Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Hukum pidana internasional (HPI) merupakan disiplin hukum baru dalam ilmu
hukum yang mengatur kejahatan-kejahatan yang terjadi internasional. Hukum pidana
internasional tumbuh dan berkembang tidak lepas dari semakin berkembang dan
meluasnya pidana (tindak pidana) internasional. Adapun yang dimaksud dengan HPI
adalah hukum yang menentukan hukum pidana nasional yang akan diterapkan terhadap
kejahatan-kejahatan yang nyata-nyata telah dilakukan bilamana terdapat unsur-unsur
internasional di dalamnya. 1
Mengenai perkembangan dari HPI ini, dapat diketahui dari mulainya kejahatan
perang antarsuku sampai dengan kejahatan perang dunia (PD), baik PD I dan PD II,
serta agresi yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lainnya, juga kejahatan
pembajakan yang dilakukan dibuat pada masa itu sampai dengan pembajakan di udara
pada masa sekarang, serta bagaimana masyarakat internasional melalui kebiasaan-
kebiasaan, perjanjian-perjanjian dan konvensi internasional mengatasi semua jenis
kejahatan tersebut. Setelah melalui sejarah yang panjang demikian, pada akhirnya
eksentesi HPI diakui, dan sekaligus pula diakuinya sebagai suatu displin hukum. HPI
itu sendiri memiliki 2 (dua) hukum utama yang antara lain adalah hukum pidana dan
hukum internasional.
Dalam penyelesaian permasalahan HPI pidana dibutuhkan lembaga-lembaga
yang dapat menyelesaikan permasalahan tersebut memiliki sumber utama yaitu Statuta
Roma. Mahkamah Pidana Internasional (MPI) atau dalam bahasa Inggris disebut
sebagai International Criminal Court (ICC) adalah pengadilan tetap dan independen
pertama yang mampu melakukan penyelidikan dan mengadili setiap orang yang
melakukan pelanggaran terberat terhadap hukum kemanusiaan internasional, seperti
kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, genosida dan tindakan agresi. HPI telah

1
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional (Bandung: Refika Aditama,
2006), hlm. 20.
diakui secara internasional pertama kali terjadi melalui resolusi yang diajukan sidang
umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 21 November 1997. Resolusi
tersebut menghendaki dibentuknya suatu panitia kodifikasi hukum internasional. Sejak
berakhirnya PD II, posisi HPI diakui semakin penting dan relevan sehubungan dengan
proses pembentukan dan keberhasilan peradilan Nuremberg (1946) dan peradilan
Tokyo (1948) dalam menuntut dan mengadili mereka yang dianggap sebagai penjahat
perang.
ICC dibentuk pada tahun 1940 sebagai sebuah “tribunal” permanen dimana ICC
dirancang untuk membantu sistem yudisial nasional yang telah ada. HPI dalam Statuta
Roma disebutkan bahwa yang menjadi jenis tindak pidana internasional adalah
genosida (the crime of genoside), kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity),
kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan agresi (the crime of agresion)2. Namun
pengadilan pidana internasional ini dapat melaksanakan yurisdiksi bila pengadilan
negara tidak mau atau tidak mampu untuk menginvestasi atau menuntut kejahatan yang
terjadi disuatu negara, dan pengadilan internasional akan menjadi “pengadilan usaha
terakhir”.
Kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh Presiden Filipina yang
bernama Rodrigo Dutertee yang melakukan kebijakan penumpasan narkoba dan
menimbulkan banyak kontroversi baik dalam negeri maupun di luar negeri bahwa
diindikasikan adanya pelangaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Seorang
pengacara yang bernama Jude Sabio mewakili Edgar Matobato yang merupakan
anggota dari satu regu yang menjalankan perintah kebijakan war on drug. Presiden
Rodrigo Dutertee mengadukan Presiden Rodrigo Dutertee ke ICC. Menurut kesaksian
dari Matobato di Senat Filipina kebijakan dijalankan tidak sepenuhnya berlandaskan
hukum dan tidak semua operasi polisi yang dijalankan tersebut legal. Dalam gugatan
itu disebutkan, setidaknya 11 pejabat senior pemerintahan juga bertanggungjawab atas
aksi-aksi pembunuhan tersebut, perang melawan narkoba yang dilancarkan Dutertee

2
Heni Siswanto, Badan Kuliah Hukum Pidana Internasional Dan Hak Asasi Manusia (Bandung:
Jurnal Wawasan Hukum, 2017), hlm. 3.
sejak 2016 telah menewaskan ribuan orang, pengguna narkoba sejak menjabat sebagai
Presiden.
Hal ini menimbulkan berbagai kritikan dari dunia internasional terhadap
kebijakan Presiden Filipina, Fatou Bensouda kepala Jaksa Penuntut ICC pertama kali
mengatakan 'amat prihatin' dengan laporan tentang pembunuhan tanpa proses hukum
pada Oktober 2016. Sekitar empat bulan setelah Presiden Dutertee berkuasa dengan
kampanye memberantas pengedar narkoba Atas tindakanya Salah satu pejabat
pelaksana perang melawan narkoba di Filipina, Ronald dela Rosa merupakan anggota
senat baru terpilih memiliki kekebalan hukum, menantang Presiden Filipina atas
tewasnya ribuan orang. Menurut Dela Rosa, ada sekitar 5000 tersangka bandar dan
pengedar narkoba yang tewas ditembak polisi dalam penggerebekan narkoba karena
melawan petugas.3 Bulan Februari 2018, ICC memulai penyelidikan tentang dugaan
kriminal terkait dengan upaya Filipina memberantas perdagangan narkoba dengan
kebijakan menembak mati para terduga pengedar narkoba. Fatou Bensouda,
mengatakan pengadilan akan mengkaji laporan-laporan tentang pembunuhan tanpa
proses hukum.
Dalam kasus ini perlu dipaHAMi pelangaran yang dilakukan oleh Presiden
Filipina harus di tindak lanjuti oleh mahkamh internasional maka legalitas yuridiksi
ICC dalam penyidikan terhadap kejahatan HAM Berat yang dilakukan oleh Presiden
Filipina yang sudah melakukan pelangaran kejahatan terhadap kemanusain karena
penyalahgunaan narkoba dengan diculik oleh beberapa warga sipil yang
mengatasnamakan satuan anti-Narkoba sebelum pada akhirnya ditembak mati. Di
antara para korban yang diculik oleh warga sipil tersebut tidak sedikit jumlah korban
yang sebenarnya tidak terkait kasus Narkoba sama sekali. Hal ini dikarenakan
kebijakan tersebut telah dimanfaatkan beberapa orang untuk kepentingan pribadi.
Sehingga korban yang tidak bersalah dikalungkan sebuah tulisan yang bertuliskan
”saya pengguna Narkoba” dan diletakkan shabu atau jenis lainnya agar kematiannya

3
Media Indonesia, “Filipina Tolak Panggilan PBB Terkait Pelanggaran HAM,”
https://mediaindonesia.com/read/detail/240196-filipina-tolak-panggilan-pbb-terkait-penggaran-HAM,
diakses 1 juli 2019.
tidak dicurigai sebagai pembunuhan diluar operasi pemberantasan Narkoba. 4
Pelanggaran HAM Berat dalam kejahatan terhadap kemanusian yang dilakukan oleh
Presiden Filipina dalam legalitas yuridksi ICC, Mahkamah Internasional mempunyai
yurisdiksi atas orang (natural persons) sesuai dengan Statuta dan yurisdiksi mahkamah
secara personal adalah terhadap orang-orang atau individu yang harusnya bertanggung
jawab atas kejahatan yang dilakukan sebagaimana ditentukan dalam statuta.5
Selain itu untuk penelitian dasar dari Mahkmah Internasional dalam kasus
pelanggaran kejahatan terhadap kemanusian dalam Proses penegakan hukum ICC
dalam menyelesaikan permasalahan kemanusian yang dilanggar oleh Presiden Filipina
terdapat dalam Statute Roma Pasal 5 berbunyi :
1) Jurisdiksi Mahkamah terbatas pada kejahatan paling serius yang menyangkut
masyarakat internasional secara keseluruhan. Mahkamah mempunyai jurisdiksi
sesuai dengan Statuta berkenaan dengan kejahatan-kejahatan berikut:
(a) Kejahatan genosida;
(b) Kejahatan terhadap kemanusiaan;
(c) Kejahatan perang;
(d) Kejahatan agresi.
2) Mahkamah melaksanakan jurisdiksi atas kejahatan agresi setelah suatu
ketentuan disahkan sesuai dengan Pasal 121 dan 123 yang mendefinisikan
kejahatan dan menetapkan kondisi-kondisi di mana Mahkamah menjalankan
jurisdiksi berkenaan dengan kejahatan ini. Ketentuan semacam itu haruslah
sesuai dengan ketentuan-ketentuan terkait dari Piagam Perserikatan Bangsa-
Bangsa. 6

Atas Pasal 5 ayat (1) b menyatakan kejahatan terhadap kemanusian, maka dengan
itu Presiden Filipina harus diberi hukuman yang sesuai dengan pelangarannya terhadap
para korban, lalu seperti apa yang menajadi dasar penyidikan terhadap Negara Filipina.
Pelanggaran tindak pidana internasional yang di adil di Mahkamah Internasional,
seperti apakah penegakan hukum tindak pidana internasional. Tindakan tertentu yang

4
Veniati Sarlina, “Respon Amnesty International Terhadap Pemberantasan Narkotika Dan Obat
– Obatan Berbahaya (Narkoba) Di Filipina Pada Masa Rodrigo Duterte’’, p. 897, diakses 4 Juli 2019,
https://ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id/site/wp content/uploads/2018/07/2.%2013020451 93%20-
%20Veniati%20Sarlina%20(07-15-18-01-16-16).pdf.
5
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional (Bandung: Yrama Widya,2015), hlm. 360.
6
Pasal 5 Statuta Roma
sebut dengan tindakan pelangaran HAM Berat yang di lakukan kejahatan terhadap
kemanusiaan menurut Statuta Roma Pasal 7 ayat (I) yaitu :
1. Untuk keperluan Statuta ini, “kejahatan terhadap kemanusiaan” berarti salah
satu dari perbuatan berikut ini apabila dilakukan sebagai bagian dari serangan
meluas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil,
dengan mengetahui adanya serangan itu:
a) Pembunuhan;
b) Pemusnahan;
c) Perbudakan;
d) Deportasi atau pemindahan paksa penduduk;
e) Pemenjaraan atau perampasan berat atas kebebasan fisik dengan
melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional;
f) Penyiksaan; Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi,
penghamilan paksa,pemaksaan sterilisasi, atau suatu bentuk kekerasan
seksual lain yang cukup berat;
g) Penganiayaan terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi atau
Kolektivitas atas dasar politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, gender
Sebagai didefinisikan dalam ayat 3, atau atas dasar lain yang secara
universal diakui sebagai tidak diizinkan berdasarkan hukum
internasional, yang berhubungan dengan setiap perbuatan yang dimaksud
dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada dalam jurisdiksi
Mahkamah;
h) Penghilangan paksa;
i) Kejahatan apartheid;
j) Perbuatan tak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara sengaja 7

