Anda di halaman 1dari 24

HUKUM PERIKATAN

TIM KEPERDATAAN FHUP


7. Perikatan Lahir dari Undang-
Undang
A. Perikatan yang lahir dari undang-undang saja
ialah perikatanperikatan yang timbul
berdasarkan hukum kekeluargaan yang diatur
dalam Buku I KUH Perdata tentang Orang
• ketentuan perikatan yang lahir dari undang-
undang, antara lain:
1. Hak Alimentasi
2. Hukum Tetangga
a. Hak Alimentasi
• Hak alimentasi adalah suatu hak yang dapat
dilakukan kepada pihak lawan karena undang-
undang yang menetapkan hak tersebut.
• Misalnya hak yang diajukan oleh orang tua
kepada anaknya yang mampu, dan hak yang
diajukan oleh anak kepada anaknya yang mampu,
diatur dalam Pasal 298 KUH Perdata yang
menyatakan bahwa “tiap-tiap anak dalam umur
berapapun juga, berwajib menaruh kehormatan
dan keseganan terhadap bapak dan ibunya.
• Si bapak dan si ibu, keduanya berwajib
memelihara dan mendidik sekalian anak mereka
yang belum dewasa.
• Kehilangan hak untuk memangku kekuasaan
orang tua atau untuk menjadi wali tak
membebaskan mereka dari kewajiban, memberi
tunjangan-tunjangan dalam keseimbangan
dengan pendapatan mereka, guna memelihara
pembiayaan dan pendidikan itu.
• Dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, hak seperti yang disebutkan
di atas diatur dalam Pasal 41 yang antara lain
menyebutkan bahwa “akibat putusnya
perkawinan, baik ibu atau bapak tatap
berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya”.
• Kecuali anak, bekas isteri (janda) pun diberikan
hak elimentasi oleh undang-undang kepada bekas
isterinya, yang diatur dalam pasal yang sama yang
antara lain menyatakan bahwa “Pengadilan dapat
mewajibkan bekas suami memberikan biaya
penghidupan dan /atau menentukan sesuatu
kewajiban bagi bekas isteri”.
b. Hukum Tetangga
• Hak dan kewajiban pihak-pihak yang
bertetangga di atur oleh undang-undang dan
antara lain disebutkan dalam Pasal 625 KUH
Perdata yang berbunyi “antara pemilik-
pemilik pekarangan yang satu sama lain
bertentangan adalah berlaku beberapa hak
dan kewajiban, yang berpangkat pada letak
pekarangan mereka karena alam, maupun
berdasar atas ketentuan-ketentuan undang-
undang.
B. Perikatan Lahir dari Perbuatan Halal
1. Zaakwarneming (Mengurus Kepentingan
Orang Lain)
2. Pembayaran Yang Tidak Diwajibkan
3. Perikatan Bebas
a. Zaakwarneming (Mengurus
Kepentingan Orang Lain)
• Mengurus kepentingan orang lain (Zaakwaarneming)
ialah suatu perbuatan mengurus kepentingan orang
lain secara sukarela tanpa ada perintah untuk itu, baik
dengan pengetahuan maupun tanpa pengetahuan dari
orang yang diurus kepentingannya itu.
• Perikatan semacam ini diatur dalam Pasal 1354 KUH
Perdata, yang menyatakan bahwa “jika seorang dengan
sukarela, dengan tidak mendapat perintah untuk itu,
mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa
pengetahuan orang ini, maka ia secara diam-diam
mengikat dirinya untuk meneruskan serta
menyelesaikan urusan tersebut, hingga orang yang
diwakili kepentingannya dapat mengerjakan sendiri
urusan itu.
• . Ia memikul segala kewajiban yang harus dipikulnya,
seandainya ia dikuasakan dengan suatu pemberian
kuasa yang dinyatakan dengan tegas”.
• Kepengurusan ini terjadi apabila yang diurus
kepentingannya itu tidak di tempat, sakit atau dalam
keadaan apapun menjadikan ia tidak dapat melakukan
sendiri mengurus kepentingannya.
