Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sewa beli dalam prakteknya sebelum perang dunia ke II sudah banyak


dilakukan, mula-mula mengenai mesin jahit merk singer, kemudian mengenai barang
– barang perabotan rumah dan juga mengenai mobil dan rumah. Perjanjian sewa beli
adalah suatu ciptaan dari praktek yang sudah diakui dan disahkan oleh yurisprudensi,
di negara belanda sudah dimasukan dalam Burgerlijk Wetboek (BW) dan di negara
Inggris telah diatur dalam suatu undang – undang tersendiri, yaitu “Hirepurchase Act”
tahun 1965.

Terciptanya perjanjian sewa beli didasarkan kepada asas kebebasan berkontrak


yang terdapat di dalam Burgerlijk Wetboek (BW), ketentuannya di dlam pasal 1338
ayat (1) yang berbunyi : “semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai
undang – undang bagi mereka yang membuatnya”.

Sewa beli mula mula ditimbulkan dalam praktek untuk menampung persoalan
bagaimanakah caranya memberikan jalan keluar apabila pihak penjual menghadapi
banyak permintaan atau hasrat untuk membeli barangnya tetapi calon-calon pembeli
tidak mampu membayar harga barang – barang sekaligus. Penjual bersedia untuk
menerima bahwa harga barang itu dicicil atau diangsur, tetapi penjual memerlukan
jaminan bahwa barangnya (sebelum harganya dibayar lunas) tidak akan dijual lagi
oleh si pembeli.

Sebagai jalan keluar lalu diketemukan suatu macam perjanjian dimana selama
harga belum dibayar lunas itu, si pembeli menjadi penyewa dahulu dari barang yang
ingin dibelinya. Harga sewa sebenarnya adalah angsuran atas harga barang.
Perumpamaannya seperti apabila langsung di bayar tunai harga barang adalah
Rp.100.000, namun dalam sewa beli harga itu menjadi Rp.120.000 yang akan
diangsur tiap-tiap bulan sampai dua belas kali angsuran. Dengan dijadikannya

1
penyewa maka pembeli akan dikenakan hukum pidana apabila ia menjual barangnya
atau dengan kata lain adalah menggelapkan barang tersebut. Dengan perjanjian yang
seperti itu kedua pihak tertolong, artinya pembeli dapat mengangsur harga yang ia
tidak mampu membayarnya secara tunai dan seketika dapat menikmati barangnya,
sedangkan si penjual merasa aman karena barangnya tidak akan dihilangkan oleh si
pembeli selama harga belum dibayar lunas.

Berdasarkan unsur-unsur sewa beli tersebut, terdapat beberapa persamaan


dengan perjanjian lainnya seperti perjanjian jual beli dengan angsuran dan juga
perjanjian leasing. Selain itu, terdapat beberapa ketentuan mengenai perusahaan yang
secara khusus bergerak di bidang usaha sewa beli.

Berdasarkan uraian di atas, kelompok kami tertarik untuk meneliti masalah


tersebut dalam sebuah makalah yang bertema “Perjanjian Sewa Beli”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang penulisan di atas, dapat ditarik pokok


permasalahan yang akan menjadi dasar dalam penyusunan skripsi ini sebagai berikut

1. Apakah perbedaan antara perjanjian sewa beli dengan perjanjian jual beli
dengan angsuran dan perjanjian Leasing ?
2. Bagaimana Prosedur dan syarat – syarat dalam pendirian perusahaan sewa
beli ?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui perbedaan antara perjanjian sewa beli dengan perjanjian
jual beli dengan angsuran dan perbedaan perjanjian sewa beli dengan perjanjian
Leasing.
2. Untuk mengetahui prosedur dan syarat – syarat dalam pendirian perusahaan
sewa beli

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Latar belakang timbulnya sewa beli pertama kali adalah untuk menampung
persoalan bagaimanakah caranya memberikan jalan keluar, apabila pihak penjual
menghadapi banyaknya permintaan untuk membeli barangnya, tetapi calon pembeli tidak
mampu membayar harga barang secara tunai. Pihak penjual bersedia menerima harga
barang itu dicicil atau diangsur, tetapi ia memerlukan jaminan bahwa barangnya, sebelum
harga dibayar lunas, tidak akan dijual lagi oleh pembeli.1

