Anda di halaman 1dari 21

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JAMBI
FAKULTAS HUKUM

PELAKSANAAN PEMBATALAN SERTIPIKAT HAK MILIK ATAS


TANAH DI KANTOR PERTANAHAN KOTA JAMBI
(Analisis Sengketa No. 22/BAHPLP/VIII/2019)

PROPOSAL SKRIPSI

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menempuh Seminar Proposal


Pada Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum
Universitas Jambi

AMANDA SAVRYA
NIM. RRB10016185

JAMBI
2020
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN

DAFTAR ISI ..................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 14

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................. 14

D. Kerangka Konseptual.................................................................................. 15

E. Landasan Teoretis........................................................................................ 17

F. Metode Penelitian .................................................................................... 20

G. Sistematika penulisan.................................................................................. 22

DAFTAR PUSTAKA
A. Latar Belakang Masalah

Dalam hubungan manusia dengan tanah terdapat berbagai persoalan.

Berhubung bertambah lama dirasakan seolah-olah tanah menjadi sempit,

menjadi sedikit sedangkan permintaan menjadi bertambah, maka tidak heran

kalau kebutuhan tanah menjadi meningkat. Tidak seimbangnya antara

persediaan tanah dengan kebutuhan akan tanah itu, telah menimbulkan

berbagai persoalan yang banyak segi-seginya yang seringkali berujung pada

terjadinya suatu sengketa tanah.

Menurut Elza Syarief, yang mengemukakan:

Secara umum, sengketa tanah timbul antara lain akibat faktor-faktor


berikut:
1. Peraturan yang belum lengkap
2. Ketidaksesuaian peraturan
3. Pejabat pertanahan yang kurang tanggap
terhadap kebutuhan dan jumlah tanah yang tersedia
4. Data yang kurang akurat dan kurang lengkap
5. Data tanah yang keliru
6. Keterbatasan sumber daya manusia yang
bertugas menyelesaikan sengketa tanah
7. Transaksi tanah yang keliru.
8. Ulah pemohon hak atau
9. Adanya penyelesaian dari instansi lain
sehingga terjadi tumpang tindih kewenangan.1

Salah satu permasalahan pertanahan yang mengemuka yaitu masalah

pembatalan sertipikat hak atas tanah. Rumusan tentang Pembatalan Hak Atas

Tanah terdapat di dalam Pasal 1 angka 12 PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1999

yaitu pembatalan keputusan mengenai pemberian suatu hak atas tanah karena

keputusan tersebut mengandung cacat hukum dalam penerbitannya atau

melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

1Elza Syarief, Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan,


Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2012, hlm. 8-9.

1
Dalam Pasal 1 angka 14 PMNA/KBPN No. 9 Tahun 1999, pengertian

pambatalan hak atas tanah yaitu pembatalan keputusan pemberian hak atas

tanah atau sertipikat hak atas tanah karena putusan tersebut mengandung cacat

hukum administrasi dalam penerbitannya atau untuk melaksanakan putusan

Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Persengketaan disebabkan oleh berbagai faktor yang

melatarbelakangi, di antaranya seperti adanya sertipikat yang cacat

administrasi/cacat hukum. Keadaan yang demikian menjadikan kekuatan

hukum sertipikat menjadi diragukan.

Pembatalan hak atas tanah yang disebabkan karena cacat hukum/cacat

administrasi akan menimbulkan potensi adanya sengketa hak milik atas tanah.

Sengketa ini terjadi karena alas hukum yang dijadikan dasar perolehan suatu

hak pemilikan atas tanah yang kemudian diterbitkan sertipikat hak atas tanah

mengandung cacat yang bersifat subyektif, maka sewaktu-waktu peristiwa

yang melahirkan hak tersebut dapat digugat keabsahannya.

Apabila hal itu dapat dibuktikan bahwa gugatan keabsahan suatau

perbuatan hukum tersebut benar, maka hakim akan memutuskan menyatakan

batal hubungan hukum yang telah terjadi. Selanjutnya putusan ini dapat

dijadikan dasar untuk memohon pembatalan surat pemberian hak atas tanah

atau sertipikat hak atas tanah. Dengan demikian pembatalan hak atas tanah

karena adanya cacat administrasi adalah merupakan suatu kajian yang menarik

untuk diteliti karena dalam permasalahan ini, masyarakat perlu untuk

mengetahui apa dan bagaimana hak atas tanah dapat dibatalkan. Pengetahuan
akan proses dan bagaimana suatu hak atas tanah dapat dibatalkan akan

menambah wawasan dan pengetahuan yang lebih khususnya bagi penulis agar

mampu untuk menjelaskan bagaimana suatu hak atas tanah dapat dibatalkan.

Permasalahan hukum yang mengemuka terkait pembatalan sertipikat

ini adalah berkenaan dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional

Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Pengkajian

Dan Penanganan Kasus Pertanahan jo Peraturan Menteri Agraria dan Tata

Ruang/Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016

Tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan, menetapkan kewenangan

pembatalan sertipikat tanah dan hak atas tanah oleh Kementerian Agraria dan

Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), tanpa putusan

pengadilan.

Pasal 1 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan

Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Penyelesaian

Kasus Pertanahan, di antaranya menetapkan ;

1. Kasus Pertanahan adalah Sengketa, Konflik, atau Perkara


Pertanahan untuk mendapatkan penanganan penyelesaian sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau
kebijakan pertanahan.
2. Sengketa Tanah yang selanjutnya disebut Sengketa adalah
perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum,
atau lembaga yang tidak berdampak luas.
3. Konflik Tanah yang selanjutnya disebut Konflik adalah
perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, kelompok,
golongan, organisasi, badan hukum, atau lembaga yang
mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas.
4. Perkara Tanah yang selanjutnya disebut Perkara adalah
perselisihan pertanahan yang penanganan dan penyelesaiannya
melalui lembaga peradilan.
Pasal 4 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan

Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Penyelesaian

Kasus Pertanahan, menetapkan, Penyelesaian Sengketa dan Konflik dilakukan

berdasarkan: a. Inisiatif dari Kementerian; atau b. Pengaduan masyarakat.

Pasal 24 ayat (1) Peraturan Menteri ATR/BPN No 11 Tahun 2016

menetapkan; Setelah  menerima  Laporan  Penyelesaian  Sengketa  dan

Konflik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (5), Kepala Kantor

Wilayah BPN atau Menteri menyelesaikan Sengketa dan Konflik dengan

menerbitkan: a. Keputusan Pembatalan Hak Atas Tanah; b. Keputusan

Pembatalan Sertipikat;  c. Keputusan Perubahan Data pada Sertipikat, Surat

Ukur, Buku Tanah dan/atau Daftar Umum lainnya; atau d. Surat

Pemberitahuan bahwa tidak terdapat kesalahan administrasi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3).

Jika merujuk pada Pasal 4 jo Pasal 24 Peraturan Menteri ATR/BPN No

11 Tahun 2016, maka Kewenangan Kementerian ATR/BPN mengambil

keputusan seperti di antaranya keputusan Pembatalan Hak Atas Tanah;

Keputusan Pembatalan Sertipikat, tanpa didahului putusan pengadilan adalah

hanya atas sengketa tanah dan konflik tanah, yakni kasus tanah yang

penyelesaiannya tidak melalui lembaga peradilan.

Adapun atas perkara tanah, yakni kasus tanah yang penyelesaiannya

melalui lembaga peradilan, Kementerian ATR/BPN tidak memiliki

kewenangan untuk mengambil keputusan yang dapat merubah status hukum


atas sertipikat atau pun kepemilikan tanah, sebelum adanya putusan

pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap (inkrach).

Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan

Pengkajian Dan Penanganan Kasus Pertanahan jo Peraturan Menteri

ATR/BPN RI Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan,

terutama menyangkut kewenangan Kementerian ATR/BPN membatalkan hak

atas tanah dan sertipikat tanpa putusan pengadilan, juga sempat memicu pro

dan kontra.

