstrirn ini kemudian diperlunak mengenai dua hal yaitu anak-anak dan
orang yang tidak waras dikecualikan dengan pertimbangan bahwa mereka tidak mampu
untuk memperhitungkan secara wajar suka duka dan hukuman yang diterapkan pun
dalam batas-batas tertentu (dimungkinkan adanya diskresi). Dengan perubahan ini
doktrin klasik menjadi tulang punggung hukum pidana sampai sekarang. Dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Indonesia kita mengenalnya dalam aturan pasal 44 dan
47.
Sebab musabab kejahatan yang sealiran dengan ajaran ini mengakui hipotesa
sebab musabab kejahatan yang naturalistis dan karenanya kadang-kadang disebut
positivis (ajaran positif).

Ajaran Kartografis atau Geografis


Berkembang di Perancis, Inggris dan Jerman pada tahun 1830-1880. Ajaran ini
sama dengan apa yang akhir ini disebut ajaran ekologis. Yang dipentingkan dalam
ajaran ini adalah distribusi kejahatan dalam daerah-daerah tertentu, baik secara
geografis maupun secara sosial. Dianggapnya kejahatan merupakan suatu ekspresi dari
kondisi-kondisi sosial. Penganut ajaran ini diantaranya adalah Quetelet dan Guerry.
Ajaran Sosialis
Ajaran sosialis dalam kriminologi didasarkan pada tulisan-tulisan Marx dan
Engels pada tahun 1850-an. Yang menjadi pusat perhatian dari ajaran ini adalah
determinisme ekonomis. Ajaran ini memandang kejahatan hanya sebagai hasil, sebagai
akibat atau sebagai akibat lainnya. saja. Ajaran ini menghubungkan kondisi kejahatan
dengan kondisi ekonomi yang dianggap memiliki hubungan sebab akibat. Walau
demikian ajaran ini dapat dikatakan bersifat ilmiah, sebab dimulai dengan sebuah
hipotesa dan kumpulan bahan-bahan nyata dan menggunakan cara yang memungkinkan
orang lain untuk mengulangi penyelidikan dan untuk menguji kembali kesimpulan-
kesimpulannya.

Ajaran Tipologis
Dalam kriminologis telah berkembang 3 ajaran yang disebut ajaran tipologis atau
bio tipologis. Ketiga-tiganya mempunyai logika dan metodologi yang sama dengan
berdasarkan pada dalil bahwa pada dasarnya penjahat berbeda dengan bukan penjahat
karena memiliki ciri-ciri pribadi yang mendorong timbulnya kecenderungan luar biasa
(menyimpang) untuk melakukan kejahatan dalam situasisituasi yang tidak mendorong
orang lain untuk melakukan kejahatan. Kecenderungan ini mungkin diwariskan dari
orangtuanya atau mungkin merupakan ekspresi khusus dari ciri-ciri kepribadiannya
yang lain dari orang kebanyakan. Di sini situasi sosial ekonomi penjahat tidak
diperhitungkan.
Namun demikian ketiga ajaran ini memiliki perbedaan antara satu dan yang
lainnya dalam membedakan penjahat dan bukan penjahat.
1. Ajaran Lombrosso
a. penjahat sejak lahir merupakan tipe khusus
b. Tipe ini dapat dikenali dari bentuk/cacat fisik tertentu
c. Keanehan-keanehan/cacat tersebut semata-mata sebagai takdir untuk menjadi
gambaran dari kepribadiannya sebagai penjahat dan kepribadian ini sebagai
akibat dari atavisme yaitu reversi dari tipe kebiadaban atau akibat dari
degenerasi, khususnya karena epilepsi.
d. Karena tabiat ini, orang-orang demikian tidak dapat menghindarkan diri dari
kejahatan kecuali apabila keadaan hidupnya sangat menguntungkan.
e. Golongan-golongan atau kelas-kelas penjahat seperti misalnya pencuri,
pembunuh atau penjahat-penjahat lainnya mempunyai tanda-tanda atau cap yang
berbeda-beda.
2. Ajaran Mental Tester
Karena ajaran Lombroso mulai rnundur, meski logika dan metodologinya
tetap dipertahankan, akan tetapi feeble mindedness menggantikan tipe fisik, sebagai
ciri-ciri penjahat. Menurut ajaran ini feeble mindedness menyebabkan kejahatan
karena orang tidak dapat menilai sebab akibat dari perbuatannya atau menangkap
serta menilai arti hukum. Ajaran ini mundur karena terbukti bahwa feeble
mindedness terdapat pada penjahat dan bukan penjahat.
3. Ajaran Psikiatri
Ajaran ini adalah lanjutan dari ajaran Lombrosso. Namun demikian
penekanan dari ajaran ini adalah kekacauan-kekacauan emosional, yang dianggap
timbul dalam interaksi sosial dan bukan karena pewarisan. Pokok dari ajaran ini
adalah organisasi tertentu dari kepribadian orang yang berkembang jauh terpisah
dari pengaruh-pengaruh jaat akan tetapi menghasilkan kelakuan jahat tanpa
mengingat situasi-situasi sosial.

Ajaran Sosiologis
Di dalam kriminologi ajaran ini paling banyak melahirkan variasivariasi dan
perbedaan-perbedaan analisa dari sebab musabab kejahatan. Pokok pangkal dari ajaran
ini adalah bahwa kelakuan-kelakuan jahat dihasilkan dari proses-proses yang sama
seperti kelakuan-kelakuan sosial lainnya. Pada umumnya analisa proses yang
menghubungkan kejahatan dengan perilaku sosial mendasari 2 bentuk yaitu:
1. Analisa yang menghubungkan kejahatan dengan organisasi sosial termasuk di
dalamnya pada sistem-sistem institusi yang lebih luas;
2. Analisa yang menghubungkan proses-proses sosial seperti social learning dan
menggunakan konsep-konsep seperti imitasi, attitude value, differential assosiation,
kompensasi dan frustrasi aggression.
Penggolongan teori yang kedua yang akan dipaparkan di sini adalah
penggolongan yang dilakukan oleh Barnes dan Teeters. Barnes dan Teeters
membedakan antara 6 golongan ajaran kriminologi:
I. Ajaran Pre-Klasik
Zaman ajaran pre-klasik ini berlangsung sejak tahun 400 sebelum masehi sampai
kira-kira tahun 1700 masehi. Teori pada zaman ini dibagi dalam:
a. Tahun 400 sebelum masehi: mula-mula tidak diketahui apa sebab kejahatan,
diperkirakan yang menjadi sebab kejahatan adalah kehendak bebas.
Kemudian dianggap sebagai sebab adalah pandangan hedonisme: suka-duka.
b. Tahun 30 sesudah masehi, ajaran spiritual istis/demonologis berlaku disini.
c. Tahun 1215, orang dianggap bertanggung jawab secara pribadi atas
perbuatan-perbuatannya = kehendak bebas, tetapi dalam mencari sebab
terjadinya kejahatan maka hal itu dihubungkan dengan pengaruh dari
kekurangan-kekurangan sistem feodal.
d. Tahun 1500-1700, sebab-sebab kejahatan: assosiasi jahat, kebiasaan buruk,
kemalasan.
II. Ajaran Klasik
Jaman ajaran klasik berlangsung dari tahun 1700-1770. Sedangkan mengenai
sebab musabab kejahatan dibagi dalam taraf-taraf sebagai berikut:
Tahun 1700: kejahatan dianggap merupakan hasil dari pergaulan jahat, kebiasaan-
kebiasaan jelek dan kemalasan.
Tahun 1770: pengaruh Beccaria berkembang. Bentham mengemukakan ajaran
kehendak bebasnya dengan menonjolkan asas hedonisme yang terutama dijadikan
asas penentuan hukuman.
III. Ajaran Neo-Klasik
Berlangsung dari tahun 1800-1876. Kejahatan disebabkan oleh free choice of evil.
Akan tetapi anak-anak, orang gila dan orang-orang yang lemah ingatannya
dibebaskan dari tanggung jawab atas perbuatannya.
IV. Ajaran Positif atau Italia (1876-1913)
Dalam mencari sebab musabab dari kejahatan, ajaran ini kembali lagi kepada
pandangan mengenai dosa dan penyelewengan-penyelewengan yang memang
dikehendaki.
V. Ajaran Analitis atau Individualistis (1913-1936)
Dalam mencari sebab musabab kejahatan titik berat diletakkan kepada sebab
musabab yang unik seperti cacat fisik, cacat mental. Keadaan psikopathis dan
keanehan-keanehan pada tabiat.
Dalam kenyataannya pengelompokan teori ini memang memudahkan
mereka yang ingin mempelajari kriminologi, namu pengelompokan ini pun
memiliki bahaya-bahaya seperti:
1) Fanatisme berlebihan terhadap satu kelompok teori tertentu sehingga
menimbulkan anggapan bahwa teori yang lain tidak ada;
2) Adanya teori yang tidak dapat dimasuknya ke dalam kelompok manapun
menyebabkan pereduksian terhadap teori yang bersangkutan;
3) Penggolongan teori ini menimbulkan anggapan bahwa kriminologi menjadi
ilmu yang statis dan tidak berkembang.

TEORI-TEORI KRIMINOLOGI

A. PENGANTAR
Setelah menjelajah sejarah perkembangan kriminologi, pengertian, obyek studi,
serta sejarah perkembangan akal manusia dalam memahami fenomena kejahatan sampai
penggolongan teori dalam kriminologi, berikutnya kita akan beralih ke pembahasan
tentang teori-teori dalam Kriminologi. Mengingat banyaknya teori-teori tersebut maka
kita mencoba untuk memfokuskan pada beberapa teori yang dapat dibagi ke dalam tiga
perspektif: 1) teori-teori yang menjelaskan kejahatan dari perspektif Biologis dan
Psikologis; 2) teori-teori yang menjelaskan kejahatan dari perspektif sosiologis; dan 3)
teori-teori yang menjelaskan kejahatan dari perspektif lainnya.

B. TEORI-TEORI YANG MENJELASKAN KEJAHATAN DARI PERSPEKTIF


BIOLOGIS DAN PSIKOLOGIS
Penelitian modern yang berusaha menjelaskan faktor-faktor kejahatan biasanya
dialamatkan pada Cesare Lombroso (1835-1909), seorang Italia yang sering dianggap
sebagai “the father of modern criminology”. Era Lombroso juga menandai pendekatan
baru dalam menjelaskan kejahatan, yaitu dari mazhab klasik menuju mazhab positif.
Perbedaan paling signifikan antara mazhab klasik dan mazhab positifis adalah
bahwa yang terakhir tadi mencari fakta-fakta empiris untuk mengkonfirmasi gagasan
bahwa kejahatan itu ditentukan oleh berbagai faktor. Para positifis pertama di abad 19,
misalnya mencari faktor itu pada akal dan tubuh si penjahat.
Para tokoh biologis dan psikologis tertarik pada perbedaan-perbedaan yang
terdapat pada individu. Para tokoh psikologis mempertimbangkan suatu variasi dari
kemungkinan cacat dalam kesadaran, ketidakmatangan emosi, sosialisasi yang tidak
memadai di masa kecil, kehilangan hubungan dengan ibu, perkembangan moral yang
lemah. Mereka mengkaji bagaimana agresi dipelajari, situasi apa yang mendorong
kekerasan atau reaksi delinkuen, bagaimana kejahatan berhubungan dengan faktor-
faktor kepribadian, serta asosiasi antara beberapa kerusakan mental dan kejahatan.
Sementara itu tokoh-tokoh Biologis mengikuti tradisi Cesare Lombroso, Rafaelle
Garofalo serta Charles Goring dalam upaya penelusuran mereka guna menjawab
pertanyaan tentang tingkah laku kriminal. Para tokoh genetika misalnya berargumen
bahwa kecenderungan untuk melakukan tindakan kekerasan atau agresititas pada situasi
tertentu kemungkinan dapat diwariskan. Sarjana lainnya tertarik pada pengaruh hormon,
ketidaknormalan kromosom, kerusakan otak dan sebagainya terhadap tingkah laku
kriminal.

C. PENJELASAN BIOLOGIS ATAS KEJAHATAN


Auguste Comte (1798-1857), sosiolog Perancis, membawa pengaruh penting bagi
tokoh-tokoh mazhab positif (termasuk mazhab Biologi). Menurutnya: “There could be
no real knowledge of social phenomena unless it was based on a positivist (scientific)
approach.” Mazhab Biologi juga mendapat pengaruh dari Charles Darwin (18091882),
penulis buku Origin of Species (1859) yang menyatakan bahwa: “... all had evolved
through a process of adaptive mutation and natural selection. The process was based on
the smvival of the fittest in the struggle for existence.” Teori evolusi Darwin yang
menantang pendapat lama serta positifisme Comte mempengaruhi pendekatan Biologis.
Meskipun tokoh paling terkenal dari pendekatan ini adalah Lombroso, namun
sebenarnya ia dapat ditelusuri hingga abad ke-16 yaitu ketika Giambatista della Porta
(1535-1615) menemukan physiognomy, studi tentang bentuk-bentuk muka dan
hubungannya dengan tingkah laku manusia. Usaha Porta dihidupkan kembali oleh
Johann Kaspar Lavater (1741-1801). Usaha Porta dan Lavater itu kemudian dielaborasi
oleh Franz Joseph Gall (1758-1828) dan Johann Kaspar Spurzheim (1776-1832). Tokoh
dari Prenology tersebut menjelaskan bahwa benjolan-benjolan pada otak merupakan
indikasi dari kecenderungan psikologis.
Jadi, sebelum abad ke-19, ilmu pengetahuan physiognomy dan prenology telah
memperkenalkan faktor-faktor biologis tertentu ke dalam studi tentang sebab-musabab
kejahatan.

Cesare Lombroso (1835-1909)


Lombroso menggabungkan positivisme Comte, evolusi dari Darwin, serta banyak
lagi pioneer dalam studi tentang hubungan kejahatan dan tubuh manusia. Pada tahun
1876, dengan terbitnya buku L’huomo delinquente (the criminal man), kriminologi
beralih secara permanen dari filosofi abstrak tentang penanggulangan kejahatan melalui
legislasi menuju suatu studi modern penyelidikan mengenai sebab-sebab kejahatan.
Lombroso menggeser konsep free will dengan determinisme. Bersama-sama
pengikutnya Enrico Ferri dan Raffaele Garofalo, Lombroso membangun suatu orientasi
baru, mazhab Italia atau mazhab Positif, yang mencari penjelasan atas tingkah laku
kriminal melalui eksperimen dan penelitian ilmiah.
Ajaran inti dalam penjelasan awal Lombroso tentang kejahatan adalah bahwa
penjahat mewakili suatu tipe keanehan/keganjilan fisik, yang berbeda dengan non-
kriminal. Lombroso mengklaim bahwa para penjahat mewakili suatu bentuk
kemerosotan vang termanifestasi dalam karakter fisik yang merefleksikan suatu untuk
awal dari evolusi
Teori Lombroso tentang born crimincal (penjahat yang dilahirkan) menyatakan
bahwa para penjahat adalah suatu bentuk yang lebih rendah dalam kehidupan, lebih
mendekati nenek moyang mereka yang mirip kera dalam hal sifat bawaan dan watak
dibanding mereka yang bukan penjahat. Mereka dapat dibedakan dari non-kriminal
melalui beberapa atavistic stigrnata ciri-ciri fisik dari makhluk pada tahap awal
perkembangan, sebelum mereka benar-benar menjadi manusia. Lombroso beralasan
bahwa seringkali para penjahat memiliki rahang yang besar dan gigi taring yang kuat,
suatu sifat yang pada umumnya dimiliki makhluk carnivora yang merobek dan melahap
daging mentah. Jangkauan/rentang lengan bawah dari para penjahat sering lebih besar
dibanding tinggi mereka, sebagaimana dimiliki kera yang menggunakan tangan mereka
untuk menggerakkan tubuh mereka di atas tanah.
Menurut Lombroso, seorang individu yang lahir dengan salah satu dari lima
stigmata adalah seorang born criminal (penjahat yang dilahirkan). Kategori ini
mencakup kurang lebih sepertiga dari seluruh pelaku kejahatan. Sementara itu, penjahat
perempuan, menurutnya berbeda dengan penjahat laki-laki. la adalah pelacur yang
mewakili born criminal. Penjahat perempuan memiliki banyak kesamaan sifat dengan
anak-anak; moral sense mereka berbeda; penuh dendam, cemburu. Sebagai konsekuensi
penjahat perempuan merupakan suatu monster.
Disamping kategori born criminal di atas, Lombroso menambahkan tiga kategori
lainnya yaitu: insane criminals dan criminoloids.
Insane criminals bukanlah penjahat sejak lahir; mereka menjadi penjahat sebagai
hasil dari beberapa perubahan dalam otak mereka yang mengganggu kemampuan
mereka unuak membedakan antara benar dan salah.
Criminoloids mencakup suatu kclompok ambiguous termasuk penjahat kambuhan
(habitual criminals), pelaku kejahatan karena nafsu dan berbagai tipe lain.
Meskipun teori Lombroso dianggap sederhana dan naive untuk saat ini, Lombroso
memberikan kontribusi yang penting (signi6kan) bagi penelitian mengenai kejahatan.
Fakta bahwa Lombroso memulai melakukan penelitian empiris, mengukur ribuan
narapidana yang hidup dan mati, dalam upaya menemukan penentu kejahatan,
perhatiannya pada multifactor dalam menjelaskan kejahatan. Lombroso juga berjasa
dalam mengalihkan studi tentang kejahatan dari penjelasan abstrak, metafisik, legal, dan
juristic sebagai basis penghukuman menuju suatu studi ilmiah tentang penjahat serta
kondisi-kondisi pada saat dia melaksanakan. Hal-hal tersebut sangat mempengaruhi
para tokoh kriminologi selanjutnya.

Enrico Ferri (1856-1929)


Warisan/peninggalan positivisme Lombroso terus dilanjutkan dan diperluas oleh
seorang tokoh brilian, lawyer, anggota parlemen, editor serta sarjana yang terkemuka
dari Italia yaitu Enrico Ferri. Ferri merupakan salah satu tokoh penting dalam
kriminologi. Tidak seperti Lombroso yang memberi perhatian pada faktor-faktor bio-
logis dibanding faktor-faktor sosial, Ferri lebih memberi penekanan pada kesaling-
hubungan (interrelatedness) dari faktor-faktor sosial, ekonomi, dan politik yang
mempengaruhi kejahatan.
Ferri berpendapat bahwa kejahatan dapat dijelaskan melalui studi pengaruh-
pengaruh interaktif di antara faktor-faktor fisik (seperti ras, geografis, serta temperatur),
dan faktor-faktor sosial (seperti umur, jenis kelamin, variabel-variabel psikologis). Dia
juga berpendapat bahwa kejahatan dapat dikontrol atau diatasi dengan perubahan-
perubahan sosial, misalnya subsidi perumahan, kontrol kelahiran, kebebasan menikah
dan bercerai, fasilitas rekreasi, dan sebagainya.
Pendapat Ferri tersebut dapat ditemukan pada edisi pertama bukunya Sociologia
Criminale, yang mengklasifikasikan lima kelompok penjahat: a) the born criminals atau
instinctive criminals; b) the insane criminals (secara klinis diidentifikasi sebagai sakit
mental c) the passion criminals (melakukan kejahatan sebagai akibat problem mental
atau keadaan emosional yang panjang serta kronis); d) the occasional criminals
(merupakan produk dari kondisi-kondisi keluarga dan sosial Iebih dari problem fisik
atau mental yang abnormal); e) the habitual criminals (memperoleh kebiasaan dari
lingkungan sosial). Pada edisi kelima dari bukunya Ferri menambah satu lagi satu
penjelasan baru tentang kejahatan yaitu the involuntary criminals.

Raffaele Garofalo (1852-1934)


Penerus lain Lombroso, disamping Ferri adalah seorang bangsawan, senator, serta
guru besar hukum Raffaele Garofalo. Sebagaimana Lombroso dan Ferri, Garofalo
adalah seorang positivis yang menolak doktrin free will dan mendukung pendapat
bahwa satu-satunya jalan untuk memahami kejahatan adalah dengan menelitinya
dengan metode-metode ilmiah. Dipengaruhi teori Lombroso tentang atavistic stigmata,
Garofalo menelusuri akar tingkah laku kejahatan bukan kepada bentuk-bentuk fisik,
tetapi kepada kesamaan-kesamaan psikologis yang dia sebut sebagai moral anomalies
(keganjilankeganjilan moral).
Menurut teori ini, kejahatan-kejahatan alamiah (natural crimes) ditemukan di
dalam seluruh masyarakat manusia, tidak peduli pandangan pembuat hukum, dan tidak
ada masyarakat yang beradab dapat mengabaikannya. Kejahatan demikian, menurut
Garofalo, mengganggu sentimen-sentimen moral dasar dari probity/kejujuran
(menghargai hak milik orang lain) dan piety (sentimen of revulsion against the
voluntaiy infliction of suffering on `others). Seorang individu yang memiliki kelemahan
organic dalam sentimen-sentimen moral ini tidak memiliki halangan-halangan moral
untuk melakukan kejahatan.
Seorang penjahat sungguhan, dengan kata lain memiliki anomaly fisik atau moral
yang dapat ditransmisikan melalui keturunan. Dengan kesimpulan ini Garofalo
mengidentifikasi empat klas penjahat, masing-masing berbeda dengan yang lain karena
kekurangan dalam sentimen-sentimen dasar tentang pity dan probity.
Para pembunuh secara total kurang baik pity maupun probity dan akan membunuh
atau mencuri jika diberi kesempatan. Penjahat-penjahat yang lebih ringan. Garofalo
mengakui, lebih sulit diidentifikasi. Dia membagi berdasarkan apakah mereka
kekurangan dalam sentimen pity atau probity. Penjahat dalam kejahatan kekerasan
kekurangan pity, yang mungkin saja dipengaruhi banyak faktor-faktor lingkungan.
Pencuri, pada sisi lain menderita kekurangan probity. Kategori terakhirnya adalah
penjahat seksual, beberapa dapat dikategorikan the violent criminals karena mereka juga
kekurangan pity.

Charles Buchman Goring (1870-1919)


Tantangan terbesar terhadap teori Lombroso dilakukan oleh Charles Buckman
Goring. Antara tahun 1901 hingga 1913, Goring mengumpulkan data tentang 96 sifat
bawaan lebih dari 3000 terpidana dan suatu control group yang berasal dari Universitas
Oxford dan Cambridge, pasien rumah sakit, dan tentara. Setelah menyelesaikan
penelitiannya itu Goring memiliki cukup bekal untuk menolak teori Lombroso tentang
tipe antropologis penjahat.
Goring menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan-perbedaan signifikan antara
para penjahat dengan non penjahat kecuali dalam hal tinggi dan berat tubuh. Para
penjahat didapati lebih kecil dan ramping. Goring menafsirkan temuannya ini sebagai
penegasan dari hipotesanya bahwa para penjahat secara biologis lebih inferior, tetapi dia
tidak menemukan satupun tipe fisik penjahat.
Meski la menolak klaim bahwa stigmata tertentu mengidentifikasi penjahat, ia
yakin bahwa kondisi fisik yang kurang ditambah keadaan mental yang cacat (tidak
sempurna) merupakan faktor-faktor penentu dalam kepribadian kriminal.
BODY TYPES THEORIES (TEORI-TEORI TIPE FISIK)

A. ERNST KRETCHMER (1888-1964)


Kretschmer melakukan studi terhadap 260 orang gila di Swabia, sebuah kota di
barat daya Jerman. Dia mendapati fakta bahwa subyek studinya memiliki tipe-tipe tubuh
tertentu yang berkaitan, menurutnya, dengan tipe tertentu dari kecenderungan fisik.
Kretschmer mengidentifikasi empat tipe fisik: (1) asthenic: kurus, bertubuh
ramping, berbahu kecil; (2) athletic: menengah tinggi, kuat, berotot, bertulang kasar; (3)
pyknic: tinggi sedang, figure yang tegap, leher besar, wajah luas; dan (4) beberapa tipe
campuran, tidak terklasifikasi. Kretschmer selanjutnya menghubungkan tipe-tipe fisik
tersebut dengan variasi-variasi ketidakteraturan Fsik: pyknics berhubungan dengan
depresi, asthenics dan athletics dengan schizophrenia, dan sebagainya.

B. ERNEST A. HOOTEN (1887-1954)


Setelah tantangan Goring, teori Lombroso kehilangan popularitas akademik
sampai sekitar seperempat abad. Hingga pada tahun 1939 Ernest Hooten, seorang
Antropolog fsik, membangunkan kembali perhatian terhadap kriminalitas yang secara
biologis ditentukan dengan publikasinva tentang suatu studi besar yang membandingkan
penghuni-penghuni penjara di Amerika denpn suatu control group dari non-kriminal.
Hooten memulai dengan kritik tajam terhadap penelitian Goring dari segi metode,
dan dia meneliti dengan analisa mendetail data-data lebih dari 17.000 kriminal dan non-
kriminal. Dia menyatakan bahwa para penjahat berbeda secara inferior dibanding
anggota masyarakat lainnya dalam hampir semua ukuran tubuh/fisik mereka.
Selanjutnya Hooten menyimpulkan bahwa:
“in every population there are hereditary inferiors in mind and in body as well as
physical and mental deficients ... Our information definitely proves that it is from
the physically inferior element of the population that native born criminals from
native parentage are mainly derived”
Sebagaimana pendahulunya, Hooten menyerukan pemisahan (penyingkiran)
terhadap apa yang dia sebut sebagai “criminal stock” atau keturunan kriminal, dan dia
merekomendasikan untuk mensterilkan atau membersihkan mereka.
C. WILLIAM H. SHELDON (1898-1977)
Disamping membawa pendapat Kretschmer ke Amerika Serikat, William H.
Sheldon memformulasikan sendiri kelompok somatotypes: (1) the endomorph
(memiliki tubuh gemuk); (2) the mesomorph (berotot dan bertubuh atletis); dan (3) the
ectomorph (tinggi, kurus, fisik yang rapuh). Setiap tipe tadi mempunyai temperamen
yang berbeda. Menurut Sheldon: “Solid flesh and bone of the individual” (daging padat
dan tulang seorang individu) merupakan “basis for the study” (dasar untuk melakukan
kajian) yang memberikan suatu frame of reference. Menurutnya pula, ada “high correla-
tion between physique and temperament”, tetapi “not one to one relationship”.
Menurut Sheldon, orang yang didominasi sifat bawaan mesomorph (secara fisik
kuat, agresif, dan atletis) cenderung lebih dari orang lainnya untuk terlibat dalam
perilaku illegal.
Dalam studinya, William Sheldon meneliti 200 pria berusia antara 15 dan 21
dalam usaha menghubungkan fisik dengan temperamen, kecerdasan, dan delinquency.
Dengan mengandalkan pada pengujian fisik dan psikologis, Sheldon menghasilkan
suatu “Index to Delinquency” yang dapat digunakan untuk memberi profil dari tiap
problem pria secara mudah dan cepat.

