Anda di halaman 1dari 104

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Jual beli adalah inti dari kegiatan perdagangan barang dan jasa, dari aktifitas

tersebut menimbulkan perikatan antara para pihak (antara pembeli dan penjual).

Dengan adanya kegiatan tersebut manusia dapat memenuhi kebutuhannya. Dalam

sewa beli, penjual menjual barangnya secara angsuran artinya setelah barang

diserahkan oleh penjual kepada pembeli, harga barang atau benda baru dibayar secara

angsuran tetapi selama angsuran terakhir belum dibayar lunas oleh pembeli maka

status pembeli hanya sebagai penyewa saja terhadap barang yang dikuasai dan akan

menjadi pemilik bila telah dibayar lunas oleh pembeli1

Unsur pokok dalam perjanjian jual beli adalah barang dan harga, dimana

antara penjual dan pembeli harus ada kata sepakat tentang harga dan benda yang

menjadi objek jual beli. Suatu perjanjian jual beli yang sah lahir apabila kedua belah

pihak telah setuju tentang harga dan barang.2

Pada dasarnya suatu perjanjian atau kontrak berawal dari suatu perbedaan atau

ketidaksamaan kepentingan di antara para pihak, dan perumusan hubungan

kontraktual tersebut pada umumnya diawali dengan proses negoisasi di antara para

pihak tersebut. Sehingga dengan adanya kontrak perbedaan tersebut

1
Qirom Syamsudin meliala A.Pokok –Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya.
Cetakan I. Yogyakarta: Liberty. 1986. hal. 88
2
R.Subekti.Aneka Perjanjian. Bandung : Citra Aditya Bakti. 1995. hal. 2.
diakomodirdanselanjutnya dibingkai dengan perangkat hukum sehingga mengikat

kedua belah pihak3

Perumusan tentang objek dan nilai ekonomis perjanjian yang menjadi klausul

dan transaksi diantara para pihak; Penggunaan bentuk, wujud dan format tertentu

(sesuai keinginan para pihak).4 Setelah subjek hukum dalam perjanjian telah jelas,

termasuk mengenai kewenangan hukum masing-masing pihak, maka pembuat

perjanjian harus menguasai materi atas perjanjian yang akan dibuat oleh para pihak.

Dua hal paling penting dalam perjanjian adalah objek dan hakikat daripada perjanjian

serta syarat-syarat atau ketentuan yang disepakati.5

Suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu

kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal, sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya

perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum

bagi para pihak yang membuatnya, tidak ada satupun syarat dalam Pasal 1320 KUH

Perdata yang mengharuskan suatu perjanjian dibuat secara tertulis.6

Di dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum perdata tidak dijelaskan

pengertian sebab yang halal. Yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah bahwa

isi perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,

kesusilaan dan ketertiban umum. Syarat pertama dan kedua merupakan syarat
3
Agus Yudha Hernoko. Hukum Perjanjian : Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komesial.
Yogyakarta: Laks Bang Mediatama. 2008. hal. 1-2.
4
Ibid, hal. 120
5
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Implementasi KetentuanKetentuan
Hukum Perjanjian Kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar,2010. hal.49
6
Suharnoko, Hukum Perjanjian (Teori dan Analisa Kasus) Jakarta : Prenada Media2004. hal. 1.
subjektif karena berkaitan dengan subjek perjanjian dan syarat ketiga dan keempat

merupakan syarat objektif karena berkaitan dengan objek perjanjian. Apabila syarat

pertama dan syarat kedua tidak terpenuhi, maka perjanjian itu dapat diminta

pembatalannya.7

KUH Perdata tidak menjelaskan mengenai kata sepakat, tetapi di dalam Pasal

1321 ditentukan syarat bahwa tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan

karena kekhilafan atau diperolehnya karena dengan paksaan

ataupenipuan.8Perjanjianharusdilaksanakandenganiktikadbaik (pasal 1338 ayat (3)

yaituobjektifdansubjektif9

Di dalam rumusan Pasal 1865 KUHPerdata menyebutkan bahwa “barang siapa

mendalilkan sesuatu hak harus membuktikannya”. Oleh karena itu, Akta adalah suatu

pernyataan tertulis yang ditandatangani dan dibuat oleh seorang atau lebih pihak-

pihak dengan maksud dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses hukum, 10jika

peristiwa hukum yang terjadi seperti yang disebutkan diatas, maka harus dilakukan

konstruksi bukti hukum agar perbuatan hukum tanpa bukti hukum itu mendapat dasar

penyelesaiannya. Misalnya, pinjam-meminjam uang dari tangan ke tangan tanpa bukti

kuitansi, tanpa ada saksi, sedangkan perbuatan itu oleh para pihak sama-sama diakui

dilakukan.

Perjanjian lisan atau kontrak lisan adalah sebuah kontrak yang telah disetujui

secara lisan, ketentuan-ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


7
Abdul Kadir Muhammad.Hukum Perikatan, Bandung : Alumni,1982. hal. 20.
8
KartiniMuljadi. Perikatan yang lahirdariperjanjian. Jakarta: PT. Grafindo Persada,2004 .hal 95
9
Handri Rahardjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Jakarta : Pustaka Yustisia.2009.hal. 45.
10
R. Soeroso..Perjanjian Di bawahTangan. Jakarta :SinarGrafika, 2010.hal 6.
(KUH Perdata) sama sekali tidak mewajibkan agar suatuperjanjian dibuat secara

tertulis, dengan kata lain, suatu Perjanjian yang dibuat secara lisan juga mengikat

secara hukum bagi para pihak yang membuatnya, pacta sun servanda (Pasal 1338

KUH Perdata). Suatu perjanjian, memuat hal-hal apa saja yang diperjanjikan, hal-hal

tersebut dinyatakan dalam akta autentik dan itu adalah benar seperti apa yang

diperjanjikan, dinyatakan oleh para pihak.11

Adapun permasalahandalamperjanjian lisan yaitu perjanjian lisan tentang jual

beli tanah beserta bangunannya, dimana pihak penyewa rumah selaku pembeli

membeli tanah beserta bangunanya dari pihak pemberi sewa (penjual) dengan cara

mencicil dan dengan perjanjian lisan. Pihak penjual dalam hal ini menjual objek

kepada pihak penyewadengan caramencicil, danjugapihak penjual juga menjual objek

tersebut kepada orang lain dengan dibuktikannya akta pengikatan jual beli, selaku

pihak yang berhak atas objek jual beli itu harus membuktikan perjanjiannyadi

Pengadilan.

Seperti yang terjadi dalam kasus putusan Mahkamah Agung Nomor 1660

K/Pdt/2014, dasar permasalahannya adalah Tuan Jerry

Olimanselakupenyewasekaliguspembelidengancaramencicil objek dari

pemiliktanahdanbangunan.

pemilik objek tanahdanbangunan, telah pula menawarkan kepada Penyewauntuk

membeli objek tanah selama masa sewa berlangsung. Pemilikobjekmenawarkan

harga objek tanahdanbangunan sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
11
I.G. Rai Widjaya. Merancang suatu kontrak. Jakarta: Kesaint Blanc.2002 hal 10.
rupiah) dan disetujui oleh penyewa. Pembayaran harga objek tanahdanbangunan

dilakukan dengan cara mengangsur dan mulai dibayarkan pada 4 April 2010 yang

diterima oleh pemilikobjekbaik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dan dibuktikan

dengan pemberian kwitansi.

Selama masa sewa berlangsung penyewa membayar pula uang

angsurancicilan pembelian objek tanahdanbangunan dengan rata-rata angsuran setiap

bulan kurang lebih Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah), hal ini dikarenakan hampir

setiap bulan pemilikobjekselalu datang untuk mengambil uang angsuran dalam kurun

waktu yang tidak tertentu. Pemilikobjek bahkan menawarkan kepada penyewa untuk

menyerahkan izin pemakaian tanah pengelolaan tanah dan rumah, namun penyewa

menolak karena merasa belum melunasi jual beli.

Setelah masa sewa berakhir pada 1 Agustus 2012 penyewasesuai kesepakatan

lisan dengan pemilikobjek, maka penyewa bermaksud untuk melunasi kekurangan

uang pembelian objek , namun sampai dengan diajukannya gugatan

kepadapemilikobjektidak pernah muncul lagi untuk menemui penyewa. Sementara

sebelumnya pemilikobjek masih datang dan meminta angsuran pembayaran

pembelian objek tersebut.

Seseorang mengaku sebagai pembeliobjek tiba-tiba menelpon dan

memberitahu bahwasebagai pemilik objek tanahdanbangunan, serta memerintahkan

kepada penyewa untuk pindah dan keluar dari objek tersebut.Pihakketigatidak pernah

sekalipun sebelumnya maupun sesudah bulanAgustus 2012 atau selama penyewa

menempati sebagai penyewa sejak tahun agustus2009 datang.penyewatidak tahu dan


tidak mengenalsebelumnya. Sejak Agustus 2010 pembeliobjekdengan menyuruh

orang suruhannya, selalu mendatangi penyewa dan meminta untuk meninggalkan

objek tanahdanbangunan denganmenunjukkan copy salinan akta nomor 4 perjanjian

pengikatan jual Beli yang dibuat di hadapan Notaris di Surabaya, tertanggal 3

Februari 2010 (untuk selanjutnya disebut Surat Jual Beli) yang dibuat oleh

pemilikobjekselaku penjual kepadapembeli dengan harga disepakati sebesar

Rp125.000.000,00 (seratus dua puluh lima juta rupiah).

DalamPutusannyaMajelis Hakim PengadilanNegeri Surabaya

memutuskanmenolakpermohonankasasidariTuan John Ranharten

LimantoTersebutdengandasarbahwa Tuan Jerry

Olimansedangmelakukantransaksijualbelidengancaramencicilsehinggaaktajualbeli

yang telahditerbitkandibatalkan demi hukum.

Berdasarkanhal-haltersebut, makajudul yang

diangkatdalampenulisantesisiniialah“Kedudukan Perjanjian Lisan Yang

MenjadiDasar Batalnya Akta Pengikatan Jual Beli (Analisis Putusan

MahkamahAgungNomor : 1660k/Pdt/2014).”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas dan untuk lebih memfokuskan diri

dalam membahas masalah penelitian, maka diidentifikasi beberapa permasalahan

sebagai berikut :

1. BagaimanaKedudukan hukum pihak pembeli dalam akta pengikatan jual beli


atas tanah dan bangunan yang dimiliki pihak penjual?
2. BagaimanaKedudukan hukum pihak penyewa dalam putusan Mahkamah
Agung nomor 1660k/pdt/2014?
3. Bagaimana Pertimbangan Hakim Tentang Perjanjian Lisan Menjadi Dasar
Batalnya Akta Pengikatan Jual Beli Dalam Putusan Mahkamah Agung
Nomor: 1660k/Pdt/2014?
C. Tujuan Penelitian

Perumusan tujuan penulisan selalu berkaitan erat dalam menjawab

permasalahan yang menjadi fokus penulisan,sehingga penulisan hukum yang akan

dilaksanakan tetap terarah. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk menganalisaKedudukan hukum pihak pembeli dalam akta pengikatan jual

beli atas tanah dan bangunan yang dimiliki pihak penjual .

2. Untuk menganalisaKedudukan hukum pihak penyewa dalam putusan Mahkamah

Agung nomor 1660k/pdt/2014.

3. Untuk menganalisaPertimbangan Hakim Tentang Perjanjian Lisan Menjadi Dasar

Batalnya Akta Pengikatan Jual Beli Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor:

1660k/Pdt/2014

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :


1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum,

khususnya yang berkaitan dengan pembahasan tentang sengketa hak atas

tanah.
b. perkembangan ilmu dan pengetahuan hukum, khususnya di bidang

kenotariatan serta menambah khasanah perpustakaan.

c. Menambah referensi/literatur sebagai bahan acuan bagi penelitian yang

akan datang apabila melakukan penelitian dibidang yang sama dengan

bahan yang telah diteliti.

2. Manfaat Praktis

a. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, dan untuk

mengetahui kemampuan peneliti dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.

b. Bahan pegangan dan rujukan pada masyarakat khususnya dalam bidang

perjanjian perikatan jual beli dan juga sebagai sumbangan pemikiran bagi

masyarakat dan pihak-pihak yang terkait dengan masalah dalam penelitian

ini.

c. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak

yang terkait dengan masalah penelitian ini.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik hasil–hasil

penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan di Program Studi Magister

Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian yang membicarakan

masalah “Kedudukan Perjanjian Lisan SebagaiDasarBatalnya Akta Pengikatan Jual

Beli (Analisis Putusan MA Nomor : 1660k/Pdt/2014)”.


Penelitian yang pernah dilakukan oleh mahasiswa Program Studi Magister

Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara yaitu :

1. Tesis yang berjudul : Analisis Yuridis Terhadap Hubungan Kerja Antara

Pengusaha Dan Pekerja Berdasarkan Perjanjian Kerja Secara Lisan (Studi

Kasus: Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri

Medan Nomor:41/G/2009/Phi.Mdn). Penelitian ini dilakukan oleh Surya

Ardinata ( NIM. 087011108). Adapunrumusanmasalahnyaadalah :

a. Bagaimana pengaturan hak dan kewajiban antara pengusaha dan pekerja

yang didasarkan pada perjanjian kerja secara lisan?

b. Bagaimana perlindungan hukum ketenagakerjaan terhadap pekerja yang

hubungan kerja didasarkan pada perjanjian kerja secara lisan?

c. Apakah putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri

Medan Nomor: 41/G/2009/PHI.Mdn mengenai hubungan kerja antara

pengusaha dan pekerja yang didasarkan pada perjanjian kerja secara lisan

sudah sesuai dengan hukum ketenagakerjaan?

2. Tesis yang berjudul : Kajian Yuridis Pembatalan Akta Pengikatan Jual Beli

(PJB) Tanah Yang Dibuat Dihadapan Notaris. Penelitian ini dilakukan oleh T.

Baswedan(NIM 117011130). Adapunrumusanmasalahnyaadalah :

a. Bagaimana kekuatan hukum akta pengikatan jual beli hak atas tanah yang

dilakukan dihadapan notaris?

b. Apakah faktor-faktor penyebab terjadinya pembatalan akta pengikatan jual

beli tanah yang dilakukan dihadapan notaris?


c. Bagaimana akibat hukum dari pembatalan akta pengikatan jual beli tanah

yang dilakukan dihadapan notaris?

3. Tesis yang berjudul : Efektivitas Dan Penerapan Kuasa Dalam Akta

Perikatan/Perjanjian Jual Beli Atas Tanah Serta Keterkaitannya Dengan Akta

Kuasa Jual. Penelitian ini dilakukan oleh Herry Santoso ( NIM 017011025).

Adapunrumusanmasalahnyaadalah :

a. Sejauh manakah efektivitas pemberian kuasa yang terdapat dalam akta

Perikatan/Perjanjian Jual Beli ?

b. Bagaimanakah keterkaitan antara pemberian kuasa yang terdapat dalam

akta Perikatan/Perjanjian Jual Beli dengan akta Kuasa Jual ?

c. Apakah kuasa yang diberikan/dibuat untuk melakukan perbuatan hukum

kepada penerima kuasa selalu demi kepentingan pemberi kuasa?

4. Tesis yang berjudul: kajian yuridis pembatalan akta pengikatan jual beli (pjb)

tanah yang dibuat dihadapan notarisadapunrumusanmasalahnyaadalah:

a. Bagaimanakah kekuatan hukum akta pengikatan jual beli hak atas tanah

yang dilakukan dihadapan notaris?

b. Apakah faktor-faktor penyebab terjadinya pembatalan akta pengikatan

jual beli tanah yang dilakukan dihadapan notaris tersebut?

c. Bagaimanakah akibat hukum dari pembatalan akta pengikatan jual beli

tanah yang dilakukan dihadapan notaris tersebut?

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori
Padadasarnyateorihukumsangatlahdiperlukansebabmemegangperananpenting

yaituberfungsimemberikanarahanataupetunjuksertamenjelaskangejala yang

diamati.12Adapuntujuanadanyateorihukumadalahuntukmenganalisisdanmenerangkanp

engertianhukumdankonsepyuridis, yang relevanuntukmenjawabpermasalahan yang

munculdalampenelitianhukum.13

Dalampenulisantesisini, teorihukum yang digunakanialahteorikepastian

hukum dan Perlindungan Hukum.

a. Teori Kepastian Hukum

Teori kepastian hukum dikemukakan oleh Roscoe Pound.14 Teori kepastian

hukum berarti bahwa dengan adanya hukum setiap orang mengetahui yang mana dan

seberapa besar hak dan kewajibannya. Kepastian bukan hanya berupa pasal-pasal

dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim

antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang

serupa yang telah diputuskan.15

Menurut Utrecht,
1) kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu adanya aturan yang
bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh
atau tidak boleh dilakukan.
2) berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah
karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat
mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara
terhadap individu.16
12
Lexy J. Moleong. MetodologiPenelitianKualitatif, RemajaRosdakarya,Bandung,2006 hal. 35.
13
Salim H.S, PerkembanganTeoriDalamIlmuHukum, RajawaliPers,Jakarta, 2004.hal. 54.
14
Peter Mahmud Marzuki.Pengantar lmu Hukum, Kencana Pranada Media Group,
Jakarta,2008.hal 158.
15
Ibid, h. 159
16
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung,
1999.hal. 24
Menurut Sudikno Mertokusomo : “kepastian hukum adalah jaminan bahwa
hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya
dan putusan dapat dilaksanakan, walau kepastian hukum erat kaitannya dengan
keadilan namun hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum bersifat umum,
mengikat setiap orang, sedangkan keadilan bersifat subyektif, individualistis dan
tidak menyama ratakan.”17

Soerjono Soekanto berpendapat, “bagi kepastian hukum yang penting adalah

peraturan dan dilaksanakan peraturan itu sebagaimana yang ditentukan. Apakah

hukum itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakat adalah diluar

pengutamaan kepastian hukum”18.

Menurut M. Solly Lubis : “Kepastian hukum ialah kejelasan peraturan hukum


mengenai hak, kewajiban dan status seseorang atau suatu badan hukum. Kepastian
hak,kewajiban dan kepastian status ini mendatangkan ketertiban, keteraturan,
ketenangan bagi yang bersangkutan, karena dengan adanya kejelasan seperti diatur
oleh hukum, maka seseorang tahu benar bagaimana status atau kedudukannya,
seberapa jauh hak maupun kewajibannya dalam kedudukan tersebut”.19

Kepastian hukum dikemukankan oleh Jan M. Otto sebagaimana yang dikutip

oleh Bernard Arief Sidharta, yaitu kepastian hukum dalam situasi tertentu

mensyaratkan sebagai berikut :

1) Tersedia aturan-aturan hukumyang jelas atau jernih, konsisten dan mudah


diperoleh (accessible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara.
2) Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintah) menerapkan aturan-aturan
hukum secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya.
3) Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan
karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan
tersebut.

17
Soedikno Mertokusomo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta
2002 hal 160
18
Soerjono soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-Masalah Sosial,
Alumni, Bandung,1982, hal 21.
19
M.Solly Lubis, Serba-serbi Politik dan Hukum, PT.Sofmedia, Jakarta, 2011, hal 54,
4) Bahwa hakim-hakim (peradilan)yang mendiri dan tidak berpihak
menerapkan aturan-aturan hukumitu secara konsisten sewaktu mereka
menyelesaiakan sengketa hokum, dan
5) Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.

Kelima syarat yang dikemukakan Jan M. Otto tersebut menunjukkan bahwa

kepastian hukum dapat dicapai jika substansi hukumnya sesuai dengan kebutuhan

masyarakat, aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian hukum adalah hukum

yang lahir dan mencerminkan budaya masyarakat. Kepastian hukum yang seperti

inilah yang disebut dengan kepastian hukum yang sebenarnya (realistic legal

certainly), yaitu mensyaratkan adanya keharmonisan antara Negara dengan rakyat

dalam berorientasi dan memahami sistem hukum.20

Van Apeldorn mengemukakan dua pengertian tentang kepastian hukum,


seperti berikut :
1) Kepastian hukum berarti dapat ditentukan hukum apa yang berlaku untuk
masalah-masalah kongkrit. Dengan dapat ditentukan masalah-masalah
kongkrit, pihak-pihak yang berperkara sudah dapat mengetahui sejak
awal ketentuan-ketentuan apakah yang akan dipergunakan dalam
sengketa tersebut.
2) Kepastian hukum berarti perlindungan hukum, dalam hal ini pihak yang
bersengketa dapat dihindari dari kesewenang-wenangan penghakiman.21

Teori Kepastian Hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu pertama

adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang

boleh atau tidak boleh dilakukan; dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu

dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat

20
Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2006
hal 85.
21
Peter Mahmud Marzuki, Penetian Hukum, Kencana, (Jakarta : Kencana , 2005), hal. 59-60
umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau

dilakukanoleh negara terhadap individu22

Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya

membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan

hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau

kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.23

Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan

akhirnya menimbulkan keresahan, tetapi terlalu menitik beratkan kepada kepastian

hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum, akibatnya kaku dan akan

menimbulkan rasa tidak adil, apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan

harus ditaati atau dilaksanakan. Undang-undang itu sering terasa kejam apabila

dilaksanakan secara ketat.

