Hukuman penjara maupun kurungan, keduanya adalah bentuk pemidanaan dengan
menahan kebebasan seseorang karena melakukan suatu tindak pidana sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 22 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pidana penjara dan kurungan adalah pidana pokok yang dapat dijatuhkan hakim selain pidana mati, pidana denda, dan pidana tutupan (Pasal 10 KUHP).
Mr. Drs. E.Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana II (hal. 307-316) menjelaskan bahwa hukuman kurungan lebih ringan dari hukuman penjara berdasarkan Pasal 10 jo. Pasal 69 KUHP karena tingkatan hukuman kurungan berada dibawah hukuman penjara.
Perbedaan Pidana Penjara Pidana Kurungan Tindak pidana (yang diatur dalam KUHP) Kejahatan (Pidana penjara dikenakan kepada orang yang melakukan tindak pidana kejahatan (lihat Pasal 18 ayat (2) KUHP)) Pelanggaran dan Kejahatan (tertentu) Pasal 114, 188, 191ter, 193, 195, 197, 199, 201, 359, 360, 481 (Pidana kurungan dikenakan kepada orang yang melakukan tindak pidana pelanggaran (lihat buku ketiga KUHP tentang Pelanggaran), atau sebagai pengganti pidana denda yang tidak bisa dibayarkan (Pasal 30 ayat (2) KUHP)) Maksimum Lamanya pemidanaan Seumur hidup (Pidana penjara dapat dikenakan selama seumur hidup atau selama waktu tertentu, antara satu hari hingga dua puluh - Paling lama 1 tahun. - Jika ada pemberatan pidana paling lama 1 tahun 4 bulan. (Pidana kurungan dikenakan paling pendek satu hari dan tahun berturut-turut (baca Pasal 12 KUHP) serta dalam masa hukumannya dikenakan kewajiban kerja (Pasal 14 KUHP)) paling lama satu tahun (Pasal 18 ayat (1) KUHP) tetapi dapat diperpanjang sebagai pemberatan hukuman penjara paling lama satu tahun empat bulan (Pasal 18 ayat (3) KUHP) serta dikenakan kewajiban kerja tetapi lebih ringan daripada kewajiban kerja terpidana penjara (Pasal 19 ayat (2) KUHP)).
Lokasi pemidanaan Di mana saja dan boleh dipindahkan diluar daerah tanpa boleh menolak Dalam daerah di mana terpidana berdiam ketika putusan hakim dijalankan Perbedaan lain a. Tidak memiliki hak pistole; b. Wajib menjalankan segala pekerjaan yang dibebankan kepadanya. a. Memiliki hak pistole; b. Pekerjaan yang diwajibkan lebih ringan.
2. apakah pidana kurungan dapat diganti dengan denda?
Pengertian pidana Denda: Denda adalah hukuman yang dikenakan kepada kekayaan. Ketentuan minimum umum bagi denda ialah 25 sen (pasal 30 ayat 1 KUHP), sedang ketentuan maksimum tergantung pada rumusan pidana, misal pasal 403 KUHP maksimum Rp. 150.000.00,-. Apabila tidak dibayar dendanya maka akan diganti dengan hukuman pidana kurungan, namanya kurungan pengganti Lamanya hukuman kurungan pengganti paling sedikit 1 hari paling lama 6 bulan. Dalam keadaan yang memberatkan dapat ditambah menjadi paling tinggi 8 bulan (pasal 30 ayat 5,6 KUHP). Pidana denda diterapkan pada pelanggaran sedangkan pada kejahatan dijadikan alternatif.
Sehingga jika dilihat dari pengertian denda diatas maka pidana kurungan tidak bisa diganti dengan pidana denda, karena secara sistematis pidana denda lebih ringan dari pidana kurungan, dan dilihat dari pengertian pidana denda diatas, seseorang akan mendapat pidana kurungan pengganti dari denda yang tak dibayarkannya. Sehingga tidak memungkinkan untuk diganti dari pidana kurungan menjadi pidana denda. Karena kedudukan pidana denda yang lebih ringan
3. perbedaan pidana bersyarat dan pelepasan bersyarat Dalam buku Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya (Kanter E.Y & S.R. Sianturi, 2002, Storia Grafika) dijelaskan bahwa pidana bersyarat adalah Sekedar suatu istilah umum, sedangkan yang dimaksud bukanlah pemidanaannya yang bersyarat, melainkan pemidanaannya pidana itu yang digantungkan pada syarat-syarat tertentu. Pidana bersyarat diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada Pasal 14 a yang berbunyi:
(1) Apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusnya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena si terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut diatas habis, atau karena si terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan lain dalam perintah itu.