D. SHELDON GLUECK (1896-1980) DAN ELEANOR GLUECK (1898-1972)


Temuan William Sheldon mendapat dukungan dari Sheldon Glueck dan Eleanor
Glueck (1950) yang melakukan studi komparatif antara pria delinquent dengan non-
delinquent. Sebagai suatu kelompok, pria delinquent didapati memiliki wajah yang
lebih sempit (kecil), dada yang lebih lebar, pinggang yang lebih besar dan luas, lengan
bawah dan lengan atas yang lebih besar dibandingkan nondelinquent. Penyelidikan
mereka juga mendapati bahwa kurang lebih 60% delinquent dan 31% non-delinquent
didominasi mereka yang mesomorphic.

E. DISFUNGSI OTAK DAN LEARNING DISABILITIES


Ada bukti yang semakin berkembang bahwa disfungsi otak dan cacat neurologis
secara umum ditemukan pada mereka yang menggunakan kekerasan secara berlebihan
dibanding orang pada umumnya. Banyak pelaku kejahatan kekerasan kelihatannya
memiliki cacat di dalam otaknya yang berhubungan dengan terganggunya self-control.
Delinquent cenderung memiliki problem neurologis dibandingkan non delinquent. Juga
ada beberapa bukti bahwa orang tua dari anak-anak delinquent memiliki problem
neurologis dibanding orang tua anak-anak non delinduent, sehingga ada kemungkinan
faktor genetika berhubungan dengan kekerasan dari orang dewasa. Terdapat bukti yang
bagus bahwa delinquency berhubungan dengan Learning Disabilities, yaitu kerusakan
pada fungsi sensori dan motorik yang membawa penampilan menyimpang di ruang
kelas, dan yang merupakan hasil dari beberapa kondisi fisik abnormal. Sebab-sebab dari
Learning disabilities tidak begitu dipahami secara mendalam, tapi terlihat bahwa paling
tidak sebagian berakar dari disfungsi neurologis.
Macam learning disabilities antara lain: dyslexia (gagal menguasai skill berbahasa
setaraf dengan kemampuan intelektual); aphasia (suatu problem komunikasa verbal atau
masalah dalam memahami pembicaraan orang lain); hyperactive. Satu studi menemukan
bahwa anak-anak hyperactive enam kali kemungkinan ditangkap ketika mereka dewasa
dibandingkan mereka yang tidak mengalami kelainan itu.

F. KRIMINALITAS DAN FAKTOR GENETIKA


Ada beberapa hasil kajian yang menghubungkan faktor-faktor genetika dengan
kriminalitas, antara lain studi tentang orang kembar (twin studies), adopsi (adoption
studies), dan cromosom (The XYY syndrome).

Twin Studies
Untuk mengungkap apakah benar kejahatan ditentukan secara genetikal, para
peneliti telah membandingkan antara identical twins dan fraternal twins. Identical atau
monozygotic twins dihasilkan dari satu telur yang dibuahi yang membelah menjadi dua
embrio. Kembar seperti ini membagi sama gen-gen mereka. Sementara, Fraternal atau
dizygotic twins dihasilkan dari dua telur terpisah, keduanya dibuahi pada saat yang
bersamaan. Mereka membagi sekitar setengah dari gen-gen mereka.
Karl Cristiansen dan Sarnoff A. Medniek melakukan suatu studi terhadap 3.5S6
pasangan kembar di satu kawasan Denmark antara tahrrn 1881 dan 1910 dikaitkan
dengan kejahatan serius. Mereka menemukan bahwa pada identical twins jika
pasangannya melakukan kejahatan maka 50% pasangannya juga melakukan. Sedangkan
pada fraternal twins angka tersebut hanya 20%. Temuan ini mendukung hipotesa bahwa
beberapa pengaruh genetika meningkatkan resiko krirninalitas.

Adoption Studies
Satu jalan untuk memisahkan pengaruh dari sifat-sifat yang diwariskan dengan
pengaruh dari kondisi lingkungan adalah dengan melakukan studi terhadap anak-anak
yang sejak lahirnya dipisahkan dari orang tua aslinya dan ditempatkan pada keluarga
angkat.
Satu studi tentang adopsi ini pernah dilakukan terhadap 14.427 anak yang
diadopsi di Denmark antara tahun 1924 dan 1947. Penelitian itu menemukan data:
a) dari anak-anak yang orang tua angkat dan orang tua aslinya tidak tersangkut
kejahatan, 13,5% terbukti melakukan kejahatan;
b) dari anak-anak yang memiliki orang tua angkat kriminal tapi orang tua aslinya
tidak, 14,7% terbukti melakukan kejahatan;
c) dari anak-anak yang orang tua angkatnya tidak kriminal tapi memiliki orang tua asli
kriminal, 20% terbukti melakukan kcjahatan; dan
d) dari anak-anak yang orang tua angkat dan orang tua aslinya kriminal, 24,5%
terbukti melakukan kejahatan.
Temuan di atas mendukung klaim bahwa kriminalitas dari orang tua ash (orang
tua biologis) memiliki pengaruh lebih.besar terhadap anak dibanding kriminalitas dari
orang tua angkat.

The XYY Syndrome


Kromosom merupakan struktur dasar yang mengandung gen kita suatu materi
biologis yang membuat masing-masing kita berbeda. Setiap manusia memiliki 23
pasang kromosom yang diwariskan. Satu pasang kromosom menentukan gender (jenis
kelamin). Seorang perempuan mendapat satu X kromosom dari ayah dan ibunya;
seorang laki-laki mendapat satu kromosom dari ibunya dan satu Y kromosom dari
ayahnya.
Kadang-kadang kesalahan dalam memproduksi sperma atau sel telur
menghasilkan abnormalitas genetika. Satu tipe abnormalitas tersebut adalah “the XYY
chromosome male” atau laki-laki dengan XYY kromosom. Orang tersebut menerima
dua Y kromosom (dan bukan satu) dari ayahnya. Kurang lebih satu dari tiap 1000
kelahiran laki-laki dari keseluruhan populasi memiliki komposisi genetika semacam ini.
Mereka yang memiliki kromosom XYY cenderung bertubuh tinggi, secara fisik agresif,
sering rnelakukan kekerasan.

PENJELASAN PSIKOLOGIS ATAS KEJAHATAN

A. PERSONALITY CHARACTERISTICS (SIFAT-SIFAT KEPRIBADIAN)


Empat alur penelitian psikologis yang berbeda telah menguji hubungan antara
kepribadian dengan kejahatan. Pertama, melihat pada perbedaan-perbedaan antara
struktur kepribadian dari penjahat dan bukan penjahat; kedua, memprediksi tingkah
laku, ketiga, menguji tingkatan di mana dinamika-dinamika kepribadian normal
beroperasi dalam diri penjahat; dan keempat, mencoba menghitung perbedaan-
perbedaan individual antara tipe-tipe dan kelompok-kelompok pelaku kejahatan.

B. SAMUEL YOCHELSON DAN STANTION SAMENOW


Dalam bukunya The Criminal Personality (Kepribadian Kriminal), Yochelson
(seorang psikiater) dan Samenow (seorang psikolog) menolak klaim para Psikoanalis
bahwa kejahatan disebabkan oleh konflik internal. Tetapi yang sebenarnya para
penjahat itu sama-sama memiliki pola berpikir yang abnormal yang membawa mereka
memutuskan untuk melakukan kejahatan.
Yochelson dan Samenow mengidentifikasi sebanyak 52 pola berpikir yang
umumnya ada pada penjahat yang mereka teliti. Keduanya berpendapat bahwa para
penjahat adalah orang yang “marah”, yang merasa suatu sense superioritas, menyangka
tidak bertanggungjawab atas tindakan yang mereka ambil, dan mempunyai harga diri
yang sangat melambung. Tiap dia merasa ada satu serangan terhadap harga dirinya, ia
akan memberi reaksi yang sangat kuat, sering berupa kekerasan.

C. MENTAL DISORDER
Meskipun perkiraannya berbeda-beda, namun berkisar antara 20 hingga 60 persen
penghuni lembaga pemasyarakatan mengalarni satu tipe mental disorder (kekacauan
mental). Keadaan seperti itu digambarkan oleh seorang dokter Perancis bernama
Philippe Pinel sebagai manie sans clelire (madness without confusion), atau oleh dokter
Inggris bernama James C. Prichard sebagai “moral insanity”, dan oleh Gina Lombroso-
Ferrero sebagai “irresistible atavistic impulses”. Pada dewasa ini penyakit mental tadi
disebut sebagai psychopathy atau antisocial personality suatu kepribadian yang ditandai
oleh suatu ketidakmampuan belajar dari pengalaman, kurang kehangatan/keramahan,
dan tidak merasa bersalah.
Psikiater Hervey Cleckey memandang Psychopathy sebagai suatu penyakit serius
meski si penderita tidak kelihatan sakit. Menurutnya, para psychopath terlihat
mempunyai kesehatan mental yang sangat bagus, tetapi apa yang kita saksikan itu
sebenarnya hanyalah suatu “mask of sanity” atau topeng kewarasan. Para psychopath
tidak menghargai kebenaran, ticlak tulus, tidak merasa malu, bersalah atau terhina.
Mereka berbohong dan melakukan kecurangan tanpa ada keraguan dan melakukan
pelanggaran verbal maupun fisik tanpa perencanaan.

D. TEORI PSIKOANALISA, SIGMUND FREUD (1856-1939)


Teori psikoanalisa tentang kriminalitas menghubungkan delinquent dan perilaku
kriminal dengan suatu “conscience” (hati nurani) yang baik dia begitu menguasai
sehingga menimbulkan perasaan bersalah atau ia begitu lemah sehinga tidak dapat
mengontrol dorongan-dorongan si individu, dan bagi suatu kebutuhan yang harus
dipenuhi Segera.
Sigmund Freud, penemu dari Psychoanalysis, berpendapat bahwa kriminalitas
mungkin hasil dari “an overactive conscience” yang menghasilkan perasaan bersalah
yang berlebih. Freud menyebut bahwa mereka yang mengalami perasaan bersalah yang
tak tertahankan akan melakukan kejahatan dengan tujuan agar ditangkap dan dihukum.
Begitu mereka dihukum maka perasaan bersalah mereka akan mereda.
Seseorang melakukan perilaku yang terlarang karena hati nurani, atau superego-
nya begitu lemah atau tidak sempurna sehingga ego-nya (yang berperan sebagai suatu
penengah antara superego dan id) tidak mampu mengontrol dorongan-dorongan dari id
(bagian dari kepribadian yang mengandung keinginan dan dorongan yang kuat untuk
dipuaskan dan dipenuhi). Karena superego intinya merupakan suatu citra orang tua yang
begitu mendalam, terbangun ketika si anak menerima sikap-sikap dan nilai-nilai moral
orang tuanya, maka selanjutnya apabila ada ketiadaan citra seperti itu mungkin akan
melahirkan id yang tak terkendali dan berikutnya delinquency.
Pendekatan psychoanalytic masih tetap menonjol dalam menjelaskan baik fungsi
normal maupun asosial. Meski dikritik, tiga prinsip dasarnya menarik kalangan
psikologis yang mempelajari kejahatan, yaitu: (1) Tindakan dan tingkah laku orang
dewasa dapat dipahami dengan melihat pada perkembangan masa kanak-kanak mereka;
(2) Tingkah laku dan motif-motif bawah sadar adalah jalin-menjalin, dan interaksi itu
mesti diuraikan bila kita ingin mengerti kejahatan; (3) Kejahatan pada dasarnya
merupakan representasi dari konflik psikologis.

E. PERSONALITY TRAITS/INHERITED CRIMINALITY (DUGDALE DAN


GODDARD)
Pencarian/penelitian personality traits (sifat kepribadian) telah dimulai dengan
mencoba menjelaskan kecakapan mental secara biologis. Feeblemindedness (lemah
pikiran), insanity (penyakit jiwa), stupidity (kebodohan), dan dull-ivittedness (bodoh)
dianggap diwariskan. Pandangan ini merupakan bagian dari usaha untuk menjelaskan
kejahatan yang bersifat dasar di akhir abad ke-19. la menjadi penjelasan yang begitu
populer di Amerika Serikat setelah The Jukes diterbitkan (Dugdale, 1877). Buku ini
menggambarkan sebuah keluarga telah terlibat dalam kejahatan karena mereka
menderita karena “degeneracy and innate depravity” (kemerosotan dan keburukan
bawaan).
Menurut Dugdale, kriminalitas merupakan sifat bawaan yang diwariskan melalui
gen-gen. Dalam bukunya Dugdale (din penganut teori lain) menelurusi riwayat/sejarah
keluarga melalui beberapa generasi. Dugdale sendiri mempelajari kehidupan lebih dari
seribu anggota satu keluarga yang disebutnya jukes. Ketertarikannya pada keluarga itu
dimulai saat dia menemukan enam orang yang saling berhubungan/berkaitan di satu
penjara di New York. Mengikuti satu cabang keluarga itu, keturunan dari Ada Jukes,
yang dia sebut sebagai “mother of criminals”, Dugdale mendapati di antara seribuan
anggota keluarga itu 280 orang fakir/miskin, 60 orang pencuri, 7 orang pembunuh, 40
orang penjahat lain, 40 orang penderita penyakit kelamin, dan 50 orang pelacur.
Temuan Dugdale di atas mengindikasikan bahwa karena beberapa keluarga
menghasilkan generasi-generasi kriminal, mereka pastilah telah mentransmisikan suatu
sifat bawaan yang merosot/ rendah sepanjang alur keturunan itu.
Kesimpulan yang serupa diperoleh Hemy Goddard (1866-1957). Dalam studinya
tentang keluarga besar Martin Kallikak, Goddard menemukan lebih banyak penjahat di
antara keturunan dari anak tak sah Kallikak dibanding keturunan dari anaknya yang lain
hasil perkawinan barunya dengan seorang perempuan yang berkualitas sama dengannya.