Alasan penggunaaan teori kepastian hukum dalam penelitian ini disebabkan

karena pemilik objek telah melakukan perbuatan hukum yang menyebabkan

ketidakpastian hokum antara para pihak yang terlibat dalam perjanjian jual beli objek

sehingga perjanjian yang dibuat berdasarkan ketentuan undang-undang dibatalkan

oleh hukum. Kepastian hukum yang dikehandaki disini adalah status kepemilikan

objek tanah dan bangunan yang diperoleh dari suatu perjanjian.

b. Teori Perlindungan Hukum

22
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada MediaGroup, Jakarta,
2006 .hal. 137
23
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (suatu kajian filosofis dan sosiologis), Penerbit Toko
Gunung Agung, Jakarta,2002. hal. 82-83
Menurut Satjipto Raharjo, ”hukum melindungi kepentingan seseorang dengan
cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka
kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur,
dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah
yang disebut hak. Tetapi tidak di setiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut
sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya
hak itu pada seseorang”.24

Menurut Setiono, “perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk

melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak

sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman

sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.”25

Menurut Muchsin, “perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk

melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah

yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban

dalam pergaulan hidup antar sesama manusia”.26

Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek

hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan

pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi

dua, yaitu:27

1) Perlindungan Hukum Preventif


Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk
mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam
peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu
24
Satjipto Rahardjo, Ilmu hukum, Cetakan ke-V, Citra Aditya Bakti, Bandung,2000 hal. 53.
25
Setiono. Rule of Law (Supremasi Hukum), Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret, Surakarta,2004. hal. 3.
26
Muchsin.Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, magister Ilmu
Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta,2003. hal. 14.
27
Ibid, hal. 20
pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam
melakukan sutu kewajiban.
2) Perlindungan Hukum Represif.
Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi
seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila
sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.

Teori perlindungan hukum diperlukan di dalam penelitian ini agar dapat

mengetahui perlindungan hukum yang bisa didapatkan oleh kedua belah pihak.

Perlindunganhukumseharusnyamemberikanperlindunganhukumkepadapihak yang

terlibatdalamperjanjianjualbeli.Dengan adanya teori perlindungan hukum, maka bisa

diketahui sejauh mana akibat hukum yang timbul dari kedudukan perjanjian lisan

sebagaidasarbatalnya akta pengikatan jual belisesuai dengan Putusan Mahkamah

Agung nomor : 1660K/PDT/2014,

2. Konsepsi

Suatu kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan

hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin diteliti akan tetapi merupakan

suatu abstraksi dari gejala tersebut. Gejala ini sendiri biasanya dinamakan fakta,

sedangkan konsep merupakan uraian mengenai hubungan dalam fakta tersebut.28

Melaksanakan penelitian ini, perlu disusun serangkaian operasional dan

beberapa konsep yang akan dipergunakan dalam penulisan ini, dengan tujuan untuk

mencegah terjadinya salah pengertian dan sebagainya.

a. Perjanjian adalah suatu hubungan Hukum kekayaan/harta benda antara dua

orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk

28
Soerjono Soekanto.Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta ,1989 hal. 132
memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk

menunaikan prestasi.29

b. Perjanjian lisan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam

wujud lisan dan hanya berdasarkan kesepakatan dan kepercayaan diantara

para pihak yang melakukan perjanjian.30

c. Batal adalah tidak berlaku, tidak sah.31

d. Jual beli adalah perjanjian dengan mana penjual memindahkan atau setuju

memindahkan hak milik atas barang kepada pembeli sebagai imbalan

sejumlah uang yang disebut harga.32

e. Wanprestasiadalahdapat diartikan sebagai tidak terlaksananya prestasi karena

kesalahan salah satu pihak yang terikat dengan perjanjian baik karena

kesengajaan atau kelalaian.33

f. Aktapengikatanjualbeli adalah kesepakatan antara penjual untuk menjual

properti miliknya kepada pembeli yang dibuat dengan akta notaris. PJB bisa

dibuat karena alasan tertentu seperti belum lunasnya pembayaran harga jual

beli dan belum dibayarkannya pajak-pajak yang timbul karena jual beli.

G. Metode Penelitian

Penelitian (research) sesuai dengan tujuannya dapat didefinisikan sebagai

usaha untuk menentukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu

29
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian,1986 hal. 6
30
Salim H.S, Hukum Kontrak teori dan teknik penyusunan Kontrak, Op .Cit, hal. 42
31
Kamus Besar Bahasa Indonesia
32
Abdulkadir Muhammad.Hukum Perjanjian, PT Alumni, Bandung,2010 hal. 243
33
J. Satrio, HukumPerikatan (PerikatanPadaUmumnya), Bandung: PT Alumni .1999.hal 122.
pengetahuan. Usaha mana dilakukan dengan metode-metode ilmiah yang disebut

dengan metodologi penelitian.34 Kata metode berasal dari bahasa Yunani yaitu

“methods” yang berarti cara atau jalan sehubungan dengan upaya ilmiah, maka

metode menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi

sasaran ilmu yang bersangkutan.35

Metode penelitian merupakan hal yang penting dalam upaya mencapai tujuan

tertentu di dalam penulisan tesis ini. Hal ini agar terhindar dari suatu penilaian bahwa

penulisan tesis dibuat dengan cara sembarangan dan tanpa didukung dengan data yang

lengkap. Penulisan sebagai salah satu jenis karya tulis ilmiah yang membutuhkan

data-data yang mempunyai nilai kebenaran yang dapat dipercaya. Untuk memperoleh

data-data sebagaimana yang dimaksud maka dilakukan suatu metode tertentu, karena

setiap cabang ilmu pengetahuan mempunyai metode penulisan tersendiri.

Sebagai suatu penelitian yang ilmiah, maka rangkaian kegiatan penelitian

diawali dengan pengumpulan data sehingga analisis data yang dilakukan dengan

memperhatikan kaidah-kaidah penelitian sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian dalam penelitian iniadalah yuridis Normatif. Penelitian

hukum yuridis normatif ialah dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan

(statue approach),36 penelitian hukum doktriner yang mengacu kepada norma-norma

34
Sutrisno Hadi.Metodologi Research, Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM,
Yogyakarta,1973, hal.5
35
Koentjaraningrat.Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta,1997 hal. 16.
36
Bambang Sunggono.Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997.hal 39.
hukum37 maka penelitian ini menekankan kepada sumber-sumber bahan sekunder,

baik berupa peraturan-peraturan maupun teori-teori hukum, yang memfokuskan

pengumpulan semua perundang-undangan yang terkait di dalam buku, melakukan

pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan

langsungdenganperjanjianlisandanaktapengikatanjualbelisertakekuatanhukumnya.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang mengungkapkan peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek

penelitian. Demikian juga hukum dalam pelaksanaannya di dalam masyarakat yang

berkenaan dengan objek penelitian.38, sertaanalisis dilakukan berdasarkan gambaran,

fakta yang diperoleh dan akan dilakukan secara cermat bagaimana menjawab

permasalahan dalam menyimpulkan suatu solusi sebagai jawaban dari permasalahan

tentangperjanjianlisandanaktapengikatanjualbeliterhadapperbuatanhukum yang

dilakukanolehsipemilikobjek.

3. Sumber Data

Data dalam penelitian dapat dibagi atas 2 (dua) yaitu Data Primer dan Data

sekunder. Dalam penelitian ini digunakan data sekunder yaitu teknik pengumpulan

data pada studi kepustakaan.. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi

kepustakaan dari arsip-arsip, bahan pustaka data resmi pada instansi pemerintah,

37
Ibid, hal 13
38
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,2009 hal. 105-106.
Undang-Undang, makalah yang ada kaitannya dengan masalah yang sedang diteliti

yang terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer,39 yaitu bahan hukum yang mengikat yaitu seperti,

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata danputusan Mahkamah agung No.

Nomor 1660 K/Pdt/2014.

b. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan

hukum primer, antara lain berupa buku, hasil-hasil penelitian, tulisan atau

pendapat pakar-pakar hukum.

c. Bahan Hukum tertier, yaitu bahan-bahan hukum yang sifatnya penunjang

untuk dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum

primer dan sekunder, seperti jurnal hukum, jurnal ilmiah, surat kabar,

internet serta makalah-makalah yang berkaitan dengan objek penelitian

4. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu :

a. Studi Kepustakaan (Library Research)

adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka

untuk memperoleh data sekunder berupa buku-buku baik koleksi pribadi

maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media

cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumenpemerintah, termasuk

39
Ronny Hanitjo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghia Indonesia,
Jakarta,1988.hal. 55
peraturan perundangundangan. Tahap-tahap pengumpulan data melalui

studi pustaka adalah sebagai berikut :

1) Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum

lainnya yang relevan degan objek penelitian.

2) Melakukan penelusuran kepustakaan melalui, artikel- artikel media

cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan

peraturan perundangundangan.

3) Mengelompokan data-data yang relevan dengan permasalahan.

4) Menganalisis data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan

masalah yang menjadi objek penelitian.

a. Studi Lapangan (Field Research)

Yaitu melakukan wawancara yang akan digunakan sebagai data

penunjang dalam penelitian. Data tersebut diperoleh dengan wawancara

yang dilakukan langsung kepada narasumber, dalam hal ini kepada

beberapa orang Notaris di Kota Medan dengan menggunakan daftar

pertanyaan sebagai pedoman wawancara dan dilakukan secara bebas dan

terarah agar mendapatkan informasi yang lebih fokus dengan masalah

yang diteliti.40

40
Ronitijo Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1990), hal. 63
Alat pengumpulan data yang digunakan untuk mengumpulkan data dan

dipergunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan mengadakan :

a. Studi dokumen yaitu dengan melakukan inventarisasi dan sistemasi

literatur yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Yang

digunakan untuk memperoleh data sekunder dengan membaca,

mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisis data sekunder

yang berkaitan dengan objek penelitian.41

b. Pedoman wawancara, yaituPedoman wawancara secara garis besar dapat

dibagi ke dalam tiga tahap, yaitu tahap persiapan wawancara, proses

wawancara, dan evaluasi wawancara, termasuk permasalahan yang kerap

muncul pada penelitian yang menggunakan teknik wawancara.sehingga

diperoleh data yang diperlukan sebagai data pendukung dalam penelitian

ini.

5. Analisis Data

Sesuai dengan sifat penelitian ini yang bersifat deskriptif analitis, dimana

analisis data merupakan sebuah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke

dalam pola kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat

dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan.

Analisis data yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah analisis data

kualitatif, yakni analisis data yang tidak mempergunakan angka-angka tetapi


41
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 52
berdasarkan atas peraturan perundang-undangan, pandangan-pandangan, pendapat

para ahli, narasumber hingga dapat menjawab permasalahan dari penelitian ini.

Salah satu jenis penelitian kualitatif adalah berupa penelitian dengan metode

atau pendekatan studi kasus .Sebagai sebuah studi kasus maka data yang

dikumpulkan berasal dari berbagai sumber dan hasil penelitian ini hanya berlaku pada

kasus yang diselidiki.

Penelitian dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mempelajari secara

intensif tentang latar belakang masalah, keadaan dan posisi suatu peristiwa yang

sedang berlangsung serta interaksi lingkungan unit sosial tertentu yang bersifat apa

adanya .

Sebelum dilakukannya analisis, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan dan

evaluasi terhadap semua data yang dikumpulkan. Disusun secara sistematis, diolah

dan diteliti serta dievaluasi. Kemudian data dikelompokkan atas data sejenis, untuk

kepentingan analisis, sedangkan evaluasi dan penafsiran dilakukan secara kualitatif

yang dicatat satu persatu untuk dinilai kemungkinan persamaan jawaban. Oleh karena

itu data yang telah dikumpulkan kemudian diolah, dianalisis secara kualitatif dan

diterjemahkan secara logis sistematis untuk selanjutnya ditarik kesimpulan dengan

menggunakan logika berpikir deduktif.42

42
Mukti Fajar & Yulianto Achmad Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta,2010 , hal.109.
BAB II

A.Tinjauan tentang perjanjian jual beli

1. Pengertian Jual beli

Kegiatan jual beli dalam kehidupan masyarakat Indonesia telah ada sejak

dahulu kala, namun seiring dengan perkembangan zaman dan Indonesia telah meraih

kemerdekaannya maka kegiatan jual beli telah diatur lebih lanjut dalam berbagai
peraturan perundang-undangan yaitu didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata

maupun Kitab Undang-undang Hukum Dagang. Jual beli juga termasuk dalam

kelompok perjanjian bernama, artinya undang-undang telah memberikan nama

tersendiri dan memberikan pengaturan secara khusus terhadap perjanjian ini.

Menurut pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, jual beli adalah

suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk

menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang

telah dijanjikan. Jual beli diatur dalam buku ketiga Bab V Kitab undang-undang

hukum perdata.

Menurut Salim H.S., S.H.,M.S., Perjanjian jual beli adalah Suatu Perjanjian

yang dibuat antara pihak penjual dan pihak pembeli Di dalam perjanjian itu pihak

penjual berkewajiban untuk menyerahkan objek jual beli kepada pembeli dan berhak

menerima harga dan pembeli berkewajiban untuk membayar harga dan berhak

menerima objek tersebut.43Harga dalam hal ini harus berupa uang, sebab jika harga

itu berupa suatu barang maka tidak akan terjadi jual beli, melainkan yang terjadi

adalah tukar menukar. Unsur yang terkandung dalam defenisi tersebut adalah44 :

a. Adanya subjek hukum, yaitu penjual dan pembeli

b. Adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan harga

c. Adanya hak dan kewajiban yang timbul antara pihak penjual dan pembeli
43
Salim H.S. Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta : Sinar Grafika.
2003. hal. 49.
44
A Qirom Syamsudin Meliala. Pokok-pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya.
Yogyakarta : Liberty. 2002. hal. 38.
Suatu perjanjian jual beli yang sah lahir apabila kedua belah pihak telah setuju

tentang harga dan barang. Sifat konsensual dari perjanjian jual beli tersebut

ditegaskan dalam pasal 1458 yang berbunyi “ jual beli dianggap sudah terjadi antara

kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai kata sepakat tentang barang dan

harga, meskipun barang ini belum diserahkan maupun harganya belum dibayar ”

maka dengan kata lain unsur paling penting dalam perjanjian jual beli adalah barang

dan harga.45

Akibat dari suatu perjanjian menurut Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu46 :

1) perjanjian mengikat para pihak, para pihak yang dimaksud adalah :

- para pihak yang membuatnya

- ahli waris berdasarkan alas hak umum karena mereka itu memperoleh segala hak

dari seseorang secara tidak terperinci

- pihak ketiga yang diuntungkan dari perjanjian yang dibuat berdasarkan alas hak

khusus karena mereka itu memperoleh segala hak dari seseorang secara terperinci /

khusus.

2) perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak karena merupakan

kesepakatan diantara kedua belah pihak dan alasan-alasan yang oleh undang-undang

dinyatakan cukup untuk itu.

3) perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Melaksanakan apa yang menjadi

hak di satu pihak dan kewajiban di pihak yang lain dari yang membuat perjanjian.

45
R.Subekti. Aneka Perjanjian. Bandung : Citra Aditya Bakti. 1995. hal. 2.
46
Handri Raharjo. Hukum Perjanjian di Indonesia. Jakarta : Pustaka Yustisia. 2009. hal. 58.
Hakim berkuasa menyimpangi isi perjanjian bila bertentangan dengan rasa

keadilan.Sehingga agar suatu perjanjian dapat dilaksanakan harus dilandasi dengan

prinsip itikad baik, prinsip kepatuhan, kebiasaan dan sesuai undang-

undang.Dimasukannya itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian berarti kita harus

menafsirkan perjanjian itu berdasarkan keadilan dan kepatuhan.

Pada umumnya perjanjian tidak terikat pada bentuk tertentu, perjanjian dapat

dibuat secara lisan dan tulisan yang akhirnya dapat menjadi alat bukti apabila terjadi

perselisihan.Untuk beberapa perjanjian, undang-undang menentukan suatu bentuk

tertentu, sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian itu tidak

sah.Dengan demikian bentuk tertulis tidaklah hanya semata-mata merupakan alat

pembuktian saja, tetapi merupakan syarat untuk adanya perjanjian tersebut.Misalnya

perjanjian mendirikan Perseroan Terbatas harus dengan akta Notaris. Bentuk

perjanjian jual beli ada dua yaitu :

1. Lisan, yaitu dilakukan secara lisan dimana kedua belah pihak bersepakat untuk

mengikatkan dirinya melakukan perjanjian jual beli yang dilakukan secara lisan.

2. Tulisan, yaitu Perjanjian Jual beli dilakukan secara tertulis biasanya dilakukan

dengan akta autentik maupun dengan akta di bawah tangan.

a. Asas-asas perjanjian jual beli


Hukum Perjanjian mengenal beberapa asas penting yang merupakan dasar

kehendak pihak-pihak dalam mencapai tujuan. Beberapa asas tersebut menurut

Mariam Darus Badrulzaman adalah sebagai berikut47:

1. Asas konsensualisme

Asas konsensualisme memberikan batasan bahwa suatu perjanjian terjadi sejak

tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak, dengan kata lain perjanjian itu sudah sah

dan membuat akibat hukum sejak saat tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak

mengenai pokok perjanjian. Dari asas ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian dapat

dibuat secara lisan atau dapat pula dibuat dalam bentuk tertulis berupa akta, jika

dikehendaki sebagai alat bukti, kecuali untuk perjanjian perjanjian tertentu yang harus

dibuat secara tertulis sebagai formalitas yang harus dipenuhi sebagai perjanjian

formal, misalnya perjanjian perdamaian, perjanjian penghibahan, dan perjanjian

pertanggungan. Asas konsensualisme disimpulkan dari Pasal 1320 KUH Perdata.

2. Asas kepercayaan

Asas kepercayaan (vertrouwensbeginsel), yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa

seseoarang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain menumbuhkan

kepercayaan di antara kedua pihak bahwa satu sama lain akan memegang janjinya

atau melaksanakan prestasinya masing-masing.

3. Asas kekuatan mengikat

47
Mariam Darus Badrulzaman. Aneka Hukum Bisnis. Bandung : Alumni Bandung. 1994. hal.
108-115.
Asas kekuatan mengikat mengatur bahwa para pihak pada suatu perjanjian tidak

semata-mata terikat pada apa yang diperjanjikan dalam perjanjian, akan tetapi juga

terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan, kepatutan, serta

moral.

4. Asas persamaan hukum

Asas persamaan hukum menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak

ada perbedaan yang menyangkut perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan dan

jabatan.

5. Asas keseimbangan

Asas ini merupakan lanjutan dari asas persamaan hukum.Kreditur atau pelaku usaha

mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut

pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban

untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.Di sini terlihat bahwa

kedudukan kreditur yang kuatdiimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan

itikad baik,sehingga kedudukan kreditur dan debitur menjadi seimbang.

6. Asas kepastian hukum

Perjanjian merupakan suatu figur hukum sehingga harus mengandung kepastian

hukum.Asas kepastian hukum disebut juga asas pacta sunt servanda.Asas pacta sunt

servanda merupakan asas dalam perjanjian yang berhubungan dengan daya mengikat

suatu perjanjian.Perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat bagi

mereka yang membuatnya seperti Undang-Undang.


Dengan demikian maka pihak ketiga tidak mendapatkan keuntungan karena

perbuatan hukum para pihak, kecuali apabila perjanjian tersebut memang ditujukan

untuk kepentingan pihak ketiga. Maksud dari asas pacta sunt servanda ini dalam

suatu perjanjian tidak lain adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi para pihak

yang telah membuat perjanjian, karena dengan asas ini maka perjanjian yang dibuat

oleh para pihak mengikat sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuatnya

7. Asas moral

Asas moral terlihat pada perikatan wajar, dimana suatu perbuatan sukarela dari

seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontra prestasi dari

pihak debitur.Asas moral terlihat pula dari zaakwarneming, dimana seseorang yang

melakukan perbuatan suka rela (moral) mempunyai kewajiban untuk meneruskan dan

menyelesaikan perbuatannya.Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1339 KUH

Perdata.