(2) Hakim juga mempunyai kewenangan seperti di atas, kecuali dalam perkara- perkara yang mangenai penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuhkan pidana denda, tetapi harus ternyata kepadanya bahwa pidana denda atau perampasan yang mungkin diperintahkan pula akan sangat memberatkan si terpidana . Dalam menerapkan ayat ini, kejahatan dan pelanggaran candu hanya dianggap sebagai perkara mengenai penghasilan negara, jika terhadap kejahatan dan pelanggaran itu ditentukan bahwa dalam hal dijatuhkan pidana denda, tidak diterapkan ketentuan pasal 30 ayat 2. (3) Jika hakim tidak menentukan lain, maka perintah mengenai pidana pokok juga mengenai pidana pokok juga mengenai pidana tambahan.
(4) Perintah tidak diberikan, kecuali hakim setelah menyelidiki dengan cermat berkeyakinan bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya syarat umum, bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, dan syarat- syarat khusus jika sekiranya ditetapkan.
(5) Perintah tersebut dalam ayat 1 harus disertai hal-hal atau keadaan-keadaan yang menjadi alasan perintah itu.
mengenai Pembebasan/pelepasan Bersyarat. Pembebasan bersyarat adalah bebasnya Narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan. Pengertian ini terdapat dalam Penjelasan Pasal 12 huruf k UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Menurut Schepper, advis Dewan Reklasering untuk diberikannya pelepasan bersyarat, meliputi: a. Sifat delik itu sendiri. Bagaimana pendapat masyarakat itu jika diberikan pelepasan bersyarat, apakah tidak menimbulkan tindakan sewenang-wenang yang akan mengganggu ketertiba umum dan peradilan b. Sikap dan kepribadian terpidana, berkaitan dengan pandangan masyarakat Indonesia, ini merupakan masalah sikap dan tingkah laku terpidana selama dalam penjara c. Tinjauan terhadap penghidupan terpidana sesudah itu, pekerjaannya, bantuan moral dari sanak keluarga atau reklasering.
Jika terpidana melanggar perjanjian atau syarat-syarat yang ditentukan dalam surat pelepasan (verlofpas), terpidana dapat dipanggil kembali untuk menjalani sisa pidananya. Pelepasan bersyarat dapat dicabut kembali atas usul jaksa di tempat terpidana berdiam dengan pertimbangan Dewan Pusat Reklasering.
Perbedaannya ialah pada pidana bersyarat terpidana tidak pernah menjalani pidananya kecuali jika ia melanggar syarat umum atau syarat khusus yang ditentukan oleh hakim, sedangkan pada pelepasan bersyarat terpidana harus menjalani pidananya paling kurang dua per tiga-nya. Pelepasan bersyarat ini tidak imperatif dan otomatis, dikatakan dapat diberikan pelepasan bersyarat.