Padahal di dalam perundang-undangan, sertipikat yang dimiliki

seseorang dianggap sah apabila kepemilikan atas rumah dan tanah sudah

berlangsung selama lima tahun. Peraturan tentang mekanisme pembatalan

sertipikat kepemilikan tanah itu diatur dalam Keputusan Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian

dan Penanganan Kasus Pertanahan. Butir aturan lebih detil terdapat dalam

Paragraf 3, Pasal 71. Berikut kutipan pasal tersebut;

(1) Dalam hal di atas satu bidang tanah terdapat beberapa sertipikat
hak atas tanah yang tumpang tindih, BPN RI melakukan perbuatan
hukum pertanahan berupa pembatalan dan/atau penerbitan
sertipikat hak atas  tanah, sehingga di atas bidang tanah tersebut
hanya ada satu sertipikat hak atas tanah yang sah. 
(2) Cacat hukum administrasi yang dapat mengakibatkan tidak sahnya
suatu sertipikat hak atas tanah harus dikuatkan dengan bukti
berupa: 
a. putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap;
dan/atau 
b. hasil penelitian yang membuktikan adanya cacat hukum
administrasi; dan/atau 
c. keterangan dari penyidik tentang adanya tindak pidana
pemalsuan surat atau keterangan yang digunakan dalam proses
penerbitan, pengalihan atau pembatalan sertipikat hak atas
tanah; dan/atau 
d. surat-surat lain yang menunjukkan adanya cacat administrasi.

Pasal 4 jo Pasal 24 Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011

Tentang Pengelolaan Pengkajian Dan Penanganan Kasus Pertanahan jo

Peraturan Menteri ATR/BPN RI Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Penyelesaian

Kasus Pertanahan, terutama menyangkut kewenangan Kementerian ATR/BPN

membatalkan hak atas tanah dan sertipikat tanpa putusan pengadilan ini

bertentangan dengan ketentuan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 1997 disebutkan:

Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara
sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah
tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka
pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi
menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun
sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara
tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan
yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan
mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut.

Menurut ketentuan ini dalam jangka waktu lima tahun jika tidak ada

tindakan hukum oleh pihak lain atas sertipikat tersebut, maka pemegang

sertipikat tersebut tidak dapat lagi diganggu gugat keabsahannya. Dalam

kenyataannya terdapat gugatan atas sertipikat yang telah melewati batas waktu

lima tahun tersebut yang diterima.

Hal ini tentunya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku dalam hal ini Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 yang berlaku sebagai hukum positif. Sehingga hal ini dapat

menimbulkan kerancuan dalam penerapan hukum dan juga menyebabkan


tidak adanya kepastian dan perlindungan hukum bagi pemegang sertipikat hak

milik atas tanah.

Kota Jambi tidak luput dari permasalahan sengketa tanah. Berdasarkan

Laporan Seksi Sengketa Konflik dan Perkara Kantor Pertanahan Kota Jambi

Tahun 2019 berkaitan dengan tanah diketahui telah terjadi sebanyak 24 (dua

puluh empat) kasus dan 9 (sembilan) kasus di antaranya adalah sengketa

pembatalan sertipikat tanah. Salah satu kasus pembatalan sertipikat hak milik

atas tanah yaitu sengketa No. 22/BAHPLP/VIII/2019 dengan objek tanah

seluas 672 M² atas sertipikat hak milik nomor 5043/Simpang IV Sipin atas

nama M. Darmawan Yahya terletak di Kelurahan Simpang IV Sipin

Kecamatan Telanaipura Kota Jambi antara M. Darmawan Yahya melawan

Farida Wan Hamid dkk No. Reg. Kasus: 12/PMPP/VII/2019. Adapun

mengenai sengketa pembatalan ini berdasarkan putusan pengadilan yang

sudah memiliki kekuatan hukum yang tetap bahwa penerbitan sertipikat Hak

Milik Nomor 5043/Simpang IV Sipin mengandung cacat yuridis baik prosedur

penerbitan maupun dalam substansi data yuridis yang mendasari terbitnya

SHM, sehingga SHM atas nama Darmawan Yahya dibatalkan.

