Anda di halaman 1dari 28

TANGGUNGJAWAB HUKUM

TERHADAP TRANSAKSI JUAL BELI


TANAH DI INDONESIA

Disusun Guna Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Metodelogi Penelitian Dan Penulisan Hukum
Dosen Pengampu : Dr. Achmad Irwan Hamzani

DISUSUN OLEH :

NAMA : ANNISA RIZKI MAULIDIA


NPM: 5121600022
KELAS : V/E

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL
2023
BAB I
A. LATAR BELAKANG MASALAH

Jual beli merupakan bentuk transaksi umum yang sering dilakukan oleh

masyarakat. Biasanya perjanjian jual beli dilakukan secara lisan atau tertulis atas

dasar kesepakatan para pihak (penjual dan pembeli). Hasil penelitian

menunjukkan proses perjanjian jual beli tanah dan rumah di Indonesia harus

memenuhi syarat materiil, formil, dan syarat hukum.

Syarat materiil yaitu meliputi pembeli, penjual dan obyek tanah, kemudian

syarat formil meliputi sertifikat tanah asli, bukti telah membayar PBB, surat

setoran BPHTB, surat setoran PPh, dan data data penjual dan pembeli yang

meliputi: KTP dan KK, dan syarat hukum pasal 1320 KUHPerdata. Setelah

memenuhi syarat – syarat, maka kedua belah pihak harus melakukan perjanjian

secara tertulis yang dibuat oleh pihak PPAT yang kemudian ditanda tangani oleh

para pihak. Setelah penandatanganan akta perjanjian perjanjian tersebut kemudian

timbulah kesepakatan. Setelah terjadi kesepakatan dan penandatanganan

perjanjian, maka timbulah hak dan kewajiban bagi para pihak yang harus

dilaksanakan., hak dari penjual yaitu menerima pembayaran tanah dan rumah,

sedangkan hak pembeli yaitu menerima hak milik atas tanah dan rumah berupa

sertifikat.

Adapun kewajiban penjual yaitu menyerahkan hak milik atas tnah dan

rumah berupa sertifikat ke pembeli, kemudian kewajiban pembeli yaitu membayar

harga sesuai kesepakatan. Tanggung jawab hukum apabila salah satu pihak
melakukan kesalahan akibat wanprestasi maka harus membayar ganti rugi

berdasarkan pasal 1243 KUHPerdata. Sementara itu, apabila kesalahan dilakukan

salah satu pihak akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan olehnya maka

harus membayar ganti rugi berdasarkan pasal 1365 KUHperdata.

Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam jual beli hak atas

tanah diperlukan adanya persyaratan formil bagi penjual atau pemilik hak atas

tanah. Syarat formil terhadap obyek jual beli hak atas tanah berupa bukti

kepemilikan tanah yang terkait dengan hak atas tanah, dan juga terkait dengan

prosedur peralihan hak atas tanah. Prosedur jual beli hak atas tanah telah

ditetapkan menurut ketentuan yang berlaku, yakni Peraturan Pemerintah No. 24

Tahun 1997.

Jual beli tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di

hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah atau PPAT. Untuk menjamin kepastian dan

ketertiban hukum dalam jual beli tanah, proses jual beli tanah hanya dapat

dilakukan di atas tanah yang dimiliki berdasarkan hak-hak atas tanah, artinya

obyek tanah yang disyahkan dengan bukti kepemilikan hak atas tanah.

Akta PPAT merupakan akta otentik yang pada hakekatnya memuat

kebenaran formil dan materil. PPAT berkewajiban untuk membuat akta

sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan, serta sebelum proses pembuatan

akta PPAT mempunyai kewajiban untuk melakukan pengecekan sertifikat suatu

bidang hak atas tanah di Kantor Pertanahan. selain itu, PPAT mempunyai

kewajiban untuk membacakan akta sehingga isi akta dapat dimengerti oleh para

pihak. PPAT juga harus memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses
terhadap Peraturan Perundang-undangan yang terkait bagi para pihak yang

menandatangani akta. Oleh karena itu para pihak dapat menentukan dengan bebas

untuk menyetujui isi akta PPAT yang akan ditandatanganinya.

Dalam proses jual beli tanah sering terjadi permasalahan, baik ketika

perikatan sampai eksekusi atau pelaksanaan jual beli tanah tersebut dilaksanakan.

Maka dari itu hukum dibutuhkan untuk memberikan tanggungjawab dan

perlindungan dalam proses jual beli tanah agar tercipta rasa aman oleh pelaku jual

beli tanah.

