Kriminologi termasuk cabang ilmu yang baru. Berbeda dengan Hukum Pidana
yang muncul begitu manusia bermasyarakat. Kriminologi baru berkembang tahun 1850
bersama-sama sosiologi, antropologi dan psikologi, cabang-cabang ilmu yang
mempelajari gejala/tingkah laku manusia dalam masyarakat.
Berawal dari pemikiran bahwa manusia merupakan srigala bagi manusia lain
(Homo homimi lupus), selalu mementingkan diri sendiri dan tidak mementingkan
keperluan orang lain maka diperlukan suatu norma untuk mengatur kehidupannya. Hal
tersebut penting untuk menghindari konflik di masyarakat.
Tujuan dari norma adalah untuk ditaati dan untuk ditaati diperlukan suatu sanksi.
Dalam ilmu hukum dikenal berbagai bentuk norma yang berlaku dalam masyarakat.
Norma kesopanan, norma kesusilaan, norma adat, norma agama dan norma hukum. Di
antara norma-norma tersebut bentuk sanksi yang paling hebat terdapat dalam hukum
pidana yaitu sanksi berupa derita atau nestapa yang diberikan secara sadar dan sengaja
pada seseorang yang telah melakukan suatu pelanggaran hukum. Pasal 10 KUHP
menetapkan empat bentuk hukuman pokok bagi seorang pelaku tindak pidana yaitu
hukuman mati, penjara, kurungan dan denda.
Hukum pidana sudah ada dengan sanksi yang begitu hebat sudah ada tetapi
mengapa kejahatan tetap terjadi? Pada dasarnya para pembentuk hukum pidana
mengharapkan bahwa pada suatu saat kejahatan akan lenyap dan disinilah kriminologi
memegang peranan penting.
Adalah suatu kenyataan bahwa hukum pidana tidaklah efektif. Thomas More
membuktikan bahwa sanksi yang berat bukanlah faktor yang utama untuk memac:u
efektivitas dari hukum pidana. Contoh pencopet, pencuri, koruptor, narkoba padahal
sudah ada sanksi hukuman.
Pada perkembanganya ada dha faktor yang memicu perkembangan dari
kriminologi:
A. KETIDAKPUASAN TERHADAP HUKUM PIDANA, HUKUM ACARA
PIDANA DAN SISTEM PENGHUKUMAN
Hukum pidana pada abad ke-16 hingga abad ke-18 semata-mata dijalankan untuk
menakut-nakuti dengan jalan menjatuhkan hukuman yang sangat berat. Hukuman mati
yang dilakukan dengan berbagai cara, umumnya dilakukan dengan cara yang
mengerikan dan hukuman badan merupakan hal yang biasa dijatuhkan terhadap
kejahatan yang terjadi di masyarakat. Yang menjadi tujuan pada waktu itu adalah
bagaimana supaya masyarakat pada umumnya dapat terlindungi dari kejahatan.
Dalam hukum acara pidana, hal yang sama pun terjadi. Bonger melukiskan bahwa
terdakwa diperlakukan seperti barang untuk diperiksa. Pemeriksaan dilakukan secara
rahasia dan pembuktian digantungkan kepada kemauan si pemeriksa.
Dulam kurun waktu selanjutnya gerakan menentang sistem tersebut pun lahir.
Montesqueu (1089-1755) membuka Plan dengan bukunya Esprit des Lois (1748)
menentang tindakan sewenang-wenang, hukuman yang kejam dan banvaknva hukuman
yang dijatuhkan. Rousseau (1712-1778) memperdengarkan suara menentang perlakuan
kejam terhadap para penjahat. Voltaire (1649-1778) hada tahun 1672 tampil ke muka
dengan pembelaannva untuk Jenn Calas yang tidak berdosa, yang telah dijatuhi
hukuman mati dan menjadi penentang yang paling keras terhadap peradilan pidana yang
sewenang-wenang itu.
Adalah Cesare Beccaria (1738-1794) yang merupakan tokoh yang paling
menonjol dalam usaha menentang kesewenang-wenangan lembaga peradilan pada saat
itu. Bangsawan Itali yang lahir pada 15 Mei 1738 ini bukanlah seorang ahli hukum,
tetapi ia adalah seorang ahli matematik dan ekonomi yang menaruh perhatian besar
pada kondisi hukum saat itu. Dalam bukunva Dei delitti e delle pene, ia telah secara
gamblang menguraikan keberatan-keberatannva terhadap hukum pidana, hukum acara
pidana dan sistem penghukuman yang ada pada masa itu. Di dalam tulisannya inilah
tergambar delapan prinsip yang menjadi landasan bagaimana hukum pidana, hukum
acara pidana, dan proses penghukuman dijalankan.
Kedelapan prinsip tersebut adalah:
1. Perlunyu dibentuk suatu masyarakat berdasarkan prinsip social contract.
2. Sumber Hukum adalah Undang-undang dan bukan hakim. Penjatuhan hukuman oleh
hakim harus didasarkan semata-mata karena undang-undang.
3. Tugas Hakim hanyalah menentukan kesalahan seseorang.
4. Menghukum adalah merupakan hak negara, dan hak itu diperlukan untuk melindungi
masyarakat dari keserakahan individu.
5. Harus dibuat suatu skala perbandingan antara kejahatan dan penghukuman.
6. Motif manusia pada dasarnya didasarkan pada keuntungan dan kerugian, artinya
manusia dalam melakukan perbuatan akan selalu menimbang kesenangan atau
kesengsaraan yang akan didapatnya (prinsip hedonisme).
7. Dalam menentukan besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu kejahatan maka
yang menjadi dasar penentuan hukuman adalah perbuatannya dan bukan niatnya.
8. Prinsip dari hukum pidana adalah ada pada sanksinya yang positif.
Prinsip-prinsip ini kemudian diterapkan oleh Napoleon dalam undang-undangnya
yang dikenal sebagai Code Civil Napoleon (1791).
Ada tiga prinsip yang diadopsi dalam undang-undang tersebut yaitu:
1. Kepastian Hukum.
Asas ini diartikan bahwa hukum harus dibuat dalam bentuk tertulis. Beccaria bahkan
melarang hakim menginterpretasikan undang-undang karena ia bukan lembaga
legislative. Hak untuk membuat undang-undang hanya dapat dilakukan oleh lembaga
ini.
2. Persamaan di depan hukum.
Asas ini menentang keberpihakan di depan hukum. Untuk itulah maka dituntut untuk
menyamakan derajat setiap orang di depan hukum.
