Anda di halaman 1dari 11

INDIKASI KEKABURAN NORMA TENTANG PENYADAPAN DALAM

UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA


TERORISME

Paridah1
NPM. 2208010243

Mahasiswa Prodi Fakultas Kesehatan Masyarakat


1

Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al Banjari

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis norma yang kabur terkait penyadapan sebagai hak penyidik dalam
proses penyidikan menurut Pasal 31 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Menjadi Undang-Undang. Penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan pembaharuan konsep terkait
pengaturan penyadapan dalam Undang-Undang nomor 15 tahun 2003. Penelitian ini menggunakan metode
yuridis normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan konsep
(conceptual approach). Bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang diperoleh penulis akan dianalisis dengan
menggunakan analisis bahan hukum yaitu Interpretasi Menurut Bahasa (Gramatikal) dan Interpretasi Sistematis.
Berdasarkan hasil pembahasan, Pasal 31 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 terdapat norma yang kabur
yaitu definisi penyadapan dan prosedur penyadapan. Konsep pembaharuan pengaturan penyadapan dalam
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yaitu didasarkan pada keseimbangan antara Hak Asasi
Manusia dengan Tujuan Hukum.

Kata kunci: penyadapan, kekaburan norma, undang-undang terorisme

LATAR BELAKANG
Negara Indonesia merupakan negara hukum, ketentuan tersebut diatur dalam pasal 1
ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Konsekuensinya, Indonesia
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus berpedoman kepada norma hukum. Norma
hukum mengandung dua hal yaitu patokan penilaian dan patokan tingkah laku. Norma hukum
diwujudkan dengan peraturan-peraturan.1
Peraturan-peraturan dibentuk untuk melindungi kepentingan atau hak seseorang dalam
kehidupan bermasyarakat.2 Setiap orang berhak atas perlindungan pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, serta mempunyai hak atas rasa aman untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu.3 Mengingat akan banyaknya kepentingan, tidak mustahil terjadi konflik
atau bentrokan antara sesama manusia, karena kepentingannya saling bertentangan. Bentuk
1
A.sonny Keraf, Etika Bisnis:Tuntutan dan Relevansinya, Kanisius, Yogyakarta, hlm 19
2
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm 30
3
pasal 28 G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

1
konflik dalam masyarakat semakin berkembang khususnya dalam hubungan publik karena
adanya globalisasi. 4
Globalisasi merupakan hasil adanya daya inovasi, perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang melewati batas-batas antar negara. Globalisasi juga merupakan hasil
dari adanya perubahan di bidang finansial, manajemen perusahaan dan sistem pemerintahan
modern yang terbuka dan demokratis. Globalisasi mempunyai dampak positif bagi
kemajuan kehidupan manusia diantaranya kemajuan dibidang komunikasi dan informasi
yang mempermudah manusia memperoleh informasi serta behubungan dengan manusia
dinegara satu dengan dinegara lain tanpa dibatasi tapal batas negara. Dampak positif lain
yaitu adanya kemajuan dibidang transportasi yang memudahkan manusia berpindah dari satu
tempat ketempat lain. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa Globalisasi membawa dampak
negatif bagi masyarakat dan negara Indonesia, salah satunya berupa maraknya kejahatan
yang melewati tapal batas negara atau biasa disebut kejahatan transnasional (Transnasional
Crime). 5
Kejahatan transnasional (Transnasional Crime) merupakan perbuatan yang dapat
membahayakan kepentingan yang dilindungi hukum dilebih satu negara dan perbuatan
tersebut dikriminalisasi setidaknya satu negara yang bersangkutan.8 Terdapat instrumen
hukum internasional yang telah disepakati untuk mengatasi dan memberantas kejahatan
transnasional yaitu Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Negara Terorganisir (United
Nations Convention on Transnational Organized Crime) yang dibuat pada tahun 2000 dan
telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan
United Nations Convention Against Transnational Organized Crime. Peraturan tersebut
menyebutkan sejumlah kejahatan yang memenuhi karakteristik kejahatan lintas negara
terorganisir yaitu: 6
1. Pencucian uang;
2. Korupsi;
3. Perdagangan gelap tanaman dan satwa liar yang dilindungi;
4. Kejahatan terhadap benda seni budaya (Cultural Property);

4
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Cetakan Kedua, Yogyakarta, Liberty
Yogyakarta, hlm 4
5
Martin Wolf, Globalisasi: Jalan Menuju Kesejahteraan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2004 hlm 6
6
Karakteristik transnasional crime berdasar Pasal 3 Ayat (2) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Transnational
Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang
Terorganisasi)

2
5. Perdagangan manusia;
6. Penyelundupan migran serta produksi;
7. Perdagangan gelap senjata api.
Terdapat satu tindak pidana yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2009, namun memenuhi karakteristik kejahatan lintas negara terorganisir yaitu
terorisme.Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusian, peradaban dan ancama serius
terhadap kedaulatan negara. Salah satu kejahatan yang sulit untuk diatasi disebabkan
Terorisme tidak bisa diramalkan. Pelaku terorisme (teroris) seperti kaum gerilya yang mudah
berbaur dengan penduduk setempat. Selain itu, Terorisme tidak terhimpun dalam satu
organisasi internasional yang monolite, melainkan dengan sel-sel kecil yang bekerja dan
melindungi dirinya sendiri. Oleh karenanya, pemerintah sulit untuk mendeteksi keberadaan
teroris.7
Terorisme dianggap sebagai perjuangan secara terus menerus dengan cara- cara
kekerasan, ancaman kekerasan, penyerangan terhadap kehidupan atau milik orang lain. Cara-
cara penyerangan tersebut dilakukan untuk memperoleh kekuasaan, akuisisi kekuasaan dan
penggunaan kekuasaan untuk mencapai perubahan politik. Mengatasi tindak pidana
terorisme, membutuhkan cara-cara luar biasa disebabkan karena Terorisme mempunyai
dampak yang multidimensi dengan mengakibatkan hilangnya nyawa, menimbulkan teror atau
ketakutan masyarakat luas serta menimbulkan kerugian harta benda. Oleh karena
itu,terorisme merupakan kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime).8
Pilihan tema tersebut dilatar belakangi adanya salah satu hak penyidik yaitu
penyadapan yang diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang- Undang. Pasal tersebut dibentuk
agar tidak ada penyelewenangan penyadapan oleh penyidik yang melanggar hak-hak asasi
manusia. Namun secara sepintas terdapat beberapa obyek yang terindikasi dikategorikan
sebagai kekaburan norma yang dapat melanggar hak asasi manusia.

RUMUSAN MASALAH

Bagaimana konsep pembaharuan pengaturan penyadapan dalam Undang-Undang


Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme?

7
David Austen, Membongkar Jaringan Teroris Internasional, Taramedia, Jakarta, 2003, hlm 243
8
Goenawan Permadi, Fantasi Terorisme, Cetakan Kesatu, Masscom Media, Semarang, 2003, hlm 12

3
METODE

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah hukum normatif.
Penelitian hukum normatif berfungsi untuk memberikan argumentasi yuridis ketika terjadi
kekosongan, kekaburan dan konflik norma. Penelitian hukum normatif berperan untuk
mempertahankan aspek kritis dari keilmuan hukum sebagai ilmu normatif yang sui generis.9
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan metode pendekatan
perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach).
Bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang diperoleh penulis akan dianalisis dengan
menggunakan analisis bahan hukum yaitu Interpretasi Menurut Bahasa (Gramatikal) dan
Interpretasi Sistematis.

PEMBAHASAN

Pemerintah melakukan penegakan hukum untuk memberantas dan menggulangi


terorisme salah satunya dengan membentuk peraturan di luar Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP). Peraturan perundang-undangan yang di bentuk untuk mengatasi terorisme
diantaranya: 10

1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 yang


diundangkan melalui Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 5 Tahun 2006 tentang Pengesahan
International Convention For The Suppression Of Terrorist Bombings, 1997 (konvensi
Internasional Pemberantasan Pengeboman Oleh Teroris, 1997)
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengesahan
International Convention For The Suppression Of The Financing Of Terrorism.
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pengesahan Asean
Convention On Counter Terrorism (konvensi Asean Mengenai Pemberantasan Terorisme)
5. Peraturan Presiden Nomor. 46 Tahun 2010 tentang Badan Penanggulangan Teroris yang
kemudian dirubah oleh Peraturan Presiden Nomor. 12 Tahun 2012
6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2013 Tentang pencegahan dan

9
I Made Pasek Diantha. Metodelogi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum.Jakarta:
Kencana, 2017), .Hal. 12
10
Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, Graha ilmu, Yogyakarta, 2012, hlm 87.

4
pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme.

Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 merupakan pengesahan Peraturan


Pemerintah Pengggati Undang-Undang No.1 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak
pidana terorisme menjadi undang-undang. Undang-Undang tersebut memuat pengaturan
mengenai terorisme. 11 Alasan Indonesia membuat Peraturan Pemerintah Pengggati Undang-
Undang No.1 Tahun 2002 di karenakan Tindak pidana terorisme merupakan kejahatan luar
biasa, didukung adanya peristiwa bom bali tanggal 12 Oktober 2002 (Bom Bali 1), dan delik
delik dalam KUHP tidak dapat menjangkau tindak terorisme sebagai kejahatan
international.Alasan lain yaitu adanya komitmen masyarakat internasional untuk mencegah
dan memberantas terorisme dengan diwujudkan dengan beberapa konvensi internasional
serta membentuk memberantas melalui pembentukan perundang-undangan nasional
negaranya. 12

Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 merupakan langkah antisipatif yang bersifat


proaktif yang dilandaskan kepada kehati-hatian dan bersifat jangka panjang karena: 13

1. Indonesia mempunyai masyarakat yang multi-etnik dan mendiami ribuan pulau


yang berbatasan dengan negara lain.
2. Seluruh komponen bangsa Indonesia berkewajiban meningkatkan kewaspadaan
menghadapi kegiatan tindak pidana terorisme.
3. Konflik-konflik yang terjadi dapat dijadikan tempat berkembangnya tindak pidana
terorisme.

Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 selain mengatur mengenai perbuatan yang


termasuk delik terorisme juga mengatur hak penyidik salah satunya adalah penyadapan. 14
Penyadapan yang dilakukan oleh penyidik merupakan salah satu bentuk pembatasan
HAM oleh negara. Penyadapan adalah salah satu metode alternatif untuk mendeteksi secara
efektif perkembangan modus kejahatan maupun kejahatan yang sangat serius ampuh untuk
menanggulangi kejahatan. 15
Salah satu contohnya yaitu Densus 88 dengan menggunakan

11
Sunarto, Kriminalisasi Dalam Tindak Pidana Terorisme, Jurnal Equality, Volume. 12 No. 2 ,2007, hlm 154-
159
12
Penjelasan atas peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor
106.
13
ibid
14
Trias Yuliana Dewi, Dkk., Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penyadapan, Tim
Legislatif Drafting, Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR), 2010, hlm 29-35
15
Anggara (Ed), Menata (Kembali) Hukum Penyadapan Indonesia, Institute For Criminal Justice Reform,
Jakarta Selatan, hlm 21

5
GSM Interceptor buatan Israel melacak dan menyadap nomor ponsel Gempur Budi Angkoro
alias Jabir yang merupakan pelaku terorisme. 16
Dengan pelacakan tersebut Densus 88
berhasil mendeteksi tempat persembunyian Noordin M Top17 di desa Binangun, Wonosobo,
Jawa Tengah. Tanggal 29 April 2006 dilakukan penggrebekan untuk menangkap Noordin M
Top, namun Noordin M Top lolos dan menewaskan Jabir dan Baharudin Soleh alias Abdul
Hadi. 18
Perlu dikemukakan bahwa di sisi lain penggunaan metode penyadapan dalam
membongkar dan menindak pelaku tindak pidana dapat pula menimbulkan permasalahan. 19
Penyidik dalam menjalankan penyadapan dapat melanggar Hak Asasi Manusia. Salah satu
contohnya yaitu penyadapan yang dilakukan oleh polisi dilakukan secara Real-Time,
sehingga polisi dapat menguping pembicaraan melalui telephone setiap orang walaupun
bukan orang yang menjadi subyek penyidikan. 20
Pada dasarnya penyadapan bertentangan dengan privacy seseorang dan termasuk
tindak pidana. Tidak sedikit ahli hukum baik praktisi hukum maupun akademisi menilai
bahwa penyadapan akan berbenturan dengan hak asasi manusia (HAM) yang diatur dalam
pasal 28 huruf f Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yaitu
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan
sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

HAM dapat dibatasi oleh negara. Pembatasan HAM oleh negara melalui hukum
negara. Pembatasan HAM di Indonesia diatur secara jelas pada pasal 28 J ayat (2) UUD
NRI tahun 1945 yaitu:

“(2) dalam menjalankan hak dan kebesannya, setiap orang


wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
16
Havermut, Andalan Densus 88 Dan Satgas Anti Teror (Baca:Anti Mujahidin) GSM Interceptor Made In
Israel (Online), http://havermut.blogspot.co.id/2011/10/andalan- densus-88-dan-satgas-anti-teror.html
17
Henry Sofyan, Noordin M Top (online), http://www.gatra.com/artikel.php?id=129065,
18
Ibid
19
Kristian Dan Yopi Gunawan, Sekelumit Tentang Penyadapan Dalam Hukum Positif Di Indonesia, Nuansa
Aulia, Bandung, 2013, hlm 19.
20
Denny Mahardy, Gawat, Polisi Bisa Sadap Telepon Tanpa Surat Perintah (online),
http://tekno.liputan6.com/read/768853/gawat-polisi-bisa-sadap-telepon-tanpa-surat-perintah

6
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Usaha menghindari pelanggaran HAM oleh penyidik dalam melakukan penyadapan
pada tindak pidana terorisme yaitu penyadapan hanya dapat dilakukan dengan dasar bukti
permulaan yang cukup bahwa tersangka di duga melakukan tindak pidana terorisme sesuai
dan atas perintah ketua Pengadilan Negeri sesuai dengan pasal 31 ayat (1) huruf b Undang-
Undang Nomor 15 tahun 2003 yaitu:
(1) Berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
ayat (4), penyidik berhak:
a. membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos atau jasa
pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana
terorisme yang sedang diperiksa;
b. menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga
digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana
terorisme.

(2) Tindakan penyadapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, hanya dapat
dilakukan atas perintah ketua Pengadilan Negeri untuk jangka waktu paling lama 1 (satu)
tahun.

(3) Sebelum pemeriksaan dilakukan, larangan sebagaimna dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) harus dilaporkan atau dipertanggungjawabkan kepada atasan penyidik.
Rumusan Pasal 31 ayat (1) huruf b, ayat (2) dan ayat (3) dibentuk untuk melindungi
hak-hak asasi manusia dari penyelewenangan penyadapan oleh penyidik. Namun secara
sepintas terdapat beberapa obyek yang terindikasidikategorikan sebagai kekaburan norma.
kekaburan norma tersebut dapat melanggar hak asasi manusia, diantaranya:
1. Pasal 31 ayat (1) huruf b memuat definisi yang tidak jelas.
2. Prosedur untuk melakukan penyadapan tidak diatur dengan jelas. Tata cara penyadapan
hanya disebutkan bahwa Penyadapan hanya dapat dilakukan atas perintah Pengadilan
Negeri dan kegiatan penyadapan tersebut harus dilaporkan atau dipertanggungjawabkan
kepada atasan penyidik.
Pengaturan dan perlindungan terhadap hak privasi sebagaimana didalam UUD NRI
1945 bukan merupakan hak asasi manusia yang bersifat absolut atau hak asasi manusia yang