• Orang yang mengurus kepentingan orang lain,
perbuatannya dapat berupa perbuatan hukum atau
perbuatan nyata. Perbuatan hukum maksudnya
membuat perjanjian, sedangkan perbuatan nyata dapat
memadamkan kebakaran di dalam rumah. Semua
perbuatan itu dilakukan untuk dan atas nama orang
yang diurus kepentingannya.
• Orang yang mengurus kepentingan orang lain,
disebut gestor, sedangkan orang yang
kepentingannya diurus disebut dominus
• ). Gestor wajib pula mengerjakan segala
sesuatu yang termasuk urusan yang
diwakilinya itu. Begitu juga ia memikul segala
kewajiban yang harus dipikulnya, andainya ia
dikuasakan dengan suatu pemberian kuasa
yang dinyatakan dengan tegas.
• Zaakwaarneming berbeda dengan lastgeving
(pemberian kuasa), dalam zaakwaarneming
dapat mencakup perbuatan faktual dan juga
perbuatan hukum (seperti yang telah diuraikan di
muka).
• Pada zaakwaarneming, orang yang bertindak
sebagai zaakwaarnemer tidak membutuhkan
kuasa dari orang yang diurus kepentingannya,
karena zaakwaarnemer melakukannya dengan
sukarela.
• Orang tua, wali atau kurator bertindak tidak
dengan sukarela, ia adalah wakil menurut
undang-undang.
• Pada zaakwaarneming merupakan perbuatan
jasa yang tidak didasarkan pada suatu
perhitungan uang, tetapi kepatutan. Lain
halnya dengan pemberian kuasa, maka untuk
adanya itu disyaratkan suatu perintah (last).
• Karena itu sebagai akibat mengurus
kepentingan orang lain, wakilnya itu tidak
tidak mendapat upah, di dalam pemberian
kuasa dapat diperjanjikan upah.
• Zaakwarnemer demi undang-undang memikul
kewajiban yang harus dipikulnya, seandainya
dikuasakan dengan surat pemberian kuasa, yaitu:
1. Wajib menyelesaikan urusan yang diurusnya itu,
wajib memberi laporan, pertanggungjawaban
sebagaimana seorang wakil berdasarkan
perjanjian harus berbuat atas kewajiban itu.
Sebaliknya undang-undang juga memberi
kewajiban kepada dominus untuk memberi ganti
rugi dan memenuhi perikatan yang telah dibuat
oleh gestor atas namanya
2. Bertindak sebagai bapak rumah tanggal yang
baik, seperti disebutkan dalam Pasal 1356 KUH
Perdata .
• Menurut Badrulzaman, walau ketentuan Pasal
1358 KUH Perdata dikatakan bahwa tidak ada
upah bagi gestor, namun ketentuan ini sama
sekali tidak mempengaruhi ketentuan Pasal
1357 KUH Perdata .
b. Pembayaran Yang Tidak Diwajibkan
• Mengenai perikatan semacam ini di atur dalam pasal
sebagai berikut:
1. Pasal 1359 ayat 1 KUH Perdata : “tiap-tiap pembayaran
memperkirakan adanya suatu utang; apa yang telah
dibayarkan dengan tidak diwajibkan dapat dituntut
kembali”.
2. Pasal 1360 KUH Perdata : “barang siapa secara khilaf atau
dengan mengetahuinya telah menerima sesuatu yang tak
harus dibayarkan padanya, diwajibkan mengembalikan
barang yang tak harus dibayarkan itu kepada orang dari
siapa ia telah menerimanya”.
3. Pasal 1361 KUH Perdata : “jika seorang yang secara khilaf
mengira bahwa ia berutang membayar suatu utang maka
ia adalah berhak menuntut kembali dari siberpiutang apa
yang telah dibayarkannya”.
• Yang dimaksud dengan pembayaran dalam hal
ini sangat luas, tidak hanya pembayaran uang,
tetapi juga pemenuhan setiap perikatan. Ini
berarti pengikatan untuk memberikan barang
atau untuk membuat sesuatu.
• Kalau prestasi untuk membuat sesuatu, maka
prestasi itu sendiri tak dapat dituntut kembali,
kecuali nilainya.
• untuk dapat menuntut kembalinya pembayaran
haruslah ada faktor “khilaf” di dalam perbuatan
itu.