Apabila rumusan masalah di atas dicermati memang yuridiksi ICC dalam


pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Presiden Filipina tidak memandang perlu
diselesaikan di Mahkamah Internasional, sebab masih dalam kaitannya dengan
yurisdiksi personal. Mahkamah mengesampingkan segala hal yang berkenan dengan
status resmi dari orang yang bersangkutan yang terlibat dalam satu atau lebih dari jenis
kejahatan yang tunduk pada yurisdiksi Mahkamah apakah dia sebagai kepala Negara. 8
Permasalahan yang sebutkan di atas agar Mahkamah Internasional
menyelesaikan kasus tersebut yang di Negara Filipian agar menemukan titik terang
dalam penyelesai kasus ini yang sudah banyak menelan korban tampanya proses
hukum yang jelas, itulah yang ditetapkan sebagai permasalahan penelitian pertama

7
Pasal 7 Statuta Roma
8
I Wayan Parthiana op.cit., hlm. 366.
yang dalam pemecahan permasalahan menggunakan teori-teori HPI, perjanjian-
perjanjian internasional, dan putusan Mahkamah Internasional. Dalam penelitian pada
kasus ini yuridiksi ICC terhadap pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh Presiden
Filipina maka Konsep-konsep dan asas-asas internasional serta kaidah hukum
internasional yang relevan digunakan untuk memecahkan permasalahan pertama
diatas.
Permasalahan penelitian yang kedua berkaitan dengan menarik diri Negara
Filipina terhadap Statuta Roma (SR) 1998 dari ICC yang dilakukan oleh Presiden
Filipina Rodrigo Dutertee, keputusan ini dilakukan karena tindakan kejahatan
terhadap kemanusian dengan perang terhadap narkoba melakukan pembunuhan
tampa adanya proses hukum. Penarikan diri Filipina dari ICC telah dikonfirmasi oleh
juru bicara kePresidenan Harry Roque dalam sebuah pesan teks kepada wartawan.
Pemerintah Filipina telah menyiapkan dokumen setebal 15 halaman tertanggal 13
Maret, Walaupun dokumuen tersebut belum ditandatanganin oleh Presiden Filipina
Rodrigo Dutertee.9
Penarikan diri menurut ketentuan Pasal 127 ayat (1) SR menyatakan bahwa Suatu
Negara Pihak, dengan pemberitahuan tertulis yang dialamatkan kepada Sekretaris
Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, dapat menarik diri dari Statuta ini. Penarikan
diri itu mulai berlaku satu tahun setelah tanggal diterimanya pemberitahuan tersebut,
kecuali kalau pemberitahuan itu menetapkan suatu tanggal yang lebih, penarika dari
ICC tidak akan menghentikan penyelidikan atas dugaan kejahatan yang terjadi pada
saat Filipina masih menjadi anggota dari ICC, namun praktisnya akan menimbulkan
kesulitan untuk bekerja sama dengan pihak berwenang setempat, Negara Filipina
sendiri yang ikut mendukung adanya ICC yang diratifikasi dan ditandatangani oleh
123 negara selama konferensi diplomatik di Roma pada 1998 dengan demikian Negara
Filipina menandatangani SR pada tahun 2000, dan meratifikasi serta mengesahkannya

9
Gatra.com, “Filipina Menarik Diri dari Pengadilan Pidana Internasional,”
https://www.gatra.com/detail/news/401180-filipina-menarik-diri-dari-pengadilan-pidana-internasional,
diakses 19 juli 2019.
pada tahun 2011. dokumen yang dibuat oleh juru bicara kepersidenan Negara Filipina
belum tentu bisa dikambulkan saat itu juga.
Permasalahan dari penarikan diri yang dilakukan oleh Presiden Filipina terhadap
ICC dapat memberikan dampak terhambatnya proses penyidikan atas kasus pelanggran
HAM Berat yang sengaja dilakukan untuk menghindari adanya proses investigasi lebih
lanjut terkait kasus penggaran HAM Berat yang terjadi. Penarikan diri terhadap ICC
yang berdampak pada kewenangan ICC pada proses penyesaian kasus pelanggaran
HAM berat merupakan permasalahan yang penting untuk di teliti.
Untuk ke luar dari ICC oleh pernyatan Presiden Filipina ini bagaimanapun,
pengunduran diri dari ICC tampaknya membutuhkan pengesahan dari Senat Filipina,
yang megeluarkan sebuah resolusi menyatakan penarikan mundur dari traktat-traktat
internasional akan sah jika mendapat persetujuan Senat, seperti dilaporkan media
Filipini namun Konstitusi Filipina menyebutkan bahwa penerapan traktat internasional
tidak bisa dicabut tanpa dukungan Presiden dan Senat. 10
Mahkamah Internasional mengenai Kejahatan di atas merupakan kategori dalam
mengadili kejahatan-kejahatan internasional, adapun kasus yang sedang penulis teliti
dalam penulisan skripsi terkait dengan kejahatan yang dilakukan oleh Presiden Filipina
yang menggemparkan negaranya terhadap tindakkan Presiden Dutertee oleh kebijakan
yang akan membunuh pengedar narkoba sebagai salah satu upaya kebijakan war on
drugs. “namely,murde, extermination, enslavement, deportation, and other inhumane
acts committed against any civilian population, before or during the war, or
persecutions on political, racial or religious grounds in execution of or in connection
with any crime the jurisdiction of the tribunal, whether or not violation of the domestic
of the country where perpetrated”,
(Pembunuh, pemusuhan, perbudakan, pemindahan secara paksa dan tindakan
manusiawi lainnya yang ditujukan pada masyarakat sipil, sebelum atau sesudah perang,
atau penindasan berdasarkan politik, rasa tau agama dalam pelaksanaan atau dalam
hubungannya dengan kejahatan lain yang termasuk di dalam ruang lingkup pengadilan