3. Keseimbangan antara kejahatan dengan hukuman.
Beccaria melihat bahwa dalam pengalaman ada putusan-putusan hakim yang tidak
sama antara satu dengan yang lain terhadap suatu kejahatan yang sama. Hal ini
disebabkan karena spirit of the law ada pada hakim melalui kekuasaannva dalam
menginterpretasikan suatu undang-undang. Karenanva Beccaria menuntut adanya
keseimbangan kejahatan dengan hukuman yang diberikan.
Selain Beccaria, dalam kepustakaan tercatat nama Jeremy Bentham (1745-1832)
sebagai tokoh yang menghendaki perubahan terhadap sistem penghukunrun yang ada
pada waktu itu. Karya utamanva adalah Introduction to the principles of moral. Di
tahun 1791 ia menerbitkan suatu rencana pembuatan rumah penjara dengan nama
panopticon atau the Inspection House.
B. PENERAPAN METODE STATISTIK
Statistik adalah pengamatan massal dengan menggunakan angka-angka yang
merupakan salah satu faktor pendorong perkembangan ilmu pengetahuan sosial pada
abad ke-17. J. Graunt (1620-1674), pengarang Natural and Political Observation upon
The Bills of Mortality (1662) yang menerapkan statistik dengan membuat daftar angka-
angka yang bersangkutan menemukan bahwa jumlah kematian dan kelahiran dari tahun
ke tahun selalu kembali dengan teratur sekali.
Adalah Queteler (1796-1829) ahli ilmu pasti dan sosiologi dari Belgia yang
pertama kali menerapkan statistik dalam pengamatannya tentang kejahatan. Olehnya
statistik kriminil dijadikan alat utama dalam sosiologi kriminil dan dialah yang
membuktikan pertama kali bahwa kejahatan adalah fakta kemasyarakatan. Dalam
pengamatannya Quatelet melihat bahwa dalam kejahatan terdapat pola-pola yang setiap
tahun selalu sama. Quetelet dalam pengamatannva berkesimpulan bahwa kejahatan
dapat diberantas dengan memperbaiki tingkat kehidupan masyarakat.
Sarjana lain yang penting untuk dicatat dalam perkembangan statistik kriminil
adalah G. Von Mayr (1841-1925). Dalam bukunya Statistik, der Gerichtlichen
Polizeiim Konrgreiche Bayern und in einigen andern Laradern, ia menemukan bahwa
dalam perkembangan antara tingkat pencurian dengan tingkat harga gandum terdapat
kesejajaran (positif). Tiap-tiap kenaikan harga gandum 5 sen dalam tahun 1835-1861 di
Bayern, jumlah pencurian bertambah dengan 1 dari antara 100.000 penduduk. Dalam
perkembangannya ternyata tingkat kesejajaran ini tidak selalu tampak. Karena
adakalanva perkembangan ini menjadi berbanding terbalik (invers) antara
perkembangan ekonomi dengan tingkat kejahatan.
Otto Polack (AS-1955) meneliti tentang kejahatan yang dilakukan oleh para
wanita. Didapati suatu kenyataan bahwa banvak kejahatan yang dilakukan oleh para
wanita tidak diketahui karena sifat kewanitaan dari pelakunya.
ILMU KRIMINOLOGI
Dari uraian terdahulu, secara umum dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa obyek
studi dalam kriminologi mencakup tiga hal yaitu penjahat, kejahatan dan reaksi
masyarakat terhadap keduanya.
Dalam khasanah literatur kriminologi, banyak sekali perdebatan yang kontraversil
mengenai pengertian dari ketiga obyek studi ini. Oleh Soerjono Soekanto dan kawan-
kawan, pendapat para sarjana ini dibagi atas golongan-golongan sebagai berikut:
A. PARA SARJANA YANG MENGANUT ALIRAN HUKUM ATAU YURIDIS
Para sarjana yang menganut aliran ini menyatakan bahwa sasaran perhatian yang
layak bagi kriminologi adalah mereka yang diputuskan oleh pengadilan pidana sebagai
penjahat oleh karena kejahatan yang dilakukannya.
Paul W Tappan menyatakan bahwa kejahatan adalah:
The Criminal Law (statutory or case law), committed without defense or excuse,
and penalized by the state as a felony and misdemeanor.
Huge D Barlow juga menyatakan bahwa definisi dari kejahatan adalah a human
act that violates the criminal law.
Sutherland menekankan bahwa ciri pokok dari kejahatan adalah perilaku yang
dilarang oleh negara karena merupakan perbuatan yang merugikan negara dan terhadap
perbuatan itu negara bereaksi dengan hukuman sebagai upaya pamungkas.
Dalam pengertian yuridis membatasi kejahatan sebagai perbuatan yang telah
ditetapkan oleh negara sebagai kejahatan dalam hukum pidananya dan diancam dengan
suatu sanksi. Sementara penjahat merupakan para pelaku pelanggar hukum pidana
tersebut dan telah diputus oleh pengadilan atas perbuatannya tersebut. Penetapan aturan
dalam hukum pidana itu merupakan gambaran dari reaksi negatif masyarakat atas suatu
kejahatan yang diwakili oleh para pembentuk undang-undang pidana. Meski tidak
sepenuhnya setuju dengan definisi yang diberikan oleh para sarjana yang menganut
aliran yuridis, Bonger menyatakan bahwa kejahatan merupakan perbuatan anti sosial
yang secara sadar mendapat reaksi dari negara berupa pemberian derita dan kemudian
sebagai reaksi terhadap rumusan-rumusan hukum (legal definitions) mengenai
kejahatan.
Alasan diterimanya definisi yuridis tentang kejahatan ini oleh Hasskef dan
Yabfonsky adalah:
1. Statistik kejahatan berasal dari pelanggaran-pelanggaran hukum yang diketahui oleh
polisi, yang dipertegas dalam catatan-catatan penahanan atau peradilan serta data-
data yang diperoleh dari orang-orang yang berada dari dalam penjara atau parole.
Periiaku yang tidak normatif serta perilaku anti-sosial yang tidak melanggar hukum
tidak mungkin menjadi bagian catatan apapun;
2. Tidak ada kesepakatan umum mengenai apa yang dimaksud perilaku anti-sosial;
3. Tidak ada kesepakatan umum mengenai norma-norma yang pelanggarannya
merupakan perilaku non normatif dengan suatu sifat kejahatan (kecuali bagi hukum
pidana);
4. Hukum menyediakan perlindungan bagi stigmatisasi yang tidak adil. Adalah suatu
kesalahan apahila meninggalkan hal ini dalam rangka membuat pengertian
kejahatan menjadi lebih inklusif.