• Berdasarkan ketiga pasal tersebut di atas, ada tiga
bentuk pembayaran yang tidak diwajibkan, yaitu :
1. Pembayaran tanpa adanya utang;
2. Pembayaran kepada orang yang bukan
berpiutang;
3. Pembayaran oleh orang yang bukan berutang.
• Penuntutan untuk membayar kembali dalam
Hukum Romawi disebut “Condictio Indebiti”.
Dalam praktik yang banyak terjadi adalah dalam
bentuk yang pertama yaitu pembayaran tanpa
adanya utang, contoh:
• Seorang membayar karena kekhilafan suatu utang
yang telah dibayarnya;
• Debitur telah mengetahui bahwa ia telah
membayar utangnya, akan tetapi karena kuitansi
pembayaran telah hilang, maka untuk mencegah
segala kesulitan, ia membayar lagi. Dalam hal ini
tidak diperlukan berlaku Pasal 1359 KUH Perdata
, melainkan Pasal 1362 KUH Perdata ;
• Pemenuhan suatu perikatan yang batal karena hukum,
misalnya suatu persetujuan dengan sebab yang
terlarang atau suatu persetujuan tidak dalam bentuk
yang diwajibkan;
• Persetujuan-persetujuan yang dapat dibatalkan
(persetujuan dengan yang belum dewasa) dapat
dituntut ex Pasal 1359 KUH Perdata , oleh karena
sesudah dinyatakan batal maka harus dikembalikan
dalam keadaan semula;
• Setelah berlakunya suatu syarat batal, juga pembatalan
suatu persetujuan timbal balik oleh hakim karena
wanprestasi; Condicti adalah tuntutan perorangan
(Persoonlijke verdoring). Sehingga timbul pertanyaan,
apakah boleh suatu penyerahan (rumah misalnya) yang
tidak diwajibkan, si pemilik dapat menuntut kembvali
pemilikannya (rivindikasi)?
• Menurut ajaran kausal mengenai levering,
“dibolehkan”! Karena menurut ajaran ini batalnya
dari titel (persetujuan) mengakibatkan
ketidakabsahan dari pemindahan hak milik
(eigendomoverdracht) Tuntutan yang
dimaksudkan itu disebut zakelijevordering.
• Menurut ajaran abstrak sebaliknya, yang
menganggap penyerahan lepas dari titel
(persetujuan) dan karenanya hanya mengenal
aksi perorangan ex Pasal 1359 KUH Perdata .
c. Perikatan Bebas
• Pasal 1359 ayat 2 KUH Perdata yang berbunyi
“terhadap perikatan-perikatan bebas, yang
secara sukarela telah dipenuhi tak dapat
dilakukan penuntutan kembali”.
• Dalam hal ini undang-undang tak menjelaskan
apa arti perikatan-perikatan bebas itu.
• Mariam Darus Badrulzaman menyatakan
bahwa perikatan bebas dapat disebut juga
sebagai perikatan wajar.
• Bedanya perikatan bebas dengan perikatan
perdata (civiele verbintenis), ialah pada perikatan
perdata adanya hak menuntut (actie) dari
kreditur, sedangkan dalam perikatan bebas, hal
itu tidak ada., dengan perkataan lain, pada
perikatan bebas ada “schuld” tanpa “haftung”
• Apa sebab perikatan bebas, yang secara sukarela
pemenuhan prestasinya tidak dapat dituntut oleh
kreditur? Karena sesuai dengan namanya
“sukarela”, menunjukkan pemenuhan prestasi
yang dilakukan debitur adalah karena “kewajiban
moral” dan bukan karena “kewajiban hukum”.
• Pitlo, dalam bukunya yang berjudul
“Verbintenis Recht”, mengatakan bahwa
perikatan bebas itu bersifat “hibrydis”, artinya
bahwa salah satu unsur perikatan bebas itu
berada dalam bidang hukum dan yang lain
berada dalam bidang moral.
• Debiturlah yang menentukan, apakah ia
menempatkan perikatan itu dalam bidang
moral atau hukum
SELESAI

Anda mungkin juga menyukai