10
News Indonesia, ” Karena diselidiki, Presiden Duterte tarik Filipina dari Mahkamah Pidana
Internasional, https://www.bbc.com/indonesia/dunia-43398825, diakses 2 Juli 2019.
ini, apakah melanggar atau tidak hukum domestic Negara dimana perbuatan
dilakukan).11 Aturan yang lebih tegas mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan
terdapat dalam piagam London. Kejahatan yang mencakup kemanusiaan.
Pemecahan dalam kasus ini di dalam Statuta Roma pelanggaran HAM dan harus
di tindak oleh mahkamah hukum internasional terkait kasus tersebut dalam Pasal 12
Statuta Roma menyatakan :
1. Suatu Negara yang menjadi pihak dari Statuta ini dengan demikian menerima
jurisdiksi Mahkamah berkenaan dengan kejahatan yang disebutkan dalam Pasal
5.
2. Dalam hal Pasal 13, ayat (a) atau (c), Mahkamah dapat melaksanakan
jurisdiksinya kalau satu atau lebih Negara berikut ini adalah pihak dari Statuta
ini atau telah menerima jurisdiksi Mahkamah sesuai dengan ayat (3): (a) Negara
yang berkuasa atas wilayah di mana perbuatan yan dipersoalkan itu terjadi atau,
kalau kejahatan itu dilakukan di atas kapal atau pesawat terbang. Negara di
mana kapal atau pesawat terbang itu terdaftar;
(b) Negara di mana orang yang dituduh melakukan kejahatan adalah
warga negara.
3. Kalau penerimaan suatu Negara yang bukan pihak dari Statuta ini disyaratkan
berdasarkan ayat 2, Negara tersebut dapat, dengan deklarasi yang disampaikan
kepada Panitera, menerima pelaksanaan jurisdiksi oleh Mahkamah berkenaan
dengan kejahatan yang dipersoalkan. Negara yang menerima bekerja sama
dengan Mahkamah tanpa ditunda-tunda lagi atau perkecualian sesuai dengan
Bagian 9.12

Kejahatan yang di lakukan oleh Presiden Filipina ini harus di tindak lanjuti
seperti Pasal yang di atas. Prinsip pertanggungjawaban yang dianut kepada Presiden
Filipina ini atas tindak pidana internasional adalah pertanggung jawaban individual
atau perserongan. Dalam asas penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi
manusia membenahi kewajiban kepada negara-negara bahkan kepada siapa pun untuk
menghormati dan melindungi hak asasi manusia dalam situasi dan kondisi bagaimana
pun juga, apalagi perlakuan di luar batas-batas kemanusian di dalam Convention
Against Torture And Other Crual , Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment,
10 Desember 1984 dan mulai berlakunya pada tanggal 26 juni 1987 atau dikenal

11
Tolib Efendi, Hukum Pidana Internasional (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2014), hlm. 101.
12
Pasal 12 Statuta Roma
dengan nama Konvensi Anti Penyiksaan 1984. 13 Asas ini membuat tindakan apa pun
yang dilakukan oleh Negara-negara atas perseorangan atau lebih dari status apa pun
itu.
Dalam ini menyelesaikan tindak pidana internasional berkaitan dengan Hak
Asasi Manusia yang terjadi di Negara Filipina. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk
membuat tulisan dalam yang berdasarkan permasalahan yang penulis bahas, penulis
tertarik dengan judul, ANALISIS MENGENAI PENARIKAN DIRI NEGARA
FILIPINA SEBAGAI NEGARA PIHAK (STATE PARTY) PADA STATUTA
ROMA 1998 DIKAITKAN DENGAN PENEGAKAN HUKUM TERHADAP
PELANGGARAN HAM BERAT.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian penulis dalam latar belakang masalah di atas, maka
permasalahan dapat diidentifikasi sebagai berikut :
1. Bagaimanakah Legalitas Yuridiksi ICC Dalam Penyidikan terhadap Kejahatan
HAM Berat Yang Dilakukan Oleh Presiden Filipina ?
2. Bagaimanakah Analisis Dampak Dari Negara Filipina Yang Menarik Diri Dari
International Criminal Court 1998 ?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai legalitas yuridiksi penyidikan
terhadap pelanggaran HAM Berat yang dilakukan oleh Presiden Filipina.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai dampak dari penarikan diri
Negara Filipina yang sudah bergabung dengan International Criminal Court
1998.

D. Kegunaan Penelitian
Penulis berharap bahwa penelitian ini dapat berguna untuk :

13
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internsional (Bandung : Yrama Widya, 2015), hlm. 98.
1. Kegunaan teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi
pengebangan ilmu hukum, khususnya ilmu hukum pidana internasional dan
terkhusus lagi mengenai Analisis Mengenai Penarikan Diri Negara Filipina
Sebagai Negara Pihak (State Party) pada Statuta Roma 1998 dikaitkan Dengan
Penegakan Hukum Terhadap pelanggaran HAM Berat.
2. Kegunaan praktis, kegunaanya memberikan informasi bagi masyarakat dan
dapat menjadi sumber informasi yang bermanfaat terhadap penegkan hukum
pidana, khususnya untuk pengetahuan mahkamah hukum internasional (ICC)
terhadap penyidikan kasus Pelangaran HAM berat yang dilakukan oleh
Presiden Filipina untuk memberantas narkotika di negara Filipina, terkait
Negara Filipina termasuk Negara pihak (state party) dalam Statute Roma 1998.

E. Kerangka Pemikiran
Mengenai kerangka pemikiran penulis akan menjelaskan terlebih dahulu,
menurut ahli hukum, HPI dalam mahkamah internasional (ICC) pada tahap penyidikan
kasus pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Presiden Filipina. Dilandaskan pada
kondisi perkembangan dunia yang sekarang terhadap HPI yang di tunjukan kepada
Presiden Filipina Rodrigo Duterte terhadap penembakan perang terhadap narkoba di
Negara Filipina.
Menurut istilah dan pengertian HPI berelasitas dengan istilah ini mengacu pada
seperangkat asas-asas, kaidah-kaidah, lembaga-lembaga dan proses hukum pidana
nasional yang mengatur tentang kejahatan internasional. Dengan digunakan istilah
ini maka dapat diketahui, pertama : hukum pidana Internasional merupakan
serangkaian asas-asas, kaidah-kaidah, lembaga-lembaga dan proses hukum yang
benar-benar bersifat internasional (bukan nasional). Kedua, obyek HPI adalah
kejahatan internasional atau tindak pidana internasional. 14 Romli Atmasasmita
menegaskan, bahwa inti dari hukum pidana internasional yang mengatur kerja sama

14
Widiada Gunakaya dan Eka Djoneri, op.cit., hlm. 7.
internasional dalam hal pencegahan dan pemberantasan kejahataan tranasional dan
kejahatan internasional. 15 Untuk menegakkan HPI ini mahkamah pidana
internasional ini memiliki tugas dan wewenang secara reprasif jika terjadi
pelangaran-pelangaran terhadap HPI yang diatur dalam SR 1998.
Terkait kasus yang di atas pada latar belakang mengenai kasus hukum pidana
internasional sejauh ini memang harus ditindaklanjuti oleh mahkamah pidana
internasional. Mengenai pertanggungjawaban kasus yang di atas secara individu
oleh Presiden Filipina memiliki pengertian mengarah kepada define tindak pidana
internasional. International crimes oleh Anotonio Cassese diartikan, “international
crime are breaches of international rules entailing the personal criminal liability of
the individual concerned” (tindak pidana internasional adalah pelanggaran terhadap
ketentuan nasional yang memerlukan pertanggung jawaban individu dari individu
terkait).16
HPI dalam arti formal berasal dari HPI adalah kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip
hukum internasional yang brtkenan dengan kejahatan. Seperti halnya dengan sumber
hukum internasional dalam arti formal pada umumnya, secara lebih spesifik, sumber
HPI dalam arti formal yang berasal dari hukum internasional yang berkenan dengan
suatu kejahatan adalah sebagai berikut 17 :
1. Perjanjian Internasional;
2. Hukum Kebiasaan Internasional;
3. Keputusan Badan-badan penyelesaian sengketa Internasional;
4. Pendapat para Ahli
5. Keputusan atau Resolusi Organisasi Internasional; dan
6. Prinsip-prinsip hukum Umum
Istilah “Hukum Pidana Nasional Berdimensi Internasional” digunakan
menjelaskan berbagai istilah untuk penyebutan lain dari hukum pidana internasional.
Istilah ini menunjukan pada pengertian tentang adanya sekumpulan kaidah-kaidah dan

15
Romli Atmasasmita, Hukum Pidana Internasional: Dalam Kerangka Perdamaian dan
Keamanan Internasional (Jakarta: Fikahati Aneska, 2010), hlm. 37.
16
Antonio Casssece dalam I Wayan Parthiana, op.cit., hlm. 23.
17
Ibid., hlm. 70.
asas-asas HPI yang mengandung dimensi-dimensi internasional. Sedangkan obyeknya
atau kejahatan disebut juga dengan istilah ”Kejahatan Nasional yang Berdimensi
Internasional”, pengertian menunjukkan pada kejahatan nasional yang mengandung
dimensi internasional. 18 Lalu apa landasan asas dari hukum pidana internasional dalam
tindakan internasional pelanggaran HAM.
Dalam pembahasan ini yang pertama identifikasi masalah (IM) pertama legalitas
yurisdiksi ICC dalam penyidikan terhadap kejahatan HAM berat dilakukan oleh
Presiden Filipina mengenai teori, kaidah, asas dan konsep. Teori atau dalam IM yang
pertama istilah HPI merupakan terjemahan dari Di dalam HPI, istilah ini mengacu pada
seperangkat asas-asas, kaidah-kaidah, lembaga-lembaga dan proses hukum pidana
nasional yang diberlakukan keluar batas-batas wilayah Negara nasional yang
bersangkutan, terhadap kejahatan baik yang terjadi di dalam batas-batas wilayah
Negara nasional tersebut maupun yang terjadi di wilayah Negara lain. Dimensi
internasional dari HPI tidak hanya berkaitan dengan kaidah hukumnya saja, tetapi juga
kejahatannyaa. Bahkan juga subjek hukumnya, baik sebagai pelaku kejahatan maupun
sebagai korban kejahatannya. 19

Menurut Romli Atmasasmita, penggunaan istilah hukum pidana internasional


lebih cepat tepat dipertahankan, dengan pertimbangan sebagai berikut:

a. Hukum pidana Internasional telah memenuhi persyaratan keilmuan; memiliki


objek pembahsan tersendiri, dan memiliki asas-asas hukum. Selain itu hukum
pidana internasional telah memperoleh pengakuan sebagai cabang khusus ilmu
hukum yang memiliki aspek hukum (pidana) Nasional dan aspek hukum
internasional. Hukum yang bersifat praktis, yaitu baik masyarakat nasional dan
aspek hukum internasional. Hukum, pidana internasional juga telah memenuhi
persyaratan kegunaan yang bersifat praktis, yaitu baik masyarakat nasional
maupun masyarakat internasional memerlukan displin hukum baru ini untuk
memecahkan persoalan-persoalan tindak pidana yang bersifat transnssional.

18
Ibid., hlm. 23.
19
Widiada Gunakaya dan Eka Djoneri, op.cit., hlm.9.
b. Objek HPI secara khusus mempelajari tindak pidana internasional
(international crimes) yang melibatkan teritorial dua pidana atau lebih juga
melibatkan warga negara asing serta memerlukan penanganan arus globalisasi
di segala bidang, sehingga menuntut masyarakat internasional untuk meneliti,
mempelajaran dan mengembangkan peraturan hukum mengenai tindak pidana
semacam ini. Penelitian dan pengembangan obyek pembahasan semacam ini
hanya dimungkin di dalam kerangka prospek pembahasan HPI sebagai cabang
khusus dari ilmu hukum.