Terjadinya sengketa pertanahan tentu akan menimbulkan kurangnya

rasa jaminan dan kepastian hukum. Hal ini berakibat tidak dipenuhinya

ketentuan Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945, yang intinya adalah ”Setiap orang

berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh

diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”, Buku II KUHPerdata,

UUPA dan Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yaitu:


1. Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai
alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis
yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis
tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku
tanah yang bersangkutan.
2. Dalam atas hal suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat
secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh
tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya,
maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak
dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu
5 tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan
keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan kepala
kantor pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan
gugatan kepengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan
sertipikat.

Untuk itu penulis akan melakukan penelitian mengenai hal tersebut

dan menuangkan hasilnya dalam suatu karya ilmiah berbentuk proposal

skripsi dengan judul “Pelaksanaan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas

Tanah Di Kantor Pertanahan Kota Jambi (Analisis Sengketa No.

22/BAHPLP/VIII/2019)”.

B.   Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah seperti yang telah dikemukakan di

atas ada beberapa masalah yang akan diangkat di sini, yaitu:

1. Apa yang menjadi faktor penyebab pembatalan sertipikat hak milik atas

tanah di Kota Jambi?

2. Bagaimana pembatalan sertipikat hak milik atas tanah di Kantor

Pertanahan Kota Jambi?


C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian adalah:

a. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor penyebab pembatalan

sertipikat hak milik atas tanah di Kota Jambi.

b. Untuk mengetahui dan menganalisis pembatalan sertipikat hak milik

atas tanah di Kantor Pertanahan Kota Jambi.

2. Manfaat Penelitian adalah:

a. Manfaat secara teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pendapat atau

manfaat bagi pengembangan hukum di Indonesia yang berkenaan

dengan pelaksanaan pembatalan sertipikat hak milik atas tanah di

Kantor Pertanahan Kota Jambi (Analisis Sengketa No.

22/BAHPLP/VIII/2019) ditinjau dari kerangka hukum yang berlaku di

wilayah Negara Republik Indonesia yaitu sesuai ketentuan UUPA dan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai ketentuan hukum yang

berlaku di ruang lingkup hukum perdata.

b. Manfaat secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan sebagai sumbangan pemikiran berupa

kajian lebih lanjut dalam hal pelaksanaan pembatalan sertipikat hak

milik atas tanah di Kantor Pertanahan Kota Jambi (Analisis Sengketa

No. 22/BAHPLP/VIII/2019) dan sebagai bahan masukan bagi

pemegang hak milik tanah maupun pihak yang mempunyai

kepentingan.
D. Kerangka Konseptual

Agar lebih mudah untuk memahami maksud penulis, maka perlu

kiranya penulis memberikan definisi atau batasan terhadap konsep-konsep

yang terdapat dalam judul proposal skripsi ini, di mana definisi ini berguna

bagi penulis sebagai pengantar pada pengertian awal. Adapun konsep-konsep

tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pembatalan hak atas tanah

Dalam Pasal 1 angka 14 PMNA/KBPN Nomor 9 Tahun 1999,

pengertian pambatalan hak atas tanah yaitu “pembatalan keputusan

pemberian hak atas tanah atau sertipikat hak atas tanah karena putusan

tersebut mengandung cacat hukum administrasi dalam penerbitannya atau

untuk melaksanakan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum

tetap”.

2. Sertipikat hak atas tanah

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, sertipikat adalah

adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat

(2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak

milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing

sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Kalau dilihak atas

tanah Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA, maka sertipikat itu merupakan surat

tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat bukti yang kuat.

Selanjutnya Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997, sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis

yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut

sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang

bersangkutan.