F. MORAL DEVELOPMENT THEORY


Psikolog Lawrence Kohlberg, pioneer dari teori perkembangan moral,
menemukan bahwa pemikiran moral tumbuh dalam tiga tahap. Pertama,
preconventional stage atau tahap pra-konvensional. Di sini aturan moral dan nilai-nilai
moral anak terdiri atas “lakukan” dan “jangan lakukan” untuk menghindari hukuman.
Menurut teori ini, anak-anak di bawah umur 9 hingga 11 tahun biasanya berpikir pada
tingkatan pra-konvensional ini.
Remaja biasanya berpikir pada conventional level (tingkatan konvensional). Pada
tingkatan ini, seorang individu meyakini dan mengadopsi nilai-nilai dan aturan
masyarakat. Lebih jauh lagi, mereka berusaha menegakkan aturan-aturan itu. Mereka
misalnya berpikir: “mencuri itu tidak sah, sehingga saya tidak seharusnya mencuri
dalam kondisi apa pun.”
Akhirnya, pada postconventional level (tingkatan poskonvensional) individu-
individu secara kritis menguji kebiasaan-kebiasaan dan aturan-aturan social sesuai
dengan perasaan mereka tentang hak-hak asasi universal, prinsip-prinsip moral, dan
kewajiban-kewajiban. Mereka berpikir: “Orang semestinya mengikuti aturan hukum,
namun prinsip-prinsip etika universal, seperti penghargaan pada hak-hak asasi manusia
dan untuk martabat hidup manusia, menggantikan hukum tertulis bila keduanya
beradu.” Tingkat pemikiran moral seperti ini umumnya dapat dilihat setelah usia 20
tahun.
Menurut Kohlberg dan kawan-kawannya, kebanyakan delinquent dan penjahat
berpikir pada tingkatan pra-konvensional. Akan tetapi, perkembangan moral yang
rendah atau tingkatan pra konvensional saja tidak menyebabkan kejahatan. Faktor-
faktor lainnya, seperti situasi atau tiadanya ikatan social yang peiating, mungkin ambil
bagian.
Psikolog John Bowlby mempelajari kebutuhan akan kehangatan dan afeksi (kasih
sayang) sejak lahir dan konsekuensi jika tidak mendapat hal itu. Dia mengajukan theorv
of attachment (teori kasih-sayang) yang terdiri atas tujuh hal penting, yaitu; (1) specifity
(kasih sayang itu sifatnya selektio; (2) Duration (kasih sayang berlangsung lama dan
bertahan); (3) Engagement of emotion (melibatkan emosi); (4) Ontogeny (rangkaian
perkembangan, anak membentuk kasih sayang pada satu figure utama); (5) Learning
(kasih sayang hasil dari interaksi social yang mendasar); (6) Organization (kasih sayang
mengikuti suatu organisasi perkembangan); (7) Biological function (perilaku kasih
sayang memiliki fungsi biologis, yaitu survival). Menurut Bowlby, orang yang sudah
biasa menjadi penjahat umumnya memiliki ketidakmampuan membentuk ikatan-ikatan
kasih sayang.
Para kriminolog juga menguji pengaruh ketidakhadiran seorang ibu, baik karena
kematian, perceraian atau karena ditinggalkan. Apakah ketidakhadiran itu menyebabkan
delinquency? Penelitian empiris masih samar/tidak jelas dalam soal ini. Namun satu stu-
di terhadap 201 orang yang dilakukan oleh Joan McCord menyimpufkan bahwa
variable: kasih sayang serta pengawasan ibu yang kurang cukup, konflik orang tua,
kurangnya percaya diri sang ibu, kekerasan ayah secara signifikan mempunyai
hubungan dengan dilakukannya kejahatan terhadap orang dan/atau harta kekayaan.
Ketidakhadiran sang ayah tidak dengan sendirinya berkorelasi dengan tingkah laku
kriminal.

G. SOCIAL LEARNING THEORY


Teori pembelajaran social ini berpendirian bahwa perilaku delinquent dipelajari
melalui proses psikologis yang sama sebagaimana semua perilaku non-delinquent.
Tingkah laku dipelajari jika ia diperkuat atau diberi ganjaran, dan tidak dipelajari jika ia
tidak diperkuat. Ada beberapa jalan kita mempelajari tingkah laku: melalui obsemasi
(Observation), pengalaman langsung (direct exposure), dan penguatan yang berbeda
(differential reinforcement).
Albert Bandura (Observational Learning)
Tokoh utama social learning theory ini berpendapat bahwa individu-individu
mempelajari kekerasan dan agresi melalui behavioral modeling; anak belajar bagaimana
bertingkah-laku melalui peniruan tingkah laku orang lain. Jadi tingkah laku secara
social ditransmisikan melalui contoh-contoh, yang terutama datang dari keluarga, sub-
budaya, dan media massa.
Para psikolog telah mempelajari dampak dari kekerasan keluarga terhadap anak-
anak. Mereka mendapati bahwa orang tua yang mencoba memecahkan kontroversi-
kontroversi keluarganya dengan kekerasan telah mengajari anak-anak mereka untuk
menggunakan taktik serupa (yaitu kekerasan). Jadi melalui observational learning
(belajar melalui pengamatan) satu lingkaran kekerasan mungkin telah dialirkan terus-
menerus melalui generasi ke generasi. Tentu saja menurut teori ini bukan hanya
kekerasan dan agresi saja yang dapat dipelajari dalam situasi keluarga. Di luar keluarga
hal serupa dapat dipelajari dari gang-gang. Observational learning juga dapat terjadi di
depan televisi dan di bioskop. Anak-anak yang melihat seseorang diberi ganjaran atau
dihargai karena melakukan kekerasan percaya bahwa kekerasan dan agresi merupakan
tingkah laku yang diterima.

Gerard Patterson (Direct Experience)


Patterson dan kawan-kawannya menguji bagaimana agresi dipelajari melalui
pengalaman langsung (direct experience). Mereka melihat bahwa anak-anak yang
bermain secara pasif sering menjadi korban anak-anak lainnya tetapi kadang-kadang
berhasil mengatasi serangan itu dengan agresi balasan. Dengan berlalunya waktu anak-
anak ini belajar membela diri, dan pada akhirnva mereka memulai perkelahian. Jadi,
anak-anak sebagaimana orang dewasa dapat belajar agresif, bahkan kekerasan, melalui
trial dan error.

Ernest Burgess dan Ronald Akers


Burgess dan Akers menggabungkan learning theory dari Bandura yang
berdasarkan psikologi dengan teori differential association dari Edwin Sutherland yang
berdasarkan sosiologi dan kernudian menghasilkan teori Differential association-
reinforcement. Menurut teori ini berlangsung terusnya tingkah laku kriminal tergantung
pada apakah ia diberi penghargaan atau diberi hukuman. Penghargaan dan hukuman
yang paling berarti adalah yang diberikan oleh kelompok yang sangat penting dalam
kehidupan si individu-kelompok bermain (peergroup), keluarga, guru di sekolah, dan
seterusnya, Jika tingkah laku kriminal mendatangkan hasil positif atau penghargaan
maka ia akan terus bertahan.

TEORI-TEORI YANG MENJELASKAN KEJAHATAN


DARI PERSPEKTIF SOSIOLOGIS

Teori-teori dari perspektif Biologis dan psikologis di atas sama-sama memiliki


asumsi bahwa tingkah laku kriminal disebabkan oleh beberapa kondisi fisik dan mental
yang mendasari yang memisahkan penjahat dan bukan penjahat. Mencari, mencoba
mengidentifikasi “macam manusia” mana yang menjadi penjahat dan mana yang bukan.
Teori-teori tersebut menjelajah kepada kasus-kasus individu, tetapi tidak menjelaskan
mengapa angka kejahatan berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, antara satu
kelolmpok dengan kelompok lain, di dalam satu wilayah yang luas, atau di dalam
kelompok-kelompok individual.
Berbeda dengan teori-teori tersebut di atas, teori-teori sosiologis mencari alasan-
alasan perbedaan dalam hal angka kejahatan di dalam lingkungan sosial. Teori-teori ini
dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori umum, yaitu: strain, cultural deviance
(penyimpangan budaya), dan social control (kontrol social).
Perspektif strain dan penyimpangan budaya, terbentuk antara 1925 dan 1940 dan
masih populer hingga hari ini, memberi landasan bagi teori-teori sub-cultural. Teori-
teori strain dan penyimpangan budaya memusatkan perhatian pada kekuatan-kekuatan
sosial (social forces) yang menyebabkan orang melakukan aktivitas kriminal.
Sebaliknya, teori kontrol sosial mempunyai pendekatan berbeda: teori ini berdasarkan
satu asumsi bahwa motivasi melakukan kejahatan merupakan bagian dari umat manusia.
Sebagai konsekuensinya, teori kontrol sosial mencoba menemukun jawaban mengapa
orang tidak melakukan kejahatan. Teori-teori kontrol sosial mengkaji kemampuan
kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga sosial membuat aturan-aturannya efektif.
Teori-teori strain dan penyimpangan budaya keduanya berasumsi bahwa kelas
sosial dan tingkah laku kriminal berhubungan, tctapi berbeda dalam hal sifat hubungan
tersebut. Para penganut teori strain beranggapan bahwa seluruh anggota masyarakat
mengikuti satu set nilai-nilai budaya yaitu nilai-nilai budaya dari kelas menengah. Satu
nilai budaya terpenting adalah keberhasilan ekonomi. Karena orang-orang dari kelas
bawah tidak mempunyai sarana-sarana yang sah (legitimate means) untuk mencapai
tujuan tersebut, mereka menjadi frustasi dan beralih menggunakan sarana-sarana yang
tidak sah (illegitimate means) di dalam keputusasaan tersebut. Sangat berbeda dengan
itu, teori-teori penyimpangan budaya mengklaim bahwa oeang-orang dari kelas bawah
memiliki satu set nilai-nilai yang berbeda, yang cenderung konflik dengan nilai-nilai
dari kelas menengah. Sebagai konsekuensinya, manakala orang-orang kelas bawah
mengikuti sistem nilai mereka sendiri, mereka mungkin telah melanggar norma-norma
konvensional.
A. ANOMIE: EMILE DURKHEIM
Satu cara dalam mempelajari suatu masyarakat adalah dengan melihat pada
bagian-bagian komponennya dalam usaha mengetahui bagaimana masing-masing
berhubungan satu sama lain. Dengan kata lain, kita melihat kepada struktur dari suatu
masyarakat guna melihat bagaimana ia berfungsi. Jika masyarakat itu stabil, bagian-
bagiannya beroperasi secara lancar, susunan-susunan sosial berfungsi. Masyarakat
seperti itu ditandai oleh kepaduan, kerja sama, dan kesepakatan. Namun, jika bagian-
bagian komponennya tertata dalam satu keadaan yang membahayakan
keteraturan/ketertiban sosial, susunan masyarakat itu disebut dysfunctional (tidak
berfungsi). Sebagai analogy, jika kita melihat sebuah jam dengan seluruh bagian-
bagiannya sangat sinkron. la berfungsi dengan tepat. la menunjukkan waktu dengan
akurat. Namun jika satu pernya yang kecil itu rusak, keseluruhan mekanisme tidak Lagi
berfungsi secara baik. Demikianlah perspektif structural functionalist yang
dikembangkan oleh Emile Durkheim sebelum akhir abad ke-19.
Hasil karya Durkheim di atas patut dicatat karena dikemukakan pada masa di
mana dunia ilmu pengetahuan tengah mencari abnormalitas si penjahat, ia justru
menulis tentang normalnya kejahatan di masyarakat. Baginya penjelasan tentang
perbuatan manusia (dan terutama perbuatan salah manusia) tidak terletak pada diri si
individu, tetapi terletak pada kelompok dan organisasi sosial. Dalam konteks inilah
Durkheim memperkenalkan istilah anomie (hancurnya keteraturan sosial sebagai akibat
dari hilangnya patokan-patokan dan nilai-nilai).
Durkheim meyakini bahwa jika sebuah masyarakat sederhana berkembang
menuju satu masyarakat yang modern dan kota maka kedekatan (intimacy) yang
dibutuhkan untuk melanjutkan satu set norma-norma umum (a common set of rules)
akan merosot. Kelompok-kelompok menjadi terpisah-pisah, dan dalam ketiadaan satu
set aturan-aturan umum, tindakan-tindakan dan harapan-harapan orang di satu sektor
mungkin bertentangan dengan tinclakan dan harapan orang lain. Dengan tidak dapat
diprediksinya perilaku, sistem tersebut secara bertahap akan runtuh, dan masyarakat itu
berada dalam kondisi anomie.
Ilustrasi terbaik dari konsep Durkheim tentang anomie adalah dalam satu diskusi
tentang bunuh diri (suicide) yang terjadi di negaranya, Perancis, dan bukan tentang
kejahatan. Ketika Durkheim menganalisa data statistik ia mendapati bahwa angka
bunuh diri meningkat selama perubahan ekonomi yang tiba-tiba (sudden economic
change), baik perubahan itu depresi hebat ataupun kemakmuran yang tidak terduga.
Dalam periode perubahan yang cepat itu orang tiba-tiba terhempas ke dalam satu
cara/jalan hidup yang tidak dikenal (unfamiliar). Aturan-aturan (rules) yang pernah
membimbing tingkah laku tidak lagi dipegang.
Hal tersebut pernah terjadi pada tahun 1920-an ketika kekayaan diperoleh banyak
orang di tahun-tahun penuh harapan itu. Menjelang akhir, melewati Juli, Agustus dan
September 1929, pasar modal memuncak menuju puncak-puncak baru. Keuntungan-
keuntungan luar biasa didapat dari spekulasi di pasar modal. Namun tiba-tiba, pada
tangga124 Oktober 1929, satu hari yang dicatat sebagai Black Thursday, pasar modal
bangkrut. Tiga belas juta saham dijual. Dengan makin banyaknya saham dijual, maka
nilainya menjadi terjerembab. Di penghujung kejatuhan itu, satu depresi hebat melanda
negeri. Bank-bank gagal. Pegadaian-pegadaian tutup. Bisnis-bisnis bangkrut. Orang-
orang kehilangan pekerjaan. Gaya hidup berubah dalam semalam. Tiba-tiba norma-
norma yang mengatur kehidupan tidak lagi relevan. Orang menjadi tidak tahu arah dan
bingung.
Adalah tidak sulit untuk mengerti mengapa dalam keadaan seperti di atas
(kejatuhan ekonomi tiba-tiba) angka bunuh diri meningkat, tapi mengapa orang juga
jatuh dalam keputusasaan seperti itu ketika terjadi kemakmuran yang mendadak?
Menurut Durkheim faktor-faktor yang sama telah bekerja dalam kedua situasi itu.
Bukanlah jumlah uang yang ada yang menyebabkan hal itu, melainkan sudden change
(perubahan mendadak). Orang yang tiba-tiba mendapatkan kekayaan lebih banyak dari
yang mereka pernah impikan memiliki kecenderungan meyakini bahwa tiada satupun
yang mustahil.
Durkheim mempercayai bahwa hasrat-hasrat manusia adalah tak terbatas, satu
“insatiable and bottomless abyss” Qurang yang tak pernah puas dan tak berdasar).
Karena alam tidak rnengatur batas-batas biologis yang ketat untuk kemampuan manusia
sebagaimana ia mengatur makhluk lain seperti binatang-binatang, menurut Durkheim,
kita telah mengembangkan aturan-aturan sosial yang meletakkan suatu takaran yang
realistis di atas aspirasi-aspirasi kita. Aturan-aturan ini menyatu dengan kesadaran
individu dan membuatnya menjadi merasa terpenuhi. Akan tetapi, dengan satu ledakan
kemakmuran yang tiba-tiba, harapan-harapan orang menjadi berubah. Manakala aturan-
aturan lama tidak lagi menentukan bagaimana ganjaran/ penghargaan didistribusikan
kepada anggota-anggota masyarakat itu, maka di sana sudah tidak ada lagi
pengekang/pengendali atas apa yang orang inginkan. Sekali lagi sistem itu menjadi
runtuh. Jadi, “whether sudden change causes great prosperity or a great depression, the
result is the same-anomie.”