Disamping itu, yang menjadi latar belakang lahirnya kontrak sewa beli karena
adanya asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam pasal 1338 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal ini memberikan kebebasan pada para pihak untuk:

1. Membuat atau tidak membuat kontrak;


2. Mengadakan kontrak dengan siapapun;
3. Menentukan substansi kontrak, pelaksanaan, dan persyaratannya;
4. Menentuan bentuk kontrak, apakah lisan atau tertulis.

Keberadaan asas kebebasan berkontrak dalam pelaksanaan kontrak sewa beli


memberikan inspirasi bagi para pengusaha untuk mengembangkan bisnis dengan cara
sewa beli. Karena dengan menggunakan konstruksi jual beli semata-mata, maka barang
dari para pengusaha tidak akan laku. Ini disebabkan kondisi sosial ekonomi masyarakat
yang rendah dan tidak mempunyai banyak uang kontan.2

Para ahli berbeda pandangan mengenai tentang definisi atau pengertian sewa beli,
yang kemudian dibagi menjadi 3 macam definisi, yaitu3:

1. Definisi pertama, berpendapat bahwa sewa beli sama dengan jual beli
angsuran;

1 Subekti, R., Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, 1986, Bandung: Alumni, Hlm. 34

2 Salim H. S., Perkembangan Hukum Kontrak Innominat Di Indonesia, 2008, Jakarta: Sinar Grafika, Hlm.
128.

3 Salim H. S., Ibid, Hlm. 131.


3
Dalam Artikel 1576 h Buku VI NBW dikatan bahwa huurkop atau sewa
beli adalah:
“Jual beli dengan angsuran (op afbetaling) dimana para pihak sepakat,
bahwa barang yang dijual tidak langsung menjadi milik si pembeli dengan
penyerahan barangnya.”

Dalam definisi ini, sewa beli dikonstruksikan sebagai:

a. Jual beli dengan angsuran;


b. Objek beli sewa tidak langsung menjadi pemilik;
c. Pemilikan barang setelah pembayaran terakhir.

Pasal 1 huruf a Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor


34/KP/II/80 tentang Perizinan Beli Sewa, Jual Beli dengan Angsuran, dan Sewa,
menyebutkan mengenai pengertian sewa beli, yaitu:

“Jual beli barang dimana penjual melaksanakan penjualan barang dengan


cara memperhitungkan setiap pembayaran yang dilakukan oleh pembeli
dengan pelunasan atas harga yang telah disepakati bersama dan diikat
dalam suatu perjanjian, serta hak milik atas barang tersebut beralih dari
penjual kepada pembeli setelah harganya dibayar lunas oleh pembeli
kepada penjual.”

Unsur atau elemen perjanjian sewa beli menurut Keputusan Bersama tersebut adalah:

a. Adanya jual beli barang;


b. Penjualan dengan memperhitungkan setiap pembayaran;
c. Objek beli sewa diserahkan kepada pembeli;
d. Momentum peralihan hak milik setelah pelunasan terakhir.
2. Definisi kedua, berpendapat bahwa sewa beli sama dengan sewa-menyewa;

Hire Purchase Act 1965 mengonstruksikan sewa beli sebagai suatu4:

“Perjanjian sewa-menyewa dengan hak opsi dan si penyewa untuk membeli


brang yang disewanya.”

Sedangkan Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa sewa beli adalah5:

4 Subekti, R., Loc. Cit.

5 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu, 1981, Bandung: Sumur, Hlm. 65.
4
“Pokoknya persetujuan dinamakan sewa-menyewa barang, dengan akibat
bahwa si penerima tidak menjadi pemilik, melainkan pemakai belaka. Baru
kalau uang sewa telah dibayar, berjumlah sama dengan harga pembelian,
si penyewa beralih menjadi pembeli, yaitu brangnya menjadi miliknya.”