3. Tanah

Urip Santoso mengemukakan:

Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi,


yang disebut permukaan bumi.Tanah yang dimaksud di sini
bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya
mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah dalam pengertian
yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi disebut
dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, yaitu “Atas dasar hak menguasai
dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan
adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut
tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-
orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang
lain serta badan-badan hukum”. Dengan demikian jelaslah bahwa
tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi,
sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu
permukaan bumi, yang terbatas, berdimensi dua dengan ukuran
panjang dan lebar.2

Sedangkan Rosmidah mengemukakan:

Tanah merupakan salah satu asset Negara Indonesia yang sangat


mendasar, karena Negara dan bangsa hidup dan berkembang di
atas tanah. Masyarakat Indonesia memposisikan tanah pada
kedudukan yang sangat penting, karena merupakan factor utama
dalam peningkatan produktivitas agraria. Dalam terminology
asing tanah disebut dengan land, soil (Inggris), adama (Semit) dan
dalam beberapa terminology daerah disebut dengan siti, bhumi,
lemah (Jawa); palemah (Bali); taneuh, leumah (Sunda); petak,
bumi (Dayak); rai (Tetum). Perbedaan istilah tersebut terjadi
bukan sekedar karena adanya perbedaan bahasa, namun lebih dari
itu yakni karena perbedaan pemaknaan tanah oleh manusia yang
menguasai atau menggunakannya Sebutan tanah dalam bahasa
Indonesia dapat dipakai dalam berbagai arti. Maka dalam
penggunaannya perlu diberi batasan, agar diketahui dalam arti apa
istilah tersebut digunakan. Dalam pengertian hukum, tanah telah
2Urip Santoso, Hukum Agraria, Kencana, Jakarta, 2013, hlm. 9-10.
diberi batasan resmi. Tanah adalah permukaan bumi sebagaimana
dalam Pasal 4 UUPA bahwa, atas dasar hak menguasai dari
Negara…ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan
bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan
dipunyai oleh orang-orang…3

4. Hak atas tanah

Ayu Larasati dan Raffles mengemukakan:

Hak milik atas tanah adalah salah satu hak yang sering dialihkan
oleh masyarakat. Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
mendefinisikan hak milik sebagai hak turun-menurun, terkuat dan
terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat
ketentuan dalam Pasal 6.4

Uraian di atas dapat dikemukakan bahwa penulisan ini dimaksudkan

untuk membahas hal (keadaan, peristiwa) yang ikut menyebabkan

(mempengaruhi) terjadinya sesuatu mengenai pertentangan antara dua pihak

atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan

atau hak milik atas tanah di Kota Jambi.

E. Landasan Teoretis

Sesuai dengan permasalahan yang telah dikemukakan dalam latar

belakang, maka landasan teori yang akan penulis gunakan sebagai pisau

analisis dalam penulisan proposal skripsi ini adalah teori penyelesaian

sengketa dan teori kepastian hukum.

1. Teori Penyelesaian sengketa

a.    Negosiasi

3Rosmidah, Kepemilikan Hak Atas Tanah Di Indonesia, Inovatif. Jurnal Ilmu Hukum
Vol 6 No 2 (2013): Inovatif, hlm. 64-65.
4Ayu Larasati dan Raffles, Peralihan Hak Atas Tanah Dengan Perjanjian Jual Beli
Menurut Hukum Pertanahan Indonesia, Zaaken Journal of Civil and Bussiness Law, Volume 1
Nomor 1 Februari 2020, hlm. 128.
Menurut Syahrizal Abbas negosiasi adalah salah satu strategi

penyelesaian sengketa dimana para pihak setuju untuk menyelesaikan

persoalan mereka melalui proses musyawarah dan perundingan.

Dengan kata lain, negosiasi adalah suatu proses struktur dimana para

pihak yang bersengketa berbicara sesama mereka mengenai persoalan

yang dipeselisihkan dalam rangka mencapai persetujuan atau

kesepakatan bersama.5

b.    Mediasi

Mediasi artinya menengahi. Dalam kamus besar bahasa

indonesia (KBBI) mediasi berarti suatu proses pengikutsertaan pihak

ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasehak atas

tanah.6

c.    Peace Building

Definisi Peace building menurut Johan Galtung adalah

strategi atau upaya yang mencoba mengembalikan keadaan destruktif

akibat kekerasan yang terjadi dalam konflik dengan cara membangun

jembatan komunikasi antar pihak yang terlibat dalam konflik.7

2. Teori Kepastian Hukum


5Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Hukum Syari’at, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, hlm. 9-10.
6Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, hlm. 569.
7M. Mukhsin Jamil, Mengelola konflik membangun Damai, Pustaka Pelajar, Jakarta,
2010, hlm. 72
Terkait dengan kepastian hukum dikatakan oleh Radbuch dalam

Budi Agus Riswandi yang mengatakan “adanya tiga cita (idée) dalam

hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum”. 8

Dikatakan juga oleh Achmad Ali:

Keadilan menuntut agar hukum selalu mengedepankan keadilan,


kemanfaatan menuntut agar hukum selalu mengedepankan
manfaat, sedangkan kepastian hukum menuntut terutama adanya
peraturan hukum. Kepastian hukum dalam artian undang-undang
maupun suatu peraturan setelah diperundangkan akan dilaksanakan
dengan pasti oleh pemerintah. Kepastian hukum berarti setiap
orang dapat menuntut agar hukum dilaksanakan dan tuntutan itu
pasti dipenuhi, dan bahwa setiap pelanggaran hukum akan ditindak
dan dikenakan sanksi hukum juga. Dalam perspektif hukum, tema
kepastian pada prinsipnya selalu dikaitkan dengan hukum. 9

Selanjutnya Sudikno Mertokusumo juga mengatakan

“menjelaskan, kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel

terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan

dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu”. 10

Diungkapkan juga oleh Fence M. Wantu:

Tema kepastian hukum sendiri, secara historis, merupakan tema


yang muncul semenjak gagasan tentang pemisahan kekuasaan
dinyatakan oleh Montesquieu, bahwa dengan adanya pemisahan
kekuasaan, maka tugas penciptaan undang-undang itu ada di
tangan pembentuk undang-undang, sedangkan hakim (peradilan)
hanya bertugas menyuarakan isi undang-undang. 11

F. Metode Penelitian

8Budi Agus Riswandi, Aspek Hukum Internet Banking, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2005, hlm. 167.
9Achmad ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) termasuk interpretasi undang- undang (legisprudence), Jakarta. Kencana
Prenada Media Group. 2009, hlm. 79.
10Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta,
1999, hlm. 145.
11Fence M. Wantu, Kepastian Hukum Keadilan dan Kemanfaatan, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2011, hlm. 92-93.
1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian di wilayah hukum Kota Jambi.

2. Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini adalah yuridis empiris, yaitu penelitian yang

dimaksudkan untuk menelaah efektivitas keberlakuan suatu perundang-

undangan di masyarakat, dalam hal ini perundang-undangan yang akan

dilihak atas tanah efektivitas keberlakuannya adalah peraturan perundang-

undangan tentang pertanahan.

2. Spesifikasi Penelitian

Sesuai dengan masalah yang diteliti, maka sifat penelitian adalah

deskriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan atau menjelaskan

pelaksanaan pembatalan sertipikat hak milik atas tanah di Kantor

Pertanahan Kota Jambi (analisis sengketa No. 22/BAHPLP/VIII/2019).

3. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang pernah terlibat

sengketa pertanahan yang dilakukan pada tahun 2019 di Kota Jambi yaitu

sebanyak 24 (dua puluh empat) kasus, dan dijadikan sampel yaitu pihak

yang terlibat dalam sengketa No. 22/BAHPLP/VIII/2019). Responden

informan dilakukan dengan wawancara dengan pihak Pimpinan Kantor

Pertanahan Kota Jambi.

4. Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah

dengan cara:

a. Wawancara

Pengumpulan data melalui wawancara yang telah ditentukan terlebih

dahulu dengan memakai pedoman wawancara yang dibuat terlebih

dahulu oleh penulis, yaitu Kantor Pertanahan Kota Jambi, dan

responden.

b. Studi Dokumen

Studi dokumen digunakan untuk menelaah dokumen-dokumen yang

terkait sengketa pertanahan di Kota Jambi.

c. Studi Pustaka

Yaitu penelitian untuk menelaah bahan-bahan pustaka terkait masalah

yang diteliti.

5. Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif yaitu data yang tersedia

baik primer maupun data sekunder yang dikumpulkan. Hasil yang

diperoleh ini disajikan dalam bentuk deskriptif menggambarkan sesuatu

kenyataan yang terjadi mengenai pelaksanaan pembatalan sertipikat hak

milik atas tanah di Kantor Pertanahan Kota Jambi (analisis sengketa No.

22/BAHPLP/VIII/2019).

G. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dari pembahasan skripsi ini,

maka perlu kiranya disusun secara sistematis. Adapun sistematika yang

dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah terdiri dari 5 (lima) bab yang

secara garis besarnya diuraikan sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN, Pada bab ini penulis akan menguraikan

tentang latar belakang masalah yang merupakan titik tolak bagi penulis dalam

penulisan skripsi ini, selain itu bab ini juga menguraikan mengenai perumusan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka konseptual, landasan

teoretis, metode penelitian dan diakhiri dengan sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN TENTANG HAK MILIK ATAS TANAH

MENURUT UUPA DAN SENGKETA PERTANAHAN, Pada bab ini penulis

akan menguraikan tentang tinjauan tentang hak milik atas tanah menurut

UUPA dan sengketa pertanahan.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN, Pada bab ini

penulis akan menguraikan tentang penyebab terjadi pembatalan sertipikat hak

atas tanah di Kota Jambi dan upaya penanggulangan yang dilakukan dan

kendala yang dihadapi dalam penyelesaian sengketa pembatalan sertipikat hak

atas tanah di Kota Jambi.

BAB IV : PENUTUP, Bab ini merupakan ringkasan dari seluruh

uraian sebelumnya yang dimuat dalam beberapa kesimpulan dan diakhiri

dengan saran yang diharapkan dapat bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA
A. Buku

Adrian Sutedi. Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya. Sinar


Grafika, Jakarta, 2009.

Bahder Johan Nasution. Metode Penelitian Ilmu Hukum. CV. Mandar Maju.
Bandung, 2008.

Elza Syarief. Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus


Pertanahan. Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2012.

Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Kencana. Jakarta, 2008.

Soerjono Soekanto. Tata Cara Penyusunan Karya Tulis Ilmiah Bidang


Hukum. Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986.

Soedharyo Soimin. Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Sinar Grafika.


Jakarta, 1995.

Soetomo. Pedoman Jual Beli Tanah Peralihan Hak dan Sertifikat, Lembaga
Penerbitan Universitas Brawijaya, Malang, 1981.

Tim Penyusun. Buku Panduan Fakultas Hukum Universitas Jambi Tahun


Akademis 2009/2010. Fakultas Hukum Universitas Jambi, Jambi,
2009.

Urip Santoso, Hukum Agraria, Kencana, Jakarta, 2013.

B. Karya Ilmiah/Tesis

Ayu Larasati dan Raffles, Peralihan Hak Atas Tanah Dengan Perjanjian Jual
Beli Menurut Hukum Pertanahan Indonesia, Zaaken Journal of Civil
and Bussiness Law, Volume 1 Nomor 1 Februari 2020.

Rosmidah, Kepemilikan Hak Atas Tanah Di Indonesia, Inovatif. Jurnal Ilmu


Hukum Vol 6 No 2 (2013): Inovatif.

C. Kamus

Sudarsono. Kamus Hukum. PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2005.

Tim Penyusun Kamus. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka,


Jakarta, 1991.
D. Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Undang-


undang Pokok Agraria.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Anda mungkin juga menyukai