George B Vold menyebutkan teori adalah bagian dari suatu penjelasan yang
muncul manakala seseorang dihadapkan pada suatu gejala yang tidak dimengerti. Upaya
mencari penjelasan mengenai sebab kejahatan, sejarah peradaban manusia mencatat
adanya dua bentuk pendekatan yang menjadi landasan bagi lahirnya teori-teori dalam
kriminologi yaitu:
A. SPIRITUALISME
Dalam penjelasan tentang kejahatan, spiritualisme memiliki perbedaan mendasar
dengan metode penjelasan kriminologi yang ada saat ini. Berbeda dengan teori-teori
saat ini, penjelasan spiritualisme memfokuskan perhatiannya pada perbedaan antara
kebaikan yang datang dari tuhan atau dewa dan keburukan yang datang dari setan.
Seseorang yang telah melakukan suatu kejahatan dipandang sebagai orang yang telah
terkena bujukan setan (evil/demon).
Penjelasan tentang kepercayaan manusia pada yang gaib tersebut dapat kita
peroleh dari berbagai literature sosiologi, arkeologi dan sejarah selama berabad-abad
yang lalu. Sebagaimana kita ketahui, bagi orang-orang dengan kepercayaan primitif,
bencana alam selalu dianggap sebagai hukuman dari pelanggaran norma yang
dilakukan.
Dalam perkembangan selanjutnya aliran spicitualisme ini masuk dalam lingkup
pergaulan politik dan sosial kaum feodal. Landasan pemikiran yang paling rasional dari
perkembangan ini adalah bahwa pada periode sebelumnya kejahatan dianggap sebagai
permasalahan antara korban dan keluarga korban dengan pelaku dan keluarganya
Akibatnya adalah konflik berkepanjangan antar keluarga yang dapat mengakibatkan
musnahnya keluarga tersebut. Juga menjadi suatu masalah adalah bahwa pelaku
kejahatan yang berasal dari keluarga yang memiliki posisi kuat dalam masyarakat tidak
akan dapat dihukum. Sebagai upaya pemecahan terhadap permasalahan tersebut maka
masyarakat membentuk lembaga-lembaga yang dapat menjad dasar pembenar terhadap
upaya pembalasan terhadap seseorang yang telah melakukan kejahatan. Konsep Carok
misalnya dikenal dalam masyarakat Madura. Konsep perang tanding antara keluarga
yang menjadi korban dengan keluarga pelaku merupakan wadah pembalasan dendam
dan kerugian dari pihak korban. Dalam hal ini ada suatu kepercayaan dari masyarakat
bahwa kebenaran akan selalu menang dan kejahatan pasti akan mengalami kebinasaan.
Namun akibat lain dari kepercayaan ini adalah bila keluarga pelaku memenangkan
pertarungan tersebut maka mereka akan dianggap benar dan keluarga korban mengalami
celaan ganda.
Metode untuk membuktikan kesalahan seseorang dalam masyarakat primitif
memiliki banyak model. Menceburkan seseorang ke dalam sungai dengan cara
mengikatnya pada sebuah batu besar. Diyakini bahwa jika orang itu tidak bersalah,
maka Tuhan akan menolongnya dari rasa sakit atau bahkan kematian. Namun jika orang
tersebut bersalah, maka Tuhan akan memberikan kepadanya rasa sakit dan kematian
yang amat menyiksa.
Meski dalam kenyataan di masyarakat, dapat dilihat secara nyata bahwa
penjelasan spiritual ini ada dan berlaku dalam berbagai bentuk dan tingkat kebudayaan,
namun aliran ini memiliki kelemahan. Kelemahannya itu adalah bahwa penjelasan ini
tidak dapat dibuktikan secara ilmiah.
B. NATURALISME
Naturalisme merupakan model pendekatan lain yang sudah ada sejak berabad-
abad yang lalu. Adalah “Hippocrates” (460 S.M.) yang menyatakan bahwa “the brain is
organ of the mind”. Perkembangan paham rasionalisme yang muncul dari
perkembangan ilmu alam setelah abad pertengahan menyebabkan manusia mencari
model penjelasan lain yang lebih rasional dan mampu dibuktikan secara ilmiah. Dalam
perjalanan sejarah kedua model penjelasan ini beriringan meski bertolak belakang.
Lahirnya rasionalisme di Eropa menjadikan pendekatan ini mendominasi pemikiran
tentang kejahatan pada abad selanjutnya.
Dalam perkembangan lahirnya teori-teori tentang kejahatan, maka dapat dibagi
dalam tiga mazhab atau aliran yaitu:
1) Aliran Klasik
Dasar pemikiran dari ajaran klasik ini adalah adanya pemikiran bahwa pada
dasarnya manusia adalah makhluk yang memiliki kehendak bebas (Free Will). Di
mana dalam bertingkah laku, ia memiliki kemampuan untuk memperhitungkan
segala tindakan berdasarkan keinginannya (hedonisme). Dengan kata lain manusia
dalam berperilaku dipandu oleh dua hal yaitu penderitaan dan kesenangan yang
menjadi resiko dari tindakan yang dilakukannya. Dalam hal ini hukuman dijatuhkan
berdasarkan tindakannya, bukan kesalahannya.
Berdasarkan pemikiran tersebut di atas, Cesare Bonesana Marchese de
Beccaria menuntut adanya persamaan di hadapan hukum bagi semua orang dan
keadilan dalam penerapan sanksi. la menginginkan kesebandingan antara tindakan
dan hukuman yang dijatuhkan. Ini dapat diungkap secara tersirat dalam tulisannya
“The Crimes and Punishment” yang pernah diungkapkan pada bab terdahulu.
Agaknya Beccaria bukan merupakan sarjana satu-satunva yang berbicara
tentang free will dan hedonisme manusia. Adalah Jeremy Bentham, seorang sarjana
Inggris yang berbicara mengenai hal yang diungkapkan oleh Beccaria tersebut di
atas. Sebagai seorang ahli hukum ia menyatakan bahwa tujuan dari pemberian
sanksi semata-mata berfungsi sebagai alat preventie bagi lahirnya kejahatan.
Ide dari para sarjana ini mengilhami lahirnya Code Civil Napoleon 1791 dan
juga konstitusi Amerika pada masa itu. Adanya persamaan dihadapan hukum dan
keseimbangan antara hukuman dan kejahatan diterapkan secara murni pada masa
itu.
2) Aliran Neo Klasik
Aliran neo-klasik pada dasarnya bertolak pada pemikiran mazhab klasik.
Namun demikian para sarjana mazhab neoklasik ini justru menginginkan
pembaharuan pemikiran dari mazhab klasik setelah pada kenyataannya pemikiran
pada mazhab klasik justru menimbulkan ketidakadilan.
Pemberlakuan secara kaku Code Penal Perancis terhadap pelaku kejahatan
dibawah umur, di mana tidak adanya suatu pembedaan pemberian hukuman
terhadapnya, dinilai sebagai suatu ketidakadilan. Aspek mental dan kesalahan
seseorang tidak diperhitungkan oleh Code Penal Perancis tersebut.