3. Definisi ketiga, berpendapat bahwa sewa beli merupakan campuran jual


beli dan sewa-menyewa.

Subekti berpendapat bahwa sewa beli adalah6:

“Sebenarnya suatu macam jual beli, setidak-tidaknya mendekati jual beli


daripada sewa-menyewa, meskipun ia merupakan campuran keduanya dan
kontraknya diberi judul sewa-menyewa.”

Salim H. S. berpendapat bahwa sewa beli merupakan gabungan dari 2 macam


konstruksi hukum, yaitu konstruksi hukum sewa-menyewa dan jual beli. Apabila barang
yang dijadikan objek sewa beli tidak mampu dibayar oleh penyewa beli sesuai
kesepakatan, maka barang itu dapat ditarik oleh si penjual sewa. Akan tetapi, apabila
barang itu angsurannya telah lunas, maka barang itu menjadi objek jual beli. Maka dari
para pihak dapat mengurus balik nama objek sewa beli tersebut.7

Di Indonesia, yang menjadi landasan hukum perjanjian beli sewa adalah:

1. Yurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 16 Desember 1957 dalam perkara


N. V. Handelsmaatschappij L. Auto (penggugat) melawan Yordan (tergugat);
2. Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 34/KP/II/80 tentang
Perizinan Sewa BeIi (Hire Purchase), Jual Beli dengan Angsuran, dan Sewa
(Renting).

Subjek dalam perjanjian sewa beli adalah kreditur (penjual sewa beli), yaitu
perusahaan yang menghasilkan barang sendiri dan atau usaha yang khusus bergerak dalam
perjanjian sewa beli, dan debitur (penyewa beli), yaitu orang yang membeli barang
dengan sistem sewa beli.

6 Subekti, R. dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 1984, Jakarta: Pradnya Paramita,
Hlm. 33.

7 Salim H. S., Op. Cit, Hlm. 128.


5
Objek dalam perjanjian sewa beli adalah kendaraan bermotor, radio, TV, tape
recorder, lemari es, mesin jahit, AC, mesin cuci, dan lain-lain.8 Biasanya objek dalam
perjanjian sewa beli adalah barang-barang yang dapat mengalami penurunan nilai
ekonomis karena pemakaiannya.

Hak penyewa beli (kreditur) adalah menerima uang pokok beserta angsuran setiap
bulan dari pembeli sewa (debitur). Kewajiban penyewa beli (kreditur), adalah9:

1. Menyerahkan barang kepada penyewa beli (debitur);


2. Mengurus balik nama atas barang yang disawabelikan (kalau kendaraan
bermotor);
3. Memperpanjang STNK dan pajak yang diperlukan (kalau kendaraan
bermotor);
4. Merawat barang yang disewabelikan sebaik-baiknya.

Hak penyewa beli (debitur) adalah menerima barang yang disewabelikan setelah
pelunasan terakhir. Kewajiban penyewa beli (debitur), adalah10:

1. Merawat barang yang disewabelikan dengan biaya sendiri;


2. Membayar uang angsuran tepat pada waktunya.

8 Salim H. S., Ibid, Hlm. 136.

9 Salim H. S., Ibid, Hlm. 137.

10 Salim H. S., Ibid.


6
BAB III

PEMBAHASAN

A. Perbedaan Antara Perjanjian Sewa Beli, Jual Beli Dengan Angsuran,


Dan Leasing.

Pasal 1 huruf a Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor


34/KP/II/80 tentang Perizinan Sewa Beli (Hire Purchase), Jual Beli dengan
Angsuran, dan Sewa (Renting), menyebutkan bahwa:

“Sewa beli (Hire Purchase) adalah Jual beli barang dimana penjual
melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan setiap
pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dengan pelunasan atas harga
yang telah disepakati bersama dan diikat dalam suatu perjanjian, serta hak
milik atas barang tersebut beralih dari penjual kepada pembeli setelah
harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual.”