8. Asas kepatutan

Asas kepatutan berkaitan dengan isi perjanjian, dimana perjanjian tersebut juga

mengikat untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh

kepatutan, kebiasaan atau Undang-Undang.Asas kepatutan dapat disimpulkan dari

Pasal 1339 KUH Perdata.

9. Asas kebiasaan

Asas kebiasaan menyatakan bahwa hal-hal yang menurut kebiasaan secara diam-diam

selamanya dianggap diperjanjikan.Asas ini tersimpul dari Pasal 1339 juncto 1347

KUH Perdata.
Namun menurut Salim H.S terdapat dua asas lagi yang digunakan dalam

praktik perjanjian jual beli yaitu48:

1. Asas iktikad baik (Goede Trouw)

Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata).

Iktikad baik ada dua yaitu49 :

a. Bersifat objektif, artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan.

b. Bersifat subjektif, artinya ditentukan sikap batin seseorang.

2. Asas Kepribadian

Pada umumnya tidak seorang pun dapat mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya

sendiri.Pengecualiannya terdapat dalam pasal 1317 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata tentang janji untuk pihak ketiga.

b. Subjek Hukum Perjanjian Jual Beli

Perjanjian jual beli merupakan suatu perbuatan hukum dimana terdapat subjek

didalamnya, subjek dalam perjanjian jual beli disebut sebagai subjek hukum.Subjek

Hukum terdiri dari manusia dan badan hukum.

a. Individu sebagai persoon atau manusia tertentu;

1) Natuurlijke persoon atau manusia tertentu.

Subjek jual beli berupa orang atau manusia harus memenuhi syarat tertentu

untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum secara sah.Seseorang harus cakap

48
Salim H.S.,Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta : Sinar Grafika.
2003. hal. 49.

49
Handri Rahardjo. Hukum Perjanjian di Indonesia. Jakarta : Pustaka Yustisia. 2009. hal. 45.
untuk melakukan tindakan hukum, tidak lemah pikirannya, tidak berada dibawah

pengampuan atau perwalian.Apabila anak belum dewasa, orang tua atau wali dari

anak tersebut yang harus bertindak.

2) Rechts persoon atau badan hukum.

Subjek jual beli yang merupakan badan hukum, dapat berupa kooperasi dan

yayasan.Kooperasi adalah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum

bertindak bersama-sama sebagai satu subjek hukum tersendiri.Sedangkan yayasan

adalah suatu badan hukum dilahirkan oleh suatu pernyataan untuk suatu tujuan

tertentu.Dalam hukum, yayasan bertindak menjadi pendukung hak dan kewajiban

tersendiri.

Pada dasarnya semua orang atau badan hukum dapat menjadi subjek dalam

perjanjian jual beli yaitu sebagai penjual dan pembeli, dengan syarat yang

bersangkutan telah dewasa dan atau sudah menikah. Namun secara yuridis ada

beberapa orang yang tidak diperkenankan untuk melakukan perjanjian jual beli,

sebagaimana dikemukakan berikut ini50 :

1. Jual beli Suami istri

Pertimbangan hukum tidak diperkenankannya jual beli antara suami istri

adalah karena sejak terjadinya perkawinan, maka sejak saat itulah terjadi

pencampuran harta, yang disebut harta bersama kecuali ada perjanjian kawin. Namun

ketentuan tersebut ada pengecualiannya yaitu51:

50
Salim H.S. Opcit ., hal. 50.
51
Ibid.,
a. Jika seorang suami atau istri menyerahkan benda-benda kepada isteri atau

suaminya, dari siapa ia oleh Pengadilan telah dipisahkan untuk memenuhi apa yang

menjadi hak suami atau istri menurut hukum.

b. Jika penyerahan dilakukan oleh seorang suami kepada isterinya, juga dari siapa ia

dipisahkan berdasarkan pada suatu alasan yang sah, misalnya mengembalikan benda-

benda si istri yang telah dijual atau uang yang menjadi kepunyaan istri, jika benda itu

dikecualikan dari persatuan.

c. Jika si istri menyerahkan barang-barang kepada suaminya untuk melunasi sejumlah

uang yang ia telah janjikan kepada suaminya sebagai harta perkawinan.

2. Jual beli oleh para Hakim, Jaksa, Advokat, Pengacara, Juru Sita dan Notaris. Para

Pejabat ini tidak diperkenankan melakukan jual beli hanya terbatas pada benda-benda

atau barang dalam sengketa.Apabila hal itu tetap dilakukan, maka jual beli itu dapat

dibatalkan, serta dibebankan untuk penggantian biaya, rugi dan bunga.

3. Pegawai yang memangku jabatan umum

Yang dimaksud dalam hal ini adalah membeli untuk kepentingan sendiri terhadap

barang yang dilelang.

c. Objek hukum perjanjian jual beli

Jika subjek hukum dalam sebuah perjanjian jual beli adalah pihak yang

melakukan perjanjian tersebut, maka pengertian objek hukum dari perjanjian jual beli
adalah hal yang diwajibkan kepada pihak penjual diberikan kepada pihak yang berhak

yaitu pembeli. Dengan kata lain bahwa objek hukum dalam jual beli adalah benda.

Yang dapat menjadi objek dalam jual beli adalah semua benda bergerak dan

benda tidak bergerak, baik menurut tumpukan, berat, ukuran, dan timbangannya.

Sedangkan yang tidak diperkenankan untuk diperjualbelikan adalah52:

a. Benda atau barang orang lain

b. Barang yang tidak diperkenankan oleh undang-undang seperti obat terlarang

c. Bertentangan dengan ketertiban, dan

d. Kesusilaan yang baik

2. Jual beli hak atas tanah

Perjanjian jual beli hak atas tanah merupakan suatu kegiatan yang sering

dilakukan oleh masyarakat.Pengertian jual beli tanah adalah perbuatan hukum yang

berupa penyerahan hak milik atau penyerahan tanah untuk selama-lamanya oleh

penjual kepada pembeli, yang pada saat itu juga pembeli membayar harganya kepada

penjual.Dalam hukum agraria atau hukum tanah jual beli mengakibatkan beralihnya

hak milik atas tanah dari penjual kepada pembeli.53

Pengertian jual beli tanah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

jual beli adalah salah satu macam perjanjian atau perikatan seperti termuat dalam

Buku III tentang perikatan.Menurut Pasal 1457 KHUPerd apa yang disebut ”jual beli

52
Ibid., hal. 51.
53
Boedi Harsono. Menuju Penyempurnaan Hukum tanah Nasion. . Jakarta : Universitas
Trisakti. 2002. hal. 135.
tanah” adalah suatu perjanjian dalam mana pihak yang mempunyai tanah, yang

disebut ”penjual”, berjanji dan mengikatkan diri untuk menyerahkan haknya atas

tanah yang bersangkutan kepada pihak lain, yang disebut pembeli. Sedang pihak

pembeli berjanji dan mengikatkan diri untuk membayar harga yang telah disetujui.

Yangdijualbelikan menurut ketentuan Hukum Barat ini adalah apa yangdisebut

”tanah-tanah hak barat”, yaitu tanah-tanah Hak Eigendom,Erfpacht, Opstal dan lain-

lain54. Biasanya jual belinya dilakukan dihadapan notaris, yang membuat aktanya.

Dalam hal jual beli tanah dari bunyi Pasal 1457, Pasal 1458, dan Pasal 1459

dapat disimpulkan bahwa jual beli adalah suatu perjanjian, dimana satu pihak

mengikatkan dirinya untuk menyerahkan tanah dan pihak lainnya untuk membayar

harga-harga yang telah ditentukan.

Pengertian jual beli tanah ruang lingkup objeknya terbatas hanya pada hak

milik atas tanah. Namun dalam hukum positif yang mengatur hak-hak atas tanah,

yang dapat menjadi obyek jual beli tidak hanya terbatas hanya pada hak milik, namun

juga hak guna usaha ,hak guna bangunan, hak pakai, maupun hak milik atas satuan

rumah susun.

Hak atas tanah yang dapat dijadikan obyek jual beli adalah Hak Milik, Hak

Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas tanah negara dengan izin dari

pejabat yang berwenang, dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun sebagaimana

54
Boedi Harsono. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang‐Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta : Djambatan. 2007. hal. 28.
diatur dalam undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Tidak

semua hak atas tanah dapat dijadikan obyek jual beli.

Hak atas tanah yang tidak dapat diperjualbelikan adalah hak pakai atas tanah

negara yang diberikan untuk waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya digunakan

untuk keperluan tertentu. Misalnya, Hak Pakai yang dimiliki oleh lembaga/instansi

Pemerintah, Perwakilan Negara Asing atau Badan/Organisasi Internasional, dan

Badan Sosial diatur dalam Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996.

Peralihan hak atas tanah dalam bentuk jual beli harus memenuhi beberapa

syarat yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Apabila syarat-syarat yang telah ditentukan tidak terpenuhi maka akan membawa

konsekuensi pada legalitas jual beli hak atas tanah tersebut. Di samping itu apabila

suatu perbuatan jual beli hak atas tanah tidak memenuhi syarat, juga dapat

berkonsekuensi tidak dapat didaftarkannya peralihan hak atas tanah melalui jual beli

tersebut.

Perjanjian jual beli dikatakan pada umumnya merupakan perjanjian

konsensual karena ada juga perjanjian jual beli yang termasuk perjanjian formal,

yaitu yang mengharuskan dibuat dalam bentuk tertulis yang berupa akta otentik,

yakni jual beli barang-barang tidak bergerak.55

Penyerahan hak itu, dalam istilah hukumnya disebut jurisdische levering yaitu

penyerahan menurut hukum, yang harus dilakukan dengan pembuatan akta dimuka

55
Ahmadi Miru. Hukum Kontrak Perancangan Kontrak. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
2007. hal. 127.
dan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah berdasarkan PP No.24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah. Dan perbuatan hukum tersebut dimasyarakat terkenal dengan

sebutan Balik Nama.Jadi tegasnya, sebelum dilangsungkan Balik Nama itu, maka hak

atas tanah belum berpindah dari penjual kepada pembeli.

3.Hak Ijin Pemakaian Tanah

Undang- undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok

Agraria, diundangkan pada tanggal 24 September 1960 dalamLNRI Tahun 1960 No.

104 – TLNRI No. 2043, undang-undang ini lebih dikenal dengan sebutan Undang-

undang Pokok Agraria (UUPA). Dengan berlakunya UUPA terjadilah perubahan

yang bersifat mendasar atau fundamental pada Hukum Agraria di Indonesia terutama

Hukum Pertanahan.Perubahan yang bersifat mendasar atau fundamental ini mengenai

suatu perangkat hukum, konsepsi yang mendasari maupun isinya.UUPA harus sesuai

dengan kepentingan rakyat Indonesia serta memenuhi pula keperluannya menurut

permintaan zaman.56

Macam-macam hak atas tanah disebutkan dalam Pasal 16 UUPA, yaitu Hak

Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa Untuk

Bangunan, Hak Membuka Tanah, dan Hak Memungut Hasil Hutan. Hak atas tanah

yang bersifat sementara disebutkan dalam Pasal 53 UUPA, yaitu Hak Gadai, Hak

Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian

56
Boedi Harsono. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok
Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya. Jakarta : Djambatan. 2003. hal. 1.
Selain hak yang telah disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 53 UUPA,

terdapat hak penguasaan atas tanah yang tidak termasuk dalam jenis hak atas tanah,

yaitu hak bangsa Indonesia atas tanah, hak menguasai negara atas tanah, hak ulayat,

Hak Tanggungan, dan Hak Pengelolaan.

Pengertiandari hak pengelolaan yang terdapat di dalam Pasal 1 ayat 1 dan 2

PeraturanMenteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 Tentang Tata Cara

Permohonandan Penyelesaian Pemberian Hak Atas Bagian-bagian Tanah

HakPengelolaan Serta Pendaftarannya yang isinya:

“Yang dimaksud dengan “Hak Pengelolaan” dalam Peraturan iniadalah:


1) Hak pengelolaan, yang berisi wewenang untuk:
a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yangbersangkutan;
b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaanusahanya;
c. Menyerahkan bagian-bagian daripada tanah tersebut kepadapihak ketiga menurut
persyaratan yang ditentukan olehperusahaan pemegang hak tersebut, yang meliputi
segi-segiperuntukan, penggunaan, jangka waktu dan keuangannya,\ dengan ketentuan
bahwa pemberian hak atas tanah kepada pihakketiga yang bersangkutan dilakukan
oleh pejabat-pejabat yangberwenang, sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku.
2) Hak pengelolaan yang berasal dari pengkonversian hak penguasaanberdasarkan
Peraturan Menteri Agraria No. 9/1965 tentang “Pelaksanaan konversi hak penguasaan
atas tanah Negara danketentuan tentang kebijaksanaan selanjutnya” yang memberi
wewenang sebagaimana tersebut dalam ayat 1 diatas dan yang telah didaftarkan di
Kantor Sub Direktorat Agraria setempat serta sudah
ada sertifikatnya.”
Sedangkan Pengertian hak pengelolaan menurut Peraturan Menteri Negara

Agraria atau Kepala BPN No. 9 Tahun 1999, Pasal 1 angka (3)adalah hak untuk

menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanannya sebagian dilimpahkan

kepada pemegangnya, sehingga hak pengelolaan ini bukan hak atas tanah

sebagaimana yang dimaksudkan di dalam Pasal 16 UUPA.


Maria S.W Sumardjono menyatakan bahwa dalam praktik terdapat berbagai

jenis hak pengelolaan, yaitu: hak pengelolaan pelabuhan, hak pengelolaan otorita, hak

pengelolaan perumahan, hak pengelolaan pemerintah daerah hak pengelolaan

transmigrasi, hak pengelolaan instansi pemerintah, hak pengelolaan industri /

pertanian/pariwisata/perkeretaapian, Hak pengelolaan, dalam realita dimiliki oleh PT

Kereta Api Indonesia (Persero), PT Pelabuhan Indonesia (Persero), PT Surabaya

Industrial Estate Rungkut (Persero), PT Pasuruan Industrial Estate Rembang

(Persero), Badan Otorita Batam, PD Pasar Surya Surabaya, PD Pasar Jaya DKI

Jakarta, PD Sarana Jaya DKI Jakarta, Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan

Nasional (Perum Perumnas), pemerintah kabupaten/ kota.57

Hak pengelolaan sebagai jenis hak penguasaan atas tanah lahir tidak

didasarkan pada undang-undang, melainkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria

Nomor 9 Tahun 1965.Hak pengelolaan lahir dari konversi hak penguasaan atas tanah

negara.Hak pengelolaan dapat dikuasai oleh departemen-departemen, direktorat-

direktorat, dan daerah-daerah swatantra. Meskipun hak pengelolaan diatur dengan

Peraturan Menteri Agraria, namun hak pengelolaan mem- punyai ke-kuatan

mengikat, baik bagi pemegang hak pengelolaan maupun pihak lain yang

menggunakan bagian-bagian tanah hak pengelolaan.58


57
Maria SW Sumardjono. Hak Pengelolaan: Perkembangan, Regulasi, dan Implementasinya
Jurnal Mimbar Hukum. Yogyakarta : Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. hal. 29.

58
Urip Santoso. Pengaturan Hak Pengelolaan JurnalMedia Hukum. Yogyakarta : Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah. 2008 . hal. 144.
Menurut Hukum Tanah Nasional, Pemerintah Kota sebagai subyek hak dapat

memiliki Hak Pakai atau Hak Pengelolaan. Jika berupa Hak Pakai, maka hak atas

tanahnya dipergunakan untuk keperluan sendiri yang berlaku selama tanahnya

tersebut dipergunakan untuk pelaksanaan tugasnya. Jika berupa Hak Pengelolaan,

maka tanahnya di samping dipergunakan untuk keperluan sendiri juga dapat

dipergunakan oleh pihak lain atas persetujuan Pemerintah Kota. Tanah-tanah yang

dimiliki oleh Pemerintah Kota sebagai asetnya dapat dipergunakan untuk kepentingan

Pemerintah Kota sendiri, misalnya dipergunakan sebagai Kantor Pemerintah Kota,

Kantor Kecamatan, Dinas- dinas. Namun, terdapat tanah Pemerintah Kota yang dapat

digunakan oleh pihak ketiga(perseorangan atau badan hukum). dengan diterbitkannya

Izin Pemakaian Tanah (IPT), atau yang dikenal oleh masyarakat dengan sebutan

Surat Hijau, atau Hak Guna Bangunan atas Hak Pengelolaan denganPerjanjian

Penggunaan Tanah (PPT) antaraPemerintah Kota dengan pihak ketiga.

Surabaya merupakan salah satu kota yang memiliki keistimewaandalam hak

pengelolaan. Pemerintah Kota Surabaya memilikiaset tanah yang disewakan kepada

masyarakat dan sebatas pada hakpemakaian tanah saja.Masyarakat mengenal hak

sewa atas tanah yangdikelola Badan Pengelolah Tanah dan Bangunan Pemerintah

kotaSurabayaPeraturan daerah yang berlaku bagi pemegang surat ijo terdapatdalam

ketentuan Perda Kota Surabaya No. 1 Tahun 1997.

Pengertian Izin Pemakaian Tanahdisebutkan dalam Pasal 1 huruf f

PeraturanDaerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya No. 1 Tahun 1997 jo Pasal

1 huruf h Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya No. 1


Tahun1998, Izin Pemakaian Tanah adalah izin yang diberikan oleh

WalikotamadyaKepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk untuk memakai tanah dan

bukan merupakanpemberian Hak Pakai atau hak-hak atas tanah lainnya sebagaimana

diatur dalamUndang-undang No. 5 Tahun 1960 Berdasarkan Peraturan Daerah

Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya No. 1 Tahun 1997 dan Keputusan

Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya No. 1 Tahun 1998, pihak ketiga

yang hendak memakai tanah milik atau tanah yangdikuasai/dikelola oleh Pemerintah

Kota Surabaya harus mendapat izin terlebihdahulu dari Walikota Surabaya atau

pejabat yang ditunjuk, yaitu Kepala Dinas Pengelolaan Tanah dan Bangunan dalam

bentuk Izin Pemakaian Tanah (IPT).

Berdasarkan Peraturan DaerahKotamadya Daerah Tingkat II Surabaya No. 1

Tahun 1997 dan Keputusan WalikotamadyaKepala Daerah Tingkat II Surabaya No. 1

Tahun 1998, pihak ketiga yang hendak memakai tanah milik atau tanah yang

dikuasai/dikelola oleh Pemerintah Kota Surabaya harus mendapat izin terlebih dahulu

dari Walikota Surabaya atau pejabat yang ditunjuk, yaitu Kepala DinasPengelolaan

Tanah dan Bangunan dalambentuk Izin Pemakaian Tanah (IPT).

Pemegang ijin pemakaian tanah berhak menggunakan / memakai tanah

tersebut dengan jangka waktu sebagai berikut :

1. IPT jangka pendek yang berlaku selama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang

setiap kali paling lama 2 (dua) tahun. Ijin diberikan terhadap kaveling yang tidak

sesuai dengan tata perencanaan kota;


2. IPT jangka menengah yang berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang

setiap kali paling lama 5 (lima) tahun. Ijin diberikan terhadap kaveling yang telah

sesuai dengan tata perencanaan kota;

3. IPT jangka panjang yang berlaku selama 20 (dua puluh) tahun dan dapat

diperpanjang setiap kali paling lama 20 (dua puluh) tahun. Ijin diberikan khusus

untuk lokasi usaha dan perumahan yang sebelumnya telah diterbitkan Ijin Pemakaian

Tanah dan telah sesuai dengan tata perencanaan kota serta luas peruntukan dan

penggunaan.

Masyarakat yang telah mendapatkan surat ijin pemakaian tanah atau

surathijau tidak mendapatkan sertifikat hak atas tanah apa pun selain surat hijau itu

sendiri, namun pemegang ijin pemakaian tanah dapatmemohon agar diberikan Hak

Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaanterhadap tanah tersebut. Proses

permohonanHak Guna Bangunan tersebut diatur dalam Keputusan Walikotamadya

KepalaDaerah Tingkat II Surabaya No. 27 Tahun 1995 Tentang Tata

CaraMendapatkan Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan PemerintahDaerah

Tingkat II Surabaya.Apabila Hak Guna Bangunan diatas HakPengelolaan sudah

diperoleh, maka warga yang hendak menjaminkan tanahdengan ijin pemakaian tanah

tersebut dapat menjaminkannya secara haktanggungan.