Selanjutnya mengenai konsep-konsep dalam HPI Beberapa pengertian mengenai


HPI yang kemukan oleh ahli HI untuk memahami lebih komprehensif instensi dari isi
pengertian dari HPI, yaitu sebagai berikut :

Menurut Cherif Bassiouni dalam define HPI yang secara lansgung memberikan
arti dan peran serta relevansi displin dua cabang ilmu hukum, yakni hukum pidana
nasional dan hukum internsional dikemukakan oleh Cheriff Bassiouni sebagai berikut
:

“International Criminal Law is product of thr convergence of two legal


deciplines which have and developed along differents paths to become
complementary and coextensive. They are the criminal law aspects of
international law and the international aspects of national criminal law”.( HPI
adalah suatu hasil pertemuan pemikiran dua displin hukum yang telah muncul
dan berkembang secara berbeda serta saling melengkapi dan mengisi. Kedua
displin hukum adalah aspek-aspek hukum pidana dari hukum internasional dan
aspek-aspek internasional dan hukum pidana). 20

Bassiouni memperkuat definisinya tersebut dengan mengemukan postulat-


postulat sebagai Suatu studi mengenai asal mula dan perkembangan aspek-aspek
pidana dari hukum internasional, pada hakikatnya berkaitan dengan subtansi HPI dan
kejahatan internasional. (Merupakan Hukum Pidana Materiil dari HPI). Aspek pidana

20
Ibid.
di dalam HPI demikian ini merupakan aspek-aspek dari sistem hukum internasional
melalui perbuatan yang dilakukan oleh individu.

Sebelum membahas tentang asas HPI terlebih dahulu kita harus mengetahui
bahwa hukum pidana internasional adalah hasil konvergensi dari dua disiplin hukum,
yakni aspek HPI dari hukum pidana. Mengenai asas-asas HPI, asasnya dapat berasal
atau sumber dari hukum internasional dan juga dari hukum pidana. Asas-asas HPI ini,
baik yang bersumber dari hukum internasional maupun yang bersumber dari hukum
pidana dikemukan sebagai berikut 21 :

Pertama, asas HPI yang bersumber dari hukum internasioanl, dapat dibedakan
dalam asas yang umum dan khusus. Asas-asas umum hukum pidana internasional tidak
berbeda dengan asas yang dianut di dalam asas hukum pidana internasional, yaitu asas
pacta sunt servanda (perjanjian yang dibuat mengikat para pihak ibarat undang-
undang). Sedangkan asas khusus dan pertama di dalam hukum HPI berasal dari Hugo
Grotius, yaitu : asas au dedere au punere. Sedangkan asas yang kedua yang merupakan
pengembangan dari asas pertama, setelah disesuaikan dengan praktik penanggulangan
kejahatan internasional berasal dari Bassiouni (1986), yaitu : asas au dedere au
judicare. Kedua asas hukum pidana tersebut memiliki arti bahwa setiap negara
berkewajiban melakukan kerjasama dengan negara lain dalam rangka menahan,
menuntut, dan mengadili pelaku kejahatan internasional, sekalipun terdapat peredan
namun tidak dapat dipisahkan satu sama lain, bahkan kedua asas tersebut sekalipun
terdapat peredan, namun tidak dapat dipisahkan satu sama lain, bahkan kedua asas
tersebut bersifat saling melengkapi (complementary). Kedua,asas-asas hukum pidana
internasional yang bersumber dari hukum pidana, diantarnya adalah asas legalitas, asas
territorial, asas nasionalitas penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi
manusia yang sudah dibahas didalam latar belakang diatas asas ini dibuat pasif dan
aktif, asas universal, asas nonretroaktif atau asas tidak berlaku surut, serta asas ne bis
in idem atau non -bis idem. Dan asas dalam Convention Against Torture and Other
Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, 10 Desember 1984 dan mulai

21
Ibid., hlm. 26-27.
berlaku pada tanggal 26 juni 1987 atau yang lebih dikenal dengan nama konvensi anti
penyiksaan, adalah salah satu konvensi dalam bidang hukum pidana internasional yang
secara langsung berkenan dengan penghormatan dan perlindungan terhadap HAM. 22

Kaidah-kaidah dalam IM pertama Kaidah-kaidah dalam hukum pidana


internasional dalam praktinya, subtansi suatu perjanjian intrnasional mengenai suatu
kejahatan internasional ada yang diadopsi dari substansi peraturan perundang-
undangan pidana nasional dari suatu atau lebih negara. Kemudian dalam suatu
konferensi internasional yang sedang membahas masalah tersebut, Negara yang
bersangkutan melalui jalur diplomasi yang intensif berhasil meyakinkan negara-negara
peserta yang lainnya untuk bisa menerima dan menyetujui apa yang diusulkan oleh
negara itu yang sebenarnya adalah substansi dari peraturan perundang-perundangan
pidana nasional sendiri. ataupun jika tidak sepenuhnya diterima oleh negara-negara
peserta dalam konferensi itu, sekurang-kurangnya subtansi undang-undang pidana
nasional itu diadposi (dengan beberapa modifikasi) untuk selanjutnya dijadikan sebagai
subtansi dari konferensi tersebut.