4. bilamana hakim dapat menjatuhkan pidana bersyarat? Penjatuhan pidana bersyarat oleh hakim terhadap terdakawa telah diketahui ada dua jenis syarat yang harus dipenuhi yaitu syarat umum dan syarat khusus. a. Persyaratan umum Syarat umum dalam putusan percobaan taua pidana bersyarat bersifat imperative, artinya bila hakim menjatuhkan pidana dengan bersyarat, dalam putusannya itu harus ditetapkan syarat umum. Dalam syarat umum harus ditetapkan oleh hakim bahwa dalam tenggang waktu tertentu atau masa percobaan terpidana tidak boleh melakukan tindak pidana, ketentuan ini diatur dalam Pasal 14c ayat (1) KUHP : Dengan perintah yang dimaksud pasal 14a, kecuali jika dijatuhkan pidana denda, selain menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana tindak pidana, hakim dapat menerapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek daripada masa percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tadi. Syarat umum ialah terpidana tidak akan melakukan perbuatan delik. Dalam syarat umum ini tampak jelas sifat mendidik dalam putusan pidana dengan bersyarat, dan tidak tampak lagi rasa pembalasan sebagaimana dianut oleh teori pembalsan. b. Persyaratan khusus Dalam persyaratan khusus akan ditentukan oleh hakim jika sekiranya syarat-syarat itu ada. Hakim boleh menentukan hal-hal berikut : 1) Pengganti kerugian akibat yang ditimbulkan oleh dilakukannya tindak pidana baik seluruhnya maupun sebagian, yang harus dibayarnya dalam tenggang waktu yang ditetapkan oleh hakim yang lebih pendek dari masa percobaan (Pasal 14 ayat 1 KUHAP). 2) Dalam hal hakim menjatuhkan pidana penjara lebih dari tiga bulan atau pidana kurungan atas pelanggaran ketentuan Pasal 492 KUHP (mabuk di tempat umum), Pasal 504 KUHP (pengemisan), Pasal 505 KUHP (pergelandangan), Pasal 506 KUHP (mucikari), Pasal 536 KUHP (mabuk di jalan umum), hakim dapat menetapkan syarat- syarat khusus yang berhubungan dengan kelakuan terpidana (Pasal 14a ayat (2) KUHP). Syarat-syarat khusus tersebut tidak diperkenankan sepanjang melanggar atau mengurangi hak-hak terpidana dalam hal berpolitik (kenegaraan) dan menjalankan agamanya (Pasal 14a ayat (5) KUHP).
5. apakah yang dimaksud pidana tutupan? Pidana tutupan merupakan salah satu bentuk pidana pokok yang diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Penambahan pidana tutupan ke dalam ketentuan KUHP didasarkan pada ketentuan Pasal 1 UU No. 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan (UU 20/1946). Di dalam Pasal 2 UU 20/1946 disebutkan bahwa: (1) Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan hukuman tutupan. (2) Peraturan dalam ayat 1 tidak berlaku jika perbuatan yang merupakan kejahatan atau cara melakukan perbuatan itu atau akibat dari perbuatan tadi adalah demikian sehingga hakim berpendapat, bahwa hukuman penjara lebih pada tempatnya.
Berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UU 20/1946 tempat untuk menjalani hukuman tutupan ini, mengenai tata usaha dan tata tertibnya diatur oleh Menteri Kehakiman dengan persetujuan Menteri Pertahanan. Ketentuan mengenai tempat menjalani hukuman tutupan diatur lebih lanjut dalam ketentuan PP No. 8 Tahun 1948 tentang Rumah Tutupan (PP 8/1948).
Pelaksanaan pidana tutupan berbeda dengan penjara karena ditempatkan di tempat khusus bernama Rumah Tutupan yang pengurusan umumnya dipegang oleh Menteri Pertahanan (Pasal 3 ayat *1+ PP 8/1948). Walaupun berbeda pelaksanaannya, penghuni Rumah Tutupan juga wajib melaksanakan pekerjaan yang diperintahkan kepadanya dengan jenis pekerjaan yang diatur oleh Menteri Pertahanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman (Pasal 3 ayat *1+ UU 20/1946 jo. Pasal 14 ayat *1+ PP 8/1948). Penghuni Rumah Tutupan tidak boleh dipekerjakan saat hari minggu dan hari raya, kecuali jika mereka sendiri yang menginginkan (Pasal 18 ayat *1+ PP 8/1948). Selain itu, Penghuni Rumah Tutupan wajib diperlakukan dengan sopan dan adil serta dengan ketenangan (Pasal 9 ayat *1+ PP 8/1948).
Mr. Utrecht dalam buku Hukum Pidana II (hal. 321) berpendapat Rumah Tutupan bukan suatu penjara biasa tetapi merupakan suatu tempat yang lebih baik dari penjara biasa, selain karena orang yang dihukum bukan orang biasa, perlakuan kepada terhukum tutupan juga istimewa. Misalnya ketentuan Pasal 33 ayat (2) PP 8/1948 yang berbunyi makanan orang hukuman tutupan harus lebih baik dari makanan orang hukuman penjara serta ketentuan Pasal 33 ayat (5) PP 8/1948 yang berbunyi buat orang yang tidak merokok, pemberian rokok diganti dengan uang seharga barang-barang itu.