B. kedudukan hukum pihak pembeli dalam kuhperdata

Seorang pembeli dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata telah

ditentukan hak dan kewajibannya pada Bab V bagian ketiga Pasal 1513-1518.
Pembeli yang telah memenuhi semua kewajibannya, maka secara langsung akan

memperoleh haknya.

Perjanjian jual beli meletakkan hak dan kewajiban secara timbal balik antara

kedua belah pihak yaitu penjual dan pembeli dikarenakan para pihak telah saling

setuju dan mengikatkan diri, hal tersebutlah yang menjadi sumber untuk menetapkan

hak dan kewajiban.

Dari pengertian yang diberikan pasal 1457 dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, persetujuan jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban yaitu59:

1. Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.

2. Kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada penjual.

Hak pembeli adalah menuntut penyerahan barang yang telah dibelinya dari

penjual.Sedangkan kewajiban pembeli adalah membayar harga pembelian pada waktu

dan tempat sebagaimana yang ditetapkan didalam perjanjian mereka.

Berdasarkan asas yang dianut, yaitu bahwa hukum perjanjian merupakan

hukum pelengkap, maka para pihak diperbolehkan dengan janji khusus memperluas

atau mengurangi kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh undang-undang

untuk para pihak baik penjual maupun pembeli. Sebagai contoh jika para pihak

mengadakan perjanjian bahwa di penjual tidak akan diwajibkan untuk menanggung

sesuatu apapun, hal tersebut dapat dilakukan namun dengan pembatasan bahwa :

59
M. Yahya Harahap. Segi-segi Hukum Perjanjian. Bandung : Alumni. 1986. hal. 181.
a. penjual tetap bertanggung jawab tentang sesuatu akibat dari suatu perbuatan yang

telah dilakukan olehnya

b. bila terjadi penghukuman terhadap si pembeli untuk menyerahkan barangnya

kepada seorang lain, si penjual diwajibkan mengembalikan harga pembelian, kecuali

ketika pembelian dilakukan, pihak pembeli mengetahui tentang adanya putusan

hakim untuk menyerahkan barang yang dibelinya itu, hal ini sesuai dengan Pasal

1459 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 60

Dalam hal ini selama pihak pembeli merupakan seorang yang cakap, dan

memenuhi syarat yang ditentukan dalam undang-undang menjadi pihak pembeli

dalam perjanjian jual beli, maka kedudukan hukum pembeli jika terjadi sengketa dan

berperkara di pengadilan jelas adanya.

C. akta pengikatan jual beli dalam kuhperdata

a. Pengertian Akta

Pengertian akta menurut Pasal 165 Staatsblad Tahun 1941 Nomor 84 Adalah

“surat yang diperbuat demikian oleh atau dihadapan pegawai yang berwenang untuk

membuatnya menjadi bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya

maupun berkaitan dengan pihak lainnya sebagai hubungan hukum, tentang segala hal

yang disebut didalam surat itu sebagai pemberitahuan hubungan langsung dengan

perihal pada akta itu”. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, akta

adalah:

60
I.G Rai Widjaya. Merancang Suatu Kontrak Teori dan Praktek. Jakarta : Kesaint Blanc.
2002. hal.133.
“Surat tanda bukti berisipernyataan (keterangan, pengakuan, keputusan)
tentang peristiwa hukum yang dibuat,dan disahkan oleh pejabat resmi.”

Sedangkan istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut “acte”

atau “akta” dan dalam bahasa Inggris disebut “act” atau “deed” menurut pendapat

umum mempunyai dua arti, yaitu:

a. Perbuatan (handl1ng) atau perbuatan hukum (rechtshandel1ng).

b. Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai atau untuk digunakan sebagai

perbuatan hukum tertentu yaitu berupa tulisan yang ditunjukkan kepada

pembuktian tertentu.

Akta adalah suatu pernyataan tertulis yang ditandatangani dan dibuat oleh

seorang atau lebih pihak-pihak dengan maksud dapat digunakan sebagai alat bukti

dalam proses huku,. Ini berartu bahwa akta adalah surat yang diberi tanda tangan,

yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar dari suatu haka tau perikatan,

yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Jadi, untuk dapat

digolongkan sebagai akta maka surat harus ditandatangani61. Keharusan

ditandatanganinya surat untuk dapat disebut akta terdapat dalam Pasal 1869 KUH

Perdata.

Sebagai alat bukti tertulis, surat dibagi menjadi dua, yaitu surat yang

merupakan akta dan yang bukan akta. Lalu akta terbagi menjadi 2 bentuk yaitu, akta

autentik dan akta dibawah tangan.Yang menjadi dasar hukumnya adalah Pasal 1867

61
R. Soeroso. Perjanjian Di bawah Tangan. Jakarta : Sinar Grafika. 2010. hal. 6.
KUHPerdata yaitu pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan

autentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan.

Selain dibedakan berdasarkan pembuatnya suatu akta dibedakan menjadi dua,

yaitu akta pejabat/ambtelijk acte atau process verbal acte dan partij acte.apabila

suatu akta memuat keterangan-keterangan dari dua orang atau para pihak yang

menghadap pada seorang notaris, dan notaris hanya menyatakan apa yang

disampaikan oleh para pihak, maka akta tersebut dinamakan dengan partij acte.

Tetapi apabila suatu akta mengandung suatu proses verbal mengenai apa yang

dikerjakan oleh seorang notaris atau juru sita, maka akta yang demikian dinamakan

process verbal acte.

Kadang kala karena suatu hal seseorang itu dapat membatalkan apayang telah

ia berikan kepada orang lain yang karena tidak terpenuhinyaprestasi. Begitu dengan

hibah dan jual beli yang haknya sudahdialihkan kepada orang lain atau bahkan

anaknya sendiri dicabut ataumenariknya kembali, yang dimaksud mencabut dan

menariknyakembali adalah membatalkan hibah dan jual beli.Mengenai proses

pembatalan akta melalui pengadilan tidaklahmudah karena dalam suatu persidangan

diperlukan adanya bukti-bukti,namun dalam Pasal 163 HIR dan 283 Rbg tidak secara

tegas mengatursebab pembuktian ini apakah beban pembuktian ini ada

padapenggugat atau tergugat atau keduanya

1) Akta Autentik

Akta autentik menurut Pasal 1868 KUH Perdata yaitu:


”Suatu akta autentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan
oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum
yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.”

Berdasarkan definisi tersebut diketahui bahwa suatu akta dapat dikatakan

sebagai akta autentik harus memenuhi syarat-syarat yaitu dibuat dalam bentuk yang

ditentukan undang-undang, dibuat oleh seorang pejabat atau pegawai umum, dan

pejabat atau pegawai umum tersebut harus berwenang untuk membuat akta tersebut

ditempat di mana akta dibuat.

Pasal 165 HIR dan 285 Rbg, dijelaskan bahwa akta autentik adalah suatu akta

yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan

bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang

mendapat hak daripadanya tentang yang tercantum di dalamnya dan bahkan sebagai

pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanya diberitahukan jika

berhubungan dengan akta itu. Pejabat yang dimaksudkan antara lain ialah Notaris,

Panitera, Jurusita, Pegawai Pencatat Sipil, Hakim dan sebagainya.

Menurut C.A.Kraan akta autentik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

a) Suatu tulisan, dengan sengaja dibuat semata-mata untuk dijadikan bukti


atau suatubukti dari keadaan sebagaimana disebutkan di dalam tulisan
dibuat dandinyatakan oleh pejabat yang berwenang. Tulisan tersebut turut
ditandatanganioleh atau hanya ditandatangani oleh pejabat yang
bersangkutan saja.
b) Suatu tulisan sampai ada bukti sebaliknya, dianggap berasal dari pejabat
yangberwenang.
c) Ketentuan perundang-undangan yang harus dipenuhi, ketentuan tersebut
mengaturtata cara pembuatannya (sekurang-kurangnya memuat ketentuan-
ketentuanmengenai tanggal, tempat dibuatnya akta suatu tulisan, nama
dankedudukan/jabatan pejabat yang membuatnya data dimana dapat
diketahuimengenai hal-hal tersebut).
d) Seorang pejabat yang diangkat oleh negara dan mempunyai sifat dan
pekerjaan yang mandiri serta tidak memihak dalam menjalankan
jabatannya.
e) Pernyataan dari fakta atau tindakan yang disebutkan oleh pejabat adalah
hubunganhukum di dalam bidang hukum privat.

Dalam pembuatan akta, Notaris memiliki kewenangan untuk dapat membuat

suatu akta memiliki otensitasnya sebagai akta autentik yang harus memenuhi

ketentuan sebagai mana diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata, yaitu:

a) Akta itu harus dibuat oleh (door) atau dihadapan (tenberstaan) seorang
pejabat umum, yang berarti akta-akta Notaris yang isinya mengenai
perbuatan, perjanjian dan ketetapan harus menjadikan Notaris sebagai
pejabat umum.
b) Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang,
maka dalam hal suatu akta dibuat tetapi tidak memenuhi syarat ini maka
akta tersebut kehilangan otensitasnya dan hanya mempunyai kekuatan
sebagai akta di bawah tangan apabila akta tersebut ditandatangani oleh para
penghadap (comparanten)
c) Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta tersebut dibuat, harus
mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut, sebab seorang
Notaris hanya dapat melakukan atau menjalankan jabatannya di dalam
daerah hukum yang telah ditentukan baginya. Jika Notaris membuat akta
yang berada di luar daerah hukum jabatannya maka akta yang dibuatnya
menjadi tidak sah.

Kerangka dalam pembuatan akta dihadapan notaris, telah ditentukan dalam

Pasal 38 UUJN, namun sebagai perbandingan, berikut adalah kerangka akta yang

terdapat dalam Peraturan Jabatan Notaris :

a) Kepala (hoofd) Akta : yang memuat keterangan-keterangan dari Notaris


mengenai dirinya dan orang-orang yang datang menghadap kepadanya atau
atas permintaan siapa dibuat berita acara
b) Badan Akta : yang memuat keterangan-keterangan yang diberikan oleh
pihakpihak dalam akta atau keterangan-keterangan dari Notaris mengenai
hal-hal yang disaksikannya atas permintaan yang bersangkutan
c) Penutup Akta : yang memuat keterangan dari Notaris mengenai waktu dan
tempat akta dibuat, selanjutnya keterangan mengenai saksi-saksi, di
hadapan siapa akta dibuat dan akhirnya tentang pembacaan dan
penandatanganan dari akta itu.
Kemudian akta- akta yang harus dibuat secara autentik, seperti62 :

a) Akta pendirian PT (Pasal 7 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 Tentang

Perseroan Terbatas)

b) Akta perkawinan (Pasal 100 KUH Perdata)

c) Akta perjanjian kawin (Pasal 147 KUH Perdata)

d) Akta kuasa memasang hipotek (Pasal 1171 ayat (2) KUH Perdata)

e) Akta tanah (Pasal 19 PP 10/1961)

f) Akta pengakuan anak (Pasal 281 KUH Perdata)

Suatu perjanjian, memuat hal-hal apa saja yang diperjanjikan, hal-hal tersebut

dinyatakan dalam akta autentik dan itu adalah benar seperti apa yang diperjanjikan,

dinyatakan oleh para pihak sebagai yang dilihat dan didengar oleh notaris atau PPAT

terutama benar mengenai tanggal akta, tanda tangan di dalam akta, identitas yang

hadir, dan tempat dibuat akta itu, merupakan kekuatan pembuktian materiil isi atau

materi akta adalah benar. Sedangkan pembuktian secara formil adalah, apa yang

diperjanjikan, dinyatakan dalam akta adalah benar seperti apa yang diperjanjikan,

dinyatakan oleh para pihak sebagai yang dilihat atau didengar oleh notaris.

Maka dapat disimpulkan bahwa akta autentik dibuat dengan tiga syarat 63,

yaitu syarat pertama yang harus terpenuhi adalah akta autentik harus dibuat dalam

bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.kata bentuk di sini adalah terjemahan

62
I.G Rai Widjaya. Merancang Suatu Kontrak Teori dan Praktek. Jakarta : Kesaint Blanc.
2002. hal.10.
63
Kumpulan Akta-Akta Notaris. “Akta Otentik Sebagai Bukti yang Sempurna”. melalui
www.kumpulanakta.co.id. diakses Jumat, 30 November 2018. Pukul 15.08 WIB.
kata belanda vorm dan tidak diartikan bulat, lonjong, panjang, dan sebagainya. Akan

tetapi pembuatannya harus memenuhi ketentuan undang-undang.Syarat kedua akta

autentik adalah keharusan pembuatannya di hadapan atau oleh pejabat umum. Kata

dihadapan menunjukan bahwa akta tersebut dibuat atas permintaan seseorang,

sedangkan akta yang dibuat oleh pejabat umum karena adanya suatu kejadian,

pemeriksan, keputusan, dan sebagainya (berita acara rapat, protes wesel, dan lain-

lain). Syarat ketiga adalah bahwa pejabatnya harus berwenang untuk maksud itu di

tempat akta tersebut dibuat. Berwenang (bevoegd) dalam hal ini khususnya

menyangkut :

a) Jabatannya dan jenis akta yang dibuatnya;

b) Hari dan tanggal pembuatan akta;

c) Tempat akta dibuat.

2) Akta di Bawah Tangan

Akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh

pihak-pihak tanpa bantuan dari pegawai umum yang berwenang untuk itu.Yang

termasuk dalam akta dibawah tangan adalah surat-surat, daftar (register) catatan

mengenai rumah tinggal dan surat-surat lain yang dibuat tanpa bantuan pegawai

umum yang berwenang64.

Sebuah akta dibawah tangan dapat dibubuhi pernyataan oleh notaris atau

pegawai lain yang ditunjuk undang-undang dan dibukukan menurut aturan yang

diadakan oleh undang-undang. Pembubuhan pernyataan tersebut dinamakan

64
Alfitra. Hukum Pembuktian. Jakarta: Raih Asa Sukses. 2002. hal. 96.
“legalisasi” yang berarti pengesahan.Dalam akta autentik tidak menjadi persoalan

mengenai tanda tangan, namun dalam akta dibawah tangan pemeriksaan tentang

benar atau tidaknya akta yang bersangkutan merupakan masalah pokok65.

Para pejabat yang berwenang untuk melakukan legalisasi terhadap akta

dibawah tangan adalah (Stb. 1919 Nomor 46) :

a) Notaris

b) Ketua Pengadilan Negeri

c) Walikota

d) Bupati

e) Camat.

Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum juga menjadi akta di

bawah tangan, jika pejabat itu tidak berwenang untuk membuat akta itu jika terdapat

cacat dalam bentuk akta itu, sebagaimana disebut dalam Pasal 1869 KUH Perdata

yaitu : “Suatu akta, yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya dalam pegawai

termaksud di atas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diberlakukan

sebagai akta autentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah

tangan.”

Apabila para pihak yang menandatangani surat perjanjian tersebut mengakui

dan tidak menyangkal tanda tangannya, tidak menyangkal isi dan apa yang tertulis

dalam surat perjanjian tersebut, maka akta dibawah tangan mempunyai kekuatan

pembuktian yang sama dengan akta autentik, sesuai dengan Pasal 1875 KUH Perdata.

65
Ibid,.
Jika salah satu pihak tidak mengakuinya, beban pembuktian diserahkan kepada pihak

yang menyangkal akta tersebut, dan penilaian penyangkalan atas bukti tersebut

diserahkan kepada Hakim. Baik alat bukti akta di bawah tangan maupun akta autentik

keduanya harus memenuhi rumusan mengenai sahnya suatu perjanjian berdasarkan

Pasal 1320 KUHPerdata, dan secara materil mengikat para pihak yang membuatnya

(Pasal 1338 KUHPerdata) sebagai suatu perjanjian yang harus ditepati oleh para

pihak (pacta sunt servanda).

Akta di bawah tangan cara pembuatan atau terjadinya tidak dilakukan oleh

dan atau dihadapan pejabat pegawai umum, tetapi cukup oleh pihak yang

berkepentingan saja (Pasal 1874 KUHPerdata dan Pasal 286 RBg). Contoh dari akta

autentik adalah akta notaris, vonis, surat berita acara sidang, proses perbal penyitaan,

surat perkawinan, kelahiran, kematian, dan sebagainya, sedangkan akta di bawah

tangan contohnya adalah surat perjanjian sewa menyewa rumah, surat perjanjian jual

beli, dan sebagainya.

Terdapat setidaknya dua kekurangan atau kelemahan akta di bawah tangan

yaitu, ketiadaan saksi yang membuat akta di bawah tangan tersebut akan kesulitan

untuk membuktikannya. Selanjutnya apabila salah satu pihak memungkiri atau

menyangkali tandatangannya, maka kebenaran akta di bawah tangan tersebut harus

dibuktikan kebenarannya di muka pengadilan.Karena kekurangan atau kelemahan

inilah menjadi salah satu pertimbangan mengapa masyarakat dari waktu ke waktu

semakin banyak menggunakan akta autentik untuk berbagai transaksi yang

dilakukannya.
Perbedaan antara akta autentik dengan akta di bawah tangan adalah sebagai

berikut:

a) Akta autentik dibuat dalam bentuk sesuai dengan yang ditentukan oleh

Undang-Undang

b) Akta autentik mempunyai tanggal yang pasti (perhatikan Pasal 1 Peraturan

Jabatan Notaris yang mengatakan “menjamin kepastian tanggalnya dan

seterusnya)

c) Harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang

d) Grosse dari akta autentik dalam beberapa hal mempunyai kekuatan

eksekutorial seperti putusan hakim. Terutama mengenai waktu, tanggal

pembuatan, isi perjanjian, penandatanganan, tempat pembuatan dan dasar

hukumnya. Kemungkinan akan hilangnya akta autentik sangat kecil

e) Akta di bawah tangan tidak terikat bentuk formal, melainkan bebas

f) Dapat dibuat bebas oleh setiap subjek hukum yang berkepentingan

g) Tanggal dari akta yang dibuat di bawah tangan tidak selalu pasti

h) Akta yang dibuat di bawah tangan tidak pernah mempunyai kekuatan

eksekutorial.

Dalam hal apabila seseorang ingin menjual sebidang tanah dan pihak yangsatu

lagi berkeinginan untuk membelinya maka mereka akan datang ke hadapanPejabat

Pembuat Akta Tanah, untuk dimintakan pembuatan akta jual beli atas tanahtersebut.

Namun karena suatu sebab tertentu jual beli tersebut tidak dapatdilaksanakan, misalnya

karena jual beli tersebut tidak lunas. Namun seandainya parapihak tersebut tetap
berkeinginan untuk dimintakan pembuatan akta jual beli, untukmengantisipasi hal itu

PPAT yang juga berprofesi sebagai seorang Notaris akanmenyarankan kepada para pihak

untuk membuat akta persetujuan jual beli. Tujuandari dibuatnya akta persetujuan jual beli

tersebut salah satunya adalah agar pihak penjual dapat memperoleh sebagian atau

seluruhnya dari harga jual beli tersebut dan pihak pembeli dapat memperoleh hak atas

tanah tersebut walaupun secara riil belum terjadi.66

b. Akta Pengikatan Juala Beli

Perjanjian pengikatan jual beli sesungguhnya tidak memiliki perbedaan

dengan perjanjian pada umumnya. Hanya saja perjanjian pengikatan jual beli

merupakan perjanjian yang lahir akibat adanya sifat terbuka dari Buku III Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, yang memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada

subyek hukum untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja dan berbentuk apa

saja, asalkan tidak melanggar peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan

kesusilaan.

Menurut Herlien Budiono,perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian

bantuan yang berfungsi sebagaiperjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas 67. Para

pihak dalam proses jual beli sebelum mendapatkan sebuah akta jual beli, memilih

untuk melakukan kegiatan perjanjian pengikatan jual beli, dimana hal ini membuat

para pihak memiliki hak dan tanggung jawab yang jelas. Perjanjian pengikatan jual

beli merupakan ikatan awal antara penjual dan dan pembeli tanah yang bersifat
66
Heriyanto Jusran. Hukum Perjanjian Innominaat Dalam Praktek. Jakarta : Citra Media
Ilmu. 2009. hal.15.
67
Herlien Budiono. artikel “Pengikatan Jual Beli dan Kuasa Mutlak” Majalah Renovi, edisi
tahun I, No. 10 Bulan Maret. 2004. hal. 57.
dibawah tangan (akta non autentik).Akta non autentik berarti akta yang dibuat hanya

oleh para pihak (calon penjual dan pembeli) dan tidak melibatkan notaris /

PPAT.Karena sifatnya non autentik, hal itu menyebabkan PPJB tersebut tidak

mengikat tanah sebagai objek perjanjiannya sehingga tidak menyebabkan beralihnya

kepemilikan tanah dari penjual ke pembeli.68

Maksud dibuatnya perjanjian pengikatan jual beli ini disini disebabkan

beberapa hal antara lain69 :

a. Sertifikat belum terbit atas nama pihak penjual, dan masih dalam proses di Kantor

Pertanahan.

b. Sertifikat belum atas nama pihak penjual, dan masih dalam proses balik nama

keatas nama pihak penjual.

c. Sertifikat sudah ada dan sudah atas nama pihak penjual tapi harga jual beli yang

telah disepakati belum semuanya dibayar oleh pihak pembeli kepada pihak penjual.

d. Sertifikat sudah ada, sudah atas nama pihak penjual dan harga sudah dibayar lunas

oleh pihak pernbeli kepada pihak penjual, tetapi pelunasan belum terjadi.

e. Sertifikat pernah dijadikan sebagai jaminan di Bank dan masih belum dilakukan

roya.