Sejalan dengan hal tersebut di atas maka pada dasarnya jual beli tanah

tersebut terjadi adanya perjanjian antara penjual dan pembeli yang kemudian

menimbulkan hubungan hukum untuk melakukan hak dan kewajiban, dimana

penjual berkewajiban menyerahkan hak milik atas tanah tersebut, setelah pembeli

menyerahkan harganya. Jika penjual telah menyerahkan hak milik atas tanah

tersebut maka terjadilah pemindahan hak milik atas tanah dari penjual kepada

pembeli, jika ada salah satu pihak yang tidak melakukan kewajibannya dalam jual

beli tanah tersebut sesuai yang diperjanjikan maka ia harus bertanggung jawab

atas dasar wanprestasi, dan jika terdapat salah satu pihak melakukan jual beli

dengan melanggar peraturan yang telah ditentukan maka ia harus bertanggung

jawab atas dasar perbuatan melawan hukum.

Secara umum jual-beli dalam pasal 1457 KUHPerdata dijelaskan:“Bahwa

yang dimaksud dengan jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang

satu (penjual) mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan,dan

pihak yang lain (pembeli) untuk membayar harta yang telah dijanjikan”.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikemukakan lebih lanjut bahwa

perjanjian jual beli merupakan perjanjian timbal balik sempurna,dimana

kewajiban penjual merupakan hak dari pembeli dan sebaliknya kewajiban pembeli

merupakan hak dari penjual. Dalam hal ini, penjual berkewajiban untuk

menyerahkan suatu kebendaan serta berhak untuk menerima pembayaran,

sedangkan pembeli berkewajiban untuk melakukan pembayaran dan berhak untuk

menerima suatu kebendaan. Apabila hal tersebut tidak dipenuhi, maka tidak akan

terjadi perikatan jual beli.

B. RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Bagaimana proses pelaksanaan Perjanjian Jual Beli Rumah Di Indonesia

2. Bagaimana peraturan serta hak dan kewajiban para pihak dalam melakukan

Perjanjian Jual Beli Tanah Dan Rumah Di Indonesia ?

3. Bagaimana tanggung jawab hukum apabila salah satu pihak melanggar hukum

dalam pelaksanaan Perjanjian Jual Beli Tanah Dan Rumah Di Indonesia?

C. TUJUAN PENELITIAN

Dari latar belakang dan rumusan masalah diatas, maka penulis dapat

memberitahukan Penelitian ini bertujuan untuk sebagai berikut :

1. Mengetahui proses pelaksanaan perjanjian jual beli tanah dan rumah,

2. Mengetahui peraturan serta hak dan kewajiban antara penjual dengan pembeli,
3. Mengetahui tanggung jawab hukum apabila salah satu pihak melakukan

kesalahan

D. URGENSI PENELITIAN

Penelitian ini berguna untuk mengembangkan pemahaman pengertian

Notaris dan PPAT sehingga diharapkan akan membawa masukan berarti

bagi ilmu pengetahuan hukum khususnya Hukum Agraria dan Hukum

perjanjian.

Dengan penelitian ini diharapkan akan memberikan wawasan kepada

masyarakat, Notaris dan PPAT mengenai tanggungjawab PPAT terhadap

akta jual beli yang dibuatnya.

E. TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka terdapat Tinjauan Umum Jual Beli Tanah, Tinjuan

Umum Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Tinjauan Tentang Akta

a) Tinjauan Umum Jual Beli Tanah

1. Jual Beli Secara Umum

Menurut Hukum Perdata Jual Beli adalah salah satu macam

perjanjian/perikatan yang termuat dalam Buku III KUH Perdata tentang

Perikatan. Dalam hal jual beli tanah dari bunyi Pasal 1457: “ Jual beli

adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan

dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak lain membayar

harga yang telah dijanjikan. Berdasarkan pengertian dalam Pasal 1457

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, jual beli termasuk perjanjian.

Adapun syarat sahnya perjanjian sesuai Pasal 1320 Kitab Undang-Undang


Hukum Perdata, adalah adanya kesepakatan mereka yang mengikatkan

dirinya, adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan, adanya suatu

hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Jika syarat mengenai kesepakatan

dan kecakapan (syarat subyektif) tidak dipenuhi, maka suatu perjanjian

dapat dibatalkan, maksudnya perjanjian tetap ada sampai adanya

keputusan dari hakim. Sedangkan jika syarat mengenai suatu hal tertentu

dan suatu sebab yang halal (syarat obyektif) tidak dipenuhi, maka suatu

perjanjian batal demi hukum maksudnya sejak awal dianggap tidak ada

perjanjian.