B. STRAIN THEORY: ROBERT K. MERTON


Seperti halnya Durkheim, Robert Merton mengaitkan masalah kejahatan dengan
anomie. Tetapi konsepsi Merton tentang anomie agak berbeda dengan konsepsi anomie
dari Durkheim. Masalah sesungguhnya, menurut Merton, tidak dieiptakan oleh sudden
social change (pembahan sosial yang cepat) tetapi oleh social structure (struktur sosial)
yang menawarkan tujuan-tujuan yang sama untuk semua anggotanya tanpa memberi
sarana yang merata untuk mencapainya. Kekurangpaduan antara apa yang diminta oleh
budaya (yang mendorong kesuksesan) dengan apa yang diperbolehkan oleh struktur
(yang mencegahnya memperoleh kesuksesan), dapat menyebabkan norma-norma runtuh
karena tidak lagi efektif untuk membimbing tingkah laku. Merton meminjam istilah
“anomie” dari Durkheim guna menjelaskan keruntuhan sistem norma ini.
Menurut Merton, di dalam suatu masyarakat yang berorientasi kelas, kesempatan
untuk menjadi yang teratas tidaklah dibagikan secara merata. Sangat sedikit anggota
kelas bawah mencapainya. Teori anomie dari Merton menekankan pentingnya dua
unsur penting di setiap masyarakat, yaitu: (1) cultural aspination atau culture goals yang
diyakini berharga untuk diperjuangkan; dan (2) institutionalised means atau accepted
ways untuk mencapai tujuan itu. Jika suatu masyarakat stabil, dua unsur ini akan
terintegrasi; dengan kata lain sarana harus ada bagi setiap individu guna mencapai
tujuan-tujuan yang berharga bagi mereka. Disparity between goals and means fosters
frustation, which leads to strain.
Berdasarkan perspektif di atas, struktur sosial merupakan akar dari masalah
kejahatan (karena itu kadang-kadang pendekatan ini disebut a structural explanation).
Strain teori ini berasumsi bahwa orang itu taat hukum, tetapi di bawah tekanan besar
mereka akan melakukan kejahatan; disparitas antara tujuan dan sarana inilah yang
memberikan tekanan tadi.
Teori Merton menjelaskan kejahatan di Amerika Serikat, yaitu dengan terjadinya
disparitas yang luas dalam hal pendapatan di antara kelas-kelas masyarakat yang
berbeda. Statistik dengan jelas menunjukkan bahwa diparitas itu memang benar-benar
ada. Keluarga-keluarga Amerika yang tergolong termiskin kelima menerima kurang dari
5 persen dari seluruh pendapatan di tahun 1985, sementara yang tergolong tertinggi
kelima menerima 43,5 persen dari seluruh pendapatan-hampir sepuluh kali lipat. Income
Amerika Serikat pada tahun 1985 menunjukkan bahwa median (angka tengah) dari
income penduduk kulit putih adalah $ 24,700 sementara untuk penduduk black (kulit
hitam), hispanik, dan lain-lain adalah $ 17,700. Meski demikian perlu diingat bahwa
bukan hanya kekayaan atau income saja yang menentukan posisi penduduk pada suatu
tangga/ jenjang sosial. Atribut lainnya dari kelas sosial adalah pendidikan, prestos,
kekuasaan, atau bahkan bahasa.
Kesempatan untuk meningkat dalam jenjang sosial tadi memang ada, tetapi tidak
tersebar secara merata. Seorang anak yang lahir dari sebuah keluarga miskin dan tidak
berpendidikan, misalnya hamper tidak memiliki peluang untuk meraih posisi bisnis atau
profesional sebagaimana dimiliki anak yang lahir dari sebuah keluarga kaya dan
berpendidikan.
Sekali lagi, semua orang dalam masyarakat memiliki tujuan-tujuan yang sama
(meraih kemakmuran dalam arti kekayaan). Bisa dibayangkan bahwa tujuan-tujuan itu
dibentuk oleh milyaran dollar iklan yang dihabiskan setiap tahunnya untuk
menyebarkan pesan bahwa setiap orang dapat mengendarai mobil sport yang mewah,
berwisata ke Roma, Paris atau pulau Bali, memiliki rumah-rumah indah di Gold Coast,
dan sebagainya-ringkasnya, dapat mnikmati apa pun yang mereka inginkan.
Meski Merton berpendapat bahwa kekurangan legitimate means bagi setiap orang
untuk mencapai tujuan-tujuan material dapat menciptakan masalah, dia juga
berpendapat tingginya angka penyimpangan tidak dapat semata-mata dijelaskan atas
dasar kekurangan sarana-sarana tadi.
Amerika Serikat dalam pandangan Merton, merupakan suatu masyarakat yang
“unusual”, bukan semata-mata karena budaya telah menempatkan penekanan yang luar
biasa pada sukses secara ekonomi, tetapi juga karena tujuan itu universal sifatnya,
ditawarkan kepada setiap orang yang dapat mencapainya. Orang-orang miskin tidak
diajarkan untuk menerima saja apa yang tersedia bagi mereka, tapi justru diajarkan
untuk mengejar “American Dream”; melalui kerja keras mereka diajarkan bahwa yang
termiskin sekalipun dapat mencapai posisi teratas.
Pertanyaannya, mengapa keinginan untuk meningkat secara sosial (social
mobility) tadi membawa kepada penyimpangan? Masalahnya, menurut Merton, adalah
struktur sosial yang membatasi akses menuju tujuan (berupa kesuksesan) melalui
legitimate means (seperti pendidikan tinggi, bekerja keras, koneksi keluarga). Anggota-
anggota dari kelas bawah khususnya terbebani sebab mereka memulai jauh di belakang
dalam lomba meraih sukses tersebut dan mereka benar-benar haruslah orang yang
sangat berbakat (talented) atau sangat beruntung untuk mencapainya. Kesenjangan
antara apa yang diharapkan oleh budaya (yaitu sukses) dan apa yang dimungkinkan oleh
struktur sosial (yaitu legitimate means yang terbatas) menempatkan bagian terbesar
populasi Atnerika dalam keadaan Strain menimbulkan posisi menginginkan suatu tujuan
yang tidak dapat dicapai melalui sarana-sarana konvensional. Situasi ini, dalam kesim-
pulan Merton, bukannya tanpa konsekuensi sosial. Menurut Merton: “It produces
intense pressure for deviation.”

Modes of Adaptions
Menurut Merton ada beberapa cara yang berbeda bagi anggota masyarakat untuk
memecahkan/mengatasi strain (ketegangan/tekanan) yang dihasilkan dari
ketidakmampuan mencapai sukses. Untuk mengkonseptualisasi respon-respon yang bisa
terjadi tadi, Merton mengembangkan tipologi atau mode-mode adaptasi.
Merton menyadari bahwa kebanyakan orang, meskipun mereka memiliki sarana
yang terbatas tidak melakukan penyimpangan. Banyak orang tidak melakukan
penyimpangan. Mereka menyesuaikan diri, melanjutkan mencapai tujuan budaya berupa
kesuksesan, dan percaya atas legitimasi sarana-sarana konvensional atau insti-
tutionalised means dengan mana sukses akan dicapai. Ini merupakan mode adaptasi
pertama yaitu conformity.
Merton menggambarkan empat mode adaptasi yang menyimpang. Kebanyakan
tingkah laku kriminal, menurut Merton, dapat dikategorisasikan sebagai innovation,
karena adaptasi ini mencakup mereka yang tetap meyakini sukses yang dianggap
berharga itu namun beralih menggunakan illegitimate means atau sarana-sarana yang
tidak sah jika mereka menemui dinding atau halangan terhadap sarana yang sah untuk
rnenemui sukses ekonomi tersebut.
Pada sisi yang berlavVanan, orang-orang yang beradaptasi secara ritualism
terlihat menyesuaikan diri (conformity) dengan norma-norma yang mengatur
institutionalized means. Meski demkian, mereka meredakan ketegangan/tekanan mereka
dengan menurunkan skala aspirasi-aspirasi mereka sampai di titik yang mereka dapat
capai dengan mudah. Dibanding mengejar tujuan budaya tentang kesuksesan, mereka
justru berusaha menghindari risiko dan hidup dalam batas-batas rutinitas hidup sehari-
hari.
Retreatism, pada sisi lain, membuat respon yang lebih dramatis. Tertekan oleh
harapan-harapan sosial yang ditunjukkan oleh gaya hidup konvensional, mereka
melepaskan kesetiaan baik kepada cultural success goal maupun kepada legitimate
means. Mereka merupakan orang-orang yang “are in society but not of it”. Mereka
melarikan diri dari syarat-syarat masyarakat dengan berbagai cara yang menyimpang,
misalnya: alcoholism, drug addiction, psychosis, atau vagrancy
(menggelandang/mengembara). Bunuh diri tentu saja merupakan penarikan diri paling
puncak.
Akhirnya, Merton menamai adaptasi terakhir dengan Rebellion yaitu adaptasi
orang-orang yang tidak hanya menolak tetapi juga berkeinginan untuk mengubah sistem
yang ada. Terasing dari tujuan yang berlaku dan ukuran-ukuran normatif, mereka
mengajukan penggantian dengan satu perangkat tujuan-tujuan dan sarana-sarana baru.
Dalam masyarakat Amerika contoh dari rebellion mungkin bisa disebut kalangan
sosialis yang lebih memilih sukses kelompok dibanding sukses individual dan dengan
suatu norma yang mengarahkan distribusi kekayaan secara merata dan sesuai kebutuhan
dibandingkan distribusi yang tidak merata dan sesuai dengan hasil dari kompetisi yang
kejam.

