Anda di halaman 1dari 6

Nama : Anis Dwi Wulandari

NIM : 19040704060

Tugas Analisis Kasus PLKH 4 (Peradilan Perdata)

Kasus I

Ny. Dewi (penggugat) adalah pengusaha Rent-car di Surabaya. Pada tanggal 9 Maret 2014,
seseorang bernama Malik Lakepo (Tergugat I) menyewa satu mobil Avanza No. Pol: L 1540
XX buatan tahun 2013 selama 10 hari dengan harga sewa Rp. 3.500.000 (Rp.
350.000/hllari). Untuk berpergian, Malik mengajak Hamid (Tergugat II) sebagai sopir. Dalam
waktu 10 hari mobil belum dikembalikan oleh Tergugat I.

Pada Tanggal 19 Maret 2013, mobil tersebut terbakar dan tidak diperbaiki atau dipakai lagi.
Tergugat I dan Tergugat II menolak bertanggung jawab. Untuk mendapatkan kembali
haknya, Ny. Dewi (Penggugat) menggugat Tergugat I dan Tergugat II.

Pertanyaan:

Berdasarkan kasus diatas maka sebelum mengerjakan soal-soal dibawah perlu dituliskan
peristiwa yang terjadi.

1. Malik Lakepo (Tergugat 1) memakai mobil Ny. Dewi selama 10 hari (10 hari
pertama) dengan membayar sewa sebesar Rp. 3.500.000. (sewa menyewa)
2. Malik Lakepo (Tergugat 1) memakai mobil Ny. Dewi di 10 hari kedua tanpa
membayar harga sewa. (Pinjam pakai)

a. Apakah perjanjian sewa mobil antara Ny. Dewi (P) dengan Malik Lakepo (T.I) untuk
10 hari berikutnya sah menurut hukum, padahal objeknya sudah terbakar?
Berdasarkan peristiwa yang terjadi perjanjian sewa mobil antara Ny. Dewi (P) dengan
Malik Lakepo (T.I) untuk 10 hari berikutnya (10 hari kedua) sudah tidak sah menurut
hukum, karena berdasarkan Pasal 1548 BW yang menyatakan: “Sewa
menyewa adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya
untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak lain selama waktu tertentu,
dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak yang terakhir itu.” Dalam
pasal tersebut menjelaskan bahwa perjanjian sewa menyewa harus ada pembayaran
yang dilakukan, namun dalam kasus diatas Malik Lakepo (T.I) pada 10 hari
berikutnya memakai mobil milik Ny. Dewi tanpa membayarnya. Kesimpulannya
diluar dari objek yang telah terbakar perjanjian sewa mobil tersebut sudah tidak sah
menurut hukum.

b. Apakah risiko kerusakan dapat dibebankan / menjadi tanggung jawab penyewa (T.I),
sekalipun hal itu tidak tercantum dalam klausula perjanjian?
Dalam membebankan risiko kerusakan kendaraan dalam perjanjian sewa menyewa,
maka sebelumnya perlu diketahui fakta-fakta dalam kasus tersebut.
- Mobil buatan tahun 2013 dan mobil disewa oleh (T.I) pada 9 Maret 2014.
Dilihat dari mobil yang relatif baru maka bisa jadi mobil tersebut terbakar
karena kelalaian penyewa. Apabila kerusakan disebabkan oleh kelalaian
penyewa maka, risiko kerusakan kendaraan dapat dibebankan/menjadi
tanggung jawab penyewa (T.I) meskipun hal tersebut tidak tercantum dalam
klausula perjanjian, hal tersebut telah ditegaskan dalam Pasal 1564 KUH
Perdata, bahwa: “Penyewa bertanggung jawab atas segala kerusakan yang
ditimbulkan pada barang yang disewakan selama waktu sewa, kecuali jika
ia membuktikan bahwa kerusakan itu terjadi di luar kesalahannya.”
- Namun, jika kendaraan yang disewakan rusak karena hal-hal yang diluar
kendali pihak penyewa maka penyewa tidak diwajibkan untuk melakukan
ganti rugi. Hal ini diatur dalam Pasal 1553 KUHPerdata yang menyebutkan
bahwa jika selama masa sewa, barang yang disewakan musnah karena hal
yang tidak disengaja, maka perjanjian sewa batal demi hukum. Misalnya
ketika masa sewa berlangsung, terjadi banjir yang menyebabkan mobil
tersebut terbawa banjir dan rusak seluruhnya sehingga tidak dapat digunakan,
maka perjanjian sewa dianggap batal demi hukum dan pihak penyewa tidak
diwajibkan untuk mengganti kerugian atas kerusakan mobil tersebut.

Jadi risiko kerusakan dapat dibebankan kepada penyewa dapat dilihat dari
penyebab kerusakan objek sewa tersebut, jika dilihat dari kasus diatas mobil
tersebut masih relatif baru maka terbakarnya kendaraan tersebut karena kelalaian
penyewa, atas kelalaian tersebut maka penyewa wajib untuk melakukan ganti rugi.

c. Apakah Ny. Dewi (P) juga dapat menuntut ganti rugi kepada Hamid (T.II)?
Ny. Dewi tidak dapat menuntut ganti rugi terhadap saudara Hamid sebagai sopir,
karena dalam perjanjian saudara Hamid hanya sebagai sopir untuk penyewa, oleh
karena itu jika ada kerusakan pada mobil yang disewakan maka Ny. Dewi hanya
dapat meminta ganti rugi kepada saudara Malik Lakepo. Hal tersebut sesuai dengan
bunyi pasal 1564 BW, dalam pasal 1566 BW juga menyebutkan bahwa Penyewa
bertanggung jawab atas segala kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan oleh
teman-teman serumah, atau oleh mereka yang mengambil alih sewanya. Jadi,
kesimpulannya jika terjadi kerusakan maka penyewa yang bertanggung jawab untuk
bertanggung jawab.

d. Apakah substansi kasus diatas mengenai perjanjian pinjam pakai (Ps. 1740 BW),
Sewa Menyewa (Ps. 1548 BW) atau bukan keduanya?
Berdasarkan kasus diatas maka perlu ditentukan peristiwa nyata yang terjadi
- Peristiwa Pertama, Penyewa yaitu Malik Lakepo (Tergugat 1) memakai mobil
Ny. Dewi selama 10 hari (10 hari pertama) dengan membayar sewa sebesar
Rp. 3.500.000. Jika melihat dari peristiwa nyata tersebut maka pada 10 hari
pertama memenuhi substansi hukum yang berlaku yaitu sewa menyewa dalam
pasal 1548 BW yang menyatakan “Sewa menyewa adalah suatu perjanjian,
dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan
kenikmatan suatu barang kepada pihak lain selama waktu tertentu, dengan
pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak yang terakhir itu.”
- Peristiwa Kedua, Malik Lakepo (Tergugat 1) memakai mobil Ny. Dewi di 10
hari kedua tanpa membayar harga sewa. Berdasarkan peristiwa yang terjadi
pada 10 hari kedua tersebut tidak memenuhi substansi dari sewa menyewa
(Pasal 1548), karena (T.I) memakai mobil Ny. Dewi tanpa membayar biaya
sewa, maka jika dilihat dari peristiwa tersebut kasus tersebut memenuhi
substansi hukum dari pinjam pakai yang diatur dalam pasal 1740 BW yang
menyatakan: “Pinjam pakai adalah suatu perjanjian dengan mana
pihak yang satu memberikan suatu barang kepada pihak lainnya
untuk dipakai dengan cuma-cuma, dengan syarat bahwa yang
menerima barang ini, setelah memakainya atau setelah lewatnya
suatu waktu tertentu, akan mengembalikannya”
Kasus diatas adalah mengenai perjanjian sewa menyewa yang diatur dalam Pasal
1548 BW yang menyatakan Sewa menyewa adalah suatu perjanjian, dengan mana
pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kenikmatan suatu barang
kepada pihak lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang
disanggupi oleh pihak yang terakhir itu. Mengenai perjanjian sewa menyewa karena
ada pihak yang mengikatkan diri yaitu Ny. Dewi sebagai yang menyewakan dan
Malik Lakepo sebagai penyewa. Objek yang disewakan yaitu mobil dengan waktu
sewa selama 10 hari dengan harga sewa yang telah disepakati yaitu sebesar Rp.
3.500.000 (Rp. 350.000/hari). Berdasarkan fakta-fakta tersebut maka kasus diatas
sesuai dengan isi pasal 1548 BW tentang perjanjian sewa menyewa.

Kasus II

Pertanyaan:

1. Apakah tanah penggugat (debitur) yang dijaminkan (dijadikan agunan) dapat secara
otomatis beralih menjadi milik Tergugat I (kreditur) berdasarkan perjanjian diatas
kertas segel?
Dalam hal kasus diatas tersebut tidak dapat secara otomatis menjadi milik kreditur
atau tergugat 1, tidak dapatnya tanah beralih secara otomatis dikarenakan bahwa
dalam Pasal 12 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, yang menyatakan
bahwa: "Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan
untuk memiliki obyek hak tanggungan apabila debitur cedera janji, batal demi
hukum." Artinya bahwa dalam kasus ini kreditur tidak secara otomatis memiliki tanah
yang dijaminkan dengan tanggungan, kreditur hanya bisa melakukan eksekusi sesuai
dengan piutangnya, lalu mengembalikan sisa penjualan tersebut. Ketika seorang
debitur wanprestasi atau cidera janji, maka pemegang Hak Tanggungan mempunyai
hak untuk menjual obyek hak tanggungan. Hal ini didasarkan pada ketentuan yang
diatur dalam pasal 6 jo. pasal 20 ayat (1) huruf a UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan (UUHT). Pemegang hak tanggungan diberikan hak untuk menjual obyek
tanggungan melalui pelelangan umum dan mengambil pelunasan piutangnya dari
hasil penjualan obyek tanggungan tersebut.
2. Apakah jual beli (atas tanah yang dijaminkan) antara Muhdiharjo (TI) dengan
sismiharjo (T2) sah menurut hukum?

Dalam UU Hak Tanggungan dikenal asas droit de suite yang terdapat dalam Pasal 7


UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda
yang Berkaitan Dengan Tanah, yang berbunyi: “Hak Tanggungan tetap mengikuti
obyeknya dalam tangan siapa pun obyek tersebut berada.” Menurut Penjelasan Pasal
7 UU Hak Tanggungan dikatakan bahwa sifat ini merupakan salah satu jaminan
khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Walaupun obyek Hak
Tanggungan sudah berpindah tangan dan menjadi milik pihak lain, kreditor masih
tetap dapat menggunakan haknya melakukan eksekusi, jika debitur cidera janji. Jadi,
pada dasarnya tidak menjadi masalah jika hak tanggungan tersebut dijual oleh si
pemberi hak tanggungan (pemilik tanah) kepada orang lain, karena hak tanggungan
tersebut tetap melekat pada tanah yang dijaminkan dengan catatan hak tanggungan
tersebut telah didaftarkan di Kantor Pertanahan. Namun, jual beli tanah atas hak
tanggungan tersebut dapat sah Dimata hukum apabila para pihak baik kreditur
maupun debitur mengetahui bahwa tanah tersebut dijual. diatur  di dalam ketentuan
Hukum positif  Negara kita karena sipemberi pinjaman atau kreditur tidak
diperbolehkan menjual barang-barang jaminan tersebut secara langsung yang
dijadikan barang jaminan kepada kreditur, kecuali ada izin dari  pengutang atau
debitur atau kedua belah pihak telah sepakat sebelumnya. Oleh sebab itu, langkah
yang kita lakukan untuk menjual barang jaminan debitur yang diperbolehkan oleh
hukum yakni :

1. Dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui pengadilan


2. Eksekusi melalui penjualan di bawah tangan atau dapat menjual sendiri melalui
kantor pelelangan umum
3. Eksekusi melalui penjualan di bawah tangan atau dapat menjual sendiri asalkan
sebelumnya sudah disepakati atau mendapat izin debitur.

Jadi, berdasarkan alasan diatas maka jual beli tanah yang dijaminkan adalah tidak sah
menurut hukum, karena kreditur menjual tanah tersebut tanpa sepengetahuan debitur,
meskipun debitur melakukan cidera janji hendaknya kita mempertanyakan terlebih
dahulu kepada debitur akan kepastian pembayaran hutangnya. Apabila debitur tidak
bisa membayar maka buatlah kesepakatan penjualan jaminan dari debitur tersebut.
Apabila telah mencapai kesepakatan maka penjualan tersebut dapat sah menurut
hukum.

Anda mungkin juga menyukai