Unsur atau elemen perjanjian sewa beli menurut Keputusan Bersama


tersebut adalah:

a. Adanya jual beli barang;


b. Penjualan dengan memperhitungkan setiap pembayaran;
c. Objek sewa beli diserahkan kepada pembeli;
d. Momentum peralihan hak milik setelah pelunasan terakhir.

Sedangkan, pasal 1 huruf b Surat Keputusan tersebut menyatakan bahwa:

“Jual beli dengan angsuran adalah jual beli barang dimana penjual
melaksanakan penjualan barang dengan cara menerima pelunasan
pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dalam beberapa kali angsuran
atas harga barang yang telah disepakati bersama dan yang diikat dalam
suatu perjanjian, serta hak milik atas barang tersebut beralih dari penjual

7
kepada pembeli pada saat barangnya diserahkan oleh penjual kepada
pembeli.”

Dari kedua definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa perbedaan


antar perjanjian sewa beli dengan perjanjian jual beli dengan angsuran antara lain
adalah sebagai berikut:

1. Walaupun cara pembayaran sama-sama dilakukan dengan cara mencicil


atau dengan angsuran, namun dalam perjanjian sewa beli uang cicilan itu
dianggap sebagai harga sewa atas barang, hingga harga barang tersebut baru
akan lunas dengan jumlah harga sewa yang telah dibayarkan.
2. Dalam perjanjian sewa beli, peralihan hak milik terjadi setelah harga
dibayar lunas pada pembayaran cicilan/angsuran terakhir. Sedangkan dalam
perjanjian jual beli dengan angsuran, peralihan hak milik tejadi ketika barang
diserahkan kepada pembeli/debitur. Biasanya penyerahan barang dilakukan pada
saat disepakatinya atau ditandatanganinya perjanjian.

Istilah leasing sebenarnya berasal dari kata lease yang berarti sewa
menyewa. Karena memang dasarnya leasing adalah sewa menyewa, jadi leasing
merupakan suatu bentuk deruvatif dari sewa menyewa. Tetapi kemudian dalam dunia
bisnis berkembanglah sewa menyewa dalam bentuk khusus yang disebut leasing itu
atau kadang – kadang disebut sebagai lease saja, dan telah berubah fungsinya
menjadi salah satu jenis pembiayaan.11 Dalam bahasa Indonesia leasing sering
diistilahkan dengan “sewa guna usaha”.

Dalam pasal 1 ayat (1) Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan,


Perindustrian, dan Perdagangan Nomor: KEP-122/MK/IV/2/1974, Nomor:
32/M/SK/2/1974, dan Nomor: 30/KPB/I/1974 tentang Perizinan Usaha Leasing,
disebutkan bahwa:

“Leasing adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk


penyediaan barang-barang modal yang digunakan oleh suatu perusahaan
untuk jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran secara berkala,
disertai hak pilih (opsi) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-

11 Munir Fuady.,Hukum Tentang Pembiayaan,2006,Bandung:Citra Aditya Bakti.hlm 7.


8
barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu
leasing berdasarkan nilai-nilai sisa yang disepakati.”

Ada empat unsur yang terkandung dalam pengertian leasing berdasarkan


Surat Keputusan tersebut, yaitu12:

1. Penyediaan barang modal;


2. Jangka waktu tertentu;
3. Pembayaran dilakukan secara berkala; dan
4. Adanya hak opsi, yaitu hak untuk memilih untuk membeli atau
memperpanjang masa sewa.

Dari uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa perbedaan antar


perjanian sewa beli dengan perjanjian leasing antara lain adalah sebagai berikut:

1. Tujuan utama dari perjanjian sewa beli adalah peralihan hak atas suatu
barang (objek) melalui suatu jual beli. Sementara itu, tujuan utama dari
perjanjian leasing adalah untuk memperoleh hak pakai (sewa) atas suatu barang
tanpa adanya peralihan hak milik atas barang tersebut. Peralihan hak milik atas
barang (objek) dalam perjanjian leasing baru terjadi jika pihak lessee (debitur)
mempergunakan hak opsinya untuk membeli barang tersebut pada akhir masa
sewa, dengan membayar harga sisa yang disepakati antara pihak lessor dengan
pihak lessee.
2. Barang objek dalam perjanjian leasing biasanya adalah barang modal
perusahaan, seperti mesin-mesin dan mobil-mobil perusahaan. Sementara itu,
tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai barang objek apa yang diperjual-
belikan dalam perjanjian sewa beli.