CULTURAL DEVIANCE THEORIES (TEORI-TEORI PENYIMPANGAN


BUDAYA)

Apabila Strain theory di bab sebelumnya melihat kepada tingkah laku kriminal di
Amerika Serikat dalam kaitan usaha keras dari seluruh warganya untuk menyesuaikan
diri dengan nilai-nilai konvensional dari kelas menengah, utamanya sukses secara
finansial, Cultural deviance Theories pada sisi lain, memandang kejahatan sebagai
seperangkat nilai-nilai yang khas pada lower class (kelas bawah). Menyesuaikan diri
dengan sistem nilai kelas bawah yang menentukan tingkah laku di daerah-daerah kumuh
(slum areas), menyebabkan benturan dengan hukum-hukum masyarakat. Baik strain
maupun cultural deviance theories menempatkan penyebab kejahatan pada
ketidakberuntungan posisi orang-orang di strata bawah dalam satu masyarakat yang
berbasiskan kelas.
Tiga teori utama dari cultural deviance theories adalah:
1) social disorganization;
2) differential association;
3) culture conflict.
Social disorganization theory memfokuskan diri pada perkembangan area-area
yang angka kejahatannya tinggi yang berkaitan dengan disintegrasi nilai-nilai
konvensional yang disebabkan oleh industrialisasi yang cepat, peningkatan imigrasi,
dan urbanisasi.
Differential assocication theory memegang pendapat bahwa orang belajar
melakukan kejahatan sebagai akibat hubungan (contact) dengan nilai-nilai dan sikap-
sikap antisocial, sertapola-pola tingkah laku kriminal.
Sementara culture conflict theory menegaskan bahwa kelompok-kelompok yang
berlainan belajar conduct norms (aturan yang mengatur tingkah laku) yang berbeda, dan
bahwa conduct norma dari suatu kelompok mungkin berbenturan dengan aturan-aturan
konvensional kelas menengah.
Ketiga teori di atas sepakat bahwa penjahat dan delinquent pada kenyataannya
menyesuaikan diri bukan pada nilai konvensional melainkan pada norma-norma yang
menyimpang dari nilai-nilai kelompok dominan yaitu kelas menengah.
Sebelum melihat lebih jauh ketiga teori di atas, kita perlu rnelihat terlebih dahulu
pengertian deviant (menyimpang). Para Sosiolog mendefinisikan deviants sebagai:
“any behavior that members of a social group define as violating their norms.”
Dengan demikian konsep deviance dapat diterapkan baik pada perbuatan non-
kriminal yang dipandang oleh kelompok itu sebagai aneh atau tidak biasa (misalnya
gaya hidup masyarakat Amish di Amerika Serikat) maupun pada perbuatan kriminal
(perbuatan yang oleh masyarakat dilarang). Jadi menyimpang itu tidak selalu berarti
jahat/ buruk, hanya berbeda.
Teori-teori cultural deviance berargumen bahwa masyarakat kita terdiri atas
kelompok dan sub-kelompok yang berbeda, masing-masing dengan standar atau ukuran
benar dan salahnya sendiri. Tingkah laku yang dianggap normal di satu masyarakat
mungkin dianggap menyimpang oleh kelompok lain. Akibatnya, orang-orang yang
menyesuaikan diri dengan standar budaya yang dipandang penyimpang sebenarnya
telah berlaku sesuai dengan norma mereka sendiri, tetapi dengan melakukan hal tersebut
mungkin ia telah melakukan kejahatan (yaitu norma-norma dari kelompok dominan).

A. SOCIAL DISORGANIZATION THEORY


Para sarjana yang berhubungan dengan Universitas Chicago (Mazhab Chicago)
tertarik dengan lingkungan yang disorganized secara sosial di mana nilai-nilai dan
tradisi kriminal menggantikan nilai-nilai dan tradisi konvensional dan ditransmisikan
(diteruskan) dari satu generasi ke generasi berikutnya. Mereka mengkaji lingkungan-
lingkungan itu beserta orang-orang yang tinggal di dalamnya.

W.l. Thomas dan Florian Znaniecki


Thomas dan Znaniecki dalam bukunya The Polish Peasant in Europe and
America menggambarkan pengalaman sulit yang dialami petani-petani Polandia (Polish)
ketika rnereka meninggalkan dunia lamanya yaitu daerah pedesaan (rural) untuk hidup
di satu kota industri di dunia baru. Kedua sarjana itu membandingkan kondisi para
imigran yang tinggal di Polandia dengan mereka yang berada di Chicago. Mereka juga
menyelidiki asimilasi dari para imigran. Para imigran yang lebih tua tidak begitu
terpengaruh dari kepindahan itu karena mereka tetap hidup sebagaimana kehidupan
mereka ketika menjadi petani dulu, meskipun berada di daerah kumuh perkotaan
(urban). Tetapi generasi kedua tidak tumbuh di daerah pertanian Polandia. Mereka
merupakan penghuni kota dan mereka adalah orang Amerika. Mereka memiliki sedikit
tradisi-tradisi lama dunia orang tua mereka tetapi itu tidak terasimilasi dengan tradisi
dunia baru. Norma-norma dari satu masyarakat yang stabil dan homogen tidak
ditransmisikan ke dalam lingkungan perkotaan yang anonymous (tanpa nama) dan
berorientasi kepada materi.
Angka kejahatan dan delinquency meningkat. Thomas dan Znaniecky mengaitkan
hal ini dengan social disorganization (disorganisasi sosial) yaitu “the breakdown of
effective social bonds, family and neighborhood association, and social controls in
neighborhoods and communities”.

Robert Park dan Ernest Burgess (Natural Urban Areas)


Park dan Burgess mengembangkan lebih lanjut studi tentang social
disorganization dari Thomas dan Znaniecki dengan mengintrodusir analisa ekologis
dari masyarakat manusia. Ecology adalah studi tentang tumbuh-tumbuhan dan binatang-
binatang dalam hubungan satu dengan yang lain dan dengan habitat alamnya, yaitu
tempat di mana mereka hidup dan berkembang. Organisme hidup di dalam suatu dunia
yang kompleks di mana untuk tetap eksis setiap bagian tergantung kepada bagian
lainnya. Pendekatan yang kurang lebih sama digunakan para sarjana yang mengkaji
human ecology (ekologi manusia), yaitu interrelasi antara manusia dengan
lingkungannya.
Dalam studinya tentang disorganisasi sosial, Park dan Burgess meneliti
karakteristik daerah (area) dan bukannya meneliti para penjahat untuk penjelasan
tentang tingginya angka kejahatan. Mereka mengembangkan pemikiran tentang natural
urban areas, yang terdiri atas zona-zona konsentrasi yang memanjang keluar dari distrik
pusat bisnis di tengah kota (downtown central business district) sampai ke commuter
zone di pinggiran kota. Setiap zona memiliki struktur dan organisasinya sendiri,
karakteristik budaya serta penghuni yang unik.
Kota, menurut Burgess: “grow radially in a series of concentric zones or rings”.
Kompetisi menentukan bagaimana orang tersebar menurut ruang di antara zona-zona
ini.
Zona I, berada tepat di pusat, disebut the Loop (lingkaran/putaran) karena distrik
pusat bisnis di downtown ini dipisahkan oleh suatu lingkaran sistem kereta api yang
tinggi. Area ini dihuni oleh kantor-kantor komersial, kantor-kantor hukum, pusat retail,
dan beberapa pusat rekreasi komersial.
Zona II adalah zona transisi. Orang-orang miskin kota, tidak berpendidikan serta
tidak beruntung hidup di zona ini, di rumah-rumah petak yang reot di dekat pabrik-
pabrik tua. Karena terdesak oleh distrik bisnis, membawa perpindahan penghuni secara
konstan. Sebagai area yang paling tidak diinginkan, zona ini terbuka bagi masuknya
gelombang imigran dan penduduk lain yang terlalu miskin untuk tinggal di tempat lain.
Zona ini secara khusus menjadi pusat perhatian studi Park dan Burgess. Pola-pola sosial
ini bukannya tanpa konsekuensi: pola-pola itu melemahkan ikatan-ikatan keluarga dan
komunal yang mengikat bersama para penduduk dan mengakibatkan disorganisasi
sosial. Disorganisasi inilah yang menurut Park, Burgess dan para sosiolog Chicago
lainnya diyakini menjadi sumber dari macam-macam patologi sosial termasuk
kejahatan.
Zona III dihuni oleh kelas pekerja, yaitu orang-orang yang karena pekerjaannya
memungkinkan mereka menikmati beberapa kemudahan yang ditawarkan kota mereka
di pinggirannya. Kelas menengah (professional, pemilik bisnis kecil, dan kelas manajer)
hidup di zona IV. Sedangkan zona V merupakan commuter zone dari kota satelit dan
suburban. Di zona ini terdapat rumah-rumah mahal, jauh dari kebisingan pusat kota,
jauh dari polusi pabrik dan jauh dari tempat tinggal penduduk miskin.

Clifford Shaw dan Henry McKay (Cultural Transmition)


Clifford Shaw dan Henry McKay, dua peneliti pada Chicago’s Institute for
Juvenile Research, meski bukan pengajar pada Universitas Chicago punya hubungan
dekat dengan jurusan Sosiologi dari Universitas tersebut. Mereka secara khusus tertarik
dengan model yang dikembangkan oleh Burgess yang mendemonstrasikan bagaimana
penduduk tersebar di ruang-ruang yang berbeda dalam proses pertumbuhan kota.
Mereka memutuskan untuk menggunakan model tersebut guna meneliti secara empiris
hubungan antara angka kejahatan dengan zona-zona yang berbeda di Chicago. Data
mereka yang berasal dari catatan pengadilan anak sebanyak 55.998 kasus selama
periode 33 tahun dari 1900 hingga 1933 menunjukkan:
1) Angka kejahatan tersebar secara berbeda sepanjang kota, dan area yang mempunyai
angka kejahatan tinggi juga mempunyai angka problem kemasyarakatan (seperti
pembolosan, kerusakan mental, dan kematian bayi) yang juga tinggi.
2) Kebanyakan delinquency terjadi di area yang paling dekat dengan distrik pusat
bisnis dan beckurang dengan semakin jauh dari pusat kota.
3) Beberapa area secara konstan mengalami angka delinquency tinggi, tidak peduli
etnis mana yang membentuk populasi itu.
4) Area yang tingkat delinquency-nya tinggi ditandai oleh suatu persentase imigran
yang tinggi, bukan kalangan kulit putih, dan keluarga berpendapatan rendah, serta
angka kepemilikan rumah yang rendah.
5) Di dalam area yang tingkat delinquency-nya tinggi ada penerimaan secara umum
terhadap norma-norma non konvensional, tetapi norma-norma ini bersaing dengan
norma-norma konvensional yang tetap dianut oleh sebagian penghuni area itu.
Shaw dan McKay menunjukkan bahwa angka tertinggi dari delinquency
berlangsung terus di area yang sama dari kota Chicago sepanjang periode panjang dari
1900 hingga 1933, meskipun komposisi etnis berubah (Jerman, Irlandia, dan Inggris
pada peralihan abad; Polandia dan Italia pada tahun 1920-an; peningkatan kulit hitam
pada tahun 1930-an). Penemuan ini membawa kesimpulan bahwa faktor paling
menentukan (krusial)-nya bukanlah etnisitas, melainkan posisi kelompok di dalam
penyebaran status ekonomi dan nilai-nilai budaya.
Pada akhirnya, melalui studi tentang tiga kumpulan catatan pengadilan anak Cook
Country, yaitu: 1900-1906, 1917-1923, dan 1927-1933, Shaw dan McKay mendapati
bahwa anak-anak laki-laki yang lebih tua berhubungan dengan anak-anak laki-laki yang
lebih muda pada beberapa pelanggaran dan bahwa teknik-teknik melakukan
delinquency itu telah berjalan sepanjang bertahun-tahun. Bukti-bukti dengan jelas
menunjukkan kepada mereka bahwa: “delinquency was socially learned behavior,
transmitted from one generation to the next in disorganized urban areas.” Inilah yang
kemudian dianggap sebagai cultural transmition.

Differential Social Organization


Seperti kebanyakan kriminolog Chicago, Edwin H. Sutherland (1939) menolak
penjelasan kejahatan yang individualistik. Teori Neo-Lombrosian bahwa kejahatan
merupakan ekspresi psikopatologi tidak lebih benar daripada teori Lombroso bahwa
penjahat terdiri atas orang-orang yang secara fisik berbeda.
Sutherland mengganti konsep social disorganized (dari Shaw dan McKay) dengan
konsepnya tentang differential social organization. Istilah ini kurang bermuatan nilai
dan dapat memotret (ebih akurat sifat dari area-area kriminal. Jadi Sutherland
berpendapat bahwa kelompok-kelompok sosial tertata secara berbeda: beberapa terorga-
nisasi dalam mendukung aktivitas kriminal; yang lain terorganisasi melawan aktivitas
kriminal.

B. DIFFERENTIAL ASSOCIATION THEORY


Sutherland membangun pemikiran yang lebih sistematis dibanding Shaw dan
McKay dalam mengamati bahwa nilai-nilai delinquent ditrasmisikan dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Sutherland menemukan istilah differential association untuk
menjelaskan proses belajar tingkah laku kriminal melalui interaksi sosial itu. Setiap
orang, menurutnya, mungkin saja melakukan kontak (hubungan) dengan “definitions
favorable to violation of law” atau dengan “definitions unfavorable to violation of law.”
Rasio dari definisi-de6nisi atau pandangan-pandangan tentang kejahatan ini
apakah pengaruh-pengaruh kriminal atau non-kriminal lebih kuat dalam kehidupan
seseorang menentukan ia menganut atau tidak kejahatan sebagai satu jalan hidup yang
diterima. Dengan kata lain rasio dari definisi-definisi (kriminal terhadap non kriminal)
menentukan apakah seseorang akan terlibat dalam tingkah laku kriminal.
Sutherland memperkenalkan differential association theory dalam buku teksnya
Principles of Criminology pada tahun 1939. Sejak saat itu para sarjana telah membaca,
menguji, melakukan pengujian ulang, dan terkadang mengkritik teori ini, yang diklaim
dapat menjelaskan perkembangan semua tingkah laku kriminal.
Differential association didasarkan pada sembilan proposisi (dalil), yaitu:
1) Criminal behavior is learned (tingkah laku kriminal dipelajari).
2) Criminal behavior is learned in interaction with other person in a process
oftommunication (tingkah laku kriminal dipelajari dalam interaksi dengan orang
lain dalam proses komunikasi). Seseorang tidak begitu saja menjadi kriminal hanya
karena hidup dalam suatu lingkungan yang kriminal. Kejahatan dipelajari dengan
partisipasi bersama orang lain baik dalam komunikasi verbal maupun non-verbal.
3) The principal part of the learning of criminal behavior occurs within intimate
personal groups (bagian terpenting dari mempelajari tingkah laku kriminal itu
terjadi di dalam kelompok-kelompok orang yang intim/dekat). Keluarga dan
kawan-kawan dekat mempunyai pengaruh paling besar dalam mempelajari tingkah
laku menyimpang. Komunikasi-komunikasi mereka jauh lebih banyak daripada
media massa, seperti film, televisi, dan surat kabar
4) When criminal behavior is learned, the learning includes (a) techniques of
committing the crime, which are sometimes very complicated, sometimes very
simple and (b) the specific direction of motives, drives, rationalizations, and
attitudes (ketika tingkah laku kriminal dipelajari, pembelajaran itu termasuk (a)
teknik-teknik melakukan kejahatan, yang kadang sangat sulit, kadang sangat mudah
dan (b) arah khusus dari motif-motif, dorongan-dorongan, rasionalisasi-
rasionalisasi, dan sikap-sikap). Delinquent muda bukan saja belajar bagaimana
mencuri di toko, membongkar kotak, membuka kunci, dan sebagainya, tapi juga
belajar bagaimana rnerasionalisasi dan mernbela tindakan-tindakan mereka.
Seorang pencuri akan ditemani pencuri lain selama waktu tertentu sebelum dia
melakukan sendiri. Dengan kata lain, para penjahat juga belajar ketrampilan dan
memperoleh pengalaman.
5) The specific direction of motives and drives is learned from definitions of the legal
codes as favorable or unfavorable (arah khusus dari motif-motif dan dorongan-
dorongan itu dipelajari melalui definisi-definisi dari aturan-aturan hukum apakah ia
menguntungkan atau tidak). Di beberapa rnasyarakat seorang individu dikelilingi
oleh orang-orang yang tanpa kecuali mendefinisikan aturan-aturan hukum sebagai
aturan yang harus dijalankan, sementara di tempat lain dia dikelilingi oleh orang-
orang yang definisi-definisinya menguntungkan untuk melanggar aturan-aturan
hukum. Tidak setiap orang dalam masyarakat kita setuju bahwa hukum harus
ditaati. Beberapa orang mendefinisikan aturan hukum itu sebagai tidak penting.
6) A person becomes delinquent because of an excess of definitions favorable to
violation of law over definitions unfavorable to violation of law (seseorang menjadi
delinquent karena definisidefinisi yang menguntungkan untuk melanggar hukum
lebih dari definisi-definisi yang tidak menguntungkan untuk melanggar hukum). Ini
merupakan prinsip kunci (key principle) dari differential association, arah utama
dari teori ini. Dengan kata lain, mempelajari tingkah laku kriminal bukanlah
semata-mata persoalan hubungan dengan teman/kawan yang buruk. Tetapi,
mempelajari tingkah kriminal tergantung pada berapa banyak definisi yang kita
pelajari yang menguntungkan untuk pelanggaran hukum sebagai lawan dari definisi
yang tidak menguntungkan untuk pelanggaran hukum.
7) Differential associations may vary in frequency, duration, priority, and intencity
(asosiasi differential itu mungkin bermacam-macam dalam frekuensi/kekerapannya,
lamanya, prioritasnya, dan intensitasnya). Tingkat dari asosiasi-asosiasi/definisi-
definisi seseorang yang akan mengakibatkan kriminalitas berkaitan dengan
kekerapan kontak, berapa lamanya, dan arti dari asosiasi/definisi kepada si
individu.
8) The process of learning criminal behavior by association with criminal and
anticriminal patterns involves all of the mechanism that are involved in any other
learning (proses mempelajari tingkah laku kriminal melalui asosiasi dengan pola-
pola kriminal dan anti kriminal melibatkan semua mekanisme yang ada di setiap
pembelajaran lain). Mempelajari pola-pola tingkah laku kriminal adalah mirip
sekali dengan mempelajari pola-pola tingkah laku konvensional dan tidak sekedar
suatu persoalan pengamatan dan peniruan.
9) While criminal behavior is an expression ofgeneral needs and values, it is not
explained by those general needs and values, since noncriminal behavior is an
expression of the same needs and values (walaupun tingkah laku kriminal
merupakan ungkapan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum, tingkah laku
kriminal itu tidak dijelaskan oleh kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum
tersebut, karena tingkah laku non kriminal juga ungkapan dari kebutuhan-
kebutuhan dan nilai-nilai yang sama). Pencuci toko mencuri untuk mendapat apa
yang mereka inginkan. Orang-orang lain bekerja untuk memperoleh apa yang
mereka inginkan. Motif-motif frustasi, nafsu untuk mengumpulkan harta serta
status sosial, konsep diri yang rendah, dan semacamnya-menjelaskan baik tingkah
laku kriminal maupun non kriminal.
Pengujian Terhadap Teori Differential Association:
1) James Short menguji sample 126 anak laki-laki dan 50 anak perempuan dan
menemukan hubungan yang konsisten antara tingkah laku delinquent dengan
seringnya, lamanya, prioritas, serta intensitas interaksi dengan teman-teman
bermain yang delinquent.
2) Albert Reiss dan A. Lewis menemukan bahwa kesempatan melakukan perbuatan
delinquent tergantung pada apakah teman-temannya melakukan perbuatan yang
sama.
3) Travis Hirschi menunjukkan bagaimana anak-anak laki-laki dengan teman-
teman delinquent lebih mungkin urrtuk menjadi delinquent.
4) Charles Tittle melakukan penelitian terhadap orang dewasa dan menemukan
bahwa differential association berhubungan secara signifikan dengan beberapa
kejahatan seperti perjudian illegal, kecurangan pajak pendapatan dan pencurian.

C. CULTURE CONFLICT THEORY


Menurut Thorsten Sellin, conduct norms (norma-norma yang mengatur kehidupan
kita sehari-hari) merupakan aturan-aturan yang merefleksikan sikap-sikap dari
kelompok-kelornpok yang masing-masing dari kita memilikinya. Tujuan dari norma-
norma tersebut adalah untuk mendefinisikan apa yang dianggap sebagai tingkah laku
yang pantas atau normal dan apa yang dianggap tingkah laku tak pantas atau abnormal.
Menurut Sellin, setiap kelompok memiliki conduct norms-nya sendiri dan bahwa
conduct norms dari satu kelompok mungkin bertentangan dengan conduct norms
kelompok lain. Seorang individu yang mengikuti norma kelompoknya mungkin saja
dipandang telah melakukan suatu kejahatan apabila norma-norma kelompoknya itu
bertentangan dengan norma-norma dari masyarakat dominan. Menurut penjelasan ini,
perbedaan utama antara seorang kriminal dengan seorang non kriminal adalah bahwa
masing-masing menganut perangkat conduct norms yang berbeda.
Sellin membedakan antara konflik primer dan konflik sekunder. Konflik primer
terjadi ketika norma-norma dari dua budaya bertentangan (clash). Pertentangan itu bisa
terjadi di perbatasan antara areaarea budaya yang berdekatan; apabila hukum dari satu
kelompok budaya meluas sehingga mencakup wilayah dari kelompok budaya yang lain;
atau apabila anggota-anggota dari satu kelompok berpindah ke budaya yang lain.
Konflik sekunder muncul jika satu budaya berkembang menjadi budaya yang berbeda-
beda, masing-masing memiliki perangkat conduct norms-nya sendiri. Konflik jenis ini
terjadi ketika satu masyarakat homogen atau sederhana menjadi masyarakat-masyarakat
yang kompleks di mana sejumlah kelompok-kelompok sosial berkembang secara
konstan dan norma-norma seringkali tertinggal.

Subcultural Theories (Teori-teori Sub-Budaya)


Subculture adalah satu subdivisi di dalam budaya dominan yang memiliki norma-
norma, kevakinan-keyakinan, dan nilai-nilainya sendiri. Subculture biasanya timbul
ketika orang-orang dalam keadaan yang serupa mendapati diri mereka terpisah dari
mainstream (arus terbesau) masyarakat dan mengikatkan diri bersama untuk saling
mendukung. Subculture-subculture mungkin terbentuk dengan anggota sesama suku
atau ras minoritas, sesama para penghuni penjara, sesama kelompok-kelompok pekerja,
atau sesama penghuni daerah kumuh. Subculture hadir di dalam suatu masyarakat yang
lebih besar, tidak terpisah dari masyarakat itu. Dengan demikian mereka samasama
berbagi nilai. Meski demikian, gaya hidup dari anggota-anggota mereka berbeda secara
signifikan dengan gaya hidup budaya cultural.
Teori sub-budaya muncul sebagai respon atas problem khusus yang tidak dihadapi
oleh anggota budaya dominan. Teori-teori yang dikembangkan oleh Albert Cohen, serta
Richard Cloward dan Lloyd Ohlin merupakan kepanjangan dari strain theory, social
disorganization theory, dan differential association theory. Mereka menjelaskan
bagaimana delinquent subculture muncul pertama kali (strain), mengapa mengarnbil
satu bentuk tertentu (social disorganization), dan bagaimana mereka melalui satu
generasi ke generasi berikutnya (differential association).
Agak berbeda dengan itu, teori sub budaya kekerasan yang dikembangkan oleh
Marvin Wolfgang dan Franco Ferracuti tidak memandang bahwa delinquency dimulai
dengan kegagalan dalam meraih tujuan-tujuan budaya kelas menengah. Penjelasan
mereka berakar dari teori konflik budaya. Menurut teori subculture of violence, system
nilai dari beberapa sub-budaya menuntut penggunaan kekerasan secara berlebih dalam
situasi sosial tertentu. Norma ini, yang berdampak pada tingkah laku sehari-hari,
mengalami pertentangan dengan norma-norma konvensional milik kelas menengah.

Albert Cohen
Albert Cohen adalah murid dari Robert K. Merton dan Edwin Sutherland. Dari
Sutherland dia belajar tentang differential association serta transmisi budaya dari
norma-norma kriminaf yang menihawa tingkah laku kriminal, sedangkan dari Merton
dia belajar tentang strain yang disebabkan oleh faktor struktural. Cohen
menggabungkan dan mengembangkan kedua pendekatan tersebut untuk menjelaskan
bagaimana subculture delinquent meningkat, dan mengapa ia memiliki karakter khusus.
Menurut Cohen, delinquent subculture (sub-budaya yang nilai-nilainya
bertentangan dengan nilai-nilai dari budaya dominan) muncul di daerah-daerah kumuh
dari kota-kota besar Amerika Serikat. Menurut Cohen, posisi relatif keluarga-keluarga
muda dalam struktur sosial menentukan problem-problem yang akan dihadapi anak-
anak sepanjang hidupnya.
Keluarga-keluarga kelas bawah yang tidak pernah mengenal gaya hidup keluarga
kelas menengah, sebagai contoh, tidak dapat mensosialisasikan anak-anak mereka
dengan cara yang akan mempersiapkan mereka untuk memasuki kelas menengah.
Anak-anak tumbuh dengan ketrampilan komunikasi yang miskin, lemah dalam
komitmen pendidikan, dan ketidakmampuan menunda keinginan.
Sekolah menampifkan satu problem khusus. Di sana, anak-anak kelas bawah
dievaluasi oleh guru-guru kelas menengah atas dasar alat ukur kelas menengah.
Pengukuran ini dilandasi nifai-nilai kelas menengah seperti kepercayaan diri, cara-cara
yang baik, penghargaan kepada harta benda, rencana jangka panjang. Dengan ukuran-
ukuran seperti itu, anak-anak kelas menengah jatuh di bawah standar yang mesti mereka
dapat apabila mereka ingin berkompetisi secara sukses dengan anak-anak kelas
menengah. Cohen berpendapat bahwa pengalaman mereka itu membawa frustasi dan
tekanan, yang mereka tanggapi dengan mengadopsi satu dari tiga peranan, yaitu: corner
boy, college boy, atau delinquent boy.
Corner boy mencoba berbuat yang terbaik dari situasi yang buruk. Mereka
menghabiskan waktu di lingkungannya dengan kelompok berrnainnya, menghabiskan
waktu siang daiam beberapa aktivitas kelompok seperti berjudi atau berlomba atletik.
Dia mendapatkan bantuan dari teman-teman bermainnya dan ia sangat setia kepada
kelompoknya itu. Kebanyakan anak-anak kelas bawah menjadi corner boys. Pada
akhirnya mereka mendapat pekerjaan kasar dan hidup dengan gaya hidup konvensional.
Ada seciikit sekali colleges boys. Anak-anak ini berjuang terus-menerus untuk
memasuki standar-standar kelas menengah, tetapi peluang mereka untuk sukses sangat
terbatas karena hambatan akademis dan sosial mereka.
Delinquent boys bersatu untuk membentuk suatu subbudaya di mana mereka
dapat mendefinisikan status yang tampak bagi mereka dapat dicapai. Cohen mengklaim
bahwa meskipun anak-anak muda kelas bawah ini membuat sendiri norma-norma yang
dengan itu mereka dapat meraih sukses, mereka telah menerima secara mendalam
norma-norma dari kelas dominan, dan mereka merasa cemas jika berlawanan dengan
norma-norma tersebut. Untuk menghadapi konflik ini mereka melakukan reaction
formation (yaitu suatu mekanisme yang mengurangi kecemasan melalui suatu proses
penolakan dengan intensitas abnormal apa yang orang inginkan tetapi tidak bisa
diperoleh).
Anak-anak tersebut membalikkan norma-norma kelas menengah, dengan
membuat perbuatan di sub-budaya mereka justru benar karena ia dinyatakan salah oleh
norma-norma budaya yang lebih besar. Sebagai konsekuensinya, tindak-tindak
delinquent mereka dilakukan tanpa tujuan berguna dan semata-mata sebagai keburukan
serta bersifat negatif Anak-anak ini tidak mencuri barang-barang untuk dimakan,
dipakai atau dijual. Pada faktanya mereka sering membuang atau menghancurkan apa
yang telah mereka curi. Mereka menunjukkan ketidaksukaan pada sesuatu serta
menghancurkan hal-hal tabu. Delinquency mereka ditujukan untuk melawan orang-
orang serta harta benda secara acak, tidak seperti aktivitas berorientasi tujuan seperti
dilakukan kelompok-kelompok penjahat dewasa.
Sub-budaya itu secara umum ditandai oleh hedonisme sesaat, pencarian semata-
mata kesenangan, tanpa perencanaan atau pemikiran tentang apa yang akan dilakukan,
di mana atau kapan. Anak-anak delinquent berkeluyuran di jalan-jalan sampai seseorang
mendapat satu ide; kemudian melakukan perbuatan begitu saja tanpa memikirkan
akibatnya. Otonomi kelompok adalah yang paling penting. Anggota-anggota itu saling
setia satu dengan yang lain dan melawan setiap upaya dari keluarga, sekolah atau
masyarakat untuk mengekang tingkah laku mereka.