Untuk membuktikan seseoramg tersebut bersalah dalam melakukan tindakan


pelanggaran HAM Berat di dalam Statuta Roma 1998, proses diawali pada tahap
penyidikan, penyidikan terdapat di dalam Pasal 53 ayat (1) yang menyatakan :

1. Penuntut Umum, setelah mengevaluasi informasi yang tersedia


kepadanya, dapat memulai suatu penyelidikan kecuali kalau ia
menentukan bahwa tidak ada dasar yang masuk akal untuk
melanjutkannya berdasar Statuta ini. Dalam memutuskan apakah akan
memulai suatu penyelidikan, Penuntut Umum harus mempertimbangkan
apakah:
a) Informasi yang tersedia bagi Penuntut Umum memberikan alasan
yang masuk akal untuk percaya bahwa suatu tindak pidana dalam
jurisdiksi Mahkamah telah atau sedang dilakukan;

22
Ibid., hlm. 30.
b) Kasus itu sedang atau sekiranya bisa diterima berdasarkan Pasal 17
dan;
c) Mengingat beratnya kejahatan dan kepentingan korban, betapapun
ada banyak alasan untuk percaya bahwa suatu penyelidikan kiranya
tidak melayani kepentingan keadilan. Kalau Penuntut Umum
menentukan bahwa tidak ada alasan yang masuk akal untuk
melanjutkan perkara dan keputusannya didasarkan semata-mata pada
sub-ayat [c] diatas, maka ia harus memberi tahu Sidang Pra-Peradilan.
Jaksa penuntut setelah melakukan evaluasi atas semua informasi yang tersedia,
dapat memulai untuk melakukan penyelidikan atas kasus Tindak pidana
internasional terhadap Presiden Filipina yang melakukan pelanggaran HAM berat
untuk memberat narkotika di Negaranya. Pemberantasan yang dilakukan oleh
mahkamah pidana internsional membuat Negara Filipina secara resmi menarik diri
dari International Criminal Court (ICC), setahun setelah Presiden Rodrigo Dutertee
mengumumkan bahwa negaranya akan meninggalkan organisasi tersebut. Para pihak
menilai, aksi penarikan diri tersebut untuk menghindari investigasi terhadap gagasan
perang "berdarah" Dutertee terhadap para pengguna narkoba 23.
Kejadian ini yang dilalukan oleh Presiden Filipina ini telah membuat geram
masyarakat Filipina dan dunia internasional karena pelanggran HAM yang
dilakukan bagi keadilan HAM dalam era globalisasi dunia sekarang ini, dengan
kemudahan dalam melakukan komunikasi dam memperoleh informasi, kristalisasi
nilai-nilai dari kesamaan reaksi masyarakat internasional dari berbagai pelbagai
penjuru dunia yang selanjutnya berkembang menjadi pendapat umum internasional
(International public opinion) dengan mudahnya bisa terjadi. Pendapat umum
internasional inilah yang merupakan manifestasi dari rasa manusia, kesadaran
hukum, dan rasa keadilan umat manusia tanpa memandang perbedaan gender, agama
atau kepercayaan, paHAM politik, etnis, bahasa, maupun perbedaan-perbedaan

23
Gatracom,”Filipina Menarik Diri dari Pengadilan Pidana Internasional”,
https://www.gatra.com/detail/news/401180-filipina-menarik-diri-dari-pengadilan-pidana-internasional,
diakses 20 Juni 2019.
sejenis lainnya. Semua menyatu dalam menghadapi dan menyikapi, serta
memberikan reaksi yang sama atas peristiwa semacam itu.24
Dalam IM yang kedua ini analisis dampak dari negara Filipina yang menarik
dari dari ICC di karenakan Negara Filipina adalah salah satu yang masuk dalam PBB
pada saat pemahasaan, Deklarasi dinyatakan diterima oleh 48 (empat puluh delapan)
Negara anggota PBB. Deklarasi ini diumumkan sebagai suatu standar pencapaian.
Seperti apa penanggan terhadap pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh Presiden
Filipina ini agar Statuta Roma untuk melakukan tindakan kepada Presiden Filipina
oleh mahkamah pidana internasional,selaku lemabaga intrenasional.
Dilihat dari teori, konsep dan kaidah dalam IM yang kedua ini, maka teori atau
istilah dalam HPI setalah memahami kejahatan dalam ranah internasional tentu perlu
di pahami istilah hukum maka hukum itu sendiri akan mulai ditelaah dan dibagi-bagi
msilnya hukum berdasarkan isinya dapat dibedakan ke dalam hukum public dan
hukum privat.25 Ketika istilah hukum pidana internasional digunakan maka sudah
pasti istilah tersebut menujukan bahwa asas-asas yang digunakan adalah asas-asas
hukuk pidana dan asas-asas hukum internasional. Pertemuan (perkawinan) dari asas-
asas kedua bidang hukum tersebut yang akan melahirkan asas-asas hukum pidana
internasional yang banyak dipengaruhi asas hukuk pidana dan asas-asas hukum
pidana internasional. HPI yang di pamahi dari istilah IM I dan IM II maka istilah
hukum pidana internasional sudah menujukan adanya sekumpulan kaidah-kaidah
dan asas-asas hukum pidana yang mengatur tentang pidana internasional.
Sedangkan konsep pada IM yang kedua ini pengertian menurut George
Schwarzenberger dalam aspek internasional yang tetapkan sebagai kaidah hukum
pidana nasional. Maksudnya suatu negara nasional yang terikat pada hukum
internasional berkewajiban memperhatikan kaidah-kaidah nasional-nya, dalam
perjanjian-perjanjian internasional, dan di dalam hukum kebiasaan internasional.
Dan kerja sama internasional. Maksud adalah negara nasional yang masih mengakui
yurisdiksi territorial hukum pidana nasional negara lain, melakukan kerja sama