Sebagai perjanjian yang terjadi dikarenakan kebutuhan dan tidak diatur secara

tegas dalam peraturan perundang-undangan maka perjanjian pengikatan jual beli

tidak mempunyai bentuk tertentu.Hal ini sesuai dengan pendapat dari Herlien

68
Kurniawan Ghazali. Cara Mudah Mengurus Sertifikat Tanah. Jakarta: Kata Pena. 2013. hal.
63.
69
R. Subekti. Opcit., hal. 80.
Budiono, perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian bantuan yang

berfungsisebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas.

Perjanjian pengikatan jual beli diatur dengan syarat-syarat tertentu yang harus

dipenuhi oleh para pihak agar dapat dilakukannya Akta Jual Beli.Dengan demikian

maka Perjanjian pengikatan jual beli merupakan ikatan awal yang bersifat dibawah

tangan untuk dapat dilakukannya Akta Jual Beli yang bersifat autentik.

Kedudukan perjanjian pengikatan jual beli sebagai perjanjian pendahuluan

berfungsi untuk mempersiapkan atau bahkan memperkuat perjanjian utama / pokok

yang akan dilakukan, karena perjanjian pengikatan jual beli merupakan awal dari

lahirnya perjanjian pokoknya yaitu Perjanjian Jual-Beli serta menyelesaikan suatu

hubungan hukum apabila hal-hal yang telah disepakati dalam perjanjian pengikatan

jual beli telah dilaksanakan seutuhnya.

Dalam perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat dihadapan notaris pada

umumnya calon pembeli telah melakukan pembayaran awal (uang muka), sehingga jika

calon pembeli membatalkan transaksi jual beli maka ia akan kehilangan uang muka yang

telah dibayarnya tersebut. Dengan begitu perjanjian pengikatan jual beli mengikat para

pihak baik penjual maupun pembeli untuk dengan serius melakukan transaksi jual beli

tanah yang nantinya ditandai dengan penandatanganan akta jual beli dihadapan PPAT,

dimana pembeli sudah harus melunasi harga jual dari tanah tersebut dan membayar bea

perolehan hak atas tanah dan bangunan sedangkan penjual telah menyerahkan tanah

tersebut dan membayar Pajak Penghasilan (PPh) sebelum ditantanganinya akta jual beli

dihadapan PPAT tersebut.


Para pihak yang melakukan Pengikatan jual beli tanah yang dilakukan

dihadapan notaris tidak mengakibatkan hak atas tanah tersebut beralih pada saat itu

juga dari tangan pemilik tanah kepada calon pembeli.Hal ini disebabkan karena

pengikatan jual beli merupakan perikatan bersyarat atau perjanjian pendahuluan

sebelum dilaksanakannya perjanjian jual beli melalui akta pejabat akta pembuat akta

tanah (PPAT).

Isi dari perjanjian pengikatan jual beli yang merupakan perjanjian

pendahuluan untuk lahirnya perjanjian pokok/ utama biasanya adalah berupa janji-

janji dari para pihak yang mengandung ketentuan tentang syarat-syarat yang

disepakati untuk sahnya melakukan perjanjian pokoknya. Misalnya dalam perjanjian

pengikatan jual beli hak atas tanah, dalam klausul perjanjiannya biasanya berisi

janjijanji baik dari pihak penjual hak atas tanah maupun pihak pembelinya tentang

pemenuhan terhadap syarat-syarat agar perjanjian pokoknya yaitu perjanjian jual beli

dan akta jual beli tersebut dapat ditanda tangani dihadapan Pejabat Pembuat Akta

Tanah (PPAT), seperti janji untuk melakukan pengurusan sertipikat tanah sebelum

jual beli dilakukan sebagaimana diminta pihak pembeli, atau janji untuk segera

melakukan pembayaran oleh pembeli sebagai syarat dari penjual sebagai akta jual

beli dapat ditandatangani dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Selain janji-janji biasanya dalam perjanjian pengikatan jual beli jugadicantumkan

tentang hak memberikan kuasa kepada pihak pembeli.Hal ini terjadiapabila pihak penjual

berhalangan untuk hadir dalam melakukan penandatangananakta jual beli dihadapan

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), baik karena lokasiyang jauh, atau karena ada
halangan dan sebagainya.Dan pemberian kuasa tersebutbiasanya baru berlaku setelah

semua syarat untuk melakukan jual beli hak atas tanahdi Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT) telah terpenuhi70

Perjanjian pengikatan jual beli tanah ini berfungsi sebagai alat

pembuktianapabila salah satu pihak wanprestasi dan untuk menuntut berdasarkan

pada pasal-pasalyang telah disepakati. Bentuk-bentuk wanprestasi yang dapat terjadi

dalamperjanjian pengikatan jual beli tanah antara lain :71

1. Pembeli menunda-nunda pembayaran harga tanah yang seharusnya telahdibayar

atau baru membayar sekian hari setelah tanggal jatuh tempo,ataupun pembeli

melakukan pembayaran tetapi tidak sebagaimana yangdiperjanjikan.

2. Pembeli tidak membayar denda atas keterlambatannya membayar hargatanah itu

atau terlambat membayar denda itu.

3. Penjual melakukan tindakan-tindakan yang dengan nyata melanggarperjanjian

pengikatan jual beli tanah, misalnya menjual obyek dariperjanjian tersebut kepada

pihak lain

Sebuah perjanjian pengikatan jual beli dapat dilakukan dihadapan seorang

notaris dan dijadikan sebagai akta. Akta tersebut akan menjadi akta autentik

walaupun belum menjadi akta jual beli. Mengenai Akta Autentik diatur dalam pasal

1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Berdasarkan inisiatif pembuatnya akta

autentik dibagi menjadi dua, yaitu:


70
Kamaluddin Patradi. Pemberian Kuasa Dalam Praktek Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak
Atas Tanah. Yogyakarta : Gamma Press. 2010. hal.20.
71
Purwahid Patrik. Asas Itikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian. Semarang : Badan
Penerbit UNDIP. 1986. hal. 24.
1. Akta Pejabat (acte amtelijke)

Akta Pejabat adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu

dengan mana pejabat tersebut menerangkan apa yang dilihat serta apa yang

dilakukannya. Jadi inisiatifnya tidak berasal dari orang yang namanya diterangkan di

dalam akta itu. Contohnya Akta Kelahiran.

2. Akta Para Pihak (acte partij)

Akta Para Pihak adalah akta yang inisiatif pembuatannyadari para pihak di hadapan

pejabat yang berwenang.Contohnya akta sewa menyewa.

Sebuah akta pengikatan jual beli dilakukan sebagai upaya agar para pihak

mendapatkan suatu kepastian hukum terhadap perjanjian awal dalam sebuah

perjanjian jual beli.Perjanjian tersebut dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang,

agar perjanjian tersebut dapat dituangkan didalam sebuah akta dan kekuatan

pembuktian menjadi lebih kuat.

KUH Perdata tidak menjelaskan apa itu akta pengikatan jual beli, namun

dalam hal pembuktian, akta pengikatan jual beli adalah suatu akta autentik yang sama

dengan akta jual beli. Dan dalam hal jual beli tanah atau bangunan, para pihak

haruslah mencatatkan perjanjian tersebut ke dalam suatu akta yang dilakukan

dihadapan notaris.

D. kekuatan hukum akta pengikatan jual beli yang dilakukan dihadapan notaris

Pengikatan Jual Beli (PJB) merupakan sebuah penemuan hukum yang

dilakukan oleh kalangan Notaris untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam
pelaksanaan jual-beli hak atas tanah sebagaimana telah diterangkan

sebelumnya.72Notaris menghadapi masalah hukum Konkrit yang diajukan oleh klien

yang minta dibuatkan akta.Masalah hukum Konkrit atau peristiwa yang diajukan oleh

hakim merupakan peristiwa konkrit yang masih harus dipecahkan atau dirumuskan

menjadi peristiwa hukum yang merupakan tugas Notaris.Dengan adanya

permasalahan ini msks Notaris melakukan penemuan hukum73. penemuan hukum

yang dilakukan dan diterapkan oleh Notaris yang dalam hal ini yaitu tentang

pemakaian akta Pengikatan Jual Beli (PJB) dalam membantu pelaksanaan jual beli

atas tanah atau sebagai perikatan bersyarat atau perjanjian pendahuluan sebelum

pembuatan Akta Jual Beli, dan hal ini bukanlah sesuatu hal yang melanggar ketentuan

dan norma hukum yang ada, sehingga Pengikatan Jual Beli (PJB) sah-sah saja untuk

diterapkan dan dipakai. Karena menurut Guru Besar Universitas Gajah Mada

Yogyakarta tersebut yaitu Sudikno Mertokusomo, penemuan hukum bertujuan untuk

memecahkan masalah-masalah hukum Konkrit.

Penjelasan mengenai akta autentik diatur dalam Pasal 165 HIR dan Pasal 285

Rbg, yang berbunyi: “Akta autentik adalah suatu akta yang dibuat oleh atau di

hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap

antara para pihak dari para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak daripadanya

tentang yang tercantum di dalamnya dan bahkan sebagai pemberitahuan belaka, akan

72
Herlien Budiono. artikel “Pengikatan Jual Beli dan Kuasa Mutlak” Majalah Renvoi, edisi
Tahun I No. 10. Bulan Maret 2004. hal. 5
73
Sudikno Mertokusumo. artikel Arti Penemuan Hukum”, Majalah Renvoi, edisi tahun I, No.
12, Bulan Mei 200. hal. 48-49.
tetapi yang terakhir ini hanya diberitahukan itu berhubungan langsung dengan perihal

pada akta itu”

Lalu dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang HukumPerdata ditetapkan atau dapat

dikatakan bahwa syarat untuk akta otentik adalahsebagai berikut :

a. Akta itu harus dibuat “oleh” (door) atau “dihadapan” (ten overstaan) seorangpejabat

umum;

b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan Undang-undang;

c. Pejabat umum oleh atau dihadapan siapa aka itu dibuat, harus mempunyaiwewenang

untuk membuat akta itu.

Dari keterangan di atas terlihat bahwa pada Pengikatan Jual Beli (PJB), yangdibuat

dihadapan atau oleh Notaris maka akta perjanjian Pengikatan Jual Beli (PJB)menjadi

sebuah akta yang otentik. Karena telah dibuat dihadapan atau oleh pejabatyang

berwenang, sehingga telah memenuhi ketentuan atausyarat tentang akta otentik yaitu

harus dibuat “oleh” (door) atau “dihadapan” (tenoverstaan) seorang pejabat umum.

Akta yang dibuat di hadapan atau oleh notaris/ PPAT yang berkedudukan sebagai

akta otentik menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-undang

Jabatan Notaris74, hal ini sejalan dengan pendapat Philipus M. Hadjon, bahwa syarat

akta otentik, yaitu75:

a. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (bentuknya baku)

b. Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum.


74
M. Ali Boediarto. Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum Acara
Perdata Setengah Abad. Jakarta : Swa Justitia. 2005. hal. 152
75
Philipus M. Hadjon. Formulir Pendaftaran Tanah Bukan Akta Otentik. Surabaya Post, 31
Januari 2001. hal. 3
Notaris merupakan pejabat umum yang diberikan kewenangan oleh negara

untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat umum dalam pembuatan akta dan

legalisasi akta.Akta adalah surat yang dibuat agar dapat menjadi alat bukti, berkenaan

dengan perbuatan-perbuatan hukum dibidang keperdataan yang dilakukan oleh para

pihak. Para pihak tersebut adalah orang yang memerlukan jasa notaris.

Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No.30 Tahun 2004 tentang

Jabatan Notaris, Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta

otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh

suatu peraturan perundang-undangan dan/ atau yang dikehendaki oleh yang

berkepentingan untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik menjamin kepastian

tanggal pembuatan akta, menyimpan akta dan memberikan grosse, salinan dan

kutipannya semuanya sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau

dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan

dalam undang-undang.

Adapun pejabat lain yang ditentukan dalam Undang-Undang No.30 Tahun

2004 tentang Jabatan Notaris adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Pasal 1

ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 37 Tahun 1998 tentang

Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah dikatakanbahwa Pejabat Pembuat

Akta Tanah atau selanjutnya disebut PPAT adalahpejabat umum yang diberi

kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu

mengenai hak atas tanah atau hak milik satuan rumah susun.
Menurut Pasal 1870 KUHPerdata, suatu akta otentik memberikan di antara

para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka

suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya. Akta otentik

merupakan suatu bukti yang sempurna, dalam arti bahwa ia sudah tidak memerlukan

suatu penambahan pembuktian. Ia merupakan suatu alat bukti yang mengikat dan

sempurna76. Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan nilai pembuktian

sebagai berikut:

1. Lahiriah (Uitwendige Bewijskracht) Kemampuan lahiriah akta Notaris merupakan

akta itu sendiri untuk membuktikan kebasahannya sebagai akta otentik. Jika dilihat

dari lahirnya sebagai akta otentik serta sesuai dengan aturan hukum yang sudah

ditentukan mengenai syarat akta otentik, maka akta tersebut berlaku sebagai akta

otentik,77sampai terbukti sebaliknya, artinya sampai ada yang membuktikan bahwa

akta tersebut bukan akta otentik secara lahiriah.Dalam hal ini beban pembuktian ada

pada pihak yang menyangkal keontetikan akta Notaris yang bersangkutan, baik yang

ada pada minuta dan salinan serta adanya awal akta sampai dengan akhir akta.

2. Formal (Formale Bewisjskracht)

Akta Notaris harus memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut

dalam akta benar dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang

menghadap pada saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang sudah

ditentukan dalam pembuatan akta. Secara formal untuk membuktikan kebenaran dan

76
R.Subekti. Hukum Pembuktian. Jakarta : PT. Pradnya Paramitha. 2005. hal.27.
77
Habib Adjie. Sanksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik.
Opcit. hal.72-74
kepastian tentang hari, tanggal bulan, tahun, waktu menghadap, dan para pihak yang

menghadap, saksi dan Notaris, serta membuktikan apa yang dilihat, disaksikan,

didengar oleh Notaris (pada akta berita acara), dan mencatatkan keterangan atau

pernyataan para pihak atau penghadap (pada akta pihak).

Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus dibuktikan

formalitas dari akta, yaitu harus dapat membuktikan ketidakbenaran hari, tanggal,

bulan, tahun, dan waktu menghadap, membuktikan ketidakbenaran apa yang dilihat,

disaksikan, dan didengar oleh Notaris. Selain itu juga harus dapat membuktikan

ketidakbenaran pernyataan atau kpeterangan para pihak yang diberikan atau

disampaikan dihadapan Notaris, dan ketidakbenaran tanda tangan para pihak saksi,

dan Notaris ataupun ada prosedur pembuatan akta yang tidak dilakukan. Dengan kata

lain, pihak yang mempermasalahkan akta tersebut harus melakukan pembuktian

terbalik untuk menyangkal aspek formal dari akta Notaris. Jika tidak mampu

membuktikan ketidakbenaran tersebut, maka akta tersebut harus diterima oleh

siapapun.

3. Materill (Materile Bewijskracht)

Kepastian tentang materi suatu akta sangat penting, bahwa apa yang tersebut dalam

akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau

mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian

sebaliknya. Keterangan atau pernyataan yang dituangkan atau dimuat dalam akta

pejabat (atau berita acara), atau keterangan para pihak yang diberikan atau

disampaikan di hadapan Notaris dan para pihak harus dinilai benar.Perkataan yang
kemudian dituangkan atau dimuat dalam akta harus dinilai telah benar berkata

demikian.Jika ternyata pernyataan atau keterangan para penghadap tersebut menjadi

tidak benar, maka hal tersebut tanggungjawab para pihak sendiri.Dengan demikian isi

akta Notaris mempunyai kepastian sebagai yang sebenarnya, menjadi bukti yang sah

di antara para pihak dan para ahli waris serta para penerima hak mereka.

Sebelum dilakukannya jual beli tanah dihadapan PPAT yang berwenang,

maka para pihak yang akan melakukan jual beli hak atas tanah sebelumnya harus

memenuhi semua persyaratan yang telah diatur dalam pelaksanaan jual beli tanah.

Persyaratan tentang objek jual belinya, misalnya hak atas tanah yang akan

diperjualbelikan merupakan hak atas tanah yang sah dimiliki oleh penjual yang dapat

dibuktikan dengan adanya tanah atau tanda bukti sah lainnya mengenai hak tersebut,

dan tanah yang diperjualbelikan tidak berada dalam sengketa dengan pihak lain.

Jual beli harus dibayar secara lunas dan semua pajak yang berkaitan

denganjual beli seperti Pajak Penghasilan (PPh) dan pajak pembeli yaitu Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) juga harus telah dilunasi oleh

pihak-pihak yang akan melakukan jual beli agar pembuatan akta jual belinya dapat

dilakukan dihadapan PPAT serta selanjutnya melakukan pendaftaran tanah untuk

pemindahan haknya. Namun apabila persyaratan-persyaratan tersebut belum dapat

terpenuhi maka pembuatan dan penandatanganan terhadap akta jual beli hak atas

tanah belum dapat dilakukan di hadapan PPAT untuk membuatkan akta jual belinya

sebagai akibat belum terpenuhinya semua syarat tentang pembuatan akta jual beli.
Untuk mengatasi hal tersebut, dan guna kelancaran tertib administrasi

pertanahan maka dibuatlah Akta Perikatan Jual Beli yang dilaksanakan dihadapan

Notaris dimana isinya sudah mengatur tentang jual beli tanah namun formatnya baru

sebatas pengikatan jual beli yaitu suatu bentuk perjanjian yang dapat dikatakan

sebagai suatu perjanjian awal.

Pengikatan dimaksudkan sebagai perjanjian pendahuluan dari maksud utama

para pihak untuk melakukan peralihan hak atas tanah.Pengikatan jual beli ini memuat

janji-janji untuk melakukan jual beli tanah apabila persyaratan yang diperlukan untuk

itu telah terpenuhi.Pengikatan jual beli tanah merupakan perjanjian tidak bernama

yang muncul sebagai bentuk perkembangan perjanjian dalam masyarakat.

Akta perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat dihadapan notaris adalah

suatu perjanjian pengikatan jual beli atas objek tanah yang dibuat antara calon penjual

dan calon pembeli sebelum ditandatanganinya Akta Jual Beli (AJB).Karena objek

yang diperjualbelikan yakni tanah merupakan benda yang tidak bergerak yang

pengalihan haknya melalui suatu perbuatan hukum jual beli harus dibuat melalui

suatu akta PPAT maka sebelum dibuat, akta jual beli tersebut pada umumnya perlu

dilakukan pemenuhan sejumlah persyaratan baik oleh penjual maupun oleh pembeli.

Berdasarkan semua keterangan yang telah dikemukakan di atas maka dapat

disimpulkan bahwa kekuatan hukum dari akta perjanjian pengikatan jual beli hak atas

tanah yang dibuat oleh Notaris dalam pelaksanaan pembuatan Akta Jual Belinya

adalah sangat kuat. Hal ini karena pengikatan jual beli (PJB) yang dibuat dihadapan

notaris, maka aktanya telah menjadi akta notaril sehingga merupakan akta autentik,
sedangkan untuk yang dibuat tidak dihadapan notaris maka menjadi akta dibawah

tangan yang pembuktiannya berada dibawah akta autentik, walaupun dalam Pasal

1875 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memang disebutkan bahwa akta

dibawah tangan dapat mempunyai pembuktian yang sempurna seperti akta autentik

apabila tanda tangan dalam akta tersebut diakui oleh para pihak yang menanda

tanganinya. Namun ketentuan dalam Pasal 1875 Kitab Undang-undang Hukum

Perdata menunjuk kembali 1871 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang

menyatakan bahwa akta dibawah tangan dapatlah menjadi seperti akta autentik

namun tidak memberikan bukti yang sempurna tentang apa yang termuat didalamnya,

karena akan dianggap sebagai penuturan belaka selain sekedar apa yang dituturkan itu

ada hubungan langsung dengan pokok isi akta.

E. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Suatu Akta dapat Dibatalkan

Akta notaris awalnya merupakan perjanjian para pihak yang mengikat bagi

para pihak yang membuatnya, oleh sebabnya syarat-syarat sahnya suatu perjanjian

harus dipenuhi.Syarat-syarat tersebut meliputi syarat subjektif yang berkaitan dengan

subjek yang mengadakan atau membuat perjanjian, dan syarat objektif yang berkaitan

dengan objek perjanjian.Syarat sahnya perjanjian harus diwujudkan dalam akta

notaria.Syarat-syarat ini merupakan sebuah dasar agar perjanjian yang dibuat

kemudian menjadi sah dan dapat dibuatkan dalam sebuah akta.Syarat subjektif

dicantumkan dalam awal akta, dan syarat objektif dicantumkan dalam badan akta

sebagai isi akta.

Syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:


1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri

2. Kecakapan untuk membuat perikatan

3. Hal yang tertentu

4. Adanya sebab yang halal

Unsur subjektif yang pertama berupa adanya kesepakatan antara para pihak.

Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah bahwa pihak-pihak yang membuat

perjanjian harus memberikan persetujuannya, apa yang dikehendaki oleh pihak yang

satu haruslah merupakan kehendak dari pihak lain. Dengan demikian kesepakatan

tercapai apabila kedua pihak mempunyai kehendak yang sama secara timbal bali.

Unsur subjektif yang kedua berupa adanya kecakapan bertindak.Kecakapan pada

umumnya adalah mereka yang telah dewasa yang dikaitkan dengan umur dan tidak

ditaruh di bawah pengampuan.

Selanjutnya ketentuan mengenai pembatalan akta PPAT dimuat dalam Pasal

45 ayat (1) huruf g Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran tanah, ditegaskan bahwa Kepala Kantor Pertanahan menolak

untuk melakukan pendaftaran peralihan hak atau pembebanan hak, jika perbuatan

hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 1997 dibatalkan oleh para pihak sebelum didaftar oleh Kantor Pertanahan.

Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menegaskan: Peralihan

hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual-beli, tukar-

menukar, hibah, pemasukkan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan

hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat didaftarkan, jika
dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Akta notariil yang dapat dibatalkan adalah akta pihak yang tidak memenuhi

kedua unsur tersebut di atas. Pembatalan akta notariil adalah pernyataan batalnya

suatu tindakan hukum atas tuntutan dari pihak (-pihak) yang oleh undang-undang

dibenarkan untuk menuntut pembatalan. Pembatalan dilakukan oleh hakim atas

tuntutan pihak yang diberikan hak oleh undang-undang untuk menuntut seperti itu.

Akibat pembatalan oleh hakim berlaku mundur/surut sampai pada saat tindakan itu

dilakukan, sehingga dengan pembatalan itu seakan-akan tidak pernah ada tindakan

seperti itu, dan sesudah pernyataan batal oleh hakim, maka keadaannya menjadi sama

dengan yang batal demi hukum.78

Batal demi hukum adalah suatu perjanjian dianggap tidak pernah ada atau

tidak pernah dilahirkan dan tidak pernah ada suatu perikatan.Jika suatu akta dapat

dibatalkan karena salah satu syarat dalam perjanjian yang disebut syarat sujektif tidak

terpenuhi, maka akta yang batal demi hukum adalah suatu akta yang tidak memenuhi

syarat objektif sesuai dengan syarat sahnya perjanjian dalam KUHPerdata.

Pasal 38 ayat (3) huruf a UUJN telah menentukan bahwa syarat subjektif dan

syarat objektif bagian dari badan akta, sehingga Jika dalam isi akta tidak memenuhi

syarat objektif, maka akta tersebut batal demi hukum.

78
J. Satrio. Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku II. Bandung. : PT.
Citra Aditya Bakti. 1995. hal. 29.
Para ahli hukum Indonesia umunya berpendapat, bahwa dalam hal syarat

objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu bukanlah batal demi hukum melainkan

dapat dimintakan pembatalannya. Dengan kata lain, perjanjian ini sah atau mengikat

selama tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang berhak meminta

pembatalan itu.

Selain batalnya suatu akta dilihat dari syarat-syarat perjanjian, adapun faktor-

faktor yang dapat menyebabkan suatu akta dapat dibatalkan menurut Undang-Undang

Jabatan Notaris No. 30 Tahun 2004, adalah sebagai berikut:

1. Adanya kesalahan dalam proses pembuatan akta yang tidak sesuai dengan Undang-

Undang

2. Adanya kesalahan ketikan pada salinan akta Notaris.

3. Adanya kesalahan bentuk akta Notaris

4. Adanya kesalahan atas isi akta Notaris

5. Adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan Notaris dalam pembuatan akta

Pembatalan terhadap akta pengikatan jual beli juga dapat dilakukan sama

halnya dengan pembatalan terhadap akta jual beli atau akta autentik lainnya, ini

dikarenakan akta pengikatan jual beli merupakan sebuah permulaan untuk

mendapatkan akta jual beli yang bersifat akta autentik dan berkekuatan hukum yang

kuat.

Suatu akta pengikatan jual beli juga dapat batal disebabkan oleh 3 (tiga) faktor

yaitu: 79
79
Abdul Kadir Muhammad. Hukum Perjanjian. Bandung : Alumni. 1994. hal. 28.
1. Karena adanya kesepakatan dari para pihak

2. Karena syarat batal sebagaimana yang tercantum dalam klausulpengikatan jual beli

telah terpenuhi

3. Karena pembatalan oleh pengadilan atas tuntutan dari salah satu pihak

Faktor-faktor diatas merupakan beberapa hal umum yang sering menjadi

alasan mengapa suatu akta notaris dapat dibatalkan atau terjadi batal demi hukum.

Sehingga para pihak harus teliti dalam melakukan suatu perjanjian yang akan

dibuatkan sebuah akta autentik dihadapan notaris.

BAB III

A. Tinjauan tentang pihak penyewa


1. Pengertian sewa menyewa
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata sewa-menyewa berasal dari kata

Sewa dan Menyewa, kata sewa berarti pemakaian sesuatu dengan membayar uang

sewa, sedangkan kata menyewa berarti memakai dengan membayar uang sewa.80

Defenisi yang diberikan oleh Pasal 1548 KUHPdt, mengenai perjanjian sewa-

menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya

untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang,

selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak

tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya.

80
Hasan Alwi. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III. Jakarta : Balai Pustaka. 2005. hal.
1057.
Sedangkan Menurut pendapat Wiryono Projodikoro sewa menyewa barang

adalah suatu penyerahan barang oleh pemilik kepada orang lain itu untuk memulai

dan memungut hasil dari barang itu dan dengan syarat pembayaran uang sewa oleh

pemakai kepada pemilik.81

Perbedaan perjanjian Jual-beli dengan sewa-menyewa adalah, dalam sewa-

menyewa tidak ada penyerahan dalam arti pengalihan hak milik, yang ada hanyalah

penyerahan kekuasaan atas suatu barang untuk dinikmati penyewa, sedangkan dalam

perjanjian jual-beli terdapat penyerahan hak milik dari pihak penjual kepada pihak

pembeli.Dalam sewa-menyewa tidak dituntut atau tidak dipersyaratkan bahwa yang

menyerahkan barang harus pemilik barang, sebagaimana halnya dalam perjanjian

jual-beli atau tukar-menukar.Jadi, meskipun seseorang hanya mempunyai “hak

menikmati hasil” atas suatu barang dan bukan pemilik yang bersangkutan sudah

dapat secara sah menyewakan barang tersebut.82

Perjanjian sewa menyewa dapat dilakukan secara lisan maupun secara

tertulis.Jika sewa menyewa secara tertulis maka sewa tersebut berakhir demi hukum

atau otomatis jika waktu yang ditentukan telah selesai, tanpa pemberhentian.

Sedangkan perjanjian sewa menyewa secara lisan atau tidak tertulis, tidak berakhir

pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak yang menyewakan

81
Wiryono Projodikoro. Hukum Perdata tentang Persetujuan Tertentu. Bandung : Alumni.
1981. hal. 190.

82
I.G Rai Widjaya. Merancang Suatu Kontrak Teori dan Praktek. Jakarta : Kesaint Blanc.
2002. hal.141.
memberitahukan kepada pihak penyewa bahwa pihak yang menyewakan akan

menghentikan sewanya.

Unsur dalam sewa menyewa adalah :

a. Adanya pihak yang menyewakan dan pihak penyewa

b. Adanya consensus antara kedua belah pihak

c. Adanya objek sewa menyewa, yaitu barang (baik barang bergerak maupun barang

tidak bergerak)

d. Adanya kewajiban dari pihak yang menyewakan untuk menyerahkan kenikmatan

kepada pihak penyewa atas suatu benda

e. Adanya kewajiban dari penyewa untuk menyerahkan uang pembayaran kepada

pihak yang menyewakan. 83

Kewajiban pihak yang menyewakan adalah menyerahkan barangnya untuk

dinikmati oleh pihak penyewa, sedangkan kewajiban pihak penyewa adalah

membayar harga sewa.Jadi barang diserahkan tidak untuk dimiliki seperti halnya

dalam jual beli, tetapi hanya untuk dipakai dan dinikmati kegunaannya.Dengan

demikian maka penyerahan hanya bersifat menyerahkan kekuasaan belaka atas

barang yang disewa itu.

a. Subyek sewa menyewa

Sama halnya dengan perjanjian jual beli, dalam perjanjian sewa menyewa

juga terdapat pihak-pihak yang memiliki kepentingan untuk melaksanakan perjanjian

83
Dyara Radhite Oryza. Panduan Mengurus Tanah Rumah Dan Perizinannya. Yogyakarta :
Legality. 2018. hal. 225.
tersebut, kedua belah pihak yang berikat atau mengikatkan diri dalam kegiatan sewa

menyewa ini disebut sebagai penyewa dan yang menyewakan.

Penyewa merupakan pihak yang membutuhkan benda yang akan dinikmati

manfaatnya dan membayar hak guna pakainya  melalui perjanjian sewa menyewa

sedangkan pihak yang menyewakan adalah, mereka yang menyediakan barang yang

akan disewakan dan membutuhkan uang hasil sewa tersebut. biasanyadapat berupa

instansi, perorangan, dan sebagainya.

b. objek sewa menyewa

Jika objek dalam perjanjian jual beli adalah barang dan harga, berbeda dengan

perjanjian sewa menyewa karena objek dalam perjanjian ini adalah barang dan harga

sewa.Apabila penguasaan atas suatu barang diserahkan tetapi tidak memiliki harga

sewa, maka barang tersebut diserahkan untuk dipakai tanpa kewajiban untuk

membayar apapun dan ini disebut dengan perjanjian pinjam pakai bukan sewa

menyewa.84

Benda dalam arti kepemilikan asli dari orang atau lembaga yang

menyewakan, yang memiliki status yang sah dalam hukum.Benda yang dimaksud

juga dapat berwujud atau tidak berwujud, bergerak atau tidak bergerak, dan

sebagainya.

Kemudian sesuai dengan Buku III Bab VII KUHpdt .Tentang harga-sewa jika

dalam jual-beli harga harus berupa uang, karena jika berupa barang maka

84
I.G Rai Widjaya. Merancang Suatu Kontrak Teori dan Praktek. Jakarta : Kesaint Blanc.
2002. hal.141.
perjanjiannya bukan jual-beli lagi tetapi menjadi tukar-menukar, tetapi dalam sewa

menyewa tidaklah menjadi keberatan bahwa harga-sewa itu berupa barang atau

jasa.Sebagaimana telah dijelaskan, segala macam barang dapat disewakan.

c. Waktu sewa menyewa

Dalam pasal 1548 KHUPdt terdapat kata-kata waktu tertentu, dalam hal ini

terdapat beberapa pasal yang menyinggung masalah waktu sewa yaitu :

Pasal 1570
Jika sewa dibuat dengan tulisan, maka sewa itu berakhir demi hukum, apabila waktu
yang ditentukan telah lampau, tanpa diperlukannya suatu pemberhentian untuk itu
Pasal 1571 jika sewa tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa itu tidak berakhir pada
waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak lain bahwa ia hendak menghentikan
sewanya, dengan mengindahkan tenggang-tenggang waktu yang diharuskan menurut
kebiasaan setempat.
Pasal 1578
Seorang pembeli yang hendak menggunakan kekuasaan yang diperjanjikan dalam
perjanjian sewa, untuk, jika barangnya dijual, memaksa si penyewa mengosongkan
barang yang disewa diwajibkan memperingatkan si penyewa sekian lama sebelumnya
sebagaimanan diharuskan oleh adat kebiasaan setempat mengenai perberhentian-
perberhentian sewa.Dalam halnya sewa tanah, peringatan tersebut harus paling sedikit
satu tahun sebelumnya pengosongan.
Pasal. 1579 KUHpdt
Pihak yang menyewakan tidak dapat menghentikan sewanya dengan menyatakan
hendak memakai sendiri barangnya yang disewakan, kecuali jika telah diperjanjikan
sebaliknya.
Pasal-pasal tersebut tidak secara jelas menyatakan bahwa syarat waktu

tertentu harus dicantumkan, salah satunya dalam Pasal 1571 yang tampak

melemahkan persyaratan pencantuman waktu tertentu dalam sewa menyewa. Namun,

waktu sewa tetap menjadi hal yang sangat penting, meskipun tidak secara tegas

dicantumkan, undang-undang memerintahkan untuk memperhatikan kebiasaan-

kebiasaan setempat atau mengindahkan tenggang waktu yang diharuskan berdasarkan

kebiasaan setempat, untuk mencegah timbulnya hal-hal yang tidak di harapkan timbul
di kemudian hari dan mencegah penafsiran serta makna berbeda, maka pencantuman

batas waktu sewa yang jelas sangat diperlukan.

Kemudian untuk berakhirnya perjanjian sewa menyewa pada dasarnya sesuai

dengan berakhirnya perjanjian pada umumnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1381

KUHPerdata suatu perjanjian berakhir dikarenakan85 :

a. Karena pembayaran

b. Penawaran pembayaran tunai dikuti dengan penyimpanan atau penitipan

c. Karena pembaharuan utang

d. Karena perjumpaan utang atau kompensasi

e. Karena percampuran utang

f. Karena pembebasan utang

g. Karena musnahnya barang yang terhutang

h. Karena batal atau pembatalan

i. Berlakunya suatu syarat batal

j.Lewatnya waktu

Pasal 1575 KUHPerdata menentukan bahwa perjanjian sewa menyewa tidak

berakhir karena ada salah satu pihak yang meninggal dunia, baik yang penyewa

maupun pihak yang menyewakan. Seluruh kewajiban dan haknya diteruskan kepada

ahli warisnya. Selain itu, perjanjian sewa menyewa juga tidak dapat diputus apabila

85
Abdul Kadir Muhamad. Hukum Perjanjian. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. 2014. hal.86.
barang yang disewakan bralih hak kepemilikannya melalui jual beli, kecuali jika

telah ditentukan sebelumnya dalam perjanjian tersebut.

2. Kedudukan hukum pihak penyewa dalam kuhperdata

Pihak penyewa dalam sebuah perjanjan sewa menyewa memiliki kedudukan

hukum yang jelas karena hak dan kewajibannya pun tertera dalam KUHPerdata. Pasal

1560 menjelaskan bagi si penyewa ada empat kewajiban utama, ialah :

1. memakai benda sewaan dengan baik.

Menggunakan barang sewa dengan tujuan yang sesuai dengan perjanjian,

menggunakannya sesuai dengan baik, seolah-olah barang tersebut milik penyewa,

sehingga digunakan, dijaga, dirawat dengan semestinya.  

2. Membayar uang sewa, sesuai dengan waktu yang ditetapkan 

Pihak penyewa harus membayar uang sewa, secara periodik atau langsung tunai. 

3. Mengembalikan benda sewaan setelah berakhirnya sewa menyewa.

Kewajiban ini muncul setelah berakhirnya sewa menyewa, dari kedua belah

pihak.Jika pihak penyewa menerima benda dalam keadaan baik, pengembaliannya

pun dalam bentuk baik.Setidak-tidaknya, sesuai dengan isi kesepakatan. Jika kedua

belah pihak telah membuat rincian mengenai benda sewaan, pihak penyewa wajib

mengembalikan benda sewaan menurut rincian  ketika benda sewaan itu diterimanya,

dengan pengecualian apa yang telah musnah atau berkurang nilainya. Karena ketuaan

atau karena peristiwa yang tidak disengaja yang tidak dapat dihindarkan. 

4. Tidak mengulang sewakan pada pihak ketiga.


Penyewa tidak boleh mengalih sewakan atau mengulangsewakan benda sewaan

kepada orang lain, dengan ancaman pembatalan sewa menyewa dan pembayaran

ganti kerugian, sedangkan pihak yang menyewakan setelah pembatalan sewa, tidak

wajib mentaati perjanjian ulang sewa. 

Kedudukan hukum yang jelas bagi pihak penyewa berlaku dalam perjanjian

sewa menyewa baik secara tulisan maupun lisan, ini dikarenakan perbedaan dari

bentuk perjanjian sewa menyewa ini hanya pada waktu berakhirnya saja.Hal ini jelas

tertera dalam KUHPerdata sehingga memiliki dasar hukum yang jelas.

B. Tinjauan tentang perjanjian lisan

1. Pengertian perjanjian lisan

Kitab Undang-undang Hukum Perdata merupakan sumber hukum formil

sekaligus sebagai sumber hukum materiil bagi hukum perjanjian yang berlaku di

Indonesia. Perjanjian diatur secara khusus dalam KUH Perdata, Buku III, Bab II

tentang Perikatan-perikatan yang Dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian dan Bab V

sampai Bab XVIII yang mengatur asas-asas hukum dan norma-norma hukum

perjanjian, serta norma-norma hukum perjanjian yang mempunyai bentuk khusus

yang lebih dikenal dengan istilah perjanjian bernama.

Perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada

oranglain atau dapat dikatakan peristiwa dimana dua orang atau lebih

salingmengikrarkan diri untuk berbuat sesuatu. Definisi perjanjian batasannya

telahdiatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang menyatakan bahwa, “Suatu
perjanjianadalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan

dirinyaterhadap satu orang lain atau lebih”.

Untuk terbentuknya suatu perjanjian, harus ada dua pihak sebagai subjek

hukum, dimana masing-masing pihak sepakat untuk mengikatkan dirinya dalam suatu

hal tertentu.Hal tertentu yang dimaksud dapat berupa menyerahkan benda atau

berbuat sesuatu, maupun untuk tidak berbuat sesuatu. Perjanjian menerbitkan suatu

perikatan antara dua orang yang membuatnya, perjanjian dapat berupa suatu

rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan

maupun ditulis 86

Perjanjian bisa dilakukan dalam bentuk tertulis maupun dengan cara lisan.

Perjanjian secara lisan sering terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, Hal ini sering

tidak disadari namun kesepakatan telah terjadi, misalnya dalam kegiatan sehari-hari

ketika melakukan perjanjian hutang dengan teman atau saudara, melakukan

pembelian di toko dan sebagainya.

Bisa dikatakan bahwa perjanjian lisan sering dijumpai pada perjanjian yang

bentuknya sederhana, dalam artian perjanjian yang tidak rumit hubungan hukumnya

dan juga tidak menimbulkan kerugian besar bagi para pihak jika terjadi

wanprestasi.Tetapi kenyataannya, perjanjian lisan tetap digunakan dalam perjanjian

yang rumit dan dapat menimbulkan kerugian besar bagi para pihaknya, para pihak ini

hanya menggunakan asas kepercayaan sebagai dasar perjanjian lisan tersebut.

86
R.Subekti. Aneka Perjanjian. Bandung : Citra Aditya Bakti. 1995. hal. 1
Yang termasuk dalam perjanjian lisan adalah87 :

1) perjanjian konsensual, adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara para

pihak saja sudah cukup untuk timbulnya perjanjian yang bersangkutan88

2) perjanjian riil, adalah perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadinya penyerahan

barang atau kata sepakat bersamaan dengan penyerahan barangnya. Misalnya

perjanjian penitipan barang dan perjanjian pinjam pakai89

2. Kedudukan hukum perjanjian lisan dalam kuhperdata

Membuat suatu perjanjian pada dasarnya tidak terikat dengan suatu bentuk

tertentu.KUH Perdata tidak menyebutkan secara sistematis tentang bentuk

perjanjian.Setiap pihak yang melakukan perjanjian mempunyai kebebasan dalam

membuat perjanjian, dalam arti bebas membuat perjanjian secara lisan atau tertulis.

Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada

para pihak untuk :90

a. Membuat atau tidak membuat perjanjian;

b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun;

c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya; dan

d. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

Perjanjian lisan merupakan perjanjian yang sah, karena berdasarkan ketentuan

mengenai syarat sahnya suatu perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata, tidak ada
87
Salim H.S.. Perkembangan hukum kontrak innominate di Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika.
2003. hal. 18.
88
J. Satrio.Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti. 1995. hal. 48.
89
Mariam Darus Badrulzaman. Kuhperdata buku III. Bandung: Alumni. 2006. hal 92-93.
90
Ibid.,
satupun syarat yang mengharuskan suatu perjanjian dibuat secara tertulis. Dengan

kata lain, suatu Perjanjian yang dibuat secara lisan juga mengikat secara hukum bagi

para pihak yang membuatnya, pacta sun servanda sesuai dengan Pasal 1338 KUH

Perdata Namun demikian, dalam proses pembuktian suatu perkara perdata, lazimnya

alat bukti yang dipergunakan oleh pihak yang mendalilkan sesuatu sesuai dengan

Pasal 163 HIR adalah alat bukti surat. Hal ini karena dalam suatu hubungan

keperdataan, suatu surat / akta memang sengaja dibuat dengan maksud untuk

memudahkan proses pembuktian.

Dalam hukum acara perdata, alat bukti yang sah atau diakui oleh hukum terdiri dari :

1) Bukti tulisan;

2) Bukti dengan saksi-saksi;

3) Persangkaan-persangkaan;

4) Pengakuan;

5) Sumpah;

Dalam hal perjanjian sewa menyewa bentuk perjanjiannya dapat berupa

perjanjian tertulis atau perjanjian lisan, sehingga perjanjian lisan memiliki kedudukan

hukum yang jelas dala KUHPerdata.Untuk pembuktian, perjanjian lisan tetap dapat

dibuktikan dengan menggunakan bukti dari saksi atau beberapa dokumen tertulis

pendukung lainnya jika terdapat sengketa di kemudian hari.

C. Kedudukan hukum pihak penyewa dalam Putusan Mahkamah Agung

Nomor: 1660k/pdt/2014
Perjanjian sewa menyewa merupakan perjanjian yang terdapat dalam Pasal

1548 KUHPdt, yaitu suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan

dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu

barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh

pihak tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya.

Pihak penyewa dalam sebuah perjanjian sewa menyewa memiliki beberapa

kewajiban dan hak sesuai undang-undang dan perjanjian yang dibuat oleh kedua

belah pihak dan harus dilaksanakan begitu juga bagi pihak yang menyewakan.

Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1660k/pdt/2014, Surat Perjanjian

Sewa yang ditandatangani pada 22 Januari 2010 dengan masa sewa dimulai pada

tanggal 1 Agustus 2009 dan akan berakhir pada tanggal 1 Agustus 2012. Harga sewa

disepakati sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dan telah dibayar secara

mengangsur oleh Penggugat mulai 12 Juni 2009 sebesar Rp7.000.000,00 (tujuh juta

rupiah) dan dibayar lunas sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) pada

tanggal 6 April2010.

Hal ini membuktikan bahwa perjanjian sewa menyewa yang dilaksanakan

memiliki bukti akta dibawah tangan karena perjanjian tersebut hanya dilaksanakan

oleh para pihak saja dan tidak dilakukan dihadapan seorang notaris.Sehingga

kedudukan hukum perjanjian tersebut lebih kuat jika dibandingkan hanya dengan

perjanjian lisan saja.

Akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat serta ditandatangani oleh para

pihak yang bersepakat dalam perikatan atau antara para pihak yang berkepentingan
saja. Pengertian dari akta di bawah tangan ini dapat diketahui dari beberapa

perundang-undangan sebagai berikut:

a. Pasal 101 ayat b Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha

Negara, menyatakan bahwa akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan

ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk

dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang

tercantum di dalamnya

b. Pasal 1874 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menyatakan bahwa yang

dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah

tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang

dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum.

Mengenai akta dibawah tangan ini tidak ada diatur dalam HIR, tetapi di dalam

Rbg diatur dalam Pasal 286 sampai dengan Pasal 305, dan dalam KUHPdt diatur

dalam Pasal 1874 sampai dengan Pasal 1880, serta dalam Stb. 1867 No. 29.

Selama perjanjian sewa menyewa pihak penyewa juga telah dengan tepat

waktu membayar uang sewa dan telah memenuhi kewajiban sebagai penyewa.

Sehingga pihak yang menyewakan menawarkan pihak penyewa untuk membeli

bangunan tersebut dengan cara mengangsur kemudian di sepakati oleh penyewa.


BAB IV

A. Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1660k/Pdt/2014

Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 1660K/Pdt/2014, pembatalan akta

pengikatan jual beli dan memenangkan kesepakatan lisan perjanjian jual beli antara

para pihak, adalah suatu putusan yang wajib dianalisis dengan alasan bahwa terdapat

hal yang akan menjadi yurisprudensi dalam hukum Indonesia.

Kasus posisi dalam putusan ini berawal dari Tuan Jerry Oliman sebagai

Penggugat, mengajukan gugatan pada Pengadilan Negeri Surabaya terhadap para

Tergugat yaitu, Nyonya Janda Pik Indahwti Gunawan (Tergugat 1), Nyonya Tengku

Handayani (Tergugat 2), Nyonya Tengku Noorina Sari (Tergugat 3) dan John

Ranharten Limanto (Tergugat 4) yang mana bahwa Tergugat I, Tergugat II dan

Tergugat III adalah ahli waris yang sah dari perkawinan almarhum Tuan Tengku

Aseng dengan Tergugat I, dengan demikian Tergugat I merupakan pemilik yang sah

atas sebuah bangunan rumah tempat tinggal yang berdiri diatas tanah Pemerintah

Kota Surabaya, berdasarkan Izin Pemakaian Tanah Dinas Pengelolaan Tanah dan

Rumah Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 188.45/3010P/

436.4.22/2003, tanggal 12 Desember 2003, nama pemegang izin Tengku Aseng


seluas 100 m² (seratus meter persegi), yang terletak di Jalan Bratang Jaya 59 BLok

A/010, Kelurahan Barata Jaya, Kecamatan Gubeng, Wilayah Timur, Kotamadya

Daerah Tingkat II Surabaya untuk selanjutnya disebut objek gugatan.

Kemudian Penggugat telah menyewa objek gugatan dari Tergugat I, Tergugat

II, dan Tergugat III berdasarkan kwitansi pembayaran uang sewa yang diterima oleh

Tergugat I atau Tergugat II atau Tergugat III dan dituangkan dalam Surat Perjanjian

Sewa yang ditandatangani pada 22 Januari 2010 dengan masa sewa dimulai pada

tanggal 1 Agustus 2009 dan akan berakhir pada tanggal 1 Agustus 2012. Harga sewa

disepakati sebesar Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dan telah dibayar secara

mengangsur oleh Penggugat mulai 12 Juni 2009 sebesar Rp. 7.000.000,00 (tujuh juta

rupiah) dan dibayar lunas sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) pada

tanggal 6 April2010 dan selama masa sewa menyewa Tergugat I, Tergugat II,

Tergugat III sebagai pemilik objek gugatan, telah menawarkan kepada Penggugat

untuk membeli objek gugatan. Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III menawarkan

harga objek gugatan sebesar Rp. 250.000.000 dan disetujui oleh Penggugat.

Pembayaran harga objek gugatan dilakukan dengan cara mengangsur dan mulai

dibayarkan pada 4 April 2010 dengan total angsuran pada April 2010 sebesar Rp.

15.800.000, yang diterima oleh Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III baik sendiri-

sendiri maupun bersama-sama dan dibuktikan dengan pemberian kwitansi.

Selama masa sewa menyewa berlangsung penggugat selalu membayar uang

angsuran pembelian objek gugatan secara tepat waktu kepada tergugat 1, tergugat 2

dan juga tergugat 3. Lalu setelah masa sewa berakhir pada 1 Agustus 2012 Pengugat
sesuai kesepakatan lisan antara penggugat dengan tergugat I, Tergugat II dan

Tergugat III, maka Penggugat bermaksud untuk melunasi kekurangan uang

pembelian objek gugatan, namun Penggugat menunggu kedatangan Tergugat I,

Tergugat II dan Tergugat III sampai dengan diajukannya gugatan tidak pernah

muncul lagi untuk menemui Penggugat. Sementara sebelumnya Tergugat I, Tergugat

II dan III masih datang dan meminta angsuran pembayaran pembelian objek sengketa

kepada Penggugat

Pada bulan Agustus 2012, seseorang mengaku sebagai Tergugat IV tiba-tiba

menelpon dan memberitahu Penggugat bahwa Tergugat IV mengaku sebagai pemilik

objek gugatan, serta memerintahkan kepada Penggugat untuk pindah dan keluar dari

objek gugatan. Tergugat IV dengan menyuruh orang suruhannya, selalu mendatangi

Penggugat dan meminta Penggugat untuk meninggalkan objek gugatan dengan

menunjukkan copy Salinan Akta Nomor 4 Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang

dibuat di hadapan Herman Soesilo, S.H, Notaris di Surabaya, tertanggal 3 Februari

2010 yang dibuat oleh Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III selaku Penjual kepada

Tergugat IV selaku pembeli dengan harga disepakati sebesar Rp. 125.000.000,00

(seratus dua puluh lima juta rupiah).

Putusan Pengadilan Negeri Surabaya menyatakan menerima seluruh gugatan

Penggugat dimana dinyatakan sah dan berharga jual beli yang dilakukan oleh

Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III dengan Penggugat dengan memperhitungkan

pembayaran angsuran yang dilakukan Penggugat, kemudian Memerintahkan

Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III untuk melanjutkan jual beli objek gugatan
dengan Penggugat, Menyatakan Batal Akta Nomor 4 Perjanjian Pengikatan Jual Beli

yang dibuat dihadapan Herman Soesilo, SH, Notaris di Surabaya, tertanggal 3

Februari 2010 antara Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III dengan Tergugat IV dan

Menghukum Tergugat IV untuk membayar ganti rugi atas kenikmatan dan

kenyamanan Penggugat sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Atas gugatan tersebut Tergugat IV mengajukan gugatan rekonvensi untuk

menjawab gugatan dari Penggugat, terhadap gugatan tersebut kemudian Pengadilan

Negeri Surabaya memberikan Putusan Nomor 782/Pdt.G/2012/PN.Sby tanggal 20

Maret 2013 dengan amar Dalam Konvensi Menyatakan gugatan Penggugat Konvensi

tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard), Menghukum Penggugat konvensi

membayar biaya yang timbul dalam perkara ini sebesar Rp636.000.00 (enam ratus

tiga puluh enam ribu rupiah) dan Dalam Rekonvensi Menolak gugatan Rekonvensi

dari Penggugat Rekonvensi/Tergugat IV Konvensi.

Dengan putusan Pengadilan Surabaya tersebut, Penggugat melakukan banding

di tingkat Pengadilan Tinggi.Akta pengikatan jual beli tersebut akhirnya dibatalkan

oleh hakim Pengadilan Tinggi Surabaya dan putusan Pengadilan Negeri tersebut telah

dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Surabaya dengan Putusan Nomor

376/PDT/2013/PT.SBY tanggal 19 September 2013.

Setelah itu Tergugat 4 melakukan upaya kasasi karna merasa perjanjian jual

beli yang dilakukan telah sesuai dengan aturan yang berlaku, namun dalam putusan

Mahkamah Agung, hakim menolak kasasi tersebut, karena majelis berpendapat


bahwa keberatan-keberatan kasasi tidak dibenarkan, maka permohonan kasasi

ditolak.

Perjanjian jual beli yang dilakukan oleh tergugat 4 dengan para ahli waris

objek sengketa yaitu tergugat 1, tergugat 2 dan tergugat 3 adalah perjanjian yang sah

dan telah dibuktikan dengan suatu akta pengikatan jual beli Nomor 4 tanggal 3

februari 2010. Namun akta tersebut dinyatakan batal oleh Pengadilan Tinggi

Surabaya, dikarenakan penggugat juga dalam proses jual beli yang belum selesai

perjanjiannya dengan Penggugat.

Sesuai dengan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah dapat diketahui bahwa untuk peralihan hak atas tanah

diperlukan suatu akta autentik yang dibuat oleh seorang pejabat umum yang disebut

dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang diangkat oleh pemerintah.

Sehingga peralihan hak atas tanah tidak dapat dilakukan begitu saja tanpa memenuhi

persyaratan yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang

berlaku.Pasal ini juga menjadi dasar dalam adanya perjanjian jual beli tanah yang

harusnya juga menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara tersebut.

Hal yang menjadi perhatian kemudian adalah, di dalam Peraturan Daerah

Kota Surabaya No. 1 Tahun 1997 diwajibkan oleh ahli waris untuk melanjutkan

IzinPemakaian Tanah dengan mengajukan permohonan ke kepala daerahatau pejabat

yang ditunjuk diikuti dengan kuasa untuk mengalihkan hak sewa atas tanahnya jika

pemegang hak meninggal. Dalam kasus ini ahli waris yaitu Tergugat I, II dan III
belum mengajukan permohonan pengalihan hak sewa tersebut tapi telah melakukan

proses jual beli dengan pihak lain.

Kemudian dalam Peraturan Daerah Surabaya No. 1 Tahun 1997 dikatakan

bahwa Dilarang mengalihkan izin pemakaian tanah kepada pihak lain

tanpapersetujuan tertulis terlebih dahulu dari Walikotamadya KepalaDaerah atau

Pejabat yang ditunjuk, hal ini menyatakan bahwa dalam hal pengalihan hak tersebut

harus dilakukan berdasarkan peraturan daerah yang berlaku, dikarenakan objek yang

disengketakan adalah sebuah bangunan rumah tempat tinggal yang berdiri diatas

tanah Pemerintah Kota Surabaya, berdasarkan Izin Pemakaian Tanah Dinas

Pengelolaan Tanah dan Rumah Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya

Nomor 188.45/3010P/ 436.4.22/2003, tanggal 12 Desember 2003.

Walaupun telah terjadi persesuaian antara kehendak dan pernyataan, namun

belum tentu barang itu menjadi milik pembeli, karena harus diikuti proses penyerahan

(levering) benda yang tergantung kepada jenis bendanya yaitu 91 :

1. Benda Bergerak

Penyerahan benda bergerak dilakukan dengan penyerahan nyata dan kunci atas benda

tersebut.

2. Piutang atas nama dan benda tak bertubuh

Penyerahan akan piutang atas nama dan benda tak bertubuh lainnya dilakukan dengan

sebuah akta otentik atau akta di bawah tangan.

3. Benda tidak bergerak


91
Salim H.S. Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta : Sinar Grafika.
2003. hal. 49.
Untuk benda tidak bergerak, penyerahannya dilakukan dengan pengumuman akan akta

yang bersangkutan, di Kantor Penyimpan Hipotek.

Lalu Tergugat IV dapat dikatakan mengganggu ketentraman hidup Penggugat,

dimana Tergugat IV menyuruh orang untuk datang ke objek sengketa dan meminta

Penggugat untuk meninggalkan objek sengketa.Hal ini merupakan suatu kesalahan

yang fatal dimana akta tersebut masih berupa akta pengikatan jual beli dan objek

dalam perjanjian tersebut tidak langsung menjadi hak milik pembeli, lalu dalam kasus

ini, perlu adanya izin dari Walikota sebagai dasar pengalihan hak objek sengketa

tersebut.

Perjanjian lisan yang dilakukan penggugat merupakan perjanjian yang sah,

karena berdasarkan ketentuan mengenai syarat sahnya suatu perjanjian dalam Pasal

1320 KUHPerdata, tidak ada satupun syarat yang mengharuskan suatu perjanjian

dibuat secara tertulis. Dengan kata lain, suatu Perjanjian yang dibuat secara lisan juga

mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya, pacta sun servanda

sesuai dengan Pasal 1338 KUH Perdata. Namun demikian, dalam proses pembuktian

suatu perkara perdata, lazimnya alat bukti yang dipergunakan oleh pihak yang

mendalilkan sesuatu sesuai dengan Pasal 163 HIR adalah alat bukti surat. Hal ini

karena dalam suatu hubungan keperdataan, suatu surat / akta memang sengaja dibuat

dengan maksud untuk memudahkan proses pembuktian.

Selain hal itu, hakim juga harus mempertimbangkan mengenai adanya unsur

penipuan yang dilakukan oleh tergugat 1, tergugat 2 dan tergugat 3 kepada penggugat

selaku penyewa objek sengketa awalnya. penipuan adalah dimana seseorang


menyembunyikan sesuatu tidak sesuai dengan faktanya, sehingga dengan ini unsur

penipuan masuk kedalam syarat sah perjanjian yaitu kesepakatan.

Adanya penipuan dikarenakan bahwa dalam perjanjian lisan jual beli objek

sengketa yang dilakukan oleh pengugat dengan tergugat 1, tergugat 2 dan tergugat 3

pada tanggal 4 April 2010, sedangkan perjanjian jual beli antara tergugat 1, tergugat 2

dan tergugat 3 dengan tergugat 4 dilakukan pada tanggal 3 Februari 2010 dihadapan

Herman Soesilo selaku pejabat berwenang. Dengan adanya hal ini, maka dapat

dikatakan tergugat 1, tergugat 2 dan tergugat 3 melakukan tindak penipuan dalam

transaksi tersebut.

Suatu perjanjian yang mana tidak memenuhi syarat sah perjanjian, yaitu

kesepakatan yang masuk pada syarat subjektif maka perjanjian tersebut dapat

dibatalkan dengan permintaan salah satu pihak. Ini sudah dilakukan oleh tergugat 4

dalam upaya hukum selama persidangan yang berlangsung, namun hakim tetap

melihat dengan sisi berbeda bahwa penggugat masih menjalankan proses jual belinya

dengan para tergugat 1, tergugat 2 dan tergugat 3.

B. Pertimbangan hakim tentang perjanjian lisan menjadi dasar batalnya akta

pengikatan jual beli dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1660k/Pdt/2014

Hakim dapat dikatakan sebagai penegak keadilan tertinggi di negara hukum,

kewenangan seorang hakim tidak lepas dari undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

mengenai kekuasaan kehakiman, dalam hal melakukan tugasnya para hakim harus

bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku, selain itu para hakim juga harus

bertindak sesuai dengan kode etik yang ada..


Dalam menyelesaikan perkara perdata, salah satu tugas hakim adalah

menyelidiki apakah hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada

atau tidak.Untuk itu hakim harus mengetahui secara objektif tentang kebenaran

peristiwanya melalui pembuktian.Dengan demikian maksud pembuktian adalah untuk

memperoleh kebenaran peristiwanya dan tujuannya untuk menetapkan hubungan

hukum diantara kedua belah pihak dan menetapkan putusan berdasarkan hasil

pembuktian.

Tugas hakim dalam pembuktian adalah membagi beban pembuktian, menilai

dapat diterima atau tidaknya suatu alat bukti serta menilai kekuatan

pembuktian.Dalam melaksankan tugasnya tersebut hakim terikat pada alat-alat bukti

yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan dan diajukan oleh para pihak di

persidangan.Berdasarkan hal tersebut dapat diartikan bahwa keyakinan hakim bukan

merupakan hal yang essensial untuk menetapkan kebenaran peristiwanya.92

Pertimbangan merupakan dasar dari putusan.Pertimbangan sering juga disebut

dengan consideran, yang harus memuat alasan-alasan hakim sebagai

pertanggungjawaban kepada masyarakat, mengapa hakim sampai mengambil putusan

demikian sehingga putusan tersebut memiliki nilai yang objektif.

Pertimbangan dalam putusan perdata dibagi menjadi dua, yaitu:93

1) Pertimbangan tentang duduk perkaranya atau peristiwanya

2) Pertimbangan tentang hukumnya

92
Tata Wijayanta, Hery Firmansyah. Perbedaan Pendapat dalam Putusan
Pengadilan.Yogyakarta: Pustaka Yustisia. 2011. hal. 15.
93
Ibid., hal. 34.
Dalam mengemukakan pertimbangan hukumnya, hakim mencari kualifikasi

peristiwa konkret yang sudah diuraikan menjadi peristiwa hukum dengan

menjelaskan pokok yang dipersengketakan. Proses ini dibagi oleh hakim, para pihak

harus mengemukakan peristiwanya dan hakim akan mengurus soal hukumnya.94

Mengenai proses pembatalan akta melalui pengadilan tidaklah mudah karena

dalam suatu persidangan diperlukan adanya bukti-bukti, namun dalam Pasal 163 HIR

dan 283 Rbg tidak secara tegas mengatur beban pembuktian ini apakah beban

pembuktian ini ada pada penggugat atau tergugat atau keduanya. Sehingga kemudian

berdasar pada latar belakang tersebut, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan

permasalahan-permasalahan yaitu mengenai pertimbangan.

Hakim dalam memutus suatu perkara berdasar pada peraturan perundangan

yang berlaku yang mengatur mengenai akta notaris yakni dengan memperhatikan

fakta-fakta yang ada dalam persidangan, apakah pembatalan akta jual beli tanah ini

memenuhi syarat-syarat pembatalan akta jual beli tanah, sebagaimana yang

dibuktikan oleh undang-undang dan juga berpedoman pada putusan-putusan

Mahkamah Agung yang pernah diputus.

Pertimbangan pembatalan akta notaris harus memperhatikan apakah akta

notaris tersebut mengandung kecacatan yurisdis yakni tidak terpenuhinya ketentuan

Pasal 1320 KUHPerdata yang memuat syarat subyektif (sepakat mereka yang

mengikatkan dirinya, cakap untuk membuat suatu perjanjian) dan syarat obyektif

(obyek yang jelas, suatu sebab yang halal), dengan demikian apabila syarat tersebut
94
Ibid.
terpenuhi maka akta tersebut dapat dinyatakan oleh hakim batal demi hukum, dan

apabila akta PPAT dibatalkan oleh suatu putusan hakim, dapat dilihat terlebih dahulu

akibat yang timbul karenanya. Jika ternyata pembatalan (baik yang dapat dibatalkan

maupun yang batal demi hukum) menimbulkan kerugian bagi para pihak yang

meminta bantuan notaris dalam pembuatan akta tanah (termasuk penerima haknya),

maka notaris dapat dihukum untuk membayar penggatian kerugian tersebut

(sepanjang kesalahan tersebut terletak pada notarisnya).

Hakim dalam menentukan putusan atas Pembatalan Akta autentikbanyak

memberikan pertanyaan bagi para pihak, apa alasan atau pertimbangan hakim dalam

memberikan putusan tersebut. Berikut adalah alasan hakim dalam membatalkan akta

autentik dalam perkara perdata:95

1) Pada hakekatnya kekuatan pembuktian yang melekat pada akta notaris sebagai

akta autentik memiliki nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat.

Kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat yang terdapat pada akta notaris

merupakan perpaduan dari beberapa kekuatan pembuktian yang terdapat padanya,

yaitu kekuatan pembuktian formil dan materiil. Apabila dipersidangan terbukti

salah satu kekuatan itu memiliki "cacat" mengakibatkan akta notaris tidak

mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig) dan mengikat

(bindende). Oleh karena untuk melekatkan nilai kekuatan yangseperti itu pada akta

95
Darma Indo Damanik. “Tinjauan Yuridis terhadap Kewenangan Hakim dalam Membatalkan
Akta Notaris sebagai Alat Bukti dalam Proses Pemeriksaan Perkara di Persidangan”,
www.researchgate.net, diakses Minggu, 02 Desember 2018, Pukul 08.00 WIB.
notaris, harus terpenuhi secara terpadu kekuatan pembuktian secara formil maupun

secara rnateriil.

2) Kewenangan Hakim dalam menilai dan membatalkan akta notaris yang diajukan

sebagai alat bukti dipersidangan terbatas pada peraturan perundang undangan yang

berlaku, khususnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris

atas perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahum 2004. Hal ini berarti “bahwa

dalam memutuskan suatu perkara yang materi pokoknya memohon untuk

membatalkan suatu akta notaris Hakim harus berpedoman kepada Undang-Undang

yang berlaku yang berkaitan dengan perkara tersebut. Apabila undang-undangyang

berlaku tidak ada mengatur tentang masalah tersebut, maka disinilah wewenang

Hakim dapat menjadi lebih luas untuk menilai danmemutuskan apakah sesuatu

akta dapat dibatalkan atau tidak, dengan pertimbangan bahwa Hakim dalam

putusannya harus mencerminkan nilai keadilan dan kemanfaatan dalam

masyarakat.

3) Faktor-Faktor Pertimbangan yang diajadikan dasar oleh Hakim dalam memutuskan

untuk membatalkan akta notaris yang diajukan sebagai alat bukti dipersidangan

secara garis besarnya sebagai berikut :

a) Adanya kesalahan dalam proses pembuatan akta yang tidak sesuai dengan

ketentuan undang-undang.

b) Adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan Notaris dalam pembuatan akta

c) Adanya kesalahan atas isi akta notaris

d) Adanya kesalahan bentuk akta notaris


e) Adanya kesalahan ketik pada salinan akta notaris.

f) Sebuah akta yang dijadikan alat bukti dalam suatu perkara perdata, memberikan

keuntungan bagi pihak yang mengajukannya, ini dikarenakan sesuai dari uraian

diatas bahwa akta autentik bersifat sempurna sehingga, jika diajukan maka pihak

tersebut tidak membutuhkan alat bukti lainnya, namun akta autentik dapat

dipatahkan oleh alat bukti yang diajukan oleh lawan.

g) Masyarakat yang memiliki akta autentik hasil dari transaksi jual beli, merasa

bahwa akta autentik tersebut tidak dapat dipatahkan oleh pihak yang bermasalah,

ternyata terdapat beberapa kasus dimana sebuah akta autentik dimintakan

pembatalannya oleh pihak lain di hadapan hakim dikarenakan beberapa hal,

pembatalan akta tersebut dilakukan seorang hakim dengan beberapa alasan yang

menurut para hakim adalah tindakan tepat dalam suatu perkara.

h) Akta notaris sebagai akta autentik mempunyai kekuatan pembuktian yang

sempurna dan mengikat. Hal ini mempunya arti bahwa hakim dalam memeriksa

perkara yang berkaitan dengan akta notaris harus menganggap isi akta notaris

tersebut benar sepanjang tidak ada pihak yang menyangkal kebenaran isi akta

notaris tersebut. Apabila ada pihak yang menyangkal kebenaran isi akta notaris

tersebut dalam proses pemeriksaan perkara di persidangan dan menuntut

pembatalan terhadap akta notaris tersebut. Maka disinilah hakim mempunyai

wewenang untuk menilai kemudian memutuskan suatu akta notaris dapat

dibatalkan atau tidak. Hakim berwenang untuk menerima, memeriksa dan

mengadili setiap perkara yang diajukan ke pengadilan tidak terkecuali perkara


yang berkaitan dengan pembatalan akta notaris yang diajukan sebagai alat bukti

dalam proses pemeriksaan perkara di persidangan.96

Dalam hal-hal yang disebutkan diatas maka hakim harus membandingkan

antara peristiwa hukum dengan peraturan yang berlaku terdapat perbenturan,

sehingga dapat diketahui kebenaran materilnya.Baru setelah itu hakim dapat memutus

hukumnya dengan adil. Disamping itu hakim juga harus mempertimbangkan bukti-

bukti, seperti yang terdapat pada Pasal 163 HIR (Pasal 283 Rbg, Pasal 1865 BW)

yang berbunyi :“Barang siapa yang mengaku mempunyai hak atau mendasarkan pada

sesuatu peristiwa untuk menguatkan haknya itu atau untuk menyangkal hal orang

lain, harus membuktikan adanya hak atauperistiwa itu”.

Dalam gugatan untuk menyatakan akta notaris tersebut tidak sah, maka harus

dibuktikan ketidakabsahan dari aspek lahiriah, formal, dan materiil akta notaris.Jika

tidak dapat dibuktikan maka akta yang bersangkutan tetap sah mengikat para pihak

atau siapa saja yang berkepentingan dengan akta tersebut. Asas ini telah diakui dalam

Undang-Undang Jabatan Notaris, tersebut dalam Penjelasan Bagian Umum bahwa :

“Akta Notaris sebagai alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh, apa yang

dinyatakan dalam akta Notaris harus diterima, kecuali pihak yang berkepentingan

dapat membuktikan hal sebaliknya secara memuaskan dihadapan persidangan

pengadilan.”

96
Kumpulan Akta-Akta Notaris, “ Akta Otentik Sebagai Alat Bukti yang Sempurna”, melalui
www.kumpulanakta.com diakses Jumat, 30 November 2018, Pukul 17.45 WIB.
Putusan yang diberikan oleh hakim dalam suatu perkara haruslah mempunyai

alasan atau pertimbangan hukum untuk menemukan jawaban dan keadilan atas

putusan yang akan diberikan hakim tersebut. Dalam tingkat Mahkamah Agung, yaitu

upaya kasasi maka hakim memiliki wewenang memeriksa yang berbeda dalam

peradilan tingkat pertama yaitu oleh pengadilan negeri dan tingkat banding atau

pengadilan tinggi dimana masalah-masalah fakta dan masalah-masalah hukum

mendapatkan perhatian utama dalam penelitiannya, sedangkan dalam tingkat kasasi

berbeda yaitu tidak dikaji secara keseluruhan, dimana fakta-fakta yang menjadi

kewenangan judex facti untuk memeriksanya diterima sebagaimana adanya, sehingga

dalam pemeriksaan kasasi tidak ada lagi penelitian. Pemeriksaan kasasi ditujukan

kepada persoalan apakah judex facti sudah menerapkan hukum secara tepat,

Putusan Mahkamah Agung Nomor 1660k/Pdt/2014 merupakan suatu putusan

yang permohonannya ditolak, dikarenakan dalam isi memori kasasi pemohon kasasi

(tergugat 4) menjelaskan mengenai masalah pembuktian. Maksud dari permohonan

kasasi ditolak adalah hakim dalam tingkat kasasi memeriksa keberatan-keberatan oleh

pemohon kasasi dan jika hakim berpendapat bahwa keberatan-keberatan tersebut

tidak dapat dibenarkan, maka permohonan kasasi ditolak baik dengan perbaikan amar

putusan atau tidak.

Maka sesuai dengan putusan tersebut, berikut adalah pertimbangan hakim

dalam menolak permohonan kasasi pemohon:

Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, putusan Judex Facti

tingkat banding sudah tepat dan benar, karena Penggugat dapat membuktikan bahwa
jual beli yang dilakukan oleh Penggugat dengan Tergugat I, II, III atas rumah tinggal

(ruko) yang dibangun atas tanah pemerintah Kota Surabaya berdasarkan izin

pemakaian tanah Dinas Pengelolaan Tanah dan Rumah Kotamadya Tingkat II

Surabaya atas nama Tengku Aseng seluas 100 m² adalah sah, oleh karena proses jual

beli belum selesai maka Tergugat I, II, III harus melanjutkan proses jual beli objek

sengketa tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Bahwa oleh karena proses jual beli dengan Penggugat belum selesai, maka

Akta Jual Beli Nomor 4 tanggal 3 Februari 2010 dibuat antara Tergugat IV dengan

Tergugat I, III, III tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum, lagi pula

keberatan-keberatan tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat

penghargaan tentang suatu kenyataan yang tidak dapat dipertimbangkan dalam

pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya

berkenaan dengan kesalahan penerapan hukum, pelanggaran hukum yang berlaku,

atau kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan

perundang-undangan yang mengancam pelanggaran itu dengan batalnya putusan, atau

bila hakim tidak berwenang atau melampaui batas wewenang sebagaimana dimaksud

Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan

ditambah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004.

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, ternyata putusan Judex

FactiPengadilan Tinggi Surabaya dalam perkara ini tidak bertentangan dengan

hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh

Pemohon Kasasi Tuan John Ranharten Limanto tersebut harus ditolak.


Pertimbangan hakim tersebut menyatakan bahwa permohonan kasasi oleh

pemohon kasasi (Tergugat 4) ditolak sebagaimana yang telah dijelaskan. Dalam hal

ini maka, seharusnya pihak yang mengajukan kasasi haruslah memberikan keberatan-

keberatan yang sesuai mengenai apa yang akan diadili oleh hakim tingkat kasasi, dan

pemohon kasasi harus telah diwakili oleh kuasa hukum yang mengerti akan

mekanisme kasasi sehingga permohonana kasasi dapat diterima oleh hakim.

Permohonan kasasi ditolak, dikarenakan pertimbangan-pertimbangan hakim

mengenai keberatan-keberatan pemohon kasasi dalam memori kasasinya, sehingga

hakim dalam tingkat kasasi tetap memberikan putusan sesuai dengan putusan yang

diberikan oleh peradilan tingkat banding yaitu pengadilan tinggi.

Hakim pada peradilan tingkat pertama yaitu pengadilan tinggi memilik alasan

bahwa dilanjutkannya perjanjian jual beli antara penggugat dengan tergugat1,

tergugat 2 dan tergugat 3 dikarenakan pembayaran yang dilakukan oleh penggugat.

Sesuai dengan penjelasan penggugat dalam gugatannya bahwa penggugat telah

membayarkan sejumlah uang pada awal perjanjian sewa menyewa yaitu sebesar Rp.

15.800.000 setelah itu melakukan pembayaran dengan mencicil sebesar Rp.5.000.000

setiap bulannya, lalu pada bulan agustus tergugat 1, tergugat 2 dan tergugat 3 tidak

pernah dating lagi menemui penggugat yang berniat akan melunasi biaya jual beli

yang telah disepakati. Dengan ini berarti total pembayaran yang telah dilakukan oleh

penggugat kepada tergugat 1, tergugat 2 dan tergugat 3 adalah sebesar Rp.

15.800.000 ditambah dengan Rp.5.000.000 setiap bulan dimulai dari bulan mei 2010

sampai dengan bulan juli 2012 (31 bulan) adalah sebesar Rp. 170.800.000, biaya ini
lebih besar dari perjanjian jual beli yang dilakukan oleh tergugat 4 dengan tergugat 1,

tergugat 2 dan tergugat 3. Sehingga hakim pada tingkat judex facti memutuskan untuk

melanjutkan perjanjian jual beli antara penggugat dengan tergugat 1, tergugat 2 dan

tergugat 3 menurut prosedur agrarian.

Dibatalkannya perjanjian jual beli antara Tergugat IV dengan Tergugat I,

Tergugat II dan Tergugat III, menjadikan dilanjutkannya perjanjian antara Penggugat

dengan Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III melalui prosedur agraria agar para

pihak dapat memiliki haknya sesuai dengan aturan yang berlaku di Indonesia. Maka

dengan itu dapat dikatakan bahwa perjanjian antara tergugat 4 dengan tergugat 1,

tergugat 2 dan tergugat 3 dihentikan lalu tergugat 1, tergugat 2 dan tergugat 3

diwajibkan untuk mengembalikan uang yang telah dibayarkan oleh tergugat 4 dalam

transaksi jual beli sebelumnya.

C. Akibat hukum terhadap perjanjian lisan sebagai dasar batalnya akta

pengikatan jual beli menurut Putusan Mahkamah Agung

Nomor:1660K/pdt/2014

Permasalahan mengenai pembatalan akta jual beli dalam masyarakat

memberikan pengaruh yang sangat besar, terutama dalam kasus ini.Hakim memiliki

pertimbangan hukum yang seharusnya tidak memberatkan para pihak, namun

memberikan putusan yang bersifat adil yaitu para pihak merasa puas dan tidak merasa

dirugikan.

Putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor 1660k/Pdt/2014 memberikan suatu

lembaran baru dalam dunia hukum dimana dalam suatu perjanjian jual beli tanah atau
bangunan, perjanjian lisan dapat dilaksanakan dan hanya dengan bukti kwitansi

dalam transaksinya. Hal ini juga memberikan berbagai spekulasi mengenai kinerja

seorang notaris yang aktanya ternyata dapat dibatalkan dalam suatu perkara.

Sesuai dengan penjelasan mengenai perjanjian lisan, sebuah perjanjian jual

beli dapat dilaksanakan dengan bentuk apapun asalkan sesuai dengan aturan yang

berlaku, hal ini yang membuat masyarakat masih menjadikan perjanjian lisan sebagai

perjanjian yang lazim dan dianggap sebagai perjanjian yang lebih aman karena sudah

berkembang dan turun temurun dilakukan berdasarkan asas kepercayaan.

Sebuah perjanjian lisan yang dilaksanakan masyarakat Indonesia harusnya

dilakukan dalam sebuah perjanjian yang sederhana saja bentuknya, agar jika terjadi

hal-hal yang tidak di inginkan suatu hari nanti, permasalahannya tidak menjadi sulit

dan tidak merugikan berbagai pihak.

Dalam kasus ini Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III mengakui adanya

kesepakatan lisan yang dibuat bersama Penggugat, jika Tergugat I, Tergugat II dan

Tergugat III menyangkal / ingkar akan adanya perjanjian tersebut maka perjanjian

lisan dapat saja dianggap tidak pernah ada, sehingga Penggugat akan sangat

dirugikan. perjanjian lisan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum, karena

perjanjian tersebut bisa benar adanya dan bisa juga tidak ada, tergantungdari

pembuktian para pihak.

Dalam putusan Mahkamah Agung dikatakan bahwa putusan Judex Facti

tingkat banding sudah tepat dan benar, karena Penggugat dapat membuktikan bahwa

jual beli yang dilakukan oleh Penggugat dengan Tergugat I, II, III atas rumah tinggal
(ruko) yang dibangun atas tanah pemerintah Kota Surabaya berdasarkan izin

pemakaian tanah Dinas Pengelolaan Tanah dan Rumah Kotamadya Tingkat II

Surabaya atas nama Tengku Aseng seluas 100 m² adalah sah, oleh karena proses jual

beli belum selesai maka Tergugat I, II, III harus melanjutkan proses jual beli objek

sengketa tersebut sesuaidengan peraturan yang berlaku. Dikarenakan proses jual beli

dengan Penggugat belum selesai, maka Akta Jual Beli Nomor 4 tanggal 3 Februari

2010 dibuat antara Tergugat IV dengan Tergugat I, III, III tidak sah dan tidak

mempunyai kekuatan hukum, permohonan kasasi yang diajukan oleh PemohonKasasi

Tuan John Ranharten Limanto tersebut harus ditolak.

Akta pengikatan jual beli yang dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Tinggi

Surabaya dan disetujui oleh Mahkamah Agung membuktikan bahwa, tidak selamanya

akta autentik dapat menjadi bukti terkuat dalam suatu perkara, namun banyak hal

yang bias menjadi pertimbangan hakim terutama dengan dipenuhi atau tidaknya

syarat-syarat sah perjanjian, dan menyelidiki kasus tersebut.

Salah satu hal yang harus diperhatikan kemudian adalah, ketika hendak

melakukan perjanjian jual beli seharusnya masyarakat dapat mengecek dan

memeriksa terlebih dahulu asal-usul tanah, status tanahnya atau adakah perjanjian

sewa menyewa diatas objek tersebut.Dikarenakan sebuah perjanjian jual beli tidak

membatalkan perjanjian sewa menyewa diatasnya.

Kemudian bahwa dengan adanya sebuah akta autentik maka tidak membuat

objek dalam perjanjian jual beli langsung menjadi hak milik pembeli. Dimana hak

milik atas tanahnya tidak dapat langsung berpindah kepada si pembeli selama
penyerahan yuridisnya belum dilakukan, karena antara perjanjian jual beli dengan

penyerahan yuridisnya (balik nama) dipisahkan secara tegas, jadi misalnya suatu

penyetoran sejumlah uang untuk Tegugat I, Tergugat II dan Tergugat III, belum

berarti tanah yang dijual itu otomatis menjadi milik Bapak Sudarmaji. Tetapi Bapak

Sudarmaji masih harus melakukan suatu perbuatan hukum lagi yaitu balik nama

untuk dikukuhkan sebagai pemilik tanah yang baru.

Dengan adanya perpindahan hak milik atas tanah, maka pemilik yang baru

akan mendapatkan tanah hak miliknya dan wajib mendaftarkannya pada Kantor

Pertanahan setempat, yang sebelumnya dibuat dahulu aktanya dihadapan PPAT.

Didalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan “Bahwa

peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah melalui jual beli, tukar

menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan, dan perbuatan hukum pemindahan

hak lainnya (kecuali lelang) hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta

yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut perundang-undangan yang

berlaku”.

Dalam kasus ini alas hak objek sengketa juga merupakan hak izin pemakaian

tanah dari pemerintah daerah Surabaya, maka pemilik awal objek sengketa harus

memperhatikan undang-undang yang berlaku di daerahnya, dimana undang-undang

yang berlaku adalah Peraturan Pemerintah Daerah Kota Surabaya No. 1 Tahun 1997.

Jika mengalihkan hak maka harus mendapatkan persetujuan oleh Walikota,

Anda mungkin juga menyukai