2. Pengertian Jual Beli Tanah

Berdasarkan KUHPerdata pasal 1457, Jual beli yang dianut di dalam

Hukum Perdata hanya bersifat obligatoir, artinya bahwa perjanjian jual

beli baru meletakkan hak dan kewajiban timbal balik antara kedua belah

pihak, atau dengan perkataan lain jual beli yang dianut Hukum Perdata

belum memindahkan hak milik adapun hak milik baru berpindah dengan

dilakukan penyerahan atau levering.1 Dalam Pasal 1458 hal jual beli benda

tidak bergerak jual beli telah dianggap terjadi walaupun tanah belum

diserahkan atau harganya belum dibayar. Untuk pemindahan hak itu masih

diperlukan suatu perbuatan hukum lain berupa penyerahan yang caranya

ditetapkan dengan suatu peraturan lain lagi.

1. Soedharyo Soimin, Status Hak Dan Pembebasan Tanah, (Jakarta: Sinar Grafika,2004), h.86
Dari uraian tersebut, jual beli tanah menurut Hukum Perdata terdiri dari

atas 2 (dua) bagian yaitu perjanjian jual belinya dan penyerahan haknya,

keduanya terpisah satu dengan lainnya.

Sehingga, walaupun hal yang pertama sudah selesai biasanya dengan akta

notaris, tapi kalau hal yang kedua belum dilakukan, maka status tanah

tersebut masih tetap hak milik penjual.

Jual beli tanah dalam hukum adat dan UUPA mempunyai pengertian yang

sama, berdasarkan UUPA Pasal 5 maka pengertian jual beli tanah hak

milik menurut UUPA tidak lain adalah pengertian jual beli menurut

hukum adat.2Menurut hukum adat jual beli tanah adalah suatu pemindahan

hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai, terang berarti perbuatan

pemindahan hak tersebut harus dilakukan di hadapan kepala adat, yang

berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya

perbuatan pemindahan hak tersebut, sehingga perbuatan tersebut diketahui

oleh umum. Tunai maksudnya, bahwa perbuatan pemindahan hak dan

pembayaran harganya dilakukan secara serentak. Oleh karena itu, maka

tunai mungkin harga dibayar secara kontan,atau dibayar sebagian (tunai

dianggap tunai). Dalam hal pembeli tidak membayar sisanya, maka

penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tanah, akan

tetapi atas dasar hukum utang piutang.3

2. Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya,Edisi 1, Cetakan keempat
(Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h.149
3. ibid, h.72
3. Syarat-syarat Jual Beli Tanah

Syarat-syarat dalam perbuatan hukum terhadap pengalihan hak atas tanah

terbagi atas 2 (dua) macam, yaitu:4

a. Syarat Materiil

Syarat materiil sangat menentukan akan sahnya jual beli tanah tersebut,

antara lain sebagai berikut:

1) Penjual adalah orang yang berhak atas tanah yang akan dijualnya.

a. Harus jelas calon penjual, ia harus berhak menjual tanah yang

hendak dijualnya, dalam hal ini tentunya si pemegang yang sah

dari hak atas tanah itu yang disebut pemilik.

b. Dalam hal penjual sudah berkeluarga, maka suami isteri harus

hadirdan bertindak sebagai penjual, seandainya suami atau isteri

tidak dapat hadir maka harus dibuat surat bukti secaratertulis dan

sah yang menyatakan bahwa suami atau isteri menyetujui menjual

tanah.

c. Jual beli tanah yang dilakukan oleh yang tidak berhak

mengakibatkan jual beli tersebut batal demi hukum. Artinya sejak

semula hukum menganggap tidak pernah terjadi jual beli.

Dalam hal yang demikian kepentingan pembeli sangat

dirugikan, karena pembeli telah membayar harga tanah sedang hak atas

tanah yang dibelinya tidak pernah beralih kepadanya.

4. Erza Putri, Peran PPAT Dalam Peralihan Hak Atas Tanah, http://erzaputri.blogspot.com.
Walaupun penjual masih menguasai tanah tersebut, namun sewaktu-

waktu orang yang berhak atas tanah tersebut dapat menuntut melalui

pengadilan.

2) Pembeli adalah orang yang berhak untuk mempunyai hak atas tanah

yang dibelinya. Hal ini bergantung pada subyek hukum dan obyek

hukumnya. Subyek hukum adalah status hukum orang yang akan

membelinya, sedangkan obyek hukumadalah hak apa yang ada pada

tanahnya. Misalnya menurut UUPA yang dapat mempunyai hak milik

atas tanah hanya warga Negara Indonesia dan badan-badan hukum

yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Apabila hal ini

dilanggar maka jual beli batal demi hukum dan tanah jatuh kepada

Negara, Dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang

membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah

diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.

