Anda di halaman 1dari 47

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1 Pertanggungjawaban Hukum Terhadap Akta Jual Beli Yang Cacat

Hukum Akibat Kelalaian PPAT

PPAT sebagai pejabat publik mempunyai kewenangan untuk membuat

akta otentik sebagaimana ternyata dalam Pasal 2 PP 37/1998 bahwa seorang

PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua

perbuatan hukum mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah

susun yang terletak dalam daerah kerjanya. PPAT dalam menjalankan

jabatannya dituntut untuk amanah, jujur, dan mandiri serta tidak berpihak

sebagaimana ternyata dalam Pasal 3 huruf f Kode Etik PPAT. Selain itu dalam

sumpah jabatan PPAT harus menjalankan jabatannya dengan jujur, tertib,

cermat dan penih kesadaran, bertanggung jawab serta tidak berpihak. Penelitian

ini akan membahas tanggungjawab PPAT sebagai pejabat publik yang memiliki

kewenangan membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum khusunya

dalam hal perbuatan jual beli tanah warisan.

4.1.1 Pertanggungjawaban Hukum Berdasarkan Kewenangan PPAT

dalam Pembuatan Akta Jual Beli

Tanah merupakan salah satu elemen esensial yang dibutuhkan manusia

untuk melangsungkan kehidupannya. Kehidupan manusia selalu


berhubungan dengan tanah dimana tanah merupakan salah satu bagian dari

tiga kebutuhan primer manusia, yaitu sandang, papan, pangan. Untuk

mengatur hukum tanah di Indonesia diberlakukan Undang-Undang No. 5

Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)

Pasal 19 UUPA menyatakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum

oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah dengan ketentuan-ketentuan

yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pemerintah mempunyai peran

penting dalam melakukan pendaftaran tanah. PPAT berperan sebagai

perpanjangan tangan pemerintah dalam menjamin kepastian hukum terkait

pendaftaran tanah. Badan Pemerintah yang memiliki peran penting dalam

pendaftaran tanah adalah Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.

Pendaftaran tanah di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP 24/1997).

Badan Pertanahan Nasional (BPN) merupakan lembaga pemerintahan

non-kementrian yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada

Presiden.1 Tugas BPN adalah melaksanakan tugas pemerintahan di bidang

pertanahan secara nasional, regional, sectoral sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan. Untuk menyelenggarakan tugas dan fungsi BