Disusun
Oleh: Dominikus Rato
Bahwa Terdakwa SINGGUNG Anak dari PUMPUNGAN sejak tahun 2017 sampai
dengan tahun 2020, bertempat di kebun kelapa sawit areal inti Blok O.84 Kebun Kelapa
Sawit PT. Karangjuang Hijaulestari (PT. KHL), Desa Bebanas, Kecamatan Sebuku,
Kabupaten Nunukan, atau setidak-tidaknya pada suatu tempat lain yang masih termasuk
dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Nunukan yang berwenang memeriksa dan
mengadili perkara ini, telah secara tidak sah mengerjakan, menggunakan, menduduki
dan/atau menguasai lahan perkebunan, yang dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Atau
Perbuatan yang diancam dengan ancaman pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 362
KUHP bahwa “mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan
orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum”
b) Eksepsi Lawyers
Terlebih dahulu perkenankan kami selaku Tim Penasehat Hukum Terdakwa berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tertanggal 22 April 2021 bertindak untuk dan atas nama terdakwa
SINGGUNG Anak dari Pumpungan, pada kesempatan ini kami memanjatkan segala puji
dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bahwa dengan ini kami selaku penasehat hukum
terdakwa menyampaikan terimakasih kepada majelis hakim atas kesempatan yang diberikan
untuk mengajukan Nota Keberatan (Eksepsi) terhadap Surat Dakwaan Penuntut Umum
dalam perkara atas nama SINGGUNG Anak dari Pumpungan, dengan No. Reg. Perkara:
PDM- 18/Kj.Nnk/Eku.2/04/2021 yang di tandatangani pada tanggal 13 April 2021 dan
serahkan dihadapan persidangan tanggal 21 April 2021.
Eksepsi ini kami sampaikan dengan pertimbangan bahwa terdapat hal yang prinsipil yang
perlu kami sampaikan berkaitan demi tegaknya hukum, kebenaran dan keadilan dan demi
memastikan terpenuhinya keadilan yang menjadi Hak Asasi Manusia, sebagaimana
tercantum dalam Pasal 7 Deklarasi Universal HAM (DUHAM), Pasal 14 (1) Konvenan Hak
Sipil dan Politik yang telah diratifikasi menjadi Undang-Undang No.12 tahun 2005 tentang
Pengesahan Internasional Convenant on Civel and Political Rights (Konvenan Internasional
Tentang Hak-hak Sipil dan Politik), pasal 27 (1), pasal 28 D (1) UUD 1945, pasal 7 dan
pasal 8 TAP MPRNo. XVII Tahun 1998 Tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 17 Undang-
UndangNo 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dimana semua orang adalah sama
dimuka hukum dan tanpa diskriminasi apapun serta berhak atas perlindungan hukum yang
sama.
Pengajuan Eksepsi atau keberatan ini juga didasarkan pada hak Terdakwa sebagaimana
diatur dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP yang mengatur sebagai berikut: "Dalam hal
Terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa Pengadilan tidak berwenang
mengadili perkara atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan,
maka setelah diberi kesempatan oleh Jaksa Penuntut Umum untuk menyatakan pendapatnya
Hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan ".
Bahwa kami sebagai Penasehat Hukum mengajukan Eksepsi ini, bukan untuk memenuhi
formalitas hukum acara pidana semata, melainkan demi tegaknya hukum dan keadilan
terhadap diri Sdr. Terdakwa, yang kami nilai sebagai “korban” penegakan hukum yang tidak
adil (unfair) sehingga sarat dengan pelanggaran hak asasi Sdr. Terdakwa, yang tidak lain
adalah masyarakat adat yang kedudukannya di akui dan di hormati oleh negara,
sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”
Bahwa selain itu, diketahui, dalam rentang waktu hingga saat ini, terdapat banyak perubahan
terhadap peraturan perundang-undangan seiring dengan meningkatnya kesadaran negara
dalam melindungi, menegakkan, memenuhi dan memajukan hak asasi manusia, seperti:
meningkatnya pengakuan terhadap masyarakat adat, berupa pengakuan keberadaan hutan
adat serta larangan kriminalisasi terhadap masyarakat adat, melalui beberapa Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK), seperti: Putusan MK No. 34/PUU-IX/2011; Putusan MK No.
45/PUU-IX/2011; Putusan MK No. 35/PUU-X/2012; Putusan MK No. 95/PUU-XII/2014;
Putusan MK Nomor 138/PUU-XIII/2015 Sehingga oleh karenanya, kami meminta kepada
Majelis Hakim Yang Mulia agar dalam memeriksa dan mengadili perkara ini, wajib
menggali nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Proses persidangan pidana berangkat dari adanya Surat Dakwaan yang diajukan Jaksa
Penuntut Umum yang menempati posisi penting dalam persidangan karena menjadi dasar
bagi Majelis Hakim dalam mengadili suatu perkara.
Yahya Harahap (1988; 415) menyatakan bahwa putusan perkara pidana dalam teori maupun
praktek sangat bergantung pada Surat Dakwaan, oleh karena Surat Dakwaan merupakan
landasan bagi hakim dalam pemeriksaan di muka persidangan, dan kemudian menjadi
landasan bagi hakim dalam menyusun pertimbangan hukum dan putusan. Selain itu, dalam
Yurisprudensi MA RI No : 68K/KR/1973, tanggal 16 Desember 1976, disebutkan bahwa
putusan hakim wajib mendasarkan pada rumusan Surat Dakwaan, sehingga karenanya, atas
dasar itulah, Eksepsi ini kami ajukan agar Majelis Hakim Yang Mulia tidak keliru
menjatuhkan putusan terhadap Sdr. Terdakwa SINGGUNG Anak dari PUMPUNGAN
Majelis Hakim Yang Kami Muliakan
A. Dakwaan jaksa penuntut umum tidak cermat serta salah menerapkan hukum
Pasal 143 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP/ Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana), mengatur bahwa: Penuntut Umum membuat Surat
Dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi:
a) Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,kebangsaan,
tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;
b) Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan
dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Bahwa lebih
lanjut dalam ketentuan Pasal 143 ayat (3) diatur konsekuensi hukum jika Surat
dakwaan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b,
yaitu batal demi hukum.
Bahwa selanjutnya yang dimaksud dengan uraian Surat Dakwaan “cermat, jelas dan
lengkap” mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat
tindak pidana itu dilakukan, tidak kita temukan dalam bagian Penjelasan Pasal 143 KUHAP,
akan tetapi dari beberapa literatur atau dari beberapa pendapat para ahli, yang telah diakui
dan diikuti dalam praktik peradilan serta Yurisprudensi Mahkamah Agung RI. No. 492 K/Kr
/1981 tangga 18 Januari 1983 jo . Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin tanggal 20 April
1981 No. 1881/Pid.S/PT/Bjm, dapat diperoleh pengertian sebagai berikut:
Bahwa lebih lanjut dengan memperhatikan Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia
Nomor: SE004/J.A/11/1993 tanggal 16 Nopember 1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan,
menegaskan istilah cermat, jelas dan lengkap, yaitu:
• Cermat, berarti uraian yang didasarkan kepada ketentuan pidana terkait, tanpa adanya
kekurangan/kekeliruan yang menyebabkan Surat Dakwaan batal demi hukum atau
dapat dibatalkan atau dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvanklijk verklaard).
Dalam hal ini dituntut sikap yang korek terhadap keseluruhan materi Surat Dakwaan;
Jelas, berarti uraian yang jelas dan mudah dimengerti dengan cara menyusun redaksi
yang mempertemukan fakta-fakta perbuatan terdakwa dengan unsur- unsur Tindak
Pidana yang didakwakan, sehingga terdakwa yang mendengar atau membacanya akan
mengerti dan mendapatkan gambaran tentang siapa yang melakukan tindak pidana,
tindak pidana yang dilakukan, kapan dan dimana Tindak Pidana tesebut dilakukan, apa
akibat yang ditimbulkan, mengapa terdakwa melakukan Tindak Pidana itu. Uraian
komponen-komponen tersebut disusun secara sistematik dan kronologis dengan
bahasa yang sederhana.
Lengkap, berarti uraian yang bulat dan utuh yang mampu menggambarkan unsur-
unsur tindak pidana yang didakwakan beserta waktu dan tempat tindak pidana itu
dilakukan.
Selanjutnya, Kecermatan, kejelasan dan kelengkapan yang berhubungan dengan
waktu, berupa:
Berlakunya ketentuan perundang-undangan pidana Pasal 1 (1) KUHP);
Ketentuan tentang recidivis (Pasal 486 s/d 488 KUHP);
Pengajuan alibi oleh terdakwa/penasehat hukum;
Kepastian tentang batas usia (dewasa/belum);
Keadaan-keadaan yang memberatkan misalnya malam hari, Pasal 363 KUHP);
Dapat tidaknya terdakwa dipidana (misalnya keadaan perang, Pasal 123 KUHP);
Lebih lanjut, Kecermatan, kejelasan dan kelengkapan yang berhubungan dengan tempat,
berupa:
a) Bahwa Pasal 107 UU Perkebunan berbunyi, “Setiap orang secara tidak sah yang:
a) Bahwa ketentuan dalam rumusan pasal a quo adalah ketentuan pidana yang
diberlakukan terhadap perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 55 UU
Perkebunan. Sementara itu, Pasal 55 UU Perkebunan, berdasarkan pertimbangan
Mahkamah sebagaimana diuraikan pada angka 7 di atas, telah dinyatakan
inkonstitusional secara bersyarat yaitu sepanjang frasa “setiap orang secara tidak sah”
dalam ketentuan tersebut tidak diartikan tidak termasuk anggota kesatuan masyarakat
hukum adat yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Putusan
Mahkamah Nomor 31/PUU-V/2007. Oleh karena itu, Pasal 107 UU Perkebunan a quo
juga harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sebagaimana halnya yang
berlaku terhadap Pasal 55 UU Perkebunan, yaitu sepanjang frasa “setiap orang secara
tidak sah” dalam ketentuan Pasal 107 UU Perkebunan tidak diartikan tidak termasuk
anggota kesatuan masyarakat hukum adat yang telah memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Nomor 31/PUU-V/2007;
Bahwa yang diketahui dalam kedudukannya, Terdakwa SINGGUNG Anak dari
PUMPUNGAN adalah bagian komunitas masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag,
yang telah secara turun temurun mendiami areal adatnya yang keberadaannya diakui
dalam Perda Kabupaten Nunukan Nomor 16 Tahun 2018 tentang Prmberdayaan
Masyarakat Hukum Adat, khususnya Pasal 8 huruf a yang menyatakan masyarakat
hukum adat memiliki hak atas tanah, wilayah dan sumber daya alam. Khusus untuk
masyarakat adat agabag keberadaanya diakui dalam Pasal 16 ayat (3) huruf b yang
menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat hukum adat terdiri dari : b. masyarakat
hukum Adat Dayak Agabag
keberadaan Masayarakat Dayak Agabag
Dalam penelitian yang dilakukan oleh G.N Appell dari Brandeis University dengan Judul
Ethnic Groups In The Northeast Region Of Indonesian Borneo and Their Social
Organszation yang dimuat dalam “Jurnal” Borneo Research Bulletin, dimana dalam catatan
dari editor bahwa G.N Appell melakukan penelitian di Sungai Tulid dan Tikung Sebuku ia
mengemukan bahwa Orang-Orang Sungai Sebuku, Agabag-Tinggalan Saat ini meupakan
penduduk utama Sungai Sebuku dan Tulid, Pembeliangan ditempati oleh orang-orang
Tidung. Di Pembeliangan, sungai terbagi menjadi dua cabang, Tulid dan Tikung. Dalam
cabang-cabang Sungai Sebuku ini ditemukan penutur logat Idahan Murut (Appell 1968).
Orang- orang Idahan Murut di wilayah ini secara tradisional menyebut diri mereka Agabag,
yang berasal dari leksem untuk "cawat." Tetapi mereka sering mendapat panggilan (orang
luar) "Tinggalan”. Saya telah menyarankan bahwa mungkin lebih produktif (tepat) bagi
terminologi etnik Kalimantan untuk menggunakan sistem binominial dengan istilah pertama
adalah autonim (pangakuan diri sendiri bukan penamaan dari luar) dan dicetak miring,
sedangkan istilah kedua akan menunjukkan keluarga linguistik umum (rumpun) tempat
kelompok itu berada, dan karena itu akan menjadi panggilan exonim (Appell 1968)...lebih
lanjut GN. Appell mengatakan bahwa “namun kita harus berhati-hati dalam hal ini
(menggunakan panggilan Tinggalan untuk memanggil mereka) karena istilah "Agabag"
sebenarnya merupakan nama (asli) yang telah dimasukkan/diwariskan oleh orang-orang
terdahulu atau orang-orang yang sangat penting terdahulu (leluhur) mereka. G.N Appell juga
juga menjelaskan bahwa sangat sulit untuk mewawancarai tentang terminologi etnis di
wilayah ini dengan menggunakan panggilan Tinggalan” (interprestasi: dapat diartikan
bahwa dengan menggunakan terminologi sebutan lain selain Agabag G.N Appel kesulitan
karena mendapat reaksi keras dari masyarakat mungkin juga dimarah karena menggunakan
panggilan yang dari orang lain).
Dayak Agabag pada masa itu tinggal di rumah-rumah panjang. Pada masa memerintahnya
Belanda pada tahun 1923-1942 sesungguhnya masyarakat Dayak Agabag masih hidup
“Savety ” bahkan masa itu Belanda juga dianggap suku dayak Agabag sebagai bagian dari
musuh dan bahkan beberapa serdadu Belanda dibuntuh di Mansalong dan tubuh mereka
dibagi-bagi ke setiap kampong.
Dari pendapat diatas jelas bahwa nama asli yang diturunkan oleh leluhur yang mendiami
Sungai Sembakung, Sungai Sebuku dan Sungai Tulid dan Seimanggairs adalah Agabag,
para leluhur Dayak Agabag hal ini dikuatkan oleh narasumber yang ditemui G.N Appell
pada saat itu. kesimpulan G.N Appell bahwa Agabag adalah nama masyarakat adat Asli
yang diturunkan atau diwariskan oleh para leluhur Dayak Agabag “However, we should he
cautious in this since the term "Agabag" may in fact be an earlier exonym which has been
subsumed by these peoples”.
Selain itu keberadaan masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag juga dapat ditelusuri dalam
Dokumen Of Sebuku (1915-1918) yang ditulis dalam bahasa arab pada masa kesultanan
Bulungan sebagaimana kutipan berikut ini; “Kemudian maka diambil Pengeran Jemalul
Sabina di rumahnya, makaberpayaslah di rumahnya seperti payasan orang kahwin.
Kemudian dipanggil segala Dayak-Dayak di ulu Sungai Tikung dan Dayak-Dayak di ulu
Tulid serta membawa makanan dan membawa minumannya pengasih. Demikian juga orang
kampong memukul agungnya dan kulintangannya meramaikan Sabinanya dikhawinkan
dengan isterinya serta aturan adat Islam. Maka diangkat digelarkan Sabina itu Pengeran
Muda, dan saudaranya Bungkangan digelar Pengeran Tua. Kemudian berdiri seorang tua
serta kata-kata: “Tengah majlis orang banyak ketahui sekalian kamu Orang Gabag di Sungai
Tikung dan orang di Sungainya Tulid dengar kamu sudah diangkat raja, kamu digelar
Pengeran Muda.”
Dari kutipan diatas sangat jelas sekali bahwa “titah” yang dibacakan ditujukan kepada
masyarakat Dayak Agabag Sebuku dan Tulid (Tulin). Perhatikan kalimat berikut!“Tengah
majlis orang banyak ketahui sekalian kamu Orang Gabag (Gabag adalah logat Bulungan dan
Tidung untuk menyebut Agabag) di Sungai Tikung dan orang di Sungainya Tulid”, didalam
dokumen tersebut tertulis “Gabag” karena tulisan tersebut ditulis dalam gaya bahasa
Bulungan dan Tidung pada masa itu yang tentunya yang dimaksud adalah Agabag
masyarakat hukum adat Dayak Agabag yang berada di sungai Tikung (Sebuku) dan sungai
Tulid.
Dalam Desertasi Dr. Yahoanes Radjaban yang berjudul Sintaksis Bahasa Agabag yang telah
diuji oleh Prof. Dr. Okid Parama Astitin, MS, Prof. Dr. Djatmika, MA, Prof. Dr. Sri Samiati,
MA, Dr. Sudaryanto, Dr. B.B. Dwijatmoko, MA, Prof. Dr. Sumarlam, MS, Dr. Tri Wiratno,
MA “bahwa Agabag adalah sebutan secara endonem oleh masyarakat adat yang mendiami
sepnajng sungai Sembakung, Lumbis dan Tikung (Radjaban, 2013: 2). Kemudian Dr.
Yohanes Radjaban menulis beberapa Kajian ilmiah tentang bahasa Dayak Agabag dalam
konfrensi Internasional diantaranya sebagai berikut:
i. The Roles of Articles in Agabag, a Dayic Language of North Borneo Indonesia yang
disampaikan dalam beberapa Konferensi Linguistics Internasional baik Hong Kong
Poly-Technique University, University of Split Croatia, University Of Zadar Croatia
and University Zagreb Croatia.
ii. Cultural Cores and Communal Faith Of Agabag, yang dipresentasikan di ASIA-
OCEANIA Interfaith Dialogue pada tahun 2014, The Croatian Academy Library of
Science and Art pada tahun 2017 dan di Kongregasi FCJ di Roma Italy tahun
2015.Tebel 1.
Waktu Peristiwa/Sejarah
(1) (2)
Zaman Kudong Terjadi penyebaran penduduk Dayak Agabag karena takut
( Penyakit Kusta) dengan penyskit Kudong. Semula mereka hidup
berkelompok-kelompok di daerah sungai Sumalumung,
Saludan, Sumentobol, Agison dan Tulid Dari Kehidupan
Berkelompok-kelompok mereka menyebar keseluruh daerah
selatan dan disana mereka membentuk kelompok baru dari
generasi mereka sehingga terbagi dua kelompok beser yaitu
yang menepati di pinggiran sungai sembakung dan sungai
Tikung-Tulid.
Zaman Mengayau Terjadi perang suku antar Dayak Agabag Dengan Murut
( Perang antar Suku ) Sumatalun ( Yangawot ), Suku Sigai dari Wilayah Bulungan,
Suku Punan. Jumlah Penduduk pada masing-masing
kelompok sangat kecil Pakaian untuk menutup tubuh hanya
dengan Cawat ( Kulit Kayu ) Laki-laki berambut panjang dan
berponi Rumah masih memanjang Mecari keperluan sehari-
hari dengan meramu hasil hutan
Zaman Belanda Masyarakat Dayak Agabag pada saat itu sembunyi di hutan.
Masyarakat tidak berkebun karena dilarang Pangeran Tali.
Pangeran Luayang dan Pangeran Batulis diangkat oleh Sultan
Bulungan menjadi Pangeran. Pangeran Tali melakukan
perlawanan terhadap Belanda. Masyarakat Dayak Agabag
pada masa ini masih memiliki sifat vridator ( makan daging
Manusia) karena setiap mereka membunuh Belanda pasti
mereka bagi-bagi yang mereka sebut ”Punyng”
Masa Penjajahan Jepang Masyarkat mulai kembali ke tepi sungai Masyarakat Dayak
Agabag menjadi budak oleh jepang Dayak Agabag
melakukan perlawanan terhadap Jepang oleh dengan cara
gereliya (Daerah Sumalumung, Sumentobol dan Labang)
Masyarakat Dayak Agabag diburu oleh Jepang sehingga
mereka lari lagi kehulu-hulu sungai.
Masa Kemerdekaan Masyarakat Dayak Agabag mulai berkelompok dan
membangun rumah panjang di pinggir sungai Masyarakat
mulai tau teknik berniaga dengan cara barter Hasil hutan
yang mereka jual adalah Damar, Tengkawang, Minyak Kapur
dan Rotan untuk ditukarkan dengan garam dan gula Penguasa
kampung adalah Ketua Adat
Tahun 1950-1965 Masyarakat kembali mengungsi kehulu-hulu sungai karena
terjadi konfrontasi dengan Malaysia Masyarakat Dayak
Agabag banyak yang direkrut menjadi relawan (veteran)
untuk mengangkut bahan makanan tentara indonesia pada
saat konfrontasi Terjadi penyerangan tentara malaysia di
daerah Labang, Sumintobol dan Agison banyak masyarakat
Dayak Agabag yang korban
Tahun 1965-2009 Terjadi Banjir Besar tepatnya pada tahun 1981 Pemerintah
daerah kabupaten Bulungan mengadakan regruping terhadap
masyarakat yang tersebar tidak teratur dalam kelompok-
kelompok desa. Mengadakan relokasi besar- besaran bagi
desa-desa terkena banjir ( dilokasikan) Kabupaten Bulungan
dimekarkan sehingga terbentuk Kabupaten Nunukan dan
Kecamatan Lumbis, Kecamatan Sembakung dan Kecamatan
Sebuku masuk wilayah Kabupaten Nunukan Pemerintah
Kabupaten Nunukan mengeluarkan Peraturan daerah tentang
kreteria Hak Ulayat Intelektual Dayak Agabag sudah mulai
terpolarisari Mulai genarasi Dayak Agbag Kuliah Pengkajian
terhadap Dayak Agabag Ilau dilaksanakan.
Dalam kehiduapan sosial sehari-hari masyarakat Dayak Agabag dibatasi oleh hukum yaitu
hukum adat. Hukum adat memegang peranan penting bagi kehidupuan masyarakat Dayak
Agabag karena hukum adat dayak Agabag mengatur segala hal yang berhubungan tata
keharmonisan kehidupan bersama. Hukum adat Dayak Agabag sudah berlangsung dari
nenek moyang masyarakat Dayak Agabag dan di teati oleh masyarakat Dayak Agabag
samapi sekarang. Pelestarian hukum adat dari awal samapi sekarang dengan cara meningat
setiap permasalahan yang diselesaikan dan apabila hal tersebut terjadi lagi baik kepada
orang yang sama atau pada orang lain putusan atau denda yang pernah dijatuhkan kepada
orang yang terdahulu akan diambil acuan untuk mejatuhkan denda, hal ini juga tergantung
dengan wilayah ketua adat atau ketua adat besar yang memutuskan. Hal ini terungkap
dengan wawancara penilis dengan ketua Adat Besar Lumbis Hilir Pangeran Pantalon seperti
di bawa ini:
” Akay ulun Agabag sinono ukum may intad da matuo dali tiap nu ulusan lo am asil nu
putusan lo apanayan nu ulun suang jadi pas sino kejadian po am ukumon ilain masala no
atuki agat atau alangka misal no sino kesalahan nu dono ulun antakou da buah nu ulun
bokon dan napanayan ulun gino ukumon dengan ANTAK da Ulun Kayampu/katangan da
buah da manuk Apulak. Jadi sino po permasalahn gino terjadi baik yo da ulun yang anggilad
atau ulun bokon putusan gino akan pakaion sobob putusan pagulu ili berhasil menyelesai da
masalah jadi maka no putusan TAK gino tiluin may daino tu” maka no akai mengharap
supaya hukum-hukum adat gitu tulisan/ bukuon supaya yo ingka alawo ( Januari,
Wawancara 2008)
(Artinya: Kami Dayak Agabag sudah ada Hukum adat dari nenek moyang kami dulu, setiap
kasus dan berhasil mereka selesaikan putusan denda yang mereka jatuhkan dulu akan kami
pakai sekarang seberapa besar denda yang mereka putuskan akan kami ikuti. Biasanya
putusan terhadap suatu masalah diketahui oleh kelahyak ramai. Misal ada suatu kasus orang
mencuari buah dikebun orang lain dan dan terbukti rang tersebut mencuri akan di denda
dengan Ayam Putih hal ini biasanya di lihat dari berat dan ringannya kasus dan putusan ini
akan kami juga lakukan pada kasus yang serupa karena kami yakin bawa putusan yang dulu
berhasil mendamaikan, makanya kami mengharap agar hukum adat ini supaya di tulis dan
dibukukan supaya tidak hilang)
Hukum adat Dayak Agabag masih dihormati oleh masyarakat Dayak Agabag. Hal ini
terlihat pada banyaknya kasus yang diselesaikan oleh lembaga adat. Baik mulai dari kasus
pencurian, perkawinan, perceraian, pereselingkuhan sampai pada kasus pembunuahan akan
diselesaikan oleh lembaga adat. Hukum adat Dayak Agabag dapat di lihat dalam tabel
berikut:
No. Hukum Istilah Adat
Perkawinan Pampulutan
Kematian Agulid, Amakan/Angungkus
Pembunuhan Ambasa
Pencurian Antakow
Penghiaan Aguyai
Perselingkuhan Antongoi/Akatongoi
Penguasan Lahan/Hutan Sumuali, Anak Da Ulipon, Amagima, Taluun,
Bati, Tanu
Pemukulan
Petengkaran Ansagit/ Andawak
Ansagit/ Andawak
Berdasarkan pada hukum adat Dayak Agabag secara terun tenurun nama Hak Ulayat Dayak
Agabag adalah TANA AKION yang memiliki arti suatu luasan wilayah dimana suku Dayak
Agabag hidup secara terun temurun dari nenek moyang (tanah nayagan nu Ulun Agabag
intad da akion ili). Hak ulayat ada pada dasarnya adalah milik bersama oleh masyarkat
Dayak Agabag teapi pada perkembangan dan bersamaan dengan adanya desa maka mereka
membagi hak ulayat tersebut untuk menjadi hak ulayat masyarakat Dayak Agabag yang
tinggal pada masing-masing desa. Desa-desa di daerah Dayak Agabag memiliki asal usul
sesuai dengan adat istiadat dimana nama desa merupakan nama tanah atau daerah asal
masyarkat tersebut. Apabila masyarakat lain desa masuk atau meminta wilayah adat desa
tertentu untuk dimiliki karena mungkin didesa asalnya diusir atau lari mereka harus
memberikan “ Perempuan Perawan” kepada masyarakat Desa yang punya wilayah dalam
bahasa adatnya disebut Ulipon (Budak). Ulipon tersebut harus mengabdi kepada masyarakat
desa tersebut dan menjadi orang yang harus patuh dan tunduk kepada masyarakat desa yang
memberikan wilayahnya sepanjang hidupnya. Selain itu kalau salah satu masyarakat dari
desa lain ingin meminjam wilayah adat desa lain untuk berladang atau berkebun yang
sifatnya sementara sementara orang yang memijam lahan tersebut harus membayar dengan
Sapi Warna Putih dan manik lama 12 pasang dalam bahasa daerahnya disebut (Bungkas
Sangabitan) hal tersebut dilakukan apabila lahan yang dipinjam adalah berupa hutan
perawan dalam bahasa daerahnya (Giman/ Gimban), lain halnya kalau yang dipijam adalah
hutan jagau atau sudah pernah digarap biasanya orang yang meminjam hanya membagi hasil
kepada masayrakat yang punya yang dalam bahasan daerahnya (Antalawai ). Selain aturan
hukum adat terhadap orang luar terdapat juga hukum yang tidak tertulis tetapi dihormati
terhadap penggunaan lahan kepada masyarakat desa yang punya wilayah adat dimana dalam
penggunaannya siapa yang menggarap atau menggunakan duluan suatu lahan berarti itu
sudah tidak dapat diganggu oleh orang lain dan diakui oleh ketua adat dalam bahasa
daerahnya di sebut ( Taluun/Gima). Dari uraian diatas jelas bahwa masyarakat Dayak
Agabag menghormati hukum adatnya termasuk hukum pengaturan hutan. Karena dalam
hukum adat Dayak Agabag yang berlaku secara universal kepada masyarkat Dayak Agabag
termasuk masyarakat lain yang bukan Dayak Agabag tetapi tinggal diwilayah adat Dayak
Agabag. Tentang perjalanan peradaban kesatuan masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag
terdapat juga dalam buku hasil ILau (Musyawarah Besar) Dayak Agabag di Intin Lumbis
tahun 2005, Hasil Ilau Kunyit Sebuku tahun 2009, hasil Ilau tahun 2011 di Sakikilan Tulin
yang dituangkan dalam buku I dan buku II hasil ILau tahun 2017 di Tanjung Harapan
Sembakung Atulai dan Musyawarah Adat di Intin tahun 2017..
Pasal 55
Setiap Orang secara tidak sah dilarang:
Bahwa terhadap fakta yang terang terurai tersebut di atas, secara terang membuktikan
kekaburan Jaksa Penuntut Umum dalam menyusun dakwaannya, sehingga terhadap fakta
tersebut di atas telah beralasan hukum jika Majelis hakim yang memeriksa dan pengadili
perkara ini menyatakan bahwa dakwaan Sdr. Jaksa Penuntut Umum kabur dan karenanya
harus di batalkan
Bahwa fakta lain yang membuktikan kekaburan dakwaan Sdr. Jaksa Penuntut Umum juga
dapat di lihat dan dicermati Sdr. JPU dalam Surat Dakwaanya (Halaman 1 dan dan halaman
2), menguraikan kronologis dengan menyebutkan: “bahwa terdakwa Singgung Anak dari
Pumpungan sejak tahun 2017 sampai dengan tahun 2020....” tanpa menyebutkan secara jelas
tanggal atau minimal bulan berapa (waktu yang tepat), sehingga cenderung mengira-ngira
waktu terjadinya tindak pidana yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Uraian Surat
Dakwaanya semacam ini berpretensi mengkriminalisasi seseorang.
Disamping itu, dalam Surat Dakwaan (Halaman 1 dan Halaman 2), menyebutkan “.............
Terdakwa SINGGUNG mengerjakan lahan tersebut dengan ditanami buah-buahan,
mendirikan pondok tempat tinggai yang terbuat dari kayu yang difungsikan sebagai
tempat untuk bcristirahat bagi Terdakwa SINGGUNG saat mengerjakan lahan tersebut dan
Terdakwa SINGGUNG juga melarang dan mengintimidasi PT. KHL untuk
melakukan pemanenan tandan buah segar kelapa sawit yang sebelumnya di tanam
oleh PT. KHL Seolah-olah lahan tersebut adalah milik Terdakwa SINGGUNG
sehingga Terdakwa SINGGUNG mendapatkan keuntungan berupa memanen kelapa sawit di
atas lahan tersebut setiap bulan satu kali dari tahun 2017 sampai dengan tahun 2020...”.
Bahwa uraian tersebut sangatlah kabur, sebab disatu sisi, saudara JPU mengatakan bahwa
Terdakwa SINGGUNG mengerjakan lahan tersebut dengan ditanami buah- buahan dan
disisi lainnya Sdr. JPU mengatakan Terdakwa SINGGUNG juga melarang dan
mengintimidasi PT. KHL untuk melakukan pemanenan tandan buah segar kelapa
sawit yang sebelumnya di tanam oleh PT. KHL
Sehingga dengan mencermati uraian tersebut, terang terlihat bahwa, terdapat objek yang
berbeda, mengenai lahan yang ditanami oleh Sdr. Terdakwa buah-buahan dengan areal
yang di klaim telah ditanami kelapa sawit oleh PT. KHL sehingga terhadap hal tersebut,
telah terdapat kekaburan dalam menentukan tempat terjadinya tindak pidana (locus delicti).
Bahwa selain itu Dakwaan Sdr. JPU juga tidak menjelaskan mengapa sampai terjadi
pemakaian tanah perkebunan tanpa ijin. Fakta tersebut menunjukkan secara eksplisit, bahwa
terdapat kemungkinan ketidak jelasan batas antara tanah hak ulayat dengan hak guna usaha
perkebunan, terlebih lagi dalam rentang waktu hingga saat ini masyarakat masih
mengerjakan atau memakai tanah sesuai dengan hukum adat Dayak Agaban.
Hal tersebut sangat penting didalami oleh karena masyarakat adat Dayak Agaban lah yang
membuka, mengerjakan, menggunakan tanah sesuai dengan hukum adatnya, yang tentu
tidak bisa dihukum sebagai konsekuensi pengakuan terhadap berlakunya hukum adat.
Bahwa di satu sisi hal ini oleh Pemerintah Hindia Belanda telah diatur dalam Nedere
regeling van de rechtsvordering tot ontruiming van onrechtmatig door Inalanders in
gebruik genomen erfpachtsperceelen (Ord.van 7 Oct 1937) S.37- 560 iwg 16 Oct 1937)
De Wetboeken en Verordeningen van Indonesia – Engelbrecht halaman 1616. Pada Art
1 (1) menyatakan “Indien Inlanders zonder dartoe gerechtigd te zijn, tot het Lands of
Zelfbestuursdomein behorende grond, waarop een erfpachtsreht is gevestigd, in gebruik
hebben genomen, blijben de rechten en bovougheden van den erfpachter overeenkomstig de
balapigen van het gewone burgerlijk recht onverkort gehandhaafd in de
volegendegevallen : a.......b. wanneer de grond is ontgonnen of in gebruik genomen in strijd
met adatrechtelijke of wettelijke voorschrijften omtrent het ontginnen of in gebruik nemen
van groden.c. wanner de grenzen van het erfpacht perceel bij dn anvag van de occuatie
duidelijk zichbaar waren, hetzij door eene omrastering of eene omheining, hetzij door een
grenspad dan wel op andere wijze onmiskenbaar waren aangegeven” (Terjemahan bebas :
jika orang-orang Bumiputra yang tanpa hak memakai tanah milik negara atau swapraja
dimana terdapat hak erfpacht, maka segala hak dan kekuasaan dari pemegang erfpacht
tersebut tidak dapat dikurangi sesuai dengan peraturan- peraturan menurut hukum
keperdataan dalam hal sebagai berikut : a ......b. bila tanah tersebut dikerjakan atau dipakai
bertentangan dengan hukum adat atau peraturan hukum mengenai penggarapan atau
pemakaian tanah d.) bila batas- batasnya tanah erpacht sejak dimulai dengan
penggarapannya terlihat benar (jelas terlihat), baik dengan adanya tanda-tanda batas atau
pagar, atau adanya perbatasan jalan, ataupun dengan cara lain benar-benar serta jelas terlihat
). Dengan demikian hak-hak adat oleh ordonanansi pun tersebut dihormati, karena sekalipun
masyarakat adat memakai tanah erfpacht, kalau indakanya itu sesuai dengan hukum adat
maka mereka tidak bisa disalahkan danb pemegang hak erfpacht tidak bisa dipertahankan
lagi.
Uraian tersebut di atas membuktikan, kami terangkan, bahwa Pemerintahan Jajahan saja
tidak berlaku sewenang-wenang terhadap masyarakat hukum adat yang mengerjakan
tanah sesuai dengan hukum adatnya, sekalipun di atas tanah erfpacht, apalagi bila
seringkali batas-batas tanah erfpacht tidak jelas. Dalam Ordonanasi 7 Oktober 1937, sama
sekali tidak anda ancaman pidana karena dianggap sebagai atau masuk urusan perdata. Suatu
ancaman hukuman denda RP. 4.000.000.000,- empat milyar rupiah
Bahwa diketahui, Pemerintah atau Negara Republik Indonesia, dengan Konstitusinya telah
sedimikian rupa berupaya melindungi hak-hak tradisional masyarakat hukum adat dan tidak
akan menghukum pidana rakyatnya sendiri sepanjang ia (masyarakat) tersebut yang
melaksanakan hukum adatnya. Karenanya jika negara memenjarakan orang-orang yang
memakai tanah sesuai dengan hukum adatnya, berarti lebih kejam dari pemerintahan
kolonial Hindia Belanda. Bahwa sehingga melalui majelis hakim yang Mulia sepatutnya
Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan
zaman dan peradaban.
Bahwa dengan telah terbuktinya, ketidak jelasan dan ketidak cermatan, serta tidak
lengkapnya Surat Dakwaan terhadap terdakwa, maka telah beralasan hukum Majelis hakim
menyatakan bahwa Dakwaan Sdr. Jaksa Penuntut Umum batal demi hukum atau setidaknya-
tidaknya tidak diterima.
Berdasarkan alasan-alasan dan uraian tersebut di atas, maka kami mohon agar Majelis
Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini menjatuhkan putusan sebagai berikut:
Atau jika Majelis Hakim berpendapat lain, maka mohon keputusan yang seadil adilnya bagi
Sdr. Terdakwa.
c) Fakta Persidangan
I. Keterangan Saksi
- Bahwa Saksi adalah Security PT. KHL dan kenal dengan Terdakwa karena
Terdakwa adalah masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi PT.KHL;
- Bahwa tugas Saksi sebagai security adalah menjaga kebun, yaitu menjaga
fasilitas-fasilitas kebun;
- Bahwa Saksi tidak paham berapa blok kebun yang dijaga oleh Saksi;
- Bahwa Saksi melihat adanya kegiatan pemanenan buah kelapa sawit oleh
masyarakat tersebut sejak tahun 2017;
- Bahwa selama Saksi bekerja di PT. KHL V, Saksi melihat kegiatan pemanenan
tersebut dilakukan sebanyak 5 (lima) kali;
- Bahwa yang melakukan penanaman kelapa sawit dan juga pemupukan di blok
O. 84 tersebut adalah pihak perusahaan PT. KHL;
- Bahwa setahu Saksi, pihak perusahaan mulai menanam kelapa sawit tersebut
pada tahun 2011;
- Bahwa Saksi juga ikut dalam mediasi tersebut, namun Saksi tidak mengetahui
apa yang menyebabkan mediasi yang dimaksud gagal;
- Bahwa Saksi tidak mengetahui mengenai izin atau HGU (Hak Guna Usaha)
dari perusahaan;
- Bahwa Saksi sempat melarang Terdakwa untuk memanen buah kelapa sawit di
area tersebut, dan setelah itu Terdakwa sempat berhenti memanen, namun
Terdakwa kembali melakukan pemanen an karena menurut Terdakwa area
yang dipanennya adalah area milik Terdakwa yang diperoleh turun-temurun
dari nenek moyang Terdakwa dan area yang dimaksud belum diganti rugi oleh
pihak perusahaan;
- Bahwa setelah Terdakwa memanen buah kelapa sawit, kemudian buah kelapa
sawit tersebut dijual oleh Terdakwa di daerah Sebuku, namun Saksi tidak
mengetahui berapa banyak buah kelapa sawit yan g dipanen dan berapa banyak
buah kelapa sawit yang dijual;
- Bahwa Saksi tidak mengetahui apakah Terdakwa terlebih dahulu meminta izin
kepada pihak perusahaan untuk memanen buah kelapa sawit tersebut;
- Bahwa Saksi tidak mengetahui apakah lahan dari PT. KHL ada yang
dikhususkan sebagai lahan untuk masyarakat (di-enclave) atau tidak;
- Bahwa dengan dipanen dan dijualnya buah kelapa sawit PT. KHL oleh
Terdakwa, maka PT. KHL mengalami kerugian namun Saksi tidak mengetahui
berapa kerugiannya;
- Bahwa Saksi tidak mengetahui apakah izin HGU (Hak Guna Usaha) dari PT.
KHL dan PT. KHL V terpisah atau menjadi satu;
- Bahwa Saksi tidak memiliki kontrak kerja untuk bekerja sebagai security di
PT. KHL V, selain itu Saksi juga tidak memiliki kartu identitas yang
menunjukkan jika Saksi merupakan karyawan dari PT. KHL V karena kartu
identitas tersebut sudah habis masa berlakunya dan belum diperpanjang;
- Bahwa Saksi tahu mengenai adanya PT. BHP (Bulungan Hijau Perkasa);
- Bahwa PT. KHL, PT. KHL V dan PT. BHP merupakan satu peru sah aan ;
- Bahwa PT. KHL V dan PT. BHP mempunyai pabrik masing-masing yang
jaraknya sekitar 3 (tiga) kilometer;
- Bahwa Saksi tidak mengetahui mengenai HGU (Hak Guna Usaha) dari PT.
KHL, PT. KHL V dan PT. BHP;
- Bahwa PT. KHL, PT. KHL V dan PT. BHP masing-masing mempunyai blok
atau wilayah tersendiri;
- Bahwa security PT. KHL V bekerja dalam 3 (tiga) shift, yaitu shift yang
pertama pada pukul 07.00 Wita sampai dengan pukul 15.00 WITA, kemudian
shift yang kedua pada pukul 15.00 WITA sampai dengan pukul 23.00 WITA,
selanjutnya shift yang ketiga pada pukul 23.00 WITA sampai dengan pukul
07.00 Wita;
- Bahwa masyarakat adat Dayak Agabag sudah ada terlebih dahulu mendiami
wilayah Desa Bebanas sebelum perusahaan PT. KHL V masuk ke wilayah
Desa Bebanas;
Terhadap keterangan Saksi tersebut Terdakwa menyatakan keberatan karena Saksi tidak
pernah melarang Terdakwa untuk melakukan panen buah kelapa sawit, kemudian terhadap
keberatan dari Terdakwa tersebut, Saksi menyatakan tetap pada keterangannya dan
Terdakwa juga tetap pada keberatannya;
b) Saksi DANIEL DAMMA NUKKA anak dari PETRUS KOLOKAKA, pada
pokoknya memberikan keterangan di bawah sumpah sebagai berikut:
- Bahwa Saksi merupakan kepala regu security di PT. KHL V yang menaungi 11
(sebelas) anggota security, dimana Saksi mulai bekerja sebagai security di PT.
KHL V sejak tahun 2011;
- Bahwa tugas pokok Saksi sebagai security adalah mengamankan dan menjaga
area perusahaan PT. KHL;
- Bahwa Saksi kenal dengan Terdakwa sebagai masyarakat yang sering berkebu
n;
- Bahwa pada waktu Saksi mulai bekerja di PT. KHL V pada tahun 2011
tersebut, saat itu kondisi lahan sudah dibuka, sehingga Saksi tidak melihat
siapa yang membuka lahan;
- Bahwa pada tahun 2011 tersebut, Saksi belum mengetahui adanya blok-blok di
PT. KHL V, karena Saksi baru mengetahui adanya blok- blok pada PT. KHL V
tersebut setelah buah kelapa sawit mulai dipanen;
- Bahwa setahu Saksi, Terdakwa menguasai blok O84, namun Saksi tidak
mengetahui berapa luasan blok yang dikuasai oleh Terdakwa tersebu t;
- Bahwa Saksi pernah melihat Terdakwa memanen buah kelapa sawit di blok
tersebut, namun Saksi tidak ingat berapa kali Terdakwa memanen dan mulai
kapan Terdakwa memanen;
- Bahwa setahu Saksi, Terdakwa tidak mempunyai izin dari pihak perusahaan
untuk memanen di area tersebut;
- Bahwa Saksi pernah menegur Terdakwa saat memanen buah kelapa sawit
dengan bertanya apakah area tersebut merupakan milik perusahaan atau bukan,
kemudian dijawab oleh Terdakwa jika area yang dimaksud merupakan lahan
miliknya yang belum diganti rugi oleh pihak perusahaan;
- Bahwa Saksi pernah melihat adanya patok kayu dan pondok milik Terdakwa
berada di dalam area PT. KHL V;
- Bahwa Saksi tidak mengetahui apakah Terdakwa memiliki izin dari pihak
perusahaan untuk memasang patok kayu dan pondok di area tersebu t;
- Bahwa buah kelapa sawit yang dipanen oleh Terdakwa kemudian dijual di luar
area perusahaan, namun masih berada di daerah Kecamatan Sebuku;
- Bahwa Saksi tidak memiliki kontrak kerja untuk bekerja sebagai security di
PT. KHL V, namun Saksi memiliki kartu identitas sebagai karyawan PT. KHL
V dan menerima gaji dari PT. KHL V;
Terhadap keterangan Saksi tersebut Terdakwa menyatakan keberatan karena Terdakwa tidak
pernah menjual keluar dan Terdakwa hanya menjual buah kelapa sawit kepada PT. BHP,
kemudian terhadap keberatan dari Terdakwa tersebut, Saksi menyatakan tidak mengetahui
dengan pasti Terdakwa menjual buah kelapa sawit tersebut dimana;
- Bahwa Saksi merupakan manajer umum di PT. KHL V, dimana Saksi sudah
bekerja di KHL Group sejak tahun 2015;
- Bahwa KHL Group memiliki satu IUP (Izin Usaha Perkebunan) yang terdiri
dari PT. KHL II, PT. KHL III, PT. KHL IV dan PT. KHL V;
- Bahwa PT. KHL II dan PT. KHL V lokasinya berada di Kecamatan Sebuku,
sedangkan PT. KHL III dan PT. KHL IV lokasinya ada di Kecamatan Tulin
Onsoi;
- Bahwa masyarakat yang mengambil buah kelapa sawit tanpa izin tersebut
sebenarnya banyak, namun yang diajukan dalam persidangan hanyalah 4
(empat) orang, yang salah satunya adalah Terdakwa;
- Bahwa Terdakwa mengambil buah kelapa sawit tersebut di blok O76 PT. KHL
V;
- Bahwa buah kelapa sawit yang diambil oleh Terdakwa tersebut yang menanam
adalah pihak perusahaan pada tahun 2011, kemudian yang menyemai dan yang
menyiram juga dari pihak perusahaan;
- Bahwa proses penanaman tersebut tidak hanya dilakukan hanya di tahun 2011
saja, namun ada juga di tahun 2012 karena penanaman tersebut dilakukan
secara bertahap tergantung dari anggaran, perencanaan dan kemampuan
perusahaan;
- Bahwa dasar dari perusahaan menanam pohon kelapa sawit adalah adanya izin
yang berupa Surat Keputusan HGU (Hak Guna Usaha) Nomor
85/HGU/BPN/2004 Tentang Pemberian Hak Usaha Atas Tanah Terletak Di
Kabupaten Nunukan Propinsi Kalimantan Timur;
- Bahwa secara perizinan, PT. KHL Plasma memiliki HGU (Hak Guna Usaha)
tersendiri dan memiliki 1 (satu) IUP (Izin Usaha Perkebunan), kemudian PT.
KHL II sampai dengan PT. KHL V juga memiliki 1 (satu) IUP (Izin Usaha
Perkebunan) tersendiri;
- Bahwa sejak tahun 2015 ada beberapa blok dari PT. KHL V yang dikuasai oleh
masyarakat, sehingga pihak perusahaan tidak bisa memanen di blok yang
dikuasai oleh masyarakat tersebut;
- Bahwa akibat pihak perusahaan tidak bisa memanen di blok yang dikuasai oleh
Terdakwa, pihak perusahaan mengalami kerugian yang diperkirakan sejumlah
Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah);
- Bahwa PT. BHP merupakan perusahaan yang memiliki IUP (Izin Usaha
Perkebunan) sendiri, HGU (Hak Guna Usaha) sendiri dan ju ga AMDAL
sendiri yang terpisah dari PT. KHL;
- Bahwa perkiraan jumlah kerugian tersebut dihitung sejak tahun 2015 sampai
dengan tahun 2020 dengan menggunakan perkiraan harga buah kelapa sawit di
tahun 2020;
- Bahwa lahan dari PT. KHL V tidak ada yang berada di atas lahan milik
masyarakat;
- Bahwa blok O.84 yang merupakan lahan yang dikuasai oleh Terdakwa
sebenarnya bukan areal klaim tetapi Terdakwa menganggap sebagai areal
klaim;
- Bahwa cara Terdakwa mengambil buah kelapa sawit tersebut adalah dengan
diawali melakukan pematokan, kemudian Terdakwa memanen buah kelapa
sawit tersebut dengan menggunakan angkong, dodos dan mobil pick up;
- Bahwa Saksi sudah pernah beberapa kali menegur Terdakwa untuk tidak
melakukan pemanenan buah kelapa sawit, namun Terdakwa menyatakan jika
lahan tersebut adalah miliknya;
- Bahwa klasifikasi klaim atas tanah masyarakat, yaitu yang pertama adalah area
yang sudah pernah diganti rugi tetapi diklaim kembali dan yang kedua adalah
area yang bukanlah merupakan area klaim namu n masyarakat menganggapnya
sebagai area klaim;
- Bahwa Terdakwa sering melakukan kegiatan yang disebut Saksi sebagai patok
berjalan, yaitu Terdakwa sering memindahkan-mindahkan patok sesuai dengan
kondisi buah kelapa sawit yang siap panen, meskipun hal tersebut dilakukan di
blok yang sama;
- Bahwa Saksi mengetahui jika terhadap Terdakwa sudah pernah dilakukan ganti
rugi lahan oleh pihak perusahaan di tahun 2010, namun Saksi tidak hafal
jumlah ganti rugi yang diberikan oleh pihak perusahaan tersebut;
- Bahwa Saksi tidak ikut dalam proses ganti rugi lahan yang diberikan kepada
Terdakwa tersebut, karena Saksi saat itu belum bekerja di PT. KHL V dan
Saksi hanya mengetahuinya melalui dokumen perusahaan;
- Bahwa tanaman yang ada di lahan yang diklaim oleh Terdakwa tersebut hanya
terdapat tanaman kelapa sawit dan tidak ada tanaman yang lainnya;
- Bahwa area HGU (Hak Guna Usaha) PT. KHL V masuk dalam wilayah
masyarakat hukum adat Dayak Agabag;
- Bahwa Saksi tidak pernah melihat asli dari Sertifkat HGU (Hak Guna Usaha)
PT. KHL, sehingga Saksi tidak mengetahui jika dalam Sertifikat HGU (Hak
Guna Usaha) dari PT. KHL tersebut tertulis lokasinya berada di Desa Sajau
dan bukanlah di Desa Bebanas;
- Bahwa Desa Sajau dan Desa Bebanas merupakan desa yang berbeda, namun
letaknya hanya berdekatan saja;
- Bahwa di wilayah Desa Sajau terdapat pula area kebun kelapa sawit dari PT.
KHL V;
- Bahwa Saksi tidak mengetahui apakah HGU (Hak Guna Usaha) dari PT. KHL
sama dengan HGU (Hak Guna Usaha) dari PT. KHL V;
- Bahwa Saksi tidak pernah melihat IUP (Izin Usaha Perkebunan) dari PT. KHL;
- Bahwa Saksi tidak mengetahui mengenai Akta Notaris dari PT. KHL V;
- Bahwa setahu Saksi, parit gajah merupakan pembatas yang dibuat oleh
perusahaan untuk membatasi antara area kebun perusahaan dengan yang bukan
area perusahaan dan sekaligus digunakan sebagai embung air;
- Bahwa Saksi tidak mengetahui adanya parit gajah yang dibuat oleh pihak
perusahaan di area kebun yang dikuasai oleh Terdakwa;
Bahwa Terdakwa tidak pernah bertemu dengan Saksi, apalagi bertemu pada saat
Terdakwa memanen buah kelapa sawit;
Bahwa Terdakwa tidak pernah berpindah-pindah dalam memanen buah kelapa sawit;
Bahwa Terdakwa tidak pernah menjual buah kelapa sawit kepada tengkulak,
melainkan Terdakwa menjualnya kepada PT. BHP;
Bahwa Terdakwa tidak pernah mendapatkan pelarangan dari pihak perusahaan untuk
memanen buah kelapa sawit;
Bahwa Terdakwa tidak pernah melakukan intimidasi kepada pihak perusahaan ;
Bahwa tidak pernah ada mediasi antara Terdakwa dengan perusahaan ;
Bahwa barang bukti dalam perkara ini bukanlah merupakan patok kayu, melainkan
kayu bakar yang digunakan oleh Terdakwa untuk memasak;
Bahwa selain tanaman kelapa sawit, di area yang dipanen Terdakwa terdapat pula
tanaman yang berupa buah-buahan;
Bahwa tanaman kelapa sawit milik Terdakwa ada yang digusur oleh pihak perusahaan
sejumlah 7 (tujuh) tanaman sawit untuk dibu at parit gajah dan hingga saat ini pihak
perusahaan tidak pernah memberi ganti rugi kepada Terdakwa;
Bahwa ganti kerugian yang diberikan oleh pihak perusahaan terh adap lahan milik
Terdakwa belum seluruhnya dan baru sebagian saja;
- Bahwa Saksi juga dapat disebut sebagai Sekretaris Kepala Adat Besar Sei
Tikung Sebuku;
- Bahwa Saksi tidak melihat sendiri masyarakat mengambil kelapa sawit milik
perusahaan, tetapi Saksi pernah mendengar dari pihak perusahaan saat Saksi
memberikan keterangan di kepolisian;
- Bahwa Saksi tidak pernah melihat dan tidak pernah mendengar mengenai jenis
buah apa yang diambil oleh masyarakat, kapan diambilnya dan cara
pengambilan buah tersebut;
- Bahwa di antara Desa Sujau dan Desa Bebanas terdapat Desa Lulu;
- Bahwa masyarakat adat yang hidup di Sebuku adalah masyarakat adat Dayak
Agabag;
- Bahwa Saksi tidak pernah melihat Terdakwa membawa kelapa sawit ataupun
menjualnya;
- Bahwa masyarakat Dayak Agabag tersebar di wilayah Kec. Sebuku, Kec. Tulin
Onsoi, dan Kec. Lumbis;
- Bahwa desa tertua yang merupakan wilayah masyarakat Dayak Agabag adalah
Desa Tetaban;
- Bahwa Desa Bebanas merupakan salah satu desa tertua yang merupakan
wilayah masyarakat Dayak Agabag;
- Bahwa Saksi tidak paham terkait keharusan adanya sertipikat terhadap tanah
hak ulayat;
- Bahwa Saksi tetap membenarkan keterangan Saksi yang terdapat dalam Berita
Acara Pemeriksaan Saksi pada jawaban nomor
- Bahwa tanaman sawit dan buah-buahan tersebut berada di satu hamparan lahan
milik Terdakwa yang berada di Desa Bebanas, Kecamatan Sebuku, Kabupaten
Nunukan;
- Bahwa bibit pohon sawit tersebut Terdakwa dapatkan dari bantuan Pemerintah
Daerah pada tahun 2007;
- Bahwa disekitar kebun Terdakwa tersebut ada juga kebun milik orang lain,
seperti kebunnya SAMSUDIN dan Pak KUAL;
- Bahwa selain kebun masyarakat, ada juga kebun milik PT. BHP (Bulungan
Hijau Perkasa);
- Bahwa ada sebagian lahan milik Terdakwa yang diambil oleh pihak perusahaan
dan dibuat parit gajah oleh pihak perusahaan;
- Bahwa selain itu ada sekitar 7 (tujuh) pohon sawit milik Terdakwa yang
digusur oleh perusahaan pada saat pembuatan parit gajah tersebut;
- Bahwa perusahaan yang Terdakwa maksud adalah PT. BHP (Bulungan Hijau
Perkasa);
- Bahwa Terdakwa lupa sejak kapan PT. BHP (Bulungan Hijau Perkasa) masuk
ke Desa Bebanas, Kecamatan Sebuku, Kabupaten Nunukan;
- Bahwa di lahan milik Terdakwa juga ada pondoknya dan yang membuat
pondok tersebut adalah Terdakwa sendiri;
- Bahwa saat mulai mengolah lahan turun temurun tersebut, di lahan tersebut
sudah ada tanaman buah-buahan;
- Bahwa untuk tanaman sawit ada di lahan tersebut sejak Terdakwa yang
mengolah lahan turun temurun tersebut;
- Bahwa Terdakwa pernah menuntut ganti rugi terhadap tanah dan rusaknya
tanaman sawit yang Terdakwa tanam tersebut akibat pembuatan parit gajah
oleh perusahaan, tetapi sampai saat ini Terdakwa tidak pernah mendapatkan
ganti rugi tersebut, perusahaan hanya janji-janji saja;
- Bahwa terkait foto pondok yang terlampir di Berkas Perkara adalah benar foto
Terdakwa bersama dengan anggota Polres Nunukan, saat itu Terdakwa dibawa
ke lahan Terdakwa oleh anggota Polres Nunukan, kemudian salah seorang
anggota Polres Nunukan memfoto Terdakwa;
- Bahwa pondok yang terlihat dalam foto yang terlampir di Berkas Perkara
adalah benar pondok yang Terdakwa bangun di lahan milik Terdakwa;
4) Menimbang, bahwa Terdakwa dan Penasihat Hukumnya telah mengajukan Saksi yang
meringankan (a de charge) sebagai berikut:
- Bahwa Saksi pernah menjadi Kepala Desa Bebanas pada periode tahun 2009
sampai dengan tahun 2014;
- Bahwa setelah Saksi tidak lagi menjadi Kepala Desa, Saksi menjabat sebagai
Wakil Ketua Adat Besar Dayak Agabag;
- Bahwa Terdakwa pernah menjadi perangkat Desa Bebanas, yaitu sebagai Ketua
BPD (Badan Permusyawaratan Desa);
- Bahwa Saksi tidak mengetahui kapan PT. KHL V mulai beroperasi di Desa
Bebanas, karena sejak dahulu perusahaan sawit yang ada di Desa Bebanas
hanyalah PT. BHP;
- Bahwa lahan masyarakat Desa Bebanas ada yang diduduki oleh PT. BHP,
sehingga lahan tersebut menjadi status quo, artinya merupakan lahan yang
bermasalah dengan perusahaan, kemudian lahan status quo tersebut diambil alih
oleh pihak PT. BHP melalui okupasi;
- Bahwa lahan status quo tersebut berbeda dengan area kebun dari masyarakat,
sehingga okupasi hanya dilakukan terhadap lahan statu s quo dan tidak termasuk
dalam area kebun masyarakat;
- Bahwa ganti rugi yang diberikan dalam okupasi tersebut adalah sejumlah
Rp.1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap hektarnya;
- Bahwa lahan status quo yang telah dilakukan okupasi tersebut asalnya
merupakan tanah milik Pemerintah Desa, sehingga proses pembayaran ganti
ruginya dilakukan kepada Pemerintah Desa yang kemudian oleh Pemerintah
Desa diserahkan kembali kepada masyarakat;
- Bahwa pada saat pembagian pokok tanaman kelapa sawit dari Pemerintah
Daerah tersebut, seluruh masyarakat di Desa Bebanas mendapatkan bagian,
termasuk Saksi dan juga Terdakwa;
- Bahwa pokok tanaman kelapa sawit yang diterima oleh masyarakat dari
pembagian Pemerintah Daerah tersebut kemudian ditanam oleh masyarakat di
kebunnya masing-masing;
- Bahwa tanaman kelapa sawit yang ditanam oleh masyarakat tersebut hingga saat
ini masih ada dan masih sering dipanen oleh masyarakat;
- Bahwa buah kelapa sawit yang telah dipanen oleh masyarakat tersebut kemudian
dijual oleh masyarakat kepada koperasi dan selanjutnya oleh koperasi akan
dijual lagi kepada PT. BHP;
- Bahwa kegiatan masyarakat menjual hasil panen buah kelapa sawit kepada PT.
BHP melalui koperasi tersebut telah dilakukan sejak lama;
- Bahwa kebiasaan atau budaya dari masyarakat hukum adat Dayak Agabag yang
sejak jaman nenek moyang hingga saat ini masih ada diantaranya adalah dolop
dan sumpah, dimana dolop dan sumpah adalah suatu ritual adat Dayak Agabag
tetang pembuktian siapa yang bersalah dalam suatu kasus antar masyarakat
hukum adat Dayak Agabag;
- Bahwa Saksi tidak mengetahui dengan pasti sejak kapan ritual dolop dan
sumpah tersebut ada, namun setahu Saksi sudah sejak jaman nenek moyang
masyarakat adat Dayak Agabag dan sejak sebelum Indonesia merdeka;
- Bahwa setiap ada kegiatan atau festival adat yang diadakan oleh masyarakat adat
Dayak Agabag, pihak Pemerintah Daerah selalu hadir dalam acara tersebut, baik
Bupati ataupun yang mewakili;
- Bahwa kebiasaan atau budaya dari masyarakat hukum adat Dayak Agabag
tersebut tidak hanya berlaku di wilayah Desa Bebanas, namun masih berlaku
pula di seluruh wilayah Kecamatan Sebuku;
- Bahwa baik Saksi maupun Terdakwa merupakan bagian dari masyarakat hukum
adat Dayak Agabag;
- Bahwa pada tahun 2018, Pemerintah Daerah Kabupaten Nunukan dan para
pembesar dari masyarakat hukum adat Dayak Agabag telah membicarakan
mengenai Peraturan Daerah yang mengatur tentang masyarakat hukum adat,
namun Saksi tidak mengetahui dengan pasti bagaimana perkembangannya;
- Bahwa sejak PT. BHP masuk ke Desa Bebanas, masyarakat hukum adat Dayak
Agabag menjadi resah dan merasa terancam karena takut dilaporkan kepada
Polisi ketika masyarakat menggarap tanaman kelapa sawit miliknya sendiri;
- Bahwa yang menjadi permasalahan sekarang ini adalah tempat berladang, kebun
masyarakat dan bahkan tempat tinggal masyarakat, ternyata saat ini masuk
dalam area HGU (Hak Guna Usaha) pihak peru sah aan ;
- Bahwa Terdakwa telah memanen buah kelapa sawit yang telah ditanamnya
sendiri di atas kebun Terdakwa, namun karena saat ini kebun Terdakwa yang
digunakan untuk memanen buah kelapa sawit masuk dalam area HGU (Hak
Guna Usaha) pihak perusahaan, maka akhirnya Terdakwa dilaporkan kepada
Polisi dan diajukan dalam persidangan ini;
- Bahwa Terdakwa telah menanam buah kelapa sawit yang dipanen nya tersebut
sejak tahun 2007, yaitu setelah adanya pembagian pokok tanaman kelapa sawit
dari Pemerintah Daerah;
- Bahwa di atas lahan yang ditanamin kelapa sawit oleh Terdakwa tersebut,
terdapat pula tanaman-tanaman lain seperti tanaman cempedak dan kelapa;
- Bahwa Saksi tidak mengetahui mengapa yang diamankan oleh Polisi dan
kemudian diajukan dalam persidangan ini hanya 4 (empat) orang saja, yaitu
Terdakwa dan 3 (tiga) orang yang lainnya;
- Bahwa tanaman kelapa sawit yang ditanam oleh Terdakwa ada yang digusur
oleh pihak perusahaan sebanyak 7 (tujuh) tanaman sawit karena pihak
perusahaan membuat parit gajah di atas kebun yang ditanami oleh Terdakwa,
namun hingga saat ini belum ada ganti rugi dari pihak perusahaan terkait dengan
digusurnya tanaman kelapa sawit tersebut;
- Bahwa penetapan Saksi sebagai Ketua kelompok tani (Gapoktan) tidak ada Surat
Keputusannya, melainkan berdasarkan kesepakatan dari masyarakat;
- Bahwa pada tahun 2007 ada program dari Pemerintah Daerah mengenai
pembagian bibit kelapa sawit untuk masyarakat Desa Bebanas melalui kelompok
tani (Gapoktan);
- Bahwa pada tahun 2007 tersebut kelompok tani (Gapoktan) Desa Bebanas
mendapatkan bibit kelapa sawit dari Pemerintah Daerah Kabupaten Nunukan
sejumlah 7.000 (tujuh ribu) pokok sawit;
- Bahwa bibit kelapa sawit sejumlah 7.000 (tujuh ribu) pokok sawit tersebut
kemudian dibagikan kepada seluruh masyarakat Desa Bebanas, termasuk
Terdakwa;
- Bahwa bibit kelapa sawit yang telah diterima oleh masyarakat dari pembagian
Pemerintah Daerah tersebut kemudian ditanam oleh masyarakat di lahan
kebunnya masing-masing;
- Bahwa Terdakwa juga telah melakukan penanaman bibit sawit yang telah
diterimanya dari pembagian Pemerintah Daerah tersebut di lahan kebun milik
Terdakwa;
- Bahwa setahu Saksi, di Desa Bebanas hanya ada perusahaan PT. BHP dan tidak
ada perusahaan yang lain;
- Bahwa Saksi tidak mengetahui apakah kebun Terdakwa yang digunakan sebagai
lokasi untuk menanam tanaman kelapa sawit tersebut masuk dalam HGU (Hak
Guna Usaha) perusahaan atau tidak;
- Bahwa Saksi tidak mengetahui area mana saja yang masuk dalam HGU (Hak
Guna Usaha) perusahaan;
- Bahwa Saksi tidak mengetahui blok-blok yang ada di perusahaan;
- Bahwa tanaman kelapa sawit yang ditanam oleh Terdakwa dan masyarakat Desa
Bebanas tersebut hingga saat ini masih ada dan masih dipanen;
- Bahwa buah kelapa sawit yang telah dipanen oleh Terdakwa dan masyarakat
tersebut kemudian dijual kepada koperasi dan selanjutnya oleh koperasi akan
dijual lagi kepada PT. BHP;
- Bahwa apabila kayu ulin tersebut tidak diberi cat warna, maka kayu ulin yang
dimaksud bukan merupakan patok;
1. Pendapat Ahli sebagai berikut: Ahli Prof. Dr. KURNIA WARMAN, S.H., M.H., pada
pokoknya memberikan pendapat di bawah sumpah sebagai berikut:
- Bahwa Ahli akan memberikan pendapat yang terkait dengan pengetahuan dan keahlian
di bidang agraria dan sumber daya alam;
- Bahwa di dalam hukum Indonesia tidak dikenal adanya indigenous people tetapi yang
dikenal adalah masyarakat hukum adat atau masyarakat adat, yang secara hukum
diartikan sebagai orang atau golongan orang yang merupakan penduduk di ngeara
Indonesia yang bukan berasal dari golongan Eropa atau Timur Asing, yang mana
menjadi orang yang paling pertama mendiami negara Indonesia, oleh karena itu di
dalam hukum agraria menempati posisi yang istmewa;
- Bahwa sebenarnya ada dua posisi hukum terhadap masyarakat hukum adat dalam
hukum agraria, pertama yaitu berdasarkan Pasal 5 UUPAyangsecara
eksplisitmenyebutkanbahwahukumagraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang
angkasa adalah hukum adat, yaitu hukum yang berlaku dalam lingkup masyarakat
hukum adat dalam wilayahnya masing-masing, oleh karena itu jika ada masyarakat
hukum adat yang menguasai tanah maka dasar hukumnya adalah hukum adat,
sehingga tanah tersebut tidak diberikan oleh negara;
- Bahwa kedua, khusus bagi masyarakat hukum adat yang sudah mempunyai urusan
penyelenggaraan masyarakat secara publik, yang dikenal sebagai hak ulayat, yang
mana hak ulayat diatur dalam Pasal 3 UUPA;
- Bahwa meskipun berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD dan Pasal 2 UUPA yang
menyatakan negara mempunyai posisi sebagai pengu asa atas tanah, bumi, air dan
ruang angkasa, hal tersebut tidak menghilangkan hak ulayat yang dimiliki masyarakat
hukum adat karena hukum agraria tetap mengakui keberadaan masyarakat huku m adat
dan hak ulayat yang dimilikinya;
- Bahwa dalam hukum agraria, hak ulayat tidak termasuk objek pendaftaran tanah
sehingga tidak diperlukan sertipikat atas tan ah h ak ulayat;
- Bahwa yang dapat menjadi objek pendaftaran tanah adalah hak milik yang berasal dari
hak ulayat, misalnya seorang anggota masyarakat hukum adat memohon kepada ketua
adat agar diberikan tanah yang merupakan bagian dari tanah hak ulayat untuk dimiliki
secara pribadi sehingga setelah anggota masyarakat hukum adat tersebut mendapatkan
tanah hak ulayat secara pribadi, maka tanah hak ulayat tersebut dapat didaftarkan
untuk mendapatkan sertipikat hak milik;
- Bahwa bagi Indonesia khusus terkait hak masyarakat adat atas sumber daya alam
sebenarnya tidak memerlukan instrumen hukum internasional karena Indonesia sudah
terlebih dahulu mengakui hak masyarakat adat atas tanah, sehingga apabila Indonesia
meratifikasi instrumen internasional terkait indigenous people seperti Konvensi ILO,
hal tersebut hanya mengikat Indonesia secara internasional dalam konteks hak asasi
manusia;
- Bahwa terkait dengan adanya Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman
Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, maka persoalan yang terjadi
dalam praktik administrasi tentang masyarakat adat adalah tentang kepastian subjek
masyarakat adat. Oleh karena masyarakat adat mengalami transformasi yang sangat
dinamis sejak negara memproduksi sistem pemerintahan konstitusional khususnya
sejak adanya pemerintahan desa, maka sejak adanya pemerintahan desa akhirnya
timbul pertanyaan bagaimana kedudukan masyarakat adat sebelum dibentuknya
pemerintahan desa. Yang menjadi masalah adalah sejak dibentuknya UU Nomor 5
Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang menyeragamkan pembentukan desa,
kewenangan publik masyarakat adat yang telah ada sebelumnya, menjadi hilang
karena fungsi publiknya digantikan oleh negara;
- Bahwa pertanyaan mengenai kedudukan Terdakwa yang telah diverifikasi dan diakui
dalam perda sebagai masyarakat hukum adat berkaitan dengan penguasaan tanahnya,
Ahli tidak akan menjawabnya, tetapi secara umum dalam hukum agraria khususnya
mengenai hak ulayat dan hak milik adat, tidak mensyaratkan adanya perda. Oleh
karena itu dalam konteks hukum agraria, masyarakat hukum adat diverifikasi ketika
anggota masyarakat hukum adat berurusan dengan administrasi pertanahan. Berbeda
dengan konteks hukum kehutanan, keharusan adanya perda mungkin bisa dianggap
secara spesifik untuk kawasan hutan;
- Bahwa bentuk jaminan negara terhadap masyarakat hukum adat ada dua konteks,
pertama adalah dalam hal tanahnya dipakai sendiri oleh anggota masyarakat hukum
adat, yaitu jika anggota masyarakat adat memerlukan tanah maka ia dapat meminta
izin kepada lembaga adat untuk meminta bagian tanah ulayat yang masih tersedia,
sehingga kemudian hukum agraria memberikan perlindungan hukum ketika anggota
masyarakat adat tersebut mendaftarkan tanah ulayat, maka negara melayaninya dengan
jalur konversi hak, yang berarti negara memperbesar hak untuk masyarakat hukum
adat, di mana UUPA menyatakan hak milik berasal dari hukum adat;
- Bahwa kemudian yang kedua, dalam hal pembagian tanah ulayat kepada pihak ketiga
untuk pembangunan perekonomian, baik untuk kepentingan umum maupun swasta,
maka untuk mendapatkan tanah ulayat itu maka negara tidak dapat langsung
memberikan hak atas tanah ulayat tersebut kepada pihak ketiga sebelum masyarakat
hukum adat melepaskan hak ulayatnya terlebih dahulu kemudian tanah tersebut
diserahkan kepada negara dan selanjutnya negara dapat memberikan hak tertentu atas
tanah tersebut kepada pihak ketiga, yang dapat berupa HGU, HGB, Hak Pakai dan lain
sebagainya;
- Bahwa pemberian hak atas tanah oleh negara kepada pihak ketiga pasti atas bidang
tanah tertentu. Oleh karena itu, dalam hal pihak ketiga memerlukan seluruh bidang
tanah ulayat maka tentu saja pelepasan tersebut dilakukan secara keseluruhan,
sebaliknya jika tidak memerlukan seluruh bidang tanah ulayat maka pelepasan tersebut
hanya terhadap bidang yang diperlukan;
- Bahwa pelepasan hak ulayat harus melalui musyawarah karena pelepasan itu lahir
karena kerelaan yang dituangkan dalam musyawarah, oleh karena itu dilengkapi
dengan berita acara pelepasan hak dan biasanya terdapat kompensasi atas pelepasan
hal ulayat;
- Bahwa terhadap proses adanya permohonan penerbitan sertipikat hak guna usaha,
apabila negara tidak mengetahui atau tidak mendeteksi adanya masyarakat hukum adat
di wilayah yang dimohonkan, maka negara dapat langsung memberikan hak guna
usaha tanpa adanya pelepasan;
- Bahwa apabila setelah HGU lahir kemudian timbul sengketa karena masyarakat h u ku
m adat men yatakan tan ah tersebu t meru pakan miliknya, maka sengketa tersebut
diselesaikan dalam persidangan perdata dan negara akan mengikuti putusan hakim;
- Bahwa persyaratan agar dapat dikatakan sebagai masyarakat hukum adat tertentu
diperlukan adanya pernyataan dari otoritas, akan tetapi dalam konteks hukum agraria,
tidak diperlukan persyaratan apapun namun dapat dicantumkan dalam buku
pemerintah desa;
- Bahwa terdapat cara lain menyelesaikan sengketa tanah selain melalui persidangan
perdata yaitu mengajukan upaya administrasi dengan cara mengajukan keberatan ke
BPN terhadap penerbitan HGU sepanjang hal tersebut diajukan oleh masyarakat
hukum adat, dengan dasar adanya kepentingan atau hak masyarakat hukum adat;
- Bahwa pengajuan keberatan ke BPN dan gugatan perdata tidak terdapat daluwarsa;
- Bahwa apabila tidak ada keberatan atau gugatan yang diajukan, maka HGU tersebut
tetap dinyatakan sah dan berlaku selama tidak dibatalkan;
Terhadap pendapat Ahli tersebut, Terdakwa tidak keberatan dan membenarkan keterangan
Saksi tersebut
Menimbang, bahwa berdasarkan alat bukti yang diajukan diperoleh fakta - fakta hukum
sebagai berikut:
- Bahwa Terdakwa adalah anggota dari masyarakat hukum adat Dayak Agabag yang
sudah tinggal secara turun temurun di Desa Bebanas, Kecamatan Sebuku, Kabupaten
Nunukan;
- Bahwa setelah Terdakwa memanen buah kelapa sawit tersebut, kemudian Terdakwa
menjual buah kelapa sawit yang dimaksud kepada PT. BHP melalui koperasi;
- Bahwa tidak diketahui berapa banyak buah kelapa sawit yang dipanen oleh Terdakwa
dan tidak diketahui pula berapa banyak buah kelapa sawit yang dijual oleh Terdakwa;
- Bahwa pihak perusahaan sudah pernah menegur Terdakwa agar tidak melakukan
kegiatan panen, namun Terdakwa menyatakan bahwa area yang buah kelapa sawitnya
dipanen oleh Terdakwa adalah lahan milik Terdakwa yang diperoleh secara turun-
temurun;
- Bahwa terdapat keterangan yang saling bertentangan men genai siapa yang menanam
buah kelapa sawit yang dipanen oleh Terdakwa tersebut, dimana menurut Saksi
PAINOL dan Saksi INDRAYANA, buah kelapa sawit yang dipanen oleh Terdakwa
yang menanam adalah pihak perusahaan, sedangkan menurut Saksi NICK BERDI dan
Saksi FLORENTINUS, buah kelapa sawit yang dipanen oleh Terdakwa yang
menanam adalah Terdakwa sendiri;
- Menimbang, bahwa Terdakwa telah didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan
yang berbentuk alternatif, sehingga Majelis Hakim dengan memperhatikan fakta-fakta
hukum tersebut diatas akan mempertimbangkan terlebihdahulu dakwaan alternatif
kesatu sebagaimana diatur dalam Pasal 107 huruf a Undang-Undang RI Nomor 39
Tahun 2014 tentang Perkebunan, yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :
1. Barang siapa;
2. Mengambil barang sesuatu;
3. Yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain;
4. Dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum;
Menimbang, bahwa selanjutnya terhadap unsur-unsur tersebut Majelis Hakim akan
mempertimbangkannya sebagai berikut: Ad.1 Barang siapa;
Menimbang, bahwa pada dasarnya makna barang siapa adalah sama dengan
pengertian setiap orang, yaitu menunjuk kepada siapa orang yang seharusnya
bertanggung jawab atas perbuatan yang didakwakan atau setidak- tidaknya siapa orang
yang harus dijadikan Terdakwa dalam perkara ini, atau setiap orang sebagai subjek
hukum pendukung hak dan kewajiban yang dapat dimintakan pertanggungjawaban
dalam segala tindakannya;
Menimbang, bahwa di persidangan, Penuntut Umum telah menghadapkan
SINGGUNG Anak dari PUMPUNGAN sebagai Terdakwa dalam perkara ini, dan
tidak ada orang lain lagi kecuali ia Terdakwa yang uraian identitasnya dalam Surat
Dakwaan Penuntut Umum dibenarkan oleh Terdakwa sendiri dan Para Saksi yang
hadir di persidangan sehingga tidak terdapat kekeliruan (error in persona) terhadap
orang yang dihadapkan sebagai Terdakwa dalam perkara ini;
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas unsur barang siapa telah
terpenuhi;
Menimbang, bahwa yang dikehendaki dari unsur ini adalah barang yang diambil atau
dalam penguasaan pelaku adalah kepunyaan orang lain baik sebagian ataupun
keseluruhan, atau setidak-tidaknya bukan merupakan milik si pelaku sendiri;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan,
Terdakwa dilaporkan kepada Polisi oleh Saksi INDRAYANA sebagai perwakilan dari
PT. KHL V karena telah memanen buah kelapa sawit di area HGU perusahaan sejak
tahun 2017;
Menimbang, bahwa cara Terdakwa memanen buah kelapa sawit adalah menggunakan
alat berupa dodos hingga buah jatuh, lalu setelah buahnya jatu h kemudian dipungut
oleh Terdakwa, dikumpulkan menjadi satu dan selanjutnya dimasukkan ke dalam
mobil;
Menimbang, bahwa setelah Terdakwa memanen buah kelapa sawit tersebut, kemudian
Terdakwa menjual buah kelapa sawit yang dimaksud kepada PT. BHP melalui
koperasi;
Menimbang, bahwa pihak perusahaan sudah pernah menegur Terdakwa agar tidak
melakukan kegiatan panen, namun Terdakwa menyatakan bahwa area yang buah
kelapa sawitnya dipanen oleh Terdakwa adalah lahan milik Terdakwa yang diperoleh
secara turun-temurun;
Menimbang, bahwa sebagaimana pertimbangan Majelis Hakim dalam uraian unsur
“mengambil barang sesuatu”, yang dimaksud dengan barang dalam perkara ini
adalah buah kelapa sawit, sehingga dalam hal ini Majelis Hakim tidak perlu untuk
mempertimbangkan mengenai kepemilikan lahan dan hanya akan mempertimbangkan
tentang kepemilikan buah kelapa sawit yang dipanen oleh Terdakwa;
Menimbang, bahwa untuk mengetahui mengenai kepemilikan buah kelapa sawit yang
diambil oleh Terdakwa, maka yang perlu diketahui terlebih dahulu adalah siapa orang
yang menanam buah kelapa sawit tersebut;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan,
terdapat keterangan yang saling bertentangan mengenai siapa yang menanam buah
kelapa sawit yang dipanen oleh Terdakwa tersebut, dimana menurut Saksi PAINOL
dan Saksi INDRAYANA, buah kelapa sawit yang dipanen oleh Terdakwa yang
menanam adalah pihak perusahaan, sedangkan menurut Saksi NICK BERDI dan Saksi
FLORENTINUS, buah kelapa sawit yang dipanen oleh Terdakwa yang menanam
adalah Terdakwa sendiri;
Menimbang, bahwa oleh karena terdapat keterangan yang saling bertentangan
mengenai siapa yang menanam buah kelapa sawit yang dipan en oleh Terdakwa, maka
Majelis Hakim akan menilai keterangan Saksi-Saksi tersebut sesuai dengan ketentuan
Pasal 185 ayat (6) Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana;
Menimbang, bahwa menurut keterangan Saksi PAINOL dan Saksi INDRAYANA,
yang melakukan penanaman kelapa sawit dan juga pemupukan kelapa sawit yang
dipanen oleh Terdakwa adalah pihak perusahaan, dimana pihak perusahaan mulai
menanam kelapa sawit tersebut pada tahun 2011;
Menimbang, bahwa Saksi PAINOL mulai bekerja di PT. KHL V sejak tahun 2013 dan
Saksi INDRAYANA mulai bekerja di PT. KHL sejak tahun 2015, sehingga dalam hal
ini Majelis Hakim berkesimpulan bahwa Saksi PAINOL dan Saksi INDRAYANA
tidak melihat serta tidak mengalami sendiri peristiwa penanaman yang dilakukan oleh
pihak perusahaan sebagaimana yang telah diterangkan oleh Saksi PAINOL dan Saksi
INDRAYANA tersebut;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebu t di atas, oleh
karena Saksi PAINOL dan Saksi INDRAYANA tidak melihat serta tidak mengalami
sendiri persitiwa penanaman kelapa sawit tersebut, maka keterangan Saksi PAINOL
dan Saksi INDRAYANA tidak dapat memberikan keyakinan bagi Majelis Hakim
perihal yang melakukan penanaman kelapa sawit yang dipanen oleh Terdakwa adalah
pihak perusahaan;
Menimbang, bahwa menurut keterangan dari Saksi NICK BERDI dan Saksi
FLORENTINUS, yang menanam kelapa sawit yang buahnya telah dipanen oleh
Terdakwa adalah Terdakwa sendiri, dimana bibit tanaman kelapa sawit yang ditanam
oleh Terdakwa tersebut diperoleh dari pembagian yang dilakukan oleh Pemerintah
Daerah melalui kelompok tani (Gapoktan) pada tahun 2007;
Menimbang, bahwa menurut keterangan dari Saksi NICK BERDI dan Saksi
FLORENTINUS, setelah Terdakwa menerima bibit tanaman kelapa sawit yang
dibagikan oleh Pemerintah Daerah tersebut, Terdakwa menanam bibit kelapa sawit
yang dimaksud di kebunnya;
Menimbang, bahwa seluruh masyarakat Desa Bebanas termasuk Saksi NICK BERDI
dan Saksi FLORENTINUS mendapatkan pembagian bibit kelapa sawit yang
dibagikan Pemerintah Daerah melalui kelompok tani (Gapoktan) pada tahun 2007,
bahkan Saksi FLORENTINUS merupakan ketua kelompok tani (Gapoktan) Desa
Bebanas pada tahun 2007 sampai dengan tahun 2008, sehingga Saksi NICK BERDI
dan Saksi FLORENTINUS merupakan Saksi yan g melihat serta mengalami sendiri
peristiwa pembagian bibit kelapa sawit dan penanaman bibit kelapa sawit tersebut;
Menimbang, bahwa keterangan Saksi NICK BERDI dan Saksi FLORENTINUS
tersebut ternyata bersesuaian dengan keterangan Terdakwa yang menyatakan bahwa
yang menanam kelapa sawit yang buahnya telah dipanen oleh Terdakwa adalah
Terdakwa sendiri, dimana bibit tanaman kelapa sawit yang ditanam Terdakwa tersebut
diperoleh Terdakwa dari pembagian yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah melalui
kelompok tani (Gapoktan) pada tahun 2007, sehingga dalam hal ini keterangan Saksi
NICK BERDI dan Saksi FLORENTINUS dapat memberikan keyakinan bagi Majelis
Hakim perihal yang melakukan penanaman kelapa sawit yang dipanen oleh Terdakwa
adalah Terdakwa sendiri;
Menimbang, bahwa berdasarkan keseluruhan pertimbangan sebagaimana tersebut di
atas, Majelis Hakim memperoleh keyakinan bahwa yang menanam buah kelapa sawit
yang dipanen oleh Terdakwa adalah Terdakwa sendiri, sehingga Majelis Hakim
berkesimpulan buah kelapa sawit yang telah dipanen oleh Terdakwa adalah milik
Terdakwa sendiri;
Menimbang, bahwa oleh karena buah kelapa sawit yang telah dipanen Terdakwa
merupakan buah kelapa sawit milik Terdakwa sendiri, maka unsur “yang sebagian
atau seluruhnya kepunyaan orang lain” tidak terpenuhi oleh perbuatan Terdakwa;
Menimbang, bahwa oleh karena salah satu unsur dari Pasal 362 KUHP tidak
terpenuhi, maka Terdakwa haruslah dinyatakan tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan
alternatif kedua sehingga Terdakwa haruslah dibebaskan dari dakwaan tersebut;
Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, baik dalam dakwaan alternatif
kesatu maupun dakwaan alternatif kedua, maka dalam hal ini Majelis Hakim tidak
sependapat dengan tuntutan yang diajukan oleh Penuntut Umum, dimana pendapat
Majelis Hakim tersebut telah diuraikan dalam uraian unsur tindak pidana yang
didakwakan terhadap Terdakwa, sedangkan terhadap Pembelaan yang diajukan oleh
Penasihat Hukum Terdakwa, oleh karena Pembelaan yang dimaksud telah sejalan
dengan pertimbangan hukum dari Majelis Hakim maka Majelis Hakim tidak perlu
untuk mempertimbangkan lebih lanjut mengenai Pembelaan tersebut;
Menimbang, bahwa dalam sidang permusyawaratan majelis, tidak dicapai mufakat
bulat dalam menentukan apakah perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa telah
memenuhi seluruh usur-unsur dari pasal yang didakwakan, karena Hakim Ketua
Majelis menyatakan perbedaan pendapatnya (dissenting opinion) dengan Hakim
Anggota I dan Hakim Anggota II, dimana Hakim Ketua Majelis berpendapat bahwa
tuntutan pidana Penuntut Umum, dibacakan pada persidangan tanggal 3 Juni 2021,
yang menuntut agar Majelis Hakim menyatakan Terdakwa bersalah melakukan tidak
pidana sebagaimana didakwakan pada dakwaan alternatif kedua, menurut Hakim
Ketua telah tepat sesuai dengan hukum karena dibuat berdasarkan pertimbangan sesuai
dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan, yang pada pokoknya sebagai
berikut:
Bahwa dari Saksi-saksi yang dihadirkan oleh Penunut umum, yakni Saksi Indrayana
(Manajer Umum PT. KHL V), Saksi Painol (Komandan Regu Security) dan
Painol (Anggota Security), dibawah sumpah telah menerangkan bahwa
masyarakat setempat di sekitar lokasi tempat lahan perusahaan berada telah
menduduki lahan tersebut dengan cara mendirikan pondok pada blok-blok lahan
perusahaan dengan maksu d agar memudahkan saat melakukan pemanenan buah
kelapa sawit yang sebelumnya telah ditanam oleh perusahaan, dan khusus
terhadap lahan kelapa sawit yang terletak di blok O84 telah diduduki oleh
Terdakwa sejak tahun 2016 dan melakukan aktifitas pemanenan buah kelapa
sawit dengan menggunakan alat yang telah disiapkan sebelumnya untuk
kemudian ditampung di pondok/di jalan dekat pondok yang telah didirikan oleh
Terdakwa di sekitar lahan blok O84 dan selanjutnya diangkut menggunakan
mobil jenis pick up untuk dijual kepada pembeli;
Bahwa akibat perbuatan Terdakwa tersebut, yang membuat PT. KHL V tidak dapat
melakukan aktifitas pemanenan buah kelapa sawit, dan berdasarkan analisa
perhitungan kerugian perusahaan yang dibuat oleh Saksi Indyarana pada tanggal
15 Maret 2021, mengakibatkan kerugian bagi perusahaan dengan jumlah sekitar
Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah);
Bahwa benar lahan kelapa sawit tersebut sebelumnya dikelola oleh Terdakwa,
namun pada tanggal 30 Juni 2014 telah dilakukan ganti rugi oleh pihak
perusahaan dan telah diterima dengan baik olehTerdakwa, disertai dengan
pernyataan kesanggupan untuk tidak lagi menggarap dan mempersoalkan
keberadaan PT. KHL V di lahan yang tadinya dikelola oleh Terdakwa;
Bahwa di persidangan telah terjadi pengingkaran terhadap keterangan Terdakwa
yang diberikan dihadapan penyidik dengan dalih bahwa Terdakwa telah lupa
karena pada saat Terdakwa membaca dan meneliti Berita Acara Pemeriksaan
dalam Berkas Perkara, Terdakwa sedang banyak pikiran, merasa takut dan
tertekan sehingga tidak dapat mengingat kembali secara jelas perihal
keterangan apa saja yang telah diberikannya di depan penyidik, seperti
misalnya Terdakwa telah menerima dengan baik uang ganti rugi yang diberikan
oleh perusahaan (terlampir dalam berkas perkara) namun ia tidak dapat
mengingat dan tidak tahu atas maksud apa pihak perusahaan telah memberikan
uang ganti rugi tersebut, halmana menurut pendapat Hakim Ketua adalah
merupakan alasan yang sama sekali tidak berdasar, mengada-ada dan dibuat-buat
sehingga alasan pengingkaran tersebut haruslah dikesampingkan;
Bahwa berdasarkan fakta tersebut di atas maka perbuatan Terdakwa dalam
melakukan pemanenan buah kelapa sawit pada blok O84 yang merupakan lahan
pengeloaan dari PT. KHL V untuk kemudian menampungnya di pondok/di jalan
dekat pondok yang telah didirikan sebelumnya oleh Terdakwa adalah merupakan
perbuatan “mengambil barang/sesuatu yang sebagian atau seluruhnya milik
orang lain untuk dimiliki secara melawan”, sebagaimana termuat dalam
Dakwaan Alternatif Kedua Penuntut Umum;
d. Putusan
Memperhatikan, Pasal 191 ayat (1) Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan;
MENGADILI
2. Abstraksi
Salah satu elemen negara selain Legislatif dan Eksekutif adalah kekuasaan Yudikatif. Dalam
Ilmu Hukum, Putusan Hakim yang adil dan arif mampu menjadi sumber hukum yang
disebut Yurisprudensi (Yuris = ahli hukum/hakim; prudensia = arif bijaksana, Jadi
Yurisprudensi adalah putusan hakim yang arif-bijaksana). Karena kebijaksanaannya itulah,
pertimbangan-pertimbangan hukum hakim yang terbentuk itu dapat menjadi dasar hukum
bagi hakim-hakim lain. Demikian strategisnya putusan hakim itu, sehingga yang berwenang
membentuk hukum tidak hanya Legislatif saja, tetapi juga Hakim “Judge Made Law.”
Hukum yang dibentuk oleh hakim ini, jika diibaratkan bahwa hukum itu sebuah pohon,
maka ‘moral’ adalah akar-akarnya, yang secara yuridis-formal terdapat dalam Pancasila.
Lembaga Peradilan adalah Pohon dan putusan-putusan hakim yang arif-bijaksana sebagai
buah-buah manis, segar, dan bermanfaat serta layak dinikmati oleh warga negara.
Eksaminasi Putusan Pengadilan Pidana Pencurian pada Pengadilan Negeri Nunukan
terhadap Singgung anak dari Pumpungan dalam Perkara Pidana Reg. No.
137/Pid.Sus/2021 /PN Nnk, berada dalam pola piker yang demikian itu. Dari eksaminasi ini
apakah Putusan Pengadilan Negeri Nunukan ini dalam putusannya telah memberikan rasa
keadilan substansi melalui proses peradilan yang benar berdasarkan Pancasila?. Eksaminasi
dilakukan secara objektif karena pembuat eksaminasi tidak terlibat langung, dan tidak
mempunyai kepentingan dengan objek sengketa atau objek yang diperebutkan. Objektivitas
itu dibangun melalaui logika hukum yang benar dalam proses yudisiel. Selain itu,
eksaminasi putusan PN Nunukan ini sekaligus memberikan masukan kepada pemerhati dan
penggiat Masyarakat Adat yang melakukan pembelaan terhadap Kriminalsasi Hak-hak
Agraria Masyarakat Adat. Eksaminasi putusan ini juga penting untuk diperhatikan yaitu
untuk mengkaji persoalan kriminalisasi yang dilakukan penegak hukum (Polisi dan Jaksa),
sehingga dalam putusan hakim yang baik dan benar ini ada korelasi dan konsistensi yang
selaras antara “Tuntutan Jaksa Penuntut Umum, Pertimbangan Hukum Hakim dan Putusan
Hakim.” Ketiga komponen itu haruslah selaras secara logis antara satu dengan lainnya
sehingga putusan itu mampu memberikan rasa keadilan. Dengan demikian, kualitas
penegakkan hukum dan perlindungan hukum oleh Pengadilan mampu memberikan rasa
aman dan tenteram dalam masyarakat, khususnya masyarakat adat ketika mereka membela
hak-hak tradisionalnya terutama hak atas tanah leluhur mereka. Eksaminasi ini diharapkan
mampu memberikan sumbangan pemikiran yang berharga bagi Masyarakat Adat dan
Pegiat/Pembela Hak-hak Agraria Masyarakat Adat. Sekalipun Putusan Hakim ini telah
memberikan putusan yang secara hukum telah memberikan kepastian hukum, namun
seharusnya Hakim membenarkan “Eksepsi Penasehat Hukum” bahwa dakwaan JPU adalah
tidak cermat dan parsial, sehingga dakwaan JPU wajib dinyatakan ‘tidak dapat diterima’
karena materi HGU yang dimiliki oleh PT. KHL adalah cacat menurut hukum karena tidak
memenuhi Pasal 12, 13, 55 huruf b dan 107 huruf b UU No. 39 Tahun 2014 Tentang
Perkebunan. Demikian ada banyak fakta hukum yang perlu dikaji untuk dijadikan
Pendidikan Hukum Nonformal dalam Proses Penegakan Hukum dan Keadilan. Apa yang
perlu dilakukan, sehingga kriminalisasi oleh pelaku usaha perkebunan dengan meminjam
tangan penegak hukum tidak terulang lagi di masa yang akan datang. Hal yang harus
dilakukan adalah pencerahan hukum, peningkatan daya kritiks, dan keberanian untuk
melakukan pembelaan diri secara hukum, legal self-defense.
Kata kunci: masyarakat adat, hak-hak agraria, keadilan susbtansi
3. Analisis
3.1 Persoalan Status Hukum Masyarakat (Hukum) Adat Menurut UU Perkebunan
a) Hak-hak Masyarakat (Hukum) Adat Dalam UU Perkebunan
Eksaminasi atas Putusan PN. Nunuk No. 137/Pid.Sus/2021/PN. Nnk atas Singgung anak
dari Pumpungan dengan dakwaan Pasal 107 huruf a UU No. 39 tahun 2014 tentang
Perkebunan yang menyatakan bahwa “secara tidak sah mengerjakan, menggunakan,
menduduki dan/atau menguasai lahan perkebunan” atau perbuatan yang diancam dengan
ancaman pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP bahwa “mengambil barang
sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk
dimiliki secara melawan hukum.” Eksaminasi ini ditujukan untuk menilai putusan hakim
tersebut telah dilakukan secara benar sesuai dengan fakta-fakta persidangan serta berposes
sesuai dengan hukum acara pidana (KUHAP) yang berlaku.
Dalam perkara ini yang menjadi objek eksaminasi adalah Pasal 107 huruf a UU No. 39
Tahun 2014 Tentang Perkebunan atau Pasal 36 2 KUHP tentang pencurian tandan buah
Sawit. Ada perbedaan pendapat antara PT. KHL dengan SInggung anak Pumpungan.
Menurut PT. KHL buah sawit yang diambil oleh Singgung anap Pumpungan adalah
miliknya, sedangkan menurut Singgung anak Pumpungan bahwa sawit yang diambil adalah
miliknya yang ditanamnya diatas kebun warisan leluhur. Karena yang menjadi objek adalah
buah sawit tanpa mempersoalkan tanah, maka berdasarkan asas pemisahan horizontal, hakim
berpendapat bahwa yang menjadi persoalan adalah buah sawit yang dicuri oleh Singgung
sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Ada beberapa pasal dari UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perkebunan yang tidak
diperhatikan oleh Polisi dan Jaksa sebagai Penegak Hukum.
1). Pasal 12
(1) Dalam hal Tanah yang diperlukan untuk Usaha Perkebunan merupakan Tanah
Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Pelaku Usaha Perkebunan harus
melakukan musyawarah dengan Masyarakat Hukum Adat pemegang Hak Ulayat
untuk memperoleh persetujuan mengenai penyerahan Tanah dan imbalannya.
(2) Musyawarah dengan Masyarakat Hukum Adat pemegang Hak Ulayat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
2) Pasal 13
Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1)
ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3) Pasal 55
Setiap Orang secara tidak sah dilarang: a. mengerjakan, menggunakan,
menduduki, dan/atau menguasai Lahan Perkebunan; b. mengerjakan,
menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Tanah masyarakat atau Tanah
Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dengan maksud untuk Usaha Perkebunan.
4) Pasal 107
Setiap Orang secara tidak sah yang: a. mengerjakan, menggunakan, menduduki,
dan/atau menguasai Lahan Perkebunan; b. mengerjakan, menggunakan,
menduduki, dan/atau menguasai Tanah masyarakat atau Tanah Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat dengan maksud untuk Usaha Perkebunan.
b) Kriminalisasi Terhadap Masyarakat Adat
Salah satu konflik agraria yang sering terjadi pasca kemerdekaan Republik Indonesia tahun
1945 adalah konflik sosial yang bersumber dari konflik agraria (tanah). Tersedianya
landasan hukum di bidang pertanahan dengan lahirnya Undang–Undang Pokok Agraria
(UUPA) pada tahun 1960 ternyata tidak cukup memberikan perlindungan dan jaminan
kepastian hukum bagi rakyat atas kepemilikan tanah apalagi keradilan. Kebijakan politik
ekonomi Orde Baru pasca kelahiran UUPA kiranya cukup berpengaruh bagi kebijakan
politik pertanahan sesudah itu. Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai undang-undang
sektoral yang meskipun mengatur persoalan yang berbeda, namun secara substansi masih
berkaitan dengan persoalan tanah dan hak penguasaan atas tanah, seperti UU seperti UU
Penanaman Modal, UU Pertambangan, UU Kehutanan, UU Perkebunan, dan lain-lain.
Kebijakan pembangunan negara yang cenderung promodal (kapital) dan dilegalisasi melalui
pembuatan peraturanperundang-undangan yang menjadi pendukungnya, pada akhirnya
menimbulkan ketimpangan pada struktur penguasaan sumber daya alam, dalam hal ini tanah
di Indonesia. Terdapat sekelompok kecil orang atau perusahaan yang menguasai tanah
sedemikian luasnya, sementara banyak rakyat petani yang tidak mempunyai tanah.
Berkaitan dengan hal yang demikian itu, persoalan pokoknya mengarah kepada dua hal yaitu
pertama, pada tataran konsep, berbagai undang-undang sektoral yang cenderung promodal
(kapital) tersebut secara substansi maupun filosofi ternyata bertentangan dengan UUPA
prorakyat yang secara ekonomis lemah terutama petani dan buruh tani; kedua, pada tataran
praktik di lapangan, terjadinya konflik pertanahan antara rakyat pemilik tanah, khususnya
masyarakat adat pemilik tanah adat (ulayat) dengan perusahaan-perusahaan perkebunan
yang menguasai tanah ribuan Ha.
Skema 1. Dominasi Investor
Sumber: WALHI, 2021
Hal ini menimbulkan ketimpangan dalam hal penguasaan tanah pertanian.
Skema 1. Ketimpangan Penguasaan Tanah
Hak Guna Usaha (HGU) sebagai alas hak atas tanah bagi perusahaan-perusahaan
perkebunan ternyata seringkali menuai konflik dengan masyarakat adat. Hal ini disebabkan
proses pemberiannya yang acap kali dilakukan dengan mengingkari hak-hak penguasan
tanah oleh masyarakat adat yang telah diwariskan sejak lama secara turun temurun. Salah
satu kasus yang nyata adalah konflik antara Singgung anak Pupumpungan dengan PT. KHL,
dan masih banyak lagi kasus-kasus serupa di berbagai daerah.
Konflik agraria antara masyarakat adat pemilik tanah dengan pihak perusahaan perkebunan
terjadi berulang-ulang secara meluas di berbagai daerah. Dengan lahirnya UU Perkebunan
pada tahun 2014, yaitu UU No. 39 Tahun 2004, kondisi ini ternyata tidak berubah, bahkan
cenderung mengalami peningkatan. Pelaku usaha seperti besar kepala karena dilindungi oleh
Aparat Penegak Hukum, terutama POLRI yang melakukan kriminalisasi.
Pada tahun 2019 juga AMAN membuat catatan penting bagi Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf
berkaitan dengan kriminalisasi MHA, sbb:
Dimuatnya pasal-pasal kriminal dalam UU No. 39 Tahun 2014, justru semakin memudahkan
bagi perusahaan-perusahaan perkebunan dan penegak hukum untuk mengkriminalisasi
masyarakat adat yang akan mempertahankan haknya atas tanah. Meskipun dalam
konsiderannya UU Perkebunan didasari oleh niat bahwa pembangunan perkebunan adalah
dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan,
namun secara orientasi factual ternyata berbeda dengan ideologi yang dianut dalam UUPA
yang berfokus pada sebesar-besar kemakmuran rakyat, terutama kaum tani. Selain secara
substansial dianggap membuka ruang yang luas bagi eksploitasi secara besar-besaran
perusahaan perkebunan terhadap lahan-lahan milik rakyat, terutama petani, ketentuan pidana
dalam UU Perkebunan memberi peluang bagi terjadinya kekerasan dan kriminalisasi
terhadap petani.
4. Penutup
b) Kesimpulan
Kriminalisasi terhadap masyarakat hukum adat merupakan penyakit yang wajib
disembuhkan, butuh kerja keras dari seluruh komponen pemerhati terutama
pegiat masyarakat adat. Hal ini penting untuk dipahami karena aparat penegak
hukum sebagai personifikasi pemerintah dan negara sering menjadi bagian dari
konflik.
c) Rekomendasi