3) Tanah yang bersangkutan boleh diperjual belikan atau tidak dalam

sengketa. Menurut UUPA hak-hak atas tanah yang dapat dijadikan

obyek peralihan hak adalah:

a. Hak Milik

b. Hak Guna Usaha

c. Hak Guna Bangunan

d. Hak Pakai

b. Syarat Formil
Setelah semua persyaratan materiil tersebut terpenuhi, maka dilakukan jual

beli dihadapan PPAT. Dalam pelaksanaan jual beli yang dibuat oleh PPAT

hal-hal yang harus diperhatikan adalah:

1) Pembuatan akta tersebut harus dihadiri oleh para pihak yang

melakukan jual beli atau kuasa yang sah dari penjual dan pembeli

serta disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi-saksi yang memenuhi

syarat sebagai saksi.

2) Akta dibuat dalam bentuk asli dalam 2 (dua) lembar, yaitu lembar

pertama sebanyak1 (satu) rangkap disimpan oleh PPAT yang

bersangkutan dan lembar kedua sebanyak 1 (satu) rangkap

disampaikan kepada Kantor Pertanahan untuk keperluan

pendaftaran dan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dapat

diberikan salinannya.

3) Setelah akta tersebut dibuat, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari

kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan,

PPAT wajib menyampaikan akta yangdibuatnya berikut dokumen-

dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk

didaftar dan PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis

mengenai telah disampaikannya akta tersebut kepada para pihak

yang bersangkutan.

4. Tata Cara Jual Beli Tanah

Sebelum kita membeli sebidang tanah, maka kiranya perlu dilakukan

secara hati-hati, dikarenakan banyaknya terjadi hal-hal yang bersifat


kurang menguntungkan dikemudian harinya bagi pembeli, misalnya tanah

dalam keadaan sengketa ataupun tanahterletak dalam lokasi daerah yang

terkena penertiban dan sebagainya.

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dari jual beli tanah, yaitu

penjual dan pembeli. Untuk penjual terdapat beberapa hal yang perlu

diperhatikan dalam melakukan jual beli tanah.

1. Hal pertama yang harus dalam melakukan jual beli tanah adalah,

calonpenjual harus berhak menjual tanah tersebut, atau dengan kata

lain si penjual adalah pemegang hak yang sah dari hak atas tanah itu.

Apabila pemegang hak hanya satu, maka ia berhak untuk menjual

sendiri tanah itu, tapi jika pemegang hak atas tanah tersebut terdiri dari

dua orang atau lebih, maka yangberhak menjual tanah itu adalah semua

pemegang hak itu secara bersama-sama tidakboleh hanya seorang saja

yang bertindak sebagai penjual jual beli tanah yang dilakukanoleh

orang yang tidak berhak adalah batal demi hukum, artinya semula

hukum menganggap tidak pernah terjadi jual beli Dalam hal demikian

maka kepentingan pembeli sangat dirugikan.

2. Hal kedua adalah, apakah penjual berwenang untuk menjual, mungkin

terjadibahwa seseorang berhak atas suatu hak atas tanah akan tetapi

orang itu tidak berwenangmenjualnya kalau tidak dipenuhi syarat

tertentu, misalnya tanah tersebut milik anakdibawah umur atau milik

seseorang yang berada dibawah pengampuan. Jika suatu jual beli tanah

dilakukan tetapi ternyata yang menjual tidak berwenang menjual atau


si pembeli tidak berwenang membeli, walaupun si penjual adalah

berhak atas tanah itu atau si pembeli berhak membeli, maka akibatnya

jual beli itu dapat dibatalkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan,

lagi pula Kantor Pendaftaran Tanah akan menolak pendaftaran jual beli

itu.5

3. Hal ketiga yang perlu diperhatikan adalah, apakah penjual boleh

menjual tanah yang akan dijadikan obyek jual beli. Seseorang mungkin

berhak menjual sebidang tanah juga orang tersebut berwenang

melakukan penjualan tetapi dia tidak atau belum bolehmenjual tanah

itu. Misalnya seseorang mempunyai tanah bekas Hak Barat atau

tanahbekas Hak Indonesia yang pernah didaftar atau Hak Milik

menurut UUPA, tetapi belumterdaftar pada kantor pertanahan atau

sertipikatnya hilang, maka orang tersebut belum boleh menjual tanah

itu, ia harus mengurus dan memperoleh sertipikatnya terlebih dahulu

setelah itu baru boleh dijual.