7
tidak dapat dikurangi (non derogable rights), hak privasi adalah suatu hak yang masih dapat
dikurangi atau dibatasi sepanjang pembatasan tersebut dilakukan dengan undang-undang.21
Menurut Ifdhal Kasim pembatasan hak asasi manusia melalui peraturan penyadapan,
harus dapat memuat syarat: 22
1. Adanya otoritas resmi yang jelas memberikan izin penyadapan;
2. Adanya jaminan jangka waktu yang pasti dalam melakukan penyadapan;
3. Pembatasan penanganan materi penyadapan;
4. Pembatasan mengenai orang yang mengakses penyadapan;
Dari sisi legalitas pengaturan di Indonesia, peraturan di Indonesia pada umumnya
hanya mengatur kewenangan yang diberikan kepada penegak hukum baik itu Komisi
Pemberantasan Korupsi, Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik
Indonesia untuk melakukan penyadapan atau intersepsi, namun dalam legislasi belum diatur
alasan, cara, prosedur pelaksanaan sesuai dengan undang-undang. Pertimbangan dari fakta
atau informasi yang didapat diterima akal bahwa tindakan tersebut perlu diambil, siapa yang
berwenang memberikan otoritasnya. Akan tetapi, yang mengatur hukum acara bukan
peraturan yang setingkat undang-undang.
Standar pembuktian di Indonesia tidak mengatur bagaimana keabsahan perolehan
suatu alat bukti namun hanya mengatur alat bukti yang diakui berdasarkan peraturan
perundang-perundangan. Dengan standar pembuktian tersebut maka segala alat bukti yang
diajukan ke persidangan akan diakui secara sah sebagai alat bukti yang diajukan ke
persidangan akan diakui secara sah sebagai alat bukti oleh hakim sepanjang alat bukti tersebut
telah diakui didalam peraturan perundang-undangan selain itu hukum acara pidana di
Indonesia tidak mengatur pengawasan terhadap cara perolehan alat bukti yang sah.
Mekanisme admissibility dalam suatu proses peradilan pidana merupakan salah satu
upaya untuk meminimalisir tingkat kesalahan dari sistem peradilan pidana bahwa alat bukti
hasil dari tindakan penyadapan di Indonesia yang diperoleh dengan tidak sah, misalnya
menggunakan metode entrapment yang belum diatur oleh undang-undang merupakan
pelanggaran terhadap hak asasi yakni hak privasi. Namun dalam sistem peradilan di Indonesia
alat bukti tersebut tetap diakui sebagai alat bukti yang sah.
Kecanggihan peralatan yang digunakan untuk melakukan kejahatan atau tindak
pidana, membuat para penegk semakin sering menemukan bentuk-bentu tindk pidana baru
yang sulit pembuktiannya, namun telah diyakini bahwa telah terjadi suatu tindak pidana,
21
Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
22
Kristian & Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm. 24

8
dikarenkan bukti yang tidak cukup, atau terdapat bukti namun tidk diakui sebagai alat bukti
yang sah, sehingga pelaku tindak pidana tersebut sering kali bebas dan jerat hukum. Oleh
karena itu, dalam menghadapi tindak pidana semacam ini, pada umumnya aparat penegak
hukum biasanya menggunakan teknik pengintaian (surveillance) dan teknik penyadapan
(wiretapping).Penyadapan disisi lain rawan dengan penyalahgunaan terlebih ketika aturan
hukum yang melandasinya tidak sesuai dengan prinsip penghormtan hak asasi manusia,
sehingga menurut Raz diperlukan moralitas untuk menggunakan sesuatu instrument hukum
sesuai dengan peruntukkanya.
Kecenderungan penyalahgunaan penyadapan besar dapat terjadi oleh karena sifat
kerahasiaan dari penyadapan tersebut dan penyadapan merupakan instrusionon somebody’s
privacy, walaupu secara fisik dan nyata tidak akan pernah terlihat apa yang di instrusi dan
diambil oleh aparat penegak hukum kecuali rekaman kegiatan kehidupan privasi dan
percakapan individu. Perlindungan terhadap hak privasi maka negara wajib membrikan
perlindungan perlindungan warga negaranya dari segala gangguan dan pelanggaraan atas hak
privasi mereka, hal sesuai dengan pasal 12 Universal Declaration of Human Right (UUDHR)
tahun 1948 dan Pasal 17 International Convenant on Civil Political Right (ICCPR) tahun
1966, UUD 1945, dan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
manusia.