B. Prosedur dan Syarat - Syarat Dalam Pendirian Perusahaan Sewa Beli.

Pada dasarnya, tidak semua orang atau badan usaha dapat mendirikan
perusahaan sewa beli. Akan tetapi, hanya perusahaan yang memenuhi syarat-syarat
yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Kegiatan sewa beli
hanya dapat dilakukan oleh perusahaan perdagangan nasional. 13 Untuk melakukan

12 Salim H. S., Ibid, Hlm. 139.


9
kegiatan itu, perusahaan tersebut harus memiliki izin dari Menteri atau Pejabat yang
ditunjuk olehnya.14

Cara atau prosedurnya adalah perusahaan sewa beli tersebut wajib


mengajukan permohonan izin usaha kepada Direktur Jenderal Perdagangan Dalam
Negeri melalui Kantor Wlayah Perdagangan di tempat kedudukan kantor tetap
perusahaan.15 Syarat-syarat untuk mengadakan izin tersebut diatur dalam Pasal 4 ayat
(2) Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 34/K/II/1980
tentang Perizinan Kegiatan Usaha Sewa Beli (Hire Purchase), Jual Beli dengan
Angsuran, dan Sewa (Renting), yaitu:

1. Permohonsn izin harus memilik SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan);


2. Pemohon harus menentukan salah satu kegiatan usaha sewa beli atau jual
beli dengan angsuran sebagai kegiatan usahanya;
3. Perusahaan berbentuk badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum
Indonesia;
4. Modal perusahaan atau saham perusahaan seluruhnya dimiliki WNI (Warga
Negara Indonesia);
5. Direksi/penanggung jawab perusahaan dan seluruh pengurus perusahaan
adalah WNI;
6. Modal yang disetor sedikitnya berjumlah Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah);
7. Mempunyai kantor tetap di Indonesia yang beralamat jelas;
8. Perusahaan mempekerjakan sedikitnya seorang tenaga ahli di bidang
usahanya;
9. Tidak mempekerjakan tenaga kerja atau tenaga ahli warga negaa asing,
kecuali atas rekomendasi menteri atau pejabat yang ditunjuk olehnya;
10. Mempunyai rencana kerja sedikitnya untuk jangka waktu selama 5 tahun;
11. Dalam hal diperlukan adanya asuransi, maka penutupannya harus dilakukan
pada perusahaan asuransi nasional yang berkedudukan di Indonesia.

13 Pasal 3 ayat (1) Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 34/K/II/1980 tentang
Perizinan Kegiatan Usaha Beli Sewa (Hire Purchase), Jual Beli dengan Angsuran, dan Sewa (Renting).

14 Pasal 3 ayat (2) Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 34/K/II/1980 tentang
Perizinan Kegiatan Usaha Beli Sewa (Hire Purchase), Jual Beli dengan Angsuran, dan Sewa (Renting).

15 Pasal 5 ayat (1) Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 34/K/II/1980 tentang
Perizinan Kegiatan Usaha Beli Sewa (Hire Purchase), Jual Beli dengan Angsuran, dan Sewa (Renting).
10
Surat permohonan yang disampaikan kepada Direktur Jenderal Perdagangan
Dalam Negeri tersebut harus dilengkapi dengan16:

1. Akta Notaris tentang pendirian perusahaan;


2. Bagan organisasi serta nama pimpinan dan tenaga-tenaga teknis, masing-
masing disertai riwayat hidup;
3. Referensi Bank;
4. Bagi perusahaan yang telah melakukan kegiatan usaha, dilengkapi pula
dengan:
a) Neraca perusahaan tahun terakhir yang disusun oleh akuntan publik
yang terdaftar;
b) Surat keterangan pajak yang menyatakan pelunasan pajak Negara
yang terutang.