4. Hal keempat adalah, apakah penjual atau pembeli bertindak sendiri

atau sebagai kuasa Penjual/Pembeli mungkin bertindak sendiri atau

selaku kuasa. Baik penjual/pembeli bertindak sendiri maupun melalui

kuasa, identitasnya harus jelas. Kalau penjual/ pembeli adalah orang

(manusia), maka identitas itu adalah nama, umur (tanggal lahir),

kewarganegaraan, pekerjaan, tempat tinggal. Semua itu dapat dibaca

dalam Kartu Tanda Penduduk atau Passpor.

5 Effendi Perangin, Praktek Jual Beli Tanah, (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), h. 4.
Apabila penjual / pembeli adalah badan hukum, maka identitasnya

adalah nama, bentuk badan hukumnya, kedudukan badan hukum,

pengurus pengurusnya Semua itu dapat diketahui / anggaran dasar /

peraturan perundangan pembentukkannya. Dalam hal penjual/pembeli

bertindak melalui kuasa, maka surat kuasakhusus untuk menjual harus

ada. Kuasa umum yang menurut lazimnya hanya untuk melakukan

pengurusan tidak berlaku untuk menjual. Kuasa itu harus tegas untuk

menjual tanah yang akan dijual itu.

Persiapan-persiapan yang dilakukan dalam jual beli tanah yaitu berupa:

a. Melakukan penelitian terhadap surat-surat yang menyangkut

tanah yang akan menjadi objek jual beli

b. Melakukan kesepakatan tentang tanah dan harga.

c. Pelaksanaan pemindahan atas hak tanah dengan akta jual beli

dilakukan dihadapan PPAT.

d. Melakukan pendaftaran hak untuk memperoleh sertifikat dan

pejabat yang berwenang.

Tata cara dalam pelaksanaannya menurut UUPA dengan peraturan

pelaksaannya, secarasederhana dapat diuraikan sebagai berikut:

a) Calon pembeli dan penjual sepakat untuk melakukan jual beli

menentukan sendiri segala sesuatunya, tentang tanah dan

harganya.

b) Calon pembeli dan penjual datang sendiri atau mewajibkan

kepada orang lain dengan surat kuasa, menghadap kepada


Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) (Kepala Kecamatan,

Notaris atau lainnya yang diangkat oleh pemerintah).

c) Dalam hal tanah yang akan dijual itu belum dibukukan (belum

bersertipikat), maka diharuskan kehadiran Kepala Desa atau

seorang anggota Pemerintah Desa yang disamping akan

bertindak sebagai saksi, juga menjamin bahwa tanah yang akan

dijualitu memang betul adalah milik penjual dan ia berwenang

untuk menjualnya.

d) Dalam hal tanah yang akan dijual itu sudah dibukukan (sudah

ada sertipikat) dihadiridua orang saksi, tidak harus Kepala Desa

dan anggota pemerintah desa. Tetapi apabila Pejabat Pembuat

Akta Tanah (PPAT) menganggap perlu (jika ada keraguan

tentang wewenang orang yang melakukan jual beli.

b) Tinjuan Umum Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

1. Pengertian PPAT

Pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dimuat dalam

beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu berdasarkan Pasal 1

angka 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan

Tanah (UUHT), menyebutkan bahwa “Pejabat Pembuat Akta Tanah,

selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberi

wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta

pembebanan Hak Tanggungan, dan akta pemberian kuasa


membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku”.

Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 5 Peraturan

Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak

Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, bahwa “Pejabat

Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat

umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah”.

Selanjutnya berdasarkan Pasal 1 angka 24 Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,

bahwa “Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT

adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-

akta tanah tertentu”.

Sedangkan dalam Pasal 1 ayat 1 dari Peraturan Pemerintah

Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat

Akta Tanah bahwa yang dimaksud dengan “Pejabat Pembuat Akta

Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang

diberikan kewenangan untuk membuat akta- akta otentik mengenai

perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik

Atas Satuan Rumah Susun”.

Dari keempat peraturan perundang-undangan di atas

menunjukkan bahwa kedudukan Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT) adalah sebagai pejabat umum. Namun dalam peraturan

perundang-undangan tidak memberikan definisi apa yang dimaksud


dengan pejabat umum. Maksud “pejabat umum” itu adalah orang

yang diangkat olehInstansi yang berwenang, dengan tugas melayani

masyarakat umum dibidang atau kegiatan tertentu.