Berdasarkan hasil penelitian, penulis menemukan jawaban atas permasalah yang ada,
bahwa kualifikasi kekaburan norma yaitu tidak memenuhi persyaratan pendefinisian, isi
kaidah abstrak, dan tidak berpedoman pada hukum penalaran dan penalaran hukum. Obyek
yang dapat dikategorikan sebagai kekaburan norma yaitu definisi penyadapan dan prosedur
penyadapan. Konsep pembaharuan pengaturan penyadapan dalam Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yaitu didasarkan pada keseimbangan antara Hak
Asasi Manusia dengan tujuan Hukum.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan, Pasal 31 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 terdapat


norma yang kabur yaitu definisi penyadapan dan prosedur penyadapan. Konsep pembaharuan

9
pengaturan penyadapan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
yaitu didasarkan pada keseimbangan antara Hak Asasi Manusia dengan Tujuan Hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Ari Wibowo, 2012. Hukum Pidana Terorisme. Graha ilmu, Yogyakarta

A.sonny Keraf, Etika Bisnis:Tuntutan dan Relevansinya, Kanisius, Yogyakarta

Anggara (Ed), Menata (Kembali) Hukum Penyadapan Indonesia, Institute For Criminal
Justice Reform, Jakarta Selatan

Denny Mahardy, Gawat, Polisi Bisa Sadap Telepon Tanpa Surat Perintah (online),
http://tekno.liputan6.com/read/768853/gawat-polisi-bisa-sadap-telepon-tanpa-surat-perintah
David Austen, Membongkar Jaringan Teroris Internasional, Taramedia, Jakarta, 2003

Goenawan Permadi, 2003. Fantasi Terorisme, Cetakan Kesatu. Masscom Media, Semarang

Havermut, Andalan Densus 88 Dan Satgas Anti Teror (Baca:Anti Mujahidin) GSM
Interceptor Made In Israel (Online), http://havermut.blogspot.co.id/2011/10/andalan-
densus-88-dan-satgas-anti-teror.html

Henry Sofyan, Noordin M Top (online), http://www.gatra.com/artikel.php?id=129065,

I Made Pasek Diantha. 2017. Metodelogi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori
Hukum.Jakarta: Kencana

Kristian Dan Yopi Gunawan, 2013. Sekelumit Tentang Penyadapan Dalam Hukum Positif
Di Indonesia. Nuansa Aulia, Bandung,

Karakteristik transnasional crime berdasar Pasal 3 Ayat (2) Undang-Undang Republik


Indonesia Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against
Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak
Pidana Transnasional Yang Terorganisasi)

Martin Wolf, 2004. Globalisasi: Jalan Menuju Kesejahteraan. Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta,

Sudikno Mertokusumo, 2 0 0 8 . Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Cetakan Kedua,


Yogyakarta, Liberty Yogyakarta

Sunarto, 2007. Kriminalisasi Dalam Tindak Pidana Terorisme, Jurnal Equality, Volume. 12
No. 2

10
Satjipto Rahardjo, 2006. Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung

Penjelasan atas peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor


1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 106.

Pasal 28 J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Trias Yuliana Dewi, Dkk., 2010. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang
Penyadapan, Tim Legislatif Drafting, Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR)

11

Anda mungkin juga menyukai