Meski mazhab neoklasik, tidak dilandaskan pada pemikiran ilmiah, namun
aspek-aspek kondisi pelaku dan lingkungannya mulai diperhatikan. Hal tersebut
yang membuatnya berbeda dengan mazhab klasik.
3) Aliran Positifis
Secara garis besar aliran positifis membagi dirinya menjadi dua oandangan
yaitu:
a. Determinisme Biologis
Teori-teori yang masuk dalam aliran ini mendasari pemikiran bahwa perilaku
manusia sepenuhnya tergantung pada pengaruh biologis yang ada dalam dirinya.
b. Determinisme Cultural
Teori-teori yang masuk dalam aliran ini mendasari pemikiran mereka pada
pengaruh sosial, budaya dari lingkungan di mana seseorang itu hidup.
Penjelasan berikut ini akan memulai pembagian dari pandangan determinisme
biologis sebagai asal mula lahirnya mazhab positifis ini.
I. Lombrosso Sebagai Pelopor Lahirnya Mazhab Positifis
Dalam khasanah kriminologi, orang tidak akan pernah melupakan seorang sarjana
bernama Cesare Lombrosso (1835-1909). Seorang dokter kelahiran Itali yang mendapat
julukan Bapak Kriminologi Modern. Jasanya bukan karena teori Born Criminal-nya
yang terkenal tetapi karena Lombrosso merupakan orang pertama yang meletakkan
metode ilmiah (rational-scientist thinking and experimental) dalam mencari penjelasan
tentang sebab kejahatan serta melihatnya dari banyak faktor.
Teori “Born Criminal” Lombrosso lahir dari ide yang diilhami oleh teori Darwin
tentang Evolusi Manusia. Di sini Lombrosso membantah tentang sifat free will yang
dimiliki manusia. Doktrin Atavisme menurutnya membuktikan adanya sifat hewani
yang diturunkan oleh nenek moyang manusia. Gen ini dapat muncul sewaktu-waktu
dari turunannya yang memunculkan sifat jahat pada manusia modern.
Dalam perkembangan teorinva ini Lombrosso mendapati kenyataan bahwa
manusia jahat dapat ditandai dari sifat-sifat fisiknya. Lombrosso menggunakan
posisinya sebagai dokter militer, untuk meneliti 3000 tentara melalui rekarn medis
(medical-record)-nya. Antara lain: telinga yang tidak sesuai ukurannya, dahi yang
menonjol, tangan yang parajang, rahang yang menonjol, ataupun hidung yang bengkok.
Penelitian ini melahirkan berbagai tulisannya pada masa itu.
Berdasarkan penelitiannya ini, Lombrosso mengklasifikasikan Penjahat kedalam
empat golongan yaitu:
1. Born Criminal yaitu orang berdasarkan pada doktrin atavisme tersebut di atas;
2. Insane Criminal yaitu orang-orang yang tergolong ke dalam kelompok idiot; embisiil
atau paranoid;
3. Occasional Criminal atau Criminaloid yaitu pelaku kejahatan berdasarkan
pengalaman yang terus menerus sehingga mempengaruhi pribadinya;
4. Criminals of passion yaitu pelaku kejahatan yang melakukan tindakannya karena
marah, cinta atau karena kehormatan.
2. Teori yang menyatakan balwa penjahat memiliki bakat yang diwariskan oleh orang
tuanya. Pada mulanya amat mudah mendapati anak yang memiliki karakter seperti
orang tuanya, namun ternyata hasil yang sama pun tidak jarang ditemui pada anak-
anak yang diadopsi atau anak-anak angkat.
3. Teori Psikopati: berbeda dengan teori-teori yang mcnekankan pada intelejensia
ataupun kekuatan mental pelaku, teori psikopati mencari sebab-sebab kejahatan dari
kondisi jiwanya yang abnormal. Seorang penjahat di sini terkadang tidak memiliki
kesadaran atas kejahatan yang telah diperbuatnya sebagai akibat gangguan jiwanya.
4. Teori bahwa kejahatan sebagai gangguan kepribadian sempat digunakan di
Amerika untuk menjelaskan beberapa perilaku yang dikategorikan sebagai crime
without victim (kcjahatan tanpa korban) seperti pemabuk, gelandangan, perjudian,
prostitusi, penggunaan obat bius.
Disamping teori-teori yang menitikberatkan pada kondisi individu, ada pula
golongan sarjana yang mencari sebab kejahatan pada pengaruh sosial kebudayaan, yang
kemudian dapat digolongkan kedalam empat kelompok besar yaitu:
1) Kelompok teori yang menghubungkan kejahatan dengan kondisi ekonomi;
2) Kelompok yang melihat kejahatan sebagai perilaku yang dipelajari secara normal;
3) Kelompok teori yang melihat konflik kelompok sebagai sebab musabab kejahatan;
4) kelompok teori yang disebut teori kritis atau modern.
Berikut kita akan melihat beberapa penggolongan (tipologi) ajaran-ajaran mengenai
sebab musabab kejahatan dari beberapa orang sarjana.
Ajaran Tahun Isi Penjelasan Metode
Berkembang
I Klasik 1775 Hedonisme Kursi sandar
lengan (Arm-chair)
II Kartografik 1830 Ecology, cultur, komposisi Peta-peta Statistik
penduduk
III Sosialis 1850 Determinisme ekonomi Statistik
IV Typology
1. Lombroso 1875 Type morfologis, born Klinis statistik
criminal
2. Mental tes 1905 Kelemahan pikiran Klinis, tes, statistik
3. Psychiatris 1905 Psychopathy Klinis, statistik
V Sosiologis 1915 Proses-proses kelompok dan Klinis, statistik
sosial (group and social
process)
Sumber : Purnianti dan M. Kemal Darmawan; Mazjhab dan penggolongan Teori dan
Kriminologi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994) hlm.20
Ajaran Klasik
Ajaran klasik dari hukum pidana mulai berkembang di Inggris pada akhir abad ke-
19 dan meluas ke lain-lain negara Eropa dan Amerika.
Dasar ajaran ini adalah bedonistic psychology. Menurut ajaran ini manusia
mengatur tingkah lakunya atas dasar pertimbangan suka dan duka. Suka yang diperoleh
dari tindakan tertentu dibandingkan dengan duka yang diperoleh dari tindakan yang
sama. Sipetindak diperkirakan berkehendak bebas dan menentukan pilihannya
berdasarkan perhitungan hedonistis saja. Inilah yang dianggap penjelasan final dan
komplit dari sebab musabab kejahatan.
Beccaria dalam tahun 1764 menerapkan doktrin ini kepada penology dengan
maksud untuk mengurangi kesewenang-wenangan dan kekuasaan hukuman.
Menurutnya, semua orang yang melanggar undang-undang tertentu harus menerima
hukuman yang sama, tanpa mengingat umur, kesehatan jiwa, kaya/miskin, posisi social
dan keadaan-keadaan lainnya. Hukuman yang dijatuhkan harus sedemikian beratnya,
sehingga melebihi suka yang diperoleh dari pelanggaran Undang-undang tersebut.
Pendapat ekstrirn ini kemudian diperlunak mengenai dua hal yaitu anak-anak dan
orang yang tidak waras dikecualikan dengan pertimbangan bahwa mereka tidak mampu
untuk memperhitungkan secara wajar suka duka dan hukuman yang diterapkan pun
dalam batas-batas tertentu (dimungkinkan adanya diskresi). Dengan perubahan ini
doktrin klasik menjadi tulang punggung hukum pidana sampai sekarang. Dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Indonesia kita mengenalnya dalam aturan pasal 44 dan
47.
Sebab musabab kejahatan yang sealiran dengan ajaran ini mengakui hipotesa
sebab musabab kejahatan yang naturalistis dan karenanya kadang-kadang disebut
positivis (ajaran positif).
Ajaran Tipologis
Dalam kriminologis telah berkembang 3 ajaran yang disebut ajaran tipologis atau
bio tipologis. Ketiga-tiganya mempunyai logika dan metodologi yang sama dengan
berdasarkan pada dalil bahwa pada dasarnya penjahat berbeda dengan bukan penjahat
karena memiliki ciri-ciri pribadi yang mendorong timbulnya kecenderungan luar biasa
(menyimpang) untuk melakukan kejahatan dalam situasisituasi yang tidak mendorong
orang lain untuk melakukan kejahatan. Kecenderungan ini mungkin diwariskan dari
orangtuanya atau mungkin merupakan ekspresi khusus dari ciri-ciri kepribadiannya
yang lain dari orang kebanyakan. Di sini situasi sosial ekonomi penjahat tidak
diperhitungkan.
Namun demikian ketiga ajaran ini memiliki perbedaan antara satu dan yang
lainnya dalam membedakan penjahat dan bukan penjahat.
1. Ajaran Lombrosso
a. penjahat sejak lahir merupakan tipe khusus
b. Tipe ini dapat dikenali dari bentuk/cacat fisik tertentu
c. Keanehan-keanehan/cacat tersebut semata-mata sebagai takdir untuk menjadi
gambaran dari kepribadiannya sebagai penjahat dan kepribadian ini sebagai
akibat dari atavisme yaitu reversi dari tipe kebiadaban atau akibat dari
degenerasi, khususnya karena epilepsi.
d. Karena tabiat ini, orang-orang demikian tidak dapat menghindarkan diri dari
kejahatan kecuali apabila keadaan hidupnya sangat menguntungkan.
e. Golongan-golongan atau kelas-kelas penjahat seperti misalnya pencuri,
pembunuh atau penjahat-penjahat lainnya mempunyai tanda-tanda atau cap yang
berbeda-beda.
2. Ajaran Mental Tester
Karena ajaran Lombroso mulai rnundur, meski logika dan metodologinya
tetap dipertahankan, akan tetapi feeble mindedness menggantikan tipe fisik, sebagai
ciri-ciri penjahat. Menurut ajaran ini feeble mindedness menyebabkan kejahatan
karena orang tidak dapat menilai sebab akibat dari perbuatannya atau menangkap
serta menilai arti hukum. Ajaran ini mundur karena terbukti bahwa feeble
mindedness terdapat pada penjahat dan bukan penjahat.
3. Ajaran Psikiatri
Ajaran ini adalah lanjutan dari ajaran Lombrosso. Namun demikian
penekanan dari ajaran ini adalah kekacauan-kekacauan emosional, yang dianggap
timbul dalam interaksi sosial dan bukan karena pewarisan. Pokok dari ajaran ini
adalah organisasi tertentu dari kepribadian orang yang berkembang jauh terpisah
dari pengaruh-pengaruh jaat akan tetapi menghasilkan kelakuan jahat tanpa
mengingat situasi-situasi sosial.
Ajaran Sosiologis
Di dalam kriminologi ajaran ini paling banyak melahirkan variasivariasi dan
perbedaan-perbedaan analisa dari sebab musabab kejahatan. Pokok pangkal dari ajaran
ini adalah bahwa kelakuan-kelakuan jahat dihasilkan dari proses-proses yang sama
seperti kelakuan-kelakuan sosial lainnya. Pada umumnya analisa proses yang
menghubungkan kejahatan dengan perilaku sosial mendasari 2 bentuk yaitu:
1. Analisa yang menghubungkan kejahatan dengan organisasi sosial termasuk di
dalamnya pada sistem-sistem institusi yang lebih luas;
2. Analisa yang menghubungkan proses-proses sosial seperti social learning dan
menggunakan konsep-konsep seperti imitasi, attitude value, differential assosiation,
kompensasi dan frustrasi aggression.
Penggolongan teori yang kedua yang akan dipaparkan di sini adalah
penggolongan yang dilakukan oleh Barnes dan Teeters. Barnes dan Teeters
membedakan antara 6 golongan ajaran kriminologi:
I. Ajaran Pre-Klasik
Zaman ajaran pre-klasik ini berlangsung sejak tahun 400 sebelum masehi sampai
kira-kira tahun 1700 masehi. Teori pada zaman ini dibagi dalam:
a. Tahun 400 sebelum masehi: mula-mula tidak diketahui apa sebab kejahatan,
diperkirakan yang menjadi sebab kejahatan adalah kehendak bebas.
Kemudian dianggap sebagai sebab adalah pandangan hedonisme: suka-duka.
b. Tahun 30 sesudah masehi, ajaran spiritual istis/demonologis berlaku disini.
c. Tahun 1215, orang dianggap bertanggung jawab secara pribadi atas
perbuatan-perbuatannya = kehendak bebas, tetapi dalam mencari sebab
terjadinya kejahatan maka hal itu dihubungkan dengan pengaruh dari
kekurangan-kekurangan sistem feodal.
d. Tahun 1500-1700, sebab-sebab kejahatan: assosiasi jahat, kebiasaan buruk,
kemalasan.
II. Ajaran Klasik
Jaman ajaran klasik berlangsung dari tahun 1700-1770. Sedangkan mengenai
sebab musabab kejahatan dibagi dalam taraf-taraf sebagai berikut:
Tahun 1700: kejahatan dianggap merupakan hasil dari pergaulan jahat, kebiasaan-
kebiasaan jelek dan kemalasan.
Tahun 1770: pengaruh Beccaria berkembang. Bentham mengemukakan ajaran
kehendak bebasnya dengan menonjolkan asas hedonisme yang terutama dijadikan
asas penentuan hukuman.
III. Ajaran Neo-Klasik
Berlangsung dari tahun 1800-1876. Kejahatan disebabkan oleh free choice of evil.
Akan tetapi anak-anak, orang gila dan orang-orang yang lemah ingatannya
dibebaskan dari tanggung jawab atas perbuatannya.
IV. Ajaran Positif atau Italia (1876-1913)
Dalam mencari sebab musabab dari kejahatan, ajaran ini kembali lagi kepada
pandangan mengenai dosa dan penyelewengan-penyelewengan yang memang
dikehendaki.
V. Ajaran Analitis atau Individualistis (1913-1936)
Dalam mencari sebab musabab kejahatan titik berat diletakkan kepada sebab
musabab yang unik seperti cacat fisik, cacat mental. Keadaan psikopathis dan
keanehan-keanehan pada tabiat.
Dalam kenyataannya pengelompokan teori ini memang memudahkan
mereka yang ingin mempelajari kriminologi, namu pengelompokan ini pun
memiliki bahaya-bahaya seperti:
1) Fanatisme berlebihan terhadap satu kelompok teori tertentu sehingga
menimbulkan anggapan bahwa teori yang lain tidak ada;
2) Adanya teori yang tidak dapat dimasuknya ke dalam kelompok manapun
menyebabkan pereduksian terhadap teori yang bersangkutan;
3) Penggolongan teori ini menimbulkan anggapan bahwa kriminologi menjadi
ilmu yang statis dan tidak berkembang.
TEORI-TEORI KRIMINOLOGI
A. PENGANTAR
Setelah menjelajah sejarah perkembangan kriminologi, pengertian, obyek studi,
serta sejarah perkembangan akal manusia dalam memahami fenomena kejahatan sampai
penggolongan teori dalam kriminologi, berikutnya kita akan beralih ke pembahasan
tentang teori-teori dalam Kriminologi. Mengingat banyaknya teori-teori tersebut maka
kita mencoba untuk memfokuskan pada beberapa teori yang dapat dibagi ke dalam tiga
perspektif: 1) teori-teori yang menjelaskan kejahatan dari perspektif Biologis dan
Psikologis; 2) teori-teori yang menjelaskan kejahatan dari perspektif sosiologis; dan 3)
teori-teori yang menjelaskan kejahatan dari perspektif lainnya.
Twin Studies
Untuk mengungkap apakah benar kejahatan ditentukan secara genetikal, para
peneliti telah membandingkan antara identical twins dan fraternal twins. Identical atau
monozygotic twins dihasilkan dari satu telur yang dibuahi yang membelah menjadi dua
embrio. Kembar seperti ini membagi sama gen-gen mereka. Sementara, Fraternal atau
dizygotic twins dihasilkan dari dua telur terpisah, keduanya dibuahi pada saat yang
bersamaan. Mereka membagi sekitar setengah dari gen-gen mereka.
Karl Cristiansen dan Sarnoff A. Medniek melakukan suatu studi terhadap 3.5S6
pasangan kembar di satu kawasan Denmark antara tahrrn 1881 dan 1910 dikaitkan
dengan kejahatan serius. Mereka menemukan bahwa pada identical twins jika
pasangannya melakukan kejahatan maka 50% pasangannya juga melakukan. Sedangkan
pada fraternal twins angka tersebut hanya 20%. Temuan ini mendukung hipotesa bahwa
beberapa pengaruh genetika meningkatkan resiko krirninalitas.
Adoption Studies
Satu jalan untuk memisahkan pengaruh dari sifat-sifat yang diwariskan dengan
pengaruh dari kondisi lingkungan adalah dengan melakukan studi terhadap anak-anak
yang sejak lahirnya dipisahkan dari orang tua aslinya dan ditempatkan pada keluarga
angkat.
Satu studi tentang adopsi ini pernah dilakukan terhadap 14.427 anak yang
diadopsi di Denmark antara tahun 1924 dan 1947. Penelitian itu menemukan data:
a) dari anak-anak yang orang tua angkat dan orang tua aslinya tidak tersangkut
kejahatan, 13,5% terbukti melakukan kejahatan;
b) dari anak-anak yang memiliki orang tua angkat kriminal tapi orang tua aslinya
tidak, 14,7% terbukti melakukan kejahatan;
c) dari anak-anak yang orang tua angkatnya tidak kriminal tapi memiliki orang tua asli
kriminal, 20% terbukti melakukan kcjahatan; dan
d) dari anak-anak yang orang tua angkat dan orang tua aslinya kriminal, 24,5%
terbukti melakukan kejahatan.
Temuan di atas mendukung klaim bahwa kriminalitas dari orang tua ash (orang
tua biologis) memiliki pengaruh lebih.besar terhadap anak dibanding kriminalitas dari
orang tua angkat.
C. MENTAL DISORDER
Meskipun perkiraannya berbeda-beda, namun berkisar antara 20 hingga 60 persen
penghuni lembaga pemasyarakatan mengalarni satu tipe mental disorder (kekacauan
mental). Keadaan seperti itu digambarkan oleh seorang dokter Perancis bernama
Philippe Pinel sebagai manie sans clelire (madness without confusion), atau oleh dokter
Inggris bernama James C. Prichard sebagai “moral insanity”, dan oleh Gina Lombroso-
Ferrero sebagai “irresistible atavistic impulses”. Pada dewasa ini penyakit mental tadi
disebut sebagai psychopathy atau antisocial personality suatu kepribadian yang ditandai
oleh suatu ketidakmampuan belajar dari pengalaman, kurang kehangatan/keramahan,
dan tidak merasa bersalah.
Psikiater Hervey Cleckey memandang Psychopathy sebagai suatu penyakit serius
meski si penderita tidak kelihatan sakit. Menurutnya, para psychopath terlihat
mempunyai kesehatan mental yang sangat bagus, tetapi apa yang kita saksikan itu
sebenarnya hanyalah suatu “mask of sanity” atau topeng kewarasan. Para psychopath
tidak menghargai kebenaran, ticlak tulus, tidak merasa malu, bersalah atau terhina.
Mereka berbohong dan melakukan kecurangan tanpa ada keraguan dan melakukan
pelanggaran verbal maupun fisik tanpa perencanaan.
Modes of Adaptions
Menurut Merton ada beberapa cara yang berbeda bagi anggota masyarakat untuk
memecahkan/mengatasi strain (ketegangan/tekanan) yang dihasilkan dari
ketidakmampuan mencapai sukses. Untuk mengkonseptualisasi respon-respon yang bisa
terjadi tadi, Merton mengembangkan tipologi atau mode-mode adaptasi.