Pengertian PPAT dapat dilihat juga di dalam Pasal 1

Peraturan pelaksanaannya Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 1 Tahun 2006, disebutkan bahwa PPAT adalah pejabat

umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik

mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah.6

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang

Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PPAT dibedakan

menjadi 3 (Tiga) macam, yaitu :

a. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang

diberikankewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai

perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik

Atas Satuan Rumah Susun (Pasal 1 angka 1).

b. Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPAT Sementara).

Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPAT Sementara) adalah

pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk

melaksanakan tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dengan

membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat Pejabat

Pembuat Akta Tanah (PPAT) (Pasal 1 angka 2).

6. Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuatan


Akta Tanah: Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2006.
c. Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus (PPAT Khusus).

Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus adalah pejabat

BadanPertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannnya

untuk melaksanakan tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

dengan membuat akta PPAT tertentu khususdalam rangka

pelaksanaan program atau tugas pemerintah tertentu.

PejabatPembuat Akta Tanah Khusus (PPAT Khusus) hanya

berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang

disebut secara khusus dalam penunjukkannya (Pasal 1 angka 3).

2. Tugas Pokok dan Wewenang PPAT

Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998

di sebutkan: “PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan

pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah

dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah

atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan

dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang

diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.”

Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah

sebagai berikut7 :

1) Jual Beli

2) Tukar Menukar

3) Hibah

7 http://notary-herman.blogspot.com
4) Pemasukan Ke Dalam Perusahaan (Inbreng).

5) Pembagian Hak Bersama

6) Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai Atas Tanah Hak


Milik

7) Pemberian Hak Tanggungan

8) Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.

3. Wilayah Kerja PPAT

Berdasarkan Pasal 5 PP No. 37/1998 dapat penulis jelaskan

bahwa wilayahkerja PPAT adalah satu wilayah kerja kantor

Pertanahan Kabupaten/Kota. Sedangkan untuk wilayah kerja PPAT

Sementara dan PPAT Khusus meliputi wilayah kerjanyasebagai

Pejabat Pemerintah yang menjadi dasar penunjukkannya.

Apabila sebelumberlakunya PP No. 37/1998 ini, seseorang

PPAT mempunyai wilayah kerja yang tidak sesuai dengan ketentuan

yang ada pada PP No. 37/1998 (wilayah kerjanya melebihi satu

wilayah kerja kantor pertanahan), maka PPAT tersebut harus

memilih salah satu dari wilayah kerja tersebut atau setelah 1 (satu)

tahun wilayah kerja PPAT tersebut sesuai denah tempat kantor

PPAT tersebut berada.

Didalam Pasal 5 ayat (1) disebutkan bahwa daerah kerja

PPAT adalah satu wilayah kerja kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

Selain itu juga diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) PP No.

37/1998 adalah sebagai berikut:


1. Pasal 6 ayat (1) : apabila suatu wilayah Kabupaten/Kota dipecah

menjadi dua atau lebih wilayah Kabupaten/Kota, maka dalam

waktu 1 (satu) tahun sejak diundangkannyaUndang-undang

tentang pembentukan Kabupaten/Kota sebagai daerah kerja

dengan ketentuan bahwa apabila pemilihan tersebut tidak

dilakukan pada waktunya, makamulai 1 (satu) tahun sejak

diundangkannya undang-undangpembentukan Kabupaten/Kota

baru tersebut daerah kerja PPAT yang bersangkutan hanya

meliputi wilayahKabupaten/Kota letak kantor PPAT yang

bersangkutan.

2. Pasal 6 ayat (2) : Pemilihan Daerah kerja sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) berlakunya dengan sendirinya mulai 1 (satu) tahun

sejak di undang- undangkannyaundang-undang pembentukan

Kabupaten/ Kota Daerah Tingkat I yang baru.

c) Tinjauan Tentang Akta

1. Pengertian Akta

Istilah atau perkataan akta dalam bahasa belanda disebut “acte/akta”

dan dalam bahasa inggris disebut “act/deed”, pada umumnya mempunyai

2 (dua) arti yaitu:

a. Perbuatan (handeling/perbuatan hukum (rechtshandeling) itulah

pengertian yang luas


b. Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai/digunakan sebagai bukti

perbuatan hukum tersebut, yaitu berupa tulisan yang ditujukan

kepada pembuktian sesuatu.8

Sedang menurut R. Subekti dan Tjitrisoedibio mengatakan,

bahwa kata “acta” merupaka bentuk jamak dari kata “actum” yang

berasal dari bahasa latin dan berarti perbuatan-perbuatan.9 A. Pittlo

mengartikan akta, adalah surat yang ditandatangani, diperbuat untuk

dipakai sebagai bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang, untuk

keperluan siapa surat itu di buat.10 Sudikno Mertokusumo

mengatakan akta adalah surat yang diberi tandatangan, yang memuat

peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar dari pada suatu hak atau

perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk

pembuktian.11

2. Macam Akta

Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam pasal 1867 Kitab

undang- Undang Hukum Perdata, maka akta dapat dibedakan atas:

a. Akta Otentik

Defenisi mengenai akta otentik dengan jelas dapat dilihat

didalam pasal 1868 kitab Undang-Undang hukum Perdata yang

berbunyi: “ suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam

bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang dibuat oleh atau

8. Victor M Situmorang dan Cormentyna sitanggang, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di
Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), h.50
9. R. Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta: PT. Pradya Paramita, 1986), h.5.
10. http://woronotariatuns2012.blogspot.com
11.ibid
dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu

ditempat dimana akta dibuat.

Berdasarkan pasal 1868 kitab Undang-undang Hukum

Perdata tersebur diatas Aktayang dibuat oleh Pejabat Pembuat

Akta Tanah (PPAT),tersebutmemenuhi unsur-unsur akta otentik

yaitu: PPAT adalah pejabat umum dan PPAT juga mempunyai

wilayah kerja.

a. Akta Dibawah Tangan

Akta dibawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk

pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat,

dengan kata lain akta dibawah tangan adalah akta yang

dimaksudkan oleh para pihak- pihak sebagai alat bukti, tetapi tidak

dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum pembuat akta.12

Suatu akta yang dibuat dibawah tangan baru mempunyai

kekuatan terhadap pihak ketiga, antara lain pabila dibubuhi suatau

pernyataan yang bertanggal dari seorang Notaris/PPAT atau

seorang pegawai lain yang ditunjuk oleh undang-undang, sebagai

mana diatur dalam pasal 1874 dan pasal 1880 KUHPerdata.

12. http://de-notaris.blogspot.com
F. METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah Metode yang

digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode normatif, karena penelitian

ini yang akan ditiliti adalah kaidah-kaidah hukum, asas-asas hukum, dan tanggung

jawab hukum tentang Perjanjian Jual Beli Tanah Dan Rumah. Jenis penelitian

yang digunakan penulis adalah penelitian deskriptif karena dalam penelitian ini

bertujuan menggambarkan secara menyeluruh dan sistematis tentang tanggung

jawab hukum terhadap perjanjian Jual Beli Tanah Dan Rumah Di Indonesia. Data

yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Kepustakaan Untuk

mencari data sekunder, dengan menggunakan bahan hukum penelitian dan

penelitian lapangan dalam bentuk wawancara dan akta perjanjian.

G. SISTEMATIKA LAPORAN

Bab pertama merupakan Bab pendahuluan berisikan latar belakang

masalah dan alasan dipilihnya topik dalam penulisan ini, disertai pokok-

pokok permasalahan yang merupakan batasan dari masalah yang akan

dibahas, tujuan penulisan, Definisi operasional,metode penelitian,

Kegunaan Penelitian dan sistimatika penulisan yang merupakan

pengungkapan secara ringkas mengenai hal-hal yang ditulis pada setiap

bab.

Bab kedua berisikan Peran dan Tanggungjawab PPAT dalam

Pembuatan Akta Otentik yang berisikan tentang peran dan tanggungjawab

PPAT, tanggungjawab PPAT secara etika, tanggungjawab secara hukum,


tanggungjawab secara moral, produk hukum PPAT, pengertian akta, Jenis-

jenis akta, akta-akta yang dibuat oleh PPAT dan kekuatan pembuktian dari

produk hukum yang dibuat oleh PPAT.

Bab ketiga mengenai akibat hukum jual beli tanah yang tidak dibuat

dihadapan PPAT berisikan mengenai uraian Pengertian Jual Beli Tanah

menurut hukum adat, pengertian jual beli tanah menurut hukum tanah

Nasional, pengertian jual beli tanah menurut KUHPerdata, peralihan hak

atas tanah melalui jual beli, Syarat-syarat jual beli tanah dan akibat hukum

jual beli tanah yang dibuat dibawah tangan.

Bab keempat mengenai analisa pususan pengadilan yang berisikan

menguraikan mengenai posisi kasus dan analisa kasus.