Dalam hal permohonan tersebut telah memenuhi persyaratan yang


ditentukan, maka Menteri atau Pejabat yang ditunjuk olehnya memberi Surat Izin
Usaha (SIU), yang memuat hal-hal sebagai berikut17:

1. Nama perusahaan;
2. Alamat perusahaan;
3. Nama pemimpin perusahaan;
4. Kegiatan bidang usaha;
5. Batas waktu berlakunya izin usaha; dan
6. Kewajiban-kewajiban perusahaan untuk memenuhi ketentuan yang berlaku.

Kegiatan bidang usahanya adalah sewa beli. Jangka waktu berlakunya izin
usaha adalah 5 tahun, setelah tanggal dikeluarkannya SIU, dan dapat diperpanjang
lagi setelah berakhirnya jangka waktu tersebut.18

BAB IV

PENUTUP

16 Pasal 5 ayat (2) Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 34/K/II/1980 tentang
Perizinan Kegiatan Usaha Beli Sewa (Hire Purchase), Jual Beli dengan Angsuran, dan Sewa (Renting).

17 Pasal 7 ayat (1) dan (2) Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 34/K/II/1980 tentang
Perizinan Kegiatan Usaha Beli Sewa (Hire Purchase), Jual Beli dengan Angsuran, dan Sewa (Renting).

18 Pasal 7 ayat (3) dan (4) Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 34/K/II/1980 tentang
Perizinan Kegiatan Usaha Beli Sewa (Hire Purchase), Jual Beli dengan Angsuran, dan Sewa (Renting).
11
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah penulis uraikan pada bab sebelumnya, dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
1. Perbedaan antara perjanian sewa beli dengan perjanjian leasing yaitu dapat
dilihat dari pertama adalah tujuan utama dari perjanjian sewa beli yang
merupakan peralihan hak atas suatu barang (objek) melalui jual beli. Sedangkan
tujuan utama dari perjanjian leasing yaitu untuk memperoleh hak pakai (sewa)
atas suatu barang tanpa adanya peralihan hak milik atas barang tersebut.
Peralihan hak milik atas barang (objek) dalam perjanjian leasing baru terjadi jika
pihak lessee (debitur) mempergunakan hak opsinya untuk membeli barang
tersebut pada akhir masa sewa, dengan membayar harga sisa yang disepakati
antara pihak lessor dengan pihak lessee. Kedua, barang objek dalam perjanjian
leasing biasanya adalah barang modal perusahaan, seperti mesin-mesin dan
mobil-mobil perusahaan. Sementara itu, tidak ada ketentuan yang mengatur
mengenai barang objek apa yang diperjual-belikan dalam perjanjian sewa beli.

2. Prosedur dan syarat – syarat dalam pendirian perusahaan sewa beli bagi
pihak yang akan mendirikan yaitu dengan mengajukan permohonan izin usaha
kepada Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri melalui Kantor Wlayah
Perdagangan di tempat kedudukan kantor tetap perusahaan. Syarat-syarat untuk
mengadakan izin tersebut diatur dalam Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (1),(2), dan
Pasal 7 ayat (1),(2),(3),(4) Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi
Nomor 34/K/II/1980 tentang Perizinan Kegiatan Usaha Sewa Beli (Hire
Purchase), Jual Beli dengan Angsuran, dan Sewa (Renting),

DAFTAR PUSTAKA

Buku:
12
Munir Fuady.,Hukum Tentang Pembiayaan, 2006, Bandung:Citra Aditya Bakti.

Salim H. S., Perkembangan Hukum Kontrak Innominat Di Indonesia, 2008, Jakarta: Sinar
Grafika.

Subekti, R., Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, 1986, Bandung: Alumni.

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu, 1981, Bandung: Sumur

Peraturan Perundang-Undangan:

Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 34/K/II/1980 tentang


Perizinan Kegiatan Usaha Beli Sewa (Hire Purchase), Jual Beli dengan Angsuran,
dan Sewa (Renting)

13

Anda mungkin juga menyukai