Merton menyadari bahwa kebanyakan orang, meskipun mereka memiliki sarana
yang terbatas tidak melakukan penyimpangan. Banyak orang tidak melakukan
penyimpangan. Mereka menyesuaikan diri, melanjutkan mencapai tujuan budaya berupa
kesuksesan, dan percaya atas legitimasi sarana-sarana konvensional atau insti-
tutionalised means dengan mana sukses akan dicapai. Ini merupakan mode adaptasi
pertama yaitu conformity.
Merton menggambarkan empat mode adaptasi yang menyimpang. Kebanyakan
tingkah laku kriminal, menurut Merton, dapat dikategorisasikan sebagai innovation,
karena adaptasi ini mencakup mereka yang tetap meyakini sukses yang dianggap
berharga itu namun beralih menggunakan illegitimate means atau sarana-sarana yang
tidak sah jika mereka menemui dinding atau halangan terhadap sarana yang sah untuk
rnenemui sukses ekonomi tersebut.
Pada sisi yang berlavVanan, orang-orang yang beradaptasi secara ritualism
terlihat menyesuaikan diri (conformity) dengan norma-norma yang mengatur
institutionalized means. Meski demkian, mereka meredakan ketegangan/tekanan mereka
dengan menurunkan skala aspirasi-aspirasi mereka sampai di titik yang mereka dapat
capai dengan mudah. Dibanding mengejar tujuan budaya tentang kesuksesan, mereka
justru berusaha menghindari risiko dan hidup dalam batas-batas rutinitas hidup sehari-
hari.
Retreatism, pada sisi lain, membuat respon yang lebih dramatis. Tertekan oleh
harapan-harapan sosial yang ditunjukkan oleh gaya hidup konvensional, mereka
melepaskan kesetiaan baik kepada cultural success goal maupun kepada legitimate
means. Mereka merupakan orang-orang yang “are in society but not of it”. Mereka
melarikan diri dari syarat-syarat masyarakat dengan berbagai cara yang menyimpang,
misalnya: alcoholism, drug addiction, psychosis, atau vagrancy
(menggelandang/mengembara). Bunuh diri tentu saja merupakan penarikan diri paling
puncak.
Akhirnya, Merton menamai adaptasi terakhir dengan Rebellion yaitu adaptasi
orang-orang yang tidak hanya menolak tetapi juga berkeinginan untuk mengubah sistem
yang ada. Terasing dari tujuan yang berlaku dan ukuran-ukuran normatif, mereka
mengajukan penggantian dengan satu perangkat tujuan-tujuan dan sarana-sarana baru.
Dalam masyarakat Amerika contoh dari rebellion mungkin bisa disebut kalangan
sosialis yang lebih memilih sukses kelompok dibanding sukses individual dan dengan
suatu norma yang mengarahkan distribusi kekayaan secara merata dan sesuai kebutuhan
dibandingkan distribusi yang tidak merata dan sesuai dengan hasil dari kompetisi yang
kejam.
Apabila Strain theory di bab sebelumnya melihat kepada tingkah laku kriminal di
Amerika Serikat dalam kaitan usaha keras dari seluruh warganya untuk menyesuaikan
diri dengan nilai-nilai konvensional dari kelas menengah, utamanya sukses secara
finansial, Cultural deviance Theories pada sisi lain, memandang kejahatan sebagai
seperangkat nilai-nilai yang khas pada lower class (kelas bawah). Menyesuaikan diri
dengan sistem nilai kelas bawah yang menentukan tingkah laku di daerah-daerah kumuh
(slum areas), menyebabkan benturan dengan hukum-hukum masyarakat. Baik strain
maupun cultural deviance theories menempatkan penyebab kejahatan pada
ketidakberuntungan posisi orang-orang di strata bawah dalam satu masyarakat yang
berbasiskan kelas.
Tiga teori utama dari cultural deviance theories adalah:
1) social disorganization;
2) differential association;
3) culture conflict.
Social disorganization theory memfokuskan diri pada perkembangan area-area
yang angka kejahatannya tinggi yang berkaitan dengan disintegrasi nilai-nilai
konvensional yang disebabkan oleh industrialisasi yang cepat, peningkatan imigrasi,
dan urbanisasi.
Differential assocication theory memegang pendapat bahwa orang belajar
melakukan kejahatan sebagai akibat hubungan (contact) dengan nilai-nilai dan sikap-
sikap antisocial, sertapola-pola tingkah laku kriminal.
Sementara culture conflict theory menegaskan bahwa kelompok-kelompok yang
berlainan belajar conduct norms (aturan yang mengatur tingkah laku) yang berbeda, dan
bahwa conduct norma dari suatu kelompok mungkin berbenturan dengan aturan-aturan
konvensional kelas menengah.
Ketiga teori di atas sepakat bahwa penjahat dan delinquent pada kenyataannya
menyesuaikan diri bukan pada nilai konvensional melainkan pada norma-norma yang
menyimpang dari nilai-nilai kelompok dominan yaitu kelas menengah.
Sebelum melihat lebih jauh ketiga teori di atas, kita perlu rnelihat terlebih dahulu
pengertian deviant (menyimpang). Para Sosiolog mendefinisikan deviants sebagai:
“any behavior that members of a social group define as violating their norms.”
Dengan demikian konsep deviance dapat diterapkan baik pada perbuatan non-
kriminal yang dipandang oleh kelompok itu sebagai aneh atau tidak biasa (misalnya
gaya hidup masyarakat Amish di Amerika Serikat) maupun pada perbuatan kriminal
(perbuatan yang oleh masyarakat dilarang). Jadi menyimpang itu tidak selalu berarti
jahat/ buruk, hanya berbeda.
Teori-teori cultural deviance berargumen bahwa masyarakat kita terdiri atas
kelompok dan sub-kelompok yang berbeda, masing-masing dengan standar atau ukuran
benar dan salahnya sendiri. Tingkah laku yang dianggap normal di satu masyarakat
mungkin dianggap menyimpang oleh kelompok lain. Akibatnya, orang-orang yang
menyesuaikan diri dengan standar budaya yang dipandang penyimpang sebenarnya
telah berlaku sesuai dengan norma mereka sendiri, tetapi dengan melakukan hal tersebut
mungkin ia telah melakukan kejahatan (yaitu norma-norma dari kelompok dominan).
Albert Cohen
Albert Cohen adalah murid dari Robert K. Merton dan Edwin Sutherland. Dari
Sutherland dia belajar tentang differential association serta transmisi budaya dari
norma-norma kriminaf yang menihawa tingkah laku kriminal, sedangkan dari Merton
dia belajar tentang strain yang disebabkan oleh faktor struktural. Cohen
menggabungkan dan mengembangkan kedua pendekatan tersebut untuk menjelaskan
bagaimana subculture delinquent meningkat, dan mengapa ia memiliki karakter khusus.