Bab keterakhir yaitu bab kelima, merupakan bab penutup yang

berisikan tentang kesimpulan yang menyimpulkan penjabaran yang telah

diuraikan dan diakhiri dengan saran-saran yang diharapkan dapat

memberikan masukan bagi para pihak dalam membuat suatu akta agar

dapat mengikat dan dapat dipergunakan sebagai alat pembuktian serta

dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang

berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
1. Peraturan Perundang-undangan

Indonesia. Undang-undang Tentang Perkawinan, UU No. 1, LN No.

1 Tahun 1974, TLN No. 3019.

. Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Burgerlijk Wetboek),

diterjemahkan oleh Prof. R. Subekti, S.H dan R. Tjitrosudibio,

cet. 28 (Jakarta : Pradnya Paramita, 1996).

.Undang-undang Tentang Jabatan Notaris,UUNo.

30 Tahun2004,LNNo.117Tahun2004,TLNNo.4432.

.Peraturan Pemerintah Tentang Pendaftaran Tanah,

PPNo.24 Tahun 1997,LNNo.59 Tahun 1997, TLN No.3696.

. Peraturan Pemerintah Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat

Akta Tanah, PP No. 37 Tahun 1998, LN No. 52 Tahun 1998,

TLN No. 3746.

Departemen Agraria. Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala

Badan Pertanahan Nasional tentang Peraturan Jabatan

Pejabat Pembuat Akta Tanah, Permen Agraria Ka.BPN No.4

Tahun 1999.
2. Buku

Adiwinata, Saleh. Pengertian Hukum Adat Menurut undang- undang

Pokok Agraria. cet.2. bandung: Mumni, 1980.

Hadikusuma,H.Hilman.Hukum Perekonomian Adat Indonesia

cet.1.Bandung:P.T.CitraAdityaBakti.

Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia (Himpunan Peraturan-

peraturan Tanah). cet.15. Jakarta: Djambatan, 2002.

Harsono, Boedi. Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok

Agraria, Isi dan Pelaksanaannya), cet.9. Jakarta : Djambatan,

2002.

Harsono, Boedi. Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional

(Dalam Hubungannya dengan Tap MPR RI IX/MPR/2001.

cet.1. Jakarta: Universitas Trisakti, 2002.

Kamil,Faizal.Azas-azas Hukum Acara Perdata,cet.9.

Jakarta:Intermasa,1987.

Muhammad, Abdulkadir. Etika Profesi Hukum.

cet.1.Bandung:P.T.Citra Aditya Bakti,1997.

P.N.H. Simanjuntak. Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia.cet.2.

Jakarta: Djambatan, 2005.


R.Subekti. Aneka Perjanjian. cetX. Bandung:P.T. Grafindo Persada,

2003.

R. Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata. Cet.XXI. Jakarta:Intermasa, 1987.

Saleh,Wintjik.Hak Anda Atas Tanah.cetXXI.Jakarta:P.T.Intermasa,1987.

Soedjenro, Kartini. Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah Yang

Berpotensi Konflik.cet.1.Yogyakarta: Konisius, 2001.

Soekanto,Soerjono.Hukum Adat Indonesia.cet.2.Jakarta:

P.T.Raja GrafindoPersada,1983.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif.

cet. 4. Jakarta: Rajawali Pers, 1995.

Sutantio Retnowulan dan Iskandar Oerip kartawinata. Hukum Acara

Perdata Dalam Teori Praktek. cet.IX. Bandung: Mandar

Maju, 2002.

Widjaja,Gunawan dan Kartini Muljadi. Jual Beli.cet.1.

Jakarta:P.T.Grafindo Persada,2003.
3. Makalah

Masnah Sari. “Kewajiban PPAT Untuk Merahasiakan Isi Akta- akta

Dalam Kaitannya Dengan Hak Ingkar Yang Diberikan Oleh

Undang-undang Guna Melindungi Kepentingan Masyarakat

Umum.” Makalah disampaikan dalam menghadapi perkara-

perkara pidana,perdata yang berkaitan dengan rahasia jabatan,

Depok, 7 September 2002.

N.G. Yudara. “Notaris dan Permasalahannya.” Makalah disampaikan

dalam rangka konggres INI di Jakarta, Jakarta, Januari 2005.

Sarehwiyono.”Hak Dan Kewajiban PPAT Sebagai Pihak dalam

Perkara Pidana Dan Perdata, Berkaitan Dengan Rahasia

Jabatan Dan Sifat Aktanya.” Makalah disamppaikan dalam

acara rapat kerja Notaris & PPAT Kota Depok, Depok, 7

September 2002.

4. Artikel

Setiawan.“Kekuatan Hukum Akta Notaris.”Media Notariat No. 12-13,

Tahun IV (Oktober 1989): 178-179.

Anda mungkin juga menyukai