Pengujian Teori Cohen:


1) Para peneliti menunjukkan bahwa penampilan buruk di sekolah berkaitan dengan
delinquency.
2) Travis Hirschi meneliti 4000 anak sekolah di California. Temuannya: anak-anak
yang secara akademik tidak kompeten serta penampilannya buruk adalah anak-anak
yang tidak merryukai sekolahnya; mereka menolak otoritas sekolah; lalu mereka
melakukan delinquency.
3) Penelitian Delbert Elliot dan Harwin Voss terhadap 2000 anak sekolah di California
menunjukkan bahwa mereka yang drop-out dari sekolah mempunyai angka
delinquency yang lebih tinggi dibanding mereka yang akhirnya lulus. Mereka juga
menemukan bahwa perolehan akademik dan pengasingan dari sekolah berhubungan
dekat dengan drop out.

Richard Cloward dan Lloyd Ohlin (Differential Opportunity)


Meskipun Cloward dan Ohlin memfokuskan perhatian pada analisa substantif
terhadap delinquent subcultures, mereka meyakini bahwa oportunity theory mereka
(gabungan dari cultural transinition dan strain) menawarkan suaru general framework
untuk mengkaji kejahatan dan delinquency. Menurut mereka teori Strain tidaklah cukup
tanpa suatu penjelasan yang sistematis tentang mengapa orang memecahkan masalah
status mereka dengan satu cara dan bukan dengan cara yang lain. Isu tentang seleksi
adaptasi ini, menurut mereka, dapat terjawab hanya dengan memfokuskan pada
bagaimana “the illegitimate opportunity structure” mengatur akses menuju bentuk-
bentuk berbeda dari kejahatan atau penyimpangan bagi orang-orang yang berada pada
titik-titik yang berbeda dalam masyarakat.
Sebagaimana teori Cohen, teori differential opportunity yang dibangun oleh
Richard Cloward dan Llloyd Ohlin ini mengkombinasikan teori Strain, differential
association, dan social disorganization. Semua teori itu dimulai dengan asumsi bahwa
conventional means disebarkan secara tidak merata di antara kelas-kelas sosio-ekonomi;
bahwa kurangnya sarana-sarana itu menyebabkan frustasi bagi kalangan anak-anak
kelas bawah; dan bahwa tingkah laku kriminal dipelajari dan dialirkan secara budaya.
Semua teori di atas sepakat bahwa solusi umum mengatasi masalah itu membawa “the
formation of delinquent subculture”. Akan tetapi teori-teori itu tidak sepakat dalam hal
isi (content) dari sub budaya-sub budaya ini. Seperti disebut di atas, norma-norma
clalam subculture delinquent-nya Cohen adalah justru benar karena norma-norma itu
salah di dalam budaya dominan.
Cloward dan Ohlin tidak sepakat dengan itu. Menurut mereka anak-anak
delinquent kelas bawah tetaplah berorientasi tujuan (goaloriented). )enis-jenis tingkah
laku delinquent yang mereka lakukan tergantung pada “the illegitimate opportunities”
yang mereka miliki.
Menurut teori differential opportunity dari Cloward dan Ohlin, delinquent
subculture tumbuh subur di daerah-daerah kelas bawah dan mengambil bentuk tertentu
yang mereka lakukan karena kesempatan untuk mendapatkan sukses secara tidak sah
tidak lebih tersebar secara merata dibanding kesempatan untuk meraih sukses secara
sah.
Jelasnya, sebagaimana kesempatan tidak tersebar secara merata dalam dunia
konvensional, maka kesempatan untuk meraih tujuan juga tidak terdistribusi secara
merata di dunia kriminal. Seseorang tidak begitu saja dapat memutuskan untuk
bergabung dengan suatu kelompok pencuri atau kelompok berorientasi kekerasan.
Menurut Cloward dan Ohlin, tipe-tipe subcultures dan gang anak-anak muda yang
tumbuh subur tergantung pada tipe-tipe lingkungan di mana mereka berkembang.

Subculture of Violance
Sebagaimana Cohen, serta Clovrard dan Ohlin, Marvin Wolfgang dan Franco
Ferracuti menengok pada subcultural theory untuk menjelaskan tingkah laku kriminal di
antara anak-anak muda kota kelas bawah. Perbedaan di antara ketiganya adalah pada
fokus pengamatan. Cohen serta Cloward dan Ohlin memfokuskan diri pada asal dari
subculture, khususnya strain yang disebabkan budaya, sementara perhatian utama dari
Wolfgang dan Ferracuti adalah pada culture conflik (konflik budaya). Perbedaan lain,
ketiga teori sebelumnya mencakup semua jenis delinquency dan kejahatan, sedangkan
Wolfgang dan Ferracuti berkonsentrasi pada violent crime. Menurut mereka: “in some
subcultures the norms of behavior are dictated by a value system that demands the overt
use of force or violance.” (di beberapa sub budaya norma-noma tingkah laku ditentukan
oleh suatu sistem nilai yang menuntut penggunaan secara terang-terangan kekuatan atau
kekerasan).
Sub budaya yang mengikuti conduct norms yang kondusif bagi kekerasan disebut
dengan subcultures of violance. Kekerasan tidak digunakan dalam semua situasi, namun
ia sering merupakan suatu tanggapan yang diharapkan. Dalam sub budaya seperti itu
kehadiran senjata api ataupun tajam sudah biasa. Konfrontasi dapat mudah meningkat
tajam. Kekerasan menjadi bagian yang meresap dalam kehidupan sehari-hari, misalnya
dalam memelihara anak (dengan memukul), aktivitas gang (perkelahian jalanan),
perselisihan keluarga (saling memukul), pertemuan sosial (keributan para pemabok)
semuanya memperbolehkan kekerasan. Kekerasan tidak dianggap antisosial. Jadi,
anggota sub budaya seperti ini tidak merasa bersalah dengan agresi mereka. Sebaliknya
orang-orang yang tidak melakukan kekerasan mungkin akan dicela. Sistem nilai seperti
ini ditrasmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

SOCIAL CONTROL

Teori-teori strain, seperti sudah diuraikan di atas, mengkaji pertanyaan mengapa


sebagian orang melanggar norma, sebagai contoh dengan melakukan kejahatan. Teori-
teori kontrol sosial, sebaliknya, tertarik pada pertanyaan mengapa sebagian orang taat
pada norma. Para penganut teori ini menerima bahwa pencurian bisa dilakukan siapa
saja, bahwa kenakalan juga bisa dilakukan siapa saja, bahwa penyalahgunaan obat-
obatan bisa dilakukan siapa saja. Pertanyaannya justru, mengapa orang menaati norma
di tengah banyaknya cobaan, bujukan dan tekanan melakukan pe(anggaran norma.
Jawabannya adalah bahwa anak-anak muda dan orang dewasa mengikuti hukum sebagai
respon atas kekuatan-kekuatan pengontrol tertentu dalam kehidupan mereka. Mereka
menjadi kriminal ketika kekuatan-kekuatan yang mengontrol tersebut lemah atau hilang.
Teori kontrol sosial memfokuskan diri pada teknik-teknik dan strategi-strategi
yang mengatur tingkah laku manusia dan membawanya kepada penyesuaian atau
ketaatan kepada aturan-aturan masyarakat.
Konsep kontrol sosial lahir pada peralihan abad dua puluh dalam satu volume
buku dari E.A. Ross, salah seorang Bapak Sosiologi Amerika. Menurut Ross, sistem
keyakinanlah (dibanding hukum-hukum tertentu) yang membimbing apa yang
dilakukan orang-orang dan yang secara universal mengontrol tingkah laku, tidak peduli
apa pun bentuk keyakinan yang dipilih. Sejak saat itu, konsep ini diambil dalam arti
yang semakin meluas. Kontcol sosial telah dikonseptualisasi sebagai: “all-
encompassing, representing practically any phenomenon that leads to conformity to
norms.” Istilah ini dapat ditemukan pada studi-studi hukum, kebiasaan, moral, ideologi,
dan adat.
Kontrol sosial dikaji dari perspektif makro rnaupun mikro. Macrosociological
studies menjelajah sistem-sistem formal untuk mengontrol kelompok-kelompok. Sistem
formal tersebut antara lain: (1) sistem hukum, undang-undang, dan penegak hukum; (2)
kelompok-kelompok kekuatan di masyarakat; (3) arahan-arahan sosial dan ekonomi dari
pemerintah atau kelompok swasta. Jenis-jenis kontrol ini dapat menjadi positif maupun
negatif. Positif apabila dapat merintangi orang dari melakukan tingkah laku yang
melanggar hukum. Negatif apabila mendorong penindasan, membatasi, atau melahirkan
korupsi dari mereka yang memiliki kekuasaan.
Berbeda dengan perspektif makro, Microsociological studies memfokuskan
perhatian pada sistem kontrol secara informal. Travis Hirschi merupakan tokoh penting
atau juru bicara dari perspektif ini sejak bukunya berjudul Causes of Delinquency terbit
di tahun 1969. Sebenarnya Hirschi bukanlah orang pertama yang mengkaji tingkat
individual social control dan hubungannya dengan delinquency. Sebelum Hirschi, di
tahun 1957 Jackson Toby memperkenalkan ide tentang “individual commitment”
sebagai kekuatan yang sangat menentukan dalam kontrol sosial tingkah laku. Delapan
tahun kemudian Scott Briar dan Irving Piliavin memperluas tesis Toby itu dengan
memperluas pandangan bahwa tingkah komitmen individu dan penyesuaian diri
individu memainkan satu peranan dalam menurunkan kemungkinan melakukan
penyimpangan.
Berikut ini akan diuraikan secara singkat beberapa teori yang termasuk dalam
teori-teori kontrol sosial, yaitu: (1) social bonds dari Travis Hirschi; (2) self control
theory dari Gotfredson dan Hirschi: (3) techniques of netraliration dari David Matra; (4)
personal dan social control dari Albert J. Reiss; dan (5) containment theory dari Walter
C. Recless.

A. TRAVIS HIRSCHI (SOCIAL BONDS)


Hirschi menyebut empat social bonds yang mendorong socialization (sosialisasi)
dan conformity (penyesuaian diri, yaitu: attachment, commitment, involvement, dan
belief. Menurut Hirschi: “the stronger these bonds, the less likelihood of delinquency”
(semakin kuat ikatan-ikatan ini, semakin kecil kemungkinan terjadi delinquency).
Dalam penelitiannya terhadap 4.077 pelajar SMP dan SMU di California, Hirschi
mendapati bahwa: “weakness in any of the bonds was asociated with delinquent
behavior” (kelemahan di setiap ikatan-ikatan itu berkaican dengan tingkah laku
delinquent).

Pengujian Terhadap Teori Hirschi:


Mamin Krohn dan James Massey dengan menggunakan kuesioner self-report
terhadap 3.056 pelajar laki-laki dan perempuan mengkaji hubungan ikatan-ikatan sosial
dengan penggunaan alkohol dan marijuana, penggunaan narkoba, tingkah laku
penyimpangan ringan, serta tingkah laku delinquent serius. Hasilnya menegaskan
bahwa ikatan-ikatan sosial yang kuat berhubungan sangat kuat dengan kurangnya
penyimpangan serius.

Anda mungkin juga menyukai