24
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internsional (Bandung : Yrama Widya 2010), hlm. 65.
25
Tolib Efendi, Hukum Pidana Internasional., (Yogyakarta : Pustaka Yustisida), hlm 25.
dalam menanggulangi kejahatan Internsional, kejahatan Transnasional maupun
kejahatan berdemansi internasional lainnya. Kerja sama dapat dilakukan melalui
perjanjian internasional secara bilateral maupun multilateral. 26
Perkembangan HPI dalam masalah yang ada dalam tingkatan internasional asas-
asas hukum pidana nasional negara-negara pada dasarnya tidak berbeda anatara satu
dengan lainnya. Dua asas utama dalam hukum pidana nasional negara-negara adalah
asas legalitas (asas nullum delicum) dan asas culpabilitas. Dari kedua asas ini
diturunkan beberapa asas lainnya dari hukum pidana nasional. Asas hukum pidana
nasional yang diturunkan dari asas legalitas (nullum delicum) adalah; asas non-
retroactive, sedangkan asas tidak ada hukuman tanpa kesalahan, asas praduga tak
bersalah (presumption of innocent), dan asas ne bis in idem. Sepanjang menyangkut
kejahatan internasional, asas-asas hukum pidana nasional inipun juga harus
dihormati oleh negara-negara. Asas-asas inipun juga sudah diakui sebagai hak-hak
asasi manusia baik yang berupa instrument-instrument hukum internasional maupun
nasional tentang hak asasi manusia. 27
Lembaga pidana internasional atau ICC memiliki hubungan dengan PBB
berdasarkan atas suatu perjanjian (internasional) dan perjanjian internasional itu pun
harus dengan persetujuan dari majelis negara-neagra peserta (Asssembly of the States
Parties). Mahkamah memiliki kedudukan hukum baik sebagai subjek hukum
internasional maupu subjek hukum nasional di dalam wilayah Negara peserta
ataupun negara yang bukan pesertanya. Pada Pasal 4 ayat 2 menyatakan, bahwa
Mahkamah dapat melaksanakan fungsinya dan kekuasanya di dalam wilayah negara
pesertanya, dan juga wilayah di dalam wilayah Negara yang bukan negara
pesertanya. lembaga yang mengadili para pelaku pelanggaran berat terdapat berpusat
dinegara Den Hag (Belanda) yang bernama ICC. ICC atau mahkamah pidana
internasional berfungsi sebagai mengadili perkara tindak pidana internasional.

F. Metode Penelitian

26
Ibid.
27
I Wayan Parthiana, op.cit., hlm 100.
Penelitian ini menurut Soerjono Soekanto merupakan suatu kegiatan ilmiah yang
didasarkan pada analisis dan konstruksi yang dilakukan secara sistematis, metodologis
dan konsisten dan bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran sebagai salah satu
manifestasi keinginan manusia untuk mengetahui apa yang sedang
dihadapinya.menggunakan metode penelitian :
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif karena maksud untuk menggambarkan secara
sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu fakta atau keadaan. Dalam
penelitian ini, akan digambarkan tentang analisis mengenai penarikan diri
negara Filipina sebagai negara pihak (state party) pada ST 1998 dikaitkan
dengan penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM berat.
Menurut Soerjono Soekanto: “Suatu penelitian deskriptif dimaksudkan untuk
memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia,keadaan atau gejala-
gejala lainnya.Maksudnya adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-
hipotesa,agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori baru”28 .

2. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Melalui kepustakaan atau
penelitian sekunder yang di peroleh dari kepustakaan, karena jenis data ini
bersumber dari bahan-bahan pustaka. Penelitian demikian itu dapat juga disebut
penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yakni penelitian
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, berupa bahan hukum primer. Di
dalam penelitian hukum, Soerjono Soekanto mengatakan: “Data sekunder jika
dilihat dari sudut kekuatan mengikatnya, digolongkan ke dalam bahan hukum
primer,bahan hukum sekunder,dan bahan hukum tersier”.
Bertitik tolak pada bahan-bahan hukum tersebut data sekunder yang digunakan
bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier yaitu:

28
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1981), hlm. 10.
a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan yang mengikat dan mengacu pada
Perjanjian Internasional (International Conventions), Kebiasaan
International (International Custom), Prinsip Hukum Umum (General
Principles of Law) yang diakui oleh negara-negara beradab.
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer seperti doktrin yang terdapat dalam buku-
buku ilmiah tentang hukum pidana internasional, doktrin yang terdapat
dalam buku-buku ilmiah tentang teori-teori oleh serjana hukum tentang
hukum pidana internasional, doktrin yang terdapat dalam buku-buku
tentang penyidikan pelaranggaran HAM Berat, karya-karya tulis, artikel
atau jurnal-jurnal ilmiah lainnya yang di bahas di dalam penelitian ini
melalui internet.
c. Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberi petunujuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
seperti kamus Bahasa Indonesia, kamus hukum dan ensiklopedi. 29
3. Metode Pendekatan
Metode Pendekatan yang di gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
perundang-undangan (Statute Approch) adalah pendekatan ini dilakukan
dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut
dengan permasalahan (isu hukum) yang sedang dihadapi, dan pendekatan kasus
(Case approach) adalah pendekatan ini dilakukan dengan melakukan telaah
pada kasus-kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi. 30 yaitu
menitikberatkan pada data yang secara analisis digunakan untuk menghadapi
permasalahan-permasalahan yang diteliti yang berpakal pada Statuta Roma
1998.
4. Teknik Pengumpulan Data

29
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: Rajawali Pers,
2014), hlm. 31.
30
Ngobrolin Hukum, “Pendekatan Dalam Penelitian Hukum,”
https://ngobrolinhukum.wordpress.com/2013/12/16/pendekatan-dalam-penelitian-hukum/, diakses 4
Juli 2019
Teknik pengumupulan data yang digunakan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah studi dokumen (studi of document) menelah bahan pustaka atau studi
literatur, yaitu melakukan penelusuran dokumen-dokumen maupun literatur.
5. Metode Analisis Data
Proses data analisis dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari
berbagai sumber. Dan dianalisis secara kualitatif, artinya data yang mengarah
pada kajian yang teoritis dalam bentuk asas-asas, konsepsi-konsepsi,
pandangan-pandangan, doktrin-doktrin dan isi kaidah hukum diuraikan secara
sistematis, kemudian dilakukan analisis secara kualitatif tanpa menggunakan
rumus-rumus matematika dan ststistika.

Anda mungkin juga menyukai