Menurut Cohen, delinquent subculture (sub-budaya yang nilai-nilainya
bertentangan dengan nilai-nilai dari budaya dominan) muncul di daerah-daerah kumuh
dari kota-kota besar Amerika Serikat. Menurut Cohen, posisi relatif keluarga-keluarga
muda dalam struktur sosial menentukan problem-problem yang akan dihadapi anak-
anak sepanjang hidupnya.
Keluarga-keluarga kelas bawah yang tidak pernah mengenal gaya hidup keluarga
kelas menengah, sebagai contoh, tidak dapat mensosialisasikan anak-anak mereka
dengan cara yang akan mempersiapkan mereka untuk memasuki kelas menengah.
Anak-anak tumbuh dengan ketrampilan komunikasi yang miskin, lemah dalam
komitmen pendidikan, dan ketidakmampuan menunda keinginan.
Sekolah menampifkan satu problem khusus. Di sana, anak-anak kelas bawah
dievaluasi oleh guru-guru kelas menengah atas dasar alat ukur kelas menengah.
Pengukuran ini dilandasi nifai-nilai kelas menengah seperti kepercayaan diri, cara-cara
yang baik, penghargaan kepada harta benda, rencana jangka panjang. Dengan ukuran-
ukuran seperti itu, anak-anak kelas menengah jatuh di bawah standar yang mesti mereka
dapat apabila mereka ingin berkompetisi secara sukses dengan anak-anak kelas
menengah. Cohen berpendapat bahwa pengalaman mereka itu membawa frustasi dan
tekanan, yang mereka tanggapi dengan mengadopsi satu dari tiga peranan, yaitu: corner
boy, college boy, atau delinquent boy.
Corner boy mencoba berbuat yang terbaik dari situasi yang buruk. Mereka
menghabiskan waktu di lingkungannya dengan kelompok berrnainnya, menghabiskan
waktu siang daiam beberapa aktivitas kelompok seperti berjudi atau berlomba atletik.
Dia mendapatkan bantuan dari teman-teman bermainnya dan ia sangat setia kepada
kelompoknya itu. Kebanyakan anak-anak kelas bawah menjadi corner boys. Pada
akhirnya mereka mendapat pekerjaan kasar dan hidup dengan gaya hidup konvensional.
Ada seciikit sekali colleges boys. Anak-anak ini berjuang terus-menerus untuk
memasuki standar-standar kelas menengah, tetapi peluang mereka untuk sukses sangat
terbatas karena hambatan akademis dan sosial mereka.
Delinquent boys bersatu untuk membentuk suatu subbudaya di mana mereka
dapat mendefinisikan status yang tampak bagi mereka dapat dicapai. Cohen mengklaim
bahwa meskipun anak-anak muda kelas bawah ini membuat sendiri norma-norma yang
dengan itu mereka dapat meraih sukses, mereka telah menerima secara mendalam
norma-norma dari kelas dominan, dan mereka merasa cemas jika berlawanan dengan
norma-norma tersebut. Untuk menghadapi konflik ini mereka melakukan reaction
formation (yaitu suatu mekanisme yang mengurangi kecemasan melalui suatu proses
penolakan dengan intensitas abnormal apa yang orang inginkan tetapi tidak bisa
diperoleh).
Anak-anak tersebut membalikkan norma-norma kelas menengah, dengan
membuat perbuatan di sub-budaya mereka justru benar karena ia dinyatakan salah oleh
norma-norma budaya yang lebih besar. Sebagai konsekuensinya, tindak-tindak
delinquent mereka dilakukan tanpa tujuan berguna dan semata-mata sebagai keburukan
serta bersifat negatif Anak-anak ini tidak mencuri barang-barang untuk dimakan,
dipakai atau dijual. Pada faktanya mereka sering membuang atau menghancurkan apa
yang telah mereka curi. Mereka menunjukkan ketidaksukaan pada sesuatu serta
menghancurkan hal-hal tabu. Delinquency mereka ditujukan untuk melawan orang-
orang serta harta benda secara acak, tidak seperti aktivitas berorientasi tujuan seperti
dilakukan kelompok-kelompok penjahat dewasa.
Sub-budaya itu secara umum ditandai oleh hedonisme sesaat, pencarian semata-
mata kesenangan, tanpa perencanaan atau pemikiran tentang apa yang akan dilakukan,
di mana atau kapan. Anak-anak delinquent berkeluyuran di jalan-jalan sampai seseorang
mendapat satu ide; kemudian melakukan perbuatan begitu saja tanpa memikirkan
akibatnya. Otonomi kelompok adalah yang paling penting. Anggota-anggota itu saling
setia satu dengan yang lain dan melawan setiap upaya dari keluarga, sekolah atau
masyarakat untuk mengekang tingkah laku mereka.
Subculture of Violance
Sebagaimana Cohen, serta Clovrard dan Ohlin, Marvin Wolfgang dan Franco
Ferracuti menengok pada subcultural theory untuk menjelaskan tingkah laku kriminal di
antara anak-anak muda kota kelas bawah. Perbedaan di antara ketiganya adalah pada
fokus pengamatan. Cohen serta Cloward dan Ohlin memfokuskan diri pada asal dari
subculture, khususnya strain yang disebabkan budaya, sementara perhatian utama dari
Wolfgang dan Ferracuti adalah pada culture conflik (konflik budaya). Perbedaan lain,
ketiga teori sebelumnya mencakup semua jenis delinquency dan kejahatan, sedangkan
Wolfgang dan Ferracuti berkonsentrasi pada violent crime. Menurut mereka: “in some
subcultures the norms of behavior are dictated by a value system that demands the overt
use of force or violance.” (di beberapa sub budaya norma-noma tingkah laku ditentukan
oleh suatu sistem nilai yang menuntut penggunaan secara terang-terangan kekuatan atau
kekerasan).
Sub budaya yang mengikuti conduct norms yang kondusif bagi kekerasan disebut
dengan subcultures of violance. Kekerasan tidak digunakan dalam semua situasi, namun
ia sering merupakan suatu tanggapan yang diharapkan. Dalam sub budaya seperti itu
kehadiran senjata api ataupun tajam sudah biasa. Konfrontasi dapat mudah meningkat
tajam. Kekerasan menjadi bagian yang meresap dalam kehidupan sehari-hari, misalnya
dalam memelihara anak (dengan memukul), aktivitas gang (perkelahian jalanan),
perselisihan keluarga (saling memukul), pertemuan sosial (keributan para pemabok)
semuanya memperbolehkan kekerasan. Kekerasan tidak dianggap antisosial. Jadi,
anggota sub budaya seperti ini tidak merasa bersalah dengan agresi mereka. Sebaliknya
orang-orang yang tidak melakukan kekerasan mungkin akan dicela. Sistem nilai seperti
ini ditrasmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
SOCIAL CONTROL