Paridah1
NPM. 2208010243
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis norma yang kabur terkait penyadapan sebagai hak penyidik dalam
proses penyidikan menurut Pasal 31 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Menjadi Undang-Undang. Penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan pembaharuan konsep terkait
pengaturan penyadapan dalam Undang-Undang nomor 15 tahun 2003. Penelitian ini menggunakan metode
yuridis normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan konsep
(conceptual approach). Bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang diperoleh penulis akan dianalisis dengan
menggunakan analisis bahan hukum yaitu Interpretasi Menurut Bahasa (Gramatikal) dan Interpretasi Sistematis.
Berdasarkan hasil pembahasan, Pasal 31 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 terdapat norma yang kabur
yaitu definisi penyadapan dan prosedur penyadapan. Konsep pembaharuan pengaturan penyadapan dalam
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yaitu didasarkan pada keseimbangan antara Hak Asasi
Manusia dengan Tujuan Hukum.
LATAR BELAKANG
Negara Indonesia merupakan negara hukum, ketentuan tersebut diatur dalam pasal 1
ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Konsekuensinya, Indonesia
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus berpedoman kepada norma hukum. Norma
hukum mengandung dua hal yaitu patokan penilaian dan patokan tingkah laku. Norma hukum
diwujudkan dengan peraturan-peraturan.1
Peraturan-peraturan dibentuk untuk melindungi kepentingan atau hak seseorang dalam
kehidupan bermasyarakat.2 Setiap orang berhak atas perlindungan pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, serta mempunyai hak atas rasa aman untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu.3 Mengingat akan banyaknya kepentingan, tidak mustahil terjadi konflik
atau bentrokan antara sesama manusia, karena kepentingannya saling bertentangan. Bentuk
1
A.sonny Keraf, Etika Bisnis:Tuntutan dan Relevansinya, Kanisius, Yogyakarta, hlm 19
2
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm 30
3
pasal 28 G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
1
konflik dalam masyarakat semakin berkembang khususnya dalam hubungan publik karena
adanya globalisasi. 4
Globalisasi merupakan hasil adanya daya inovasi, perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang melewati batas-batas antar negara. Globalisasi juga merupakan hasil
dari adanya perubahan di bidang finansial, manajemen perusahaan dan sistem pemerintahan
modern yang terbuka dan demokratis. Globalisasi mempunyai dampak positif bagi
kemajuan kehidupan manusia diantaranya kemajuan dibidang komunikasi dan informasi
yang mempermudah manusia memperoleh informasi serta behubungan dengan manusia
dinegara satu dengan dinegara lain tanpa dibatasi tapal batas negara. Dampak positif lain
yaitu adanya kemajuan dibidang transportasi yang memudahkan manusia berpindah dari satu
tempat ketempat lain. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa Globalisasi membawa dampak
negatif bagi masyarakat dan negara Indonesia, salah satunya berupa maraknya kejahatan
yang melewati tapal batas negara atau biasa disebut kejahatan transnasional (Transnasional
Crime). 5
Kejahatan transnasional (Transnasional Crime) merupakan perbuatan yang dapat
membahayakan kepentingan yang dilindungi hukum dilebih satu negara dan perbuatan
tersebut dikriminalisasi setidaknya satu negara yang bersangkutan.8 Terdapat instrumen
hukum internasional yang telah disepakati untuk mengatasi dan memberantas kejahatan
transnasional yaitu Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Negara Terorganisir (United
Nations Convention on Transnational Organized Crime) yang dibuat pada tahun 2000 dan
telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan
United Nations Convention Against Transnational Organized Crime. Peraturan tersebut
menyebutkan sejumlah kejahatan yang memenuhi karakteristik kejahatan lintas negara
terorganisir yaitu: 6
1. Pencucian uang;
2. Korupsi;
3. Perdagangan gelap tanaman dan satwa liar yang dilindungi;
4. Kejahatan terhadap benda seni budaya (Cultural Property);
4
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Cetakan Kedua, Yogyakarta, Liberty
Yogyakarta, hlm 4
5
Martin Wolf, Globalisasi: Jalan Menuju Kesejahteraan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2004 hlm 6
6
Karakteristik transnasional crime berdasar Pasal 3 Ayat (2) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Transnational
Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang
Terorganisasi)
2
5. Perdagangan manusia;
6. Penyelundupan migran serta produksi;
7. Perdagangan gelap senjata api.
Terdapat satu tindak pidana yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2009, namun memenuhi karakteristik kejahatan lintas negara terorganisir yaitu
terorisme.Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusian, peradaban dan ancama serius
terhadap kedaulatan negara. Salah satu kejahatan yang sulit untuk diatasi disebabkan
Terorisme tidak bisa diramalkan. Pelaku terorisme (teroris) seperti kaum gerilya yang mudah
berbaur dengan penduduk setempat. Selain itu, Terorisme tidak terhimpun dalam satu
organisasi internasional yang monolite, melainkan dengan sel-sel kecil yang bekerja dan
melindungi dirinya sendiri. Oleh karenanya, pemerintah sulit untuk mendeteksi keberadaan
teroris.7
Terorisme dianggap sebagai perjuangan secara terus menerus dengan cara- cara
kekerasan, ancaman kekerasan, penyerangan terhadap kehidupan atau milik orang lain. Cara-
cara penyerangan tersebut dilakukan untuk memperoleh kekuasaan, akuisisi kekuasaan dan
penggunaan kekuasaan untuk mencapai perubahan politik. Mengatasi tindak pidana
terorisme, membutuhkan cara-cara luar biasa disebabkan karena Terorisme mempunyai
dampak yang multidimensi dengan mengakibatkan hilangnya nyawa, menimbulkan teror atau
ketakutan masyarakat luas serta menimbulkan kerugian harta benda. Oleh karena
itu,terorisme merupakan kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime).8
Pilihan tema tersebut dilatar belakangi adanya salah satu hak penyidik yaitu
penyadapan yang diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang- Undang. Pasal tersebut dibentuk
agar tidak ada penyelewenangan penyadapan oleh penyidik yang melanggar hak-hak asasi
manusia. Namun secara sepintas terdapat beberapa obyek yang terindikasi dikategorikan
sebagai kekaburan norma yang dapat melanggar hak asasi manusia.
RUMUSAN MASALAH
7
David Austen, Membongkar Jaringan Teroris Internasional, Taramedia, Jakarta, 2003, hlm 243
8
Goenawan Permadi, Fantasi Terorisme, Cetakan Kesatu, Masscom Media, Semarang, 2003, hlm 12
3
METODE
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah hukum normatif.
Penelitian hukum normatif berfungsi untuk memberikan argumentasi yuridis ketika terjadi
kekosongan, kekaburan dan konflik norma. Penelitian hukum normatif berperan untuk
mempertahankan aspek kritis dari keilmuan hukum sebagai ilmu normatif yang sui generis.9
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan metode pendekatan
perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach).
Bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang diperoleh penulis akan dianalisis dengan
menggunakan analisis bahan hukum yaitu Interpretasi Menurut Bahasa (Gramatikal) dan
Interpretasi Sistematis.
PEMBAHASAN
9
I Made Pasek Diantha. Metodelogi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum.Jakarta:
Kencana, 2017), .Hal. 12
10
Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, Graha ilmu, Yogyakarta, 2012, hlm 87.
4
pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme.
11
Sunarto, Kriminalisasi Dalam Tindak Pidana Terorisme, Jurnal Equality, Volume. 12 No. 2 ,2007, hlm 154-
159
12
Penjelasan atas peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor
106.
13
ibid
14
Trias Yuliana Dewi, Dkk., Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penyadapan, Tim
Legislatif Drafting, Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR), 2010, hlm 29-35
15
Anggara (Ed), Menata (Kembali) Hukum Penyadapan Indonesia, Institute For Criminal Justice Reform,
Jakarta Selatan, hlm 21
5
GSM Interceptor buatan Israel melacak dan menyadap nomor ponsel Gempur Budi Angkoro
alias Jabir yang merupakan pelaku terorisme. 16
Dengan pelacakan tersebut Densus 88
berhasil mendeteksi tempat persembunyian Noordin M Top17 di desa Binangun, Wonosobo,
Jawa Tengah. Tanggal 29 April 2006 dilakukan penggrebekan untuk menangkap Noordin M
Top, namun Noordin M Top lolos dan menewaskan Jabir dan Baharudin Soleh alias Abdul
Hadi. 18
Perlu dikemukakan bahwa di sisi lain penggunaan metode penyadapan dalam
membongkar dan menindak pelaku tindak pidana dapat pula menimbulkan permasalahan. 19
Penyidik dalam menjalankan penyadapan dapat melanggar Hak Asasi Manusia. Salah satu
contohnya yaitu penyadapan yang dilakukan oleh polisi dilakukan secara Real-Time,
sehingga polisi dapat menguping pembicaraan melalui telephone setiap orang walaupun
bukan orang yang menjadi subyek penyidikan. 20
Pada dasarnya penyadapan bertentangan dengan privacy seseorang dan termasuk
tindak pidana. Tidak sedikit ahli hukum baik praktisi hukum maupun akademisi menilai
bahwa penyadapan akan berbenturan dengan hak asasi manusia (HAM) yang diatur dalam
pasal 28 huruf f Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yaitu
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan
sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
HAM dapat dibatasi oleh negara. Pembatasan HAM oleh negara melalui hukum
negara. Pembatasan HAM di Indonesia diatur secara jelas pada pasal 28 J ayat (2) UUD
NRI tahun 1945 yaitu:
6
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Usaha menghindari pelanggaran HAM oleh penyidik dalam melakukan penyadapan
pada tindak pidana terorisme yaitu penyadapan hanya dapat dilakukan dengan dasar bukti
permulaan yang cukup bahwa tersangka di duga melakukan tindak pidana terorisme sesuai
dan atas perintah ketua Pengadilan Negeri sesuai dengan pasal 31 ayat (1) huruf b Undang-
Undang Nomor 15 tahun 2003 yaitu:
(1) Berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
ayat (4), penyidik berhak:
a. membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos atau jasa
pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana
terorisme yang sedang diperiksa;
b. menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga
digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana
terorisme.
(2) Tindakan penyadapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, hanya dapat
dilakukan atas perintah ketua Pengadilan Negeri untuk jangka waktu paling lama 1 (satu)
tahun.
(3) Sebelum pemeriksaan dilakukan, larangan sebagaimna dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) harus dilaporkan atau dipertanggungjawabkan kepada atasan penyidik.
Rumusan Pasal 31 ayat (1) huruf b, ayat (2) dan ayat (3) dibentuk untuk melindungi
hak-hak asasi manusia dari penyelewenangan penyadapan oleh penyidik. Namun secara
sepintas terdapat beberapa obyek yang terindikasidikategorikan sebagai kekaburan norma.
kekaburan norma tersebut dapat melanggar hak asasi manusia, diantaranya:
1. Pasal 31 ayat (1) huruf b memuat definisi yang tidak jelas.
2. Prosedur untuk melakukan penyadapan tidak diatur dengan jelas. Tata cara penyadapan
hanya disebutkan bahwa Penyadapan hanya dapat dilakukan atas perintah Pengadilan
Negeri dan kegiatan penyadapan tersebut harus dilaporkan atau dipertanggungjawabkan
kepada atasan penyidik.
Pengaturan dan perlindungan terhadap hak privasi sebagaimana didalam UUD NRI
1945 bukan merupakan hak asasi manusia yang bersifat absolut atau hak asasi manusia yang
7
tidak dapat dikurangi (non derogable rights), hak privasi adalah suatu hak yang masih dapat
dikurangi atau dibatasi sepanjang pembatasan tersebut dilakukan dengan undang-undang.21
Menurut Ifdhal Kasim pembatasan hak asasi manusia melalui peraturan penyadapan,
harus dapat memuat syarat: 22
1. Adanya otoritas resmi yang jelas memberikan izin penyadapan;
2. Adanya jaminan jangka waktu yang pasti dalam melakukan penyadapan;
3. Pembatasan penanganan materi penyadapan;
4. Pembatasan mengenai orang yang mengakses penyadapan;
Dari sisi legalitas pengaturan di Indonesia, peraturan di Indonesia pada umumnya
hanya mengatur kewenangan yang diberikan kepada penegak hukum baik itu Komisi
Pemberantasan Korupsi, Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik
Indonesia untuk melakukan penyadapan atau intersepsi, namun dalam legislasi belum diatur
alasan, cara, prosedur pelaksanaan sesuai dengan undang-undang. Pertimbangan dari fakta
atau informasi yang didapat diterima akal bahwa tindakan tersebut perlu diambil, siapa yang
berwenang memberikan otoritasnya. Akan tetapi, yang mengatur hukum acara bukan
peraturan yang setingkat undang-undang.
Standar pembuktian di Indonesia tidak mengatur bagaimana keabsahan perolehan
suatu alat bukti namun hanya mengatur alat bukti yang diakui berdasarkan peraturan
perundang-perundangan. Dengan standar pembuktian tersebut maka segala alat bukti yang
diajukan ke persidangan akan diakui secara sah sebagai alat bukti yang diajukan ke
persidangan akan diakui secara sah sebagai alat bukti oleh hakim sepanjang alat bukti tersebut
telah diakui didalam peraturan perundang-undangan selain itu hukum acara pidana di
Indonesia tidak mengatur pengawasan terhadap cara perolehan alat bukti yang sah.
Mekanisme admissibility dalam suatu proses peradilan pidana merupakan salah satu
upaya untuk meminimalisir tingkat kesalahan dari sistem peradilan pidana bahwa alat bukti
hasil dari tindakan penyadapan di Indonesia yang diperoleh dengan tidak sah, misalnya
menggunakan metode entrapment yang belum diatur oleh undang-undang merupakan
pelanggaran terhadap hak asasi yakni hak privasi. Namun dalam sistem peradilan di Indonesia
alat bukti tersebut tetap diakui sebagai alat bukti yang sah.
Kecanggihan peralatan yang digunakan untuk melakukan kejahatan atau tindak
pidana, membuat para penegk semakin sering menemukan bentuk-bentu tindk pidana baru
yang sulit pembuktiannya, namun telah diyakini bahwa telah terjadi suatu tindak pidana,
21
Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
22
Kristian & Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm. 24
8
dikarenkan bukti yang tidak cukup, atau terdapat bukti namun tidk diakui sebagai alat bukti
yang sah, sehingga pelaku tindak pidana tersebut sering kali bebas dan jerat hukum. Oleh
karena itu, dalam menghadapi tindak pidana semacam ini, pada umumnya aparat penegak
hukum biasanya menggunakan teknik pengintaian (surveillance) dan teknik penyadapan
(wiretapping).Penyadapan disisi lain rawan dengan penyalahgunaan terlebih ketika aturan
hukum yang melandasinya tidak sesuai dengan prinsip penghormtan hak asasi manusia,
sehingga menurut Raz diperlukan moralitas untuk menggunakan sesuatu instrument hukum
sesuai dengan peruntukkanya.
Kecenderungan penyalahgunaan penyadapan besar dapat terjadi oleh karena sifat
kerahasiaan dari penyadapan tersebut dan penyadapan merupakan instrusionon somebody’s
privacy, walaupu secara fisik dan nyata tidak akan pernah terlihat apa yang di instrusi dan
diambil oleh aparat penegak hukum kecuali rekaman kegiatan kehidupan privasi dan
percakapan individu. Perlindungan terhadap hak privasi maka negara wajib membrikan
perlindungan perlindungan warga negaranya dari segala gangguan dan pelanggaraan atas hak
privasi mereka, hal sesuai dengan pasal 12 Universal Declaration of Human Right (UUDHR)
tahun 1948 dan Pasal 17 International Convenant on Civil Political Right (ICCPR) tahun
1966, UUD 1945, dan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
manusia.
Berdasarkan hasil penelitian, penulis menemukan jawaban atas permasalah yang ada,
bahwa kualifikasi kekaburan norma yaitu tidak memenuhi persyaratan pendefinisian, isi
kaidah abstrak, dan tidak berpedoman pada hukum penalaran dan penalaran hukum. Obyek
yang dapat dikategorikan sebagai kekaburan norma yaitu definisi penyadapan dan prosedur
penyadapan. Konsep pembaharuan pengaturan penyadapan dalam Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yaitu didasarkan pada keseimbangan antara Hak
Asasi Manusia dengan tujuan Hukum.
KESIMPULAN
9
pengaturan penyadapan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
yaitu didasarkan pada keseimbangan antara Hak Asasi Manusia dengan Tujuan Hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Anggara (Ed), Menata (Kembali) Hukum Penyadapan Indonesia, Institute For Criminal
Justice Reform, Jakarta Selatan
Denny Mahardy, Gawat, Polisi Bisa Sadap Telepon Tanpa Surat Perintah (online),
http://tekno.liputan6.com/read/768853/gawat-polisi-bisa-sadap-telepon-tanpa-surat-perintah
David Austen, Membongkar Jaringan Teroris Internasional, Taramedia, Jakarta, 2003
Goenawan Permadi, 2003. Fantasi Terorisme, Cetakan Kesatu. Masscom Media, Semarang
Havermut, Andalan Densus 88 Dan Satgas Anti Teror (Baca:Anti Mujahidin) GSM
Interceptor Made In Israel (Online), http://havermut.blogspot.co.id/2011/10/andalan-
densus-88-dan-satgas-anti-teror.html
I Made Pasek Diantha. 2017. Metodelogi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori
Hukum.Jakarta: Kencana
Kristian Dan Yopi Gunawan, 2013. Sekelumit Tentang Penyadapan Dalam Hukum Positif
Di Indonesia. Nuansa Aulia, Bandung,
Martin Wolf, 2004. Globalisasi: Jalan Menuju Kesejahteraan. Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta,
Sunarto, 2007. Kriminalisasi Dalam Tindak Pidana Terorisme, Jurnal Equality, Volume. 12
No. 2
10
Satjipto Rahardjo, 2006. Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung
Trias Yuliana Dewi, Dkk., 2010. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang
Penyadapan, Tim Legislatif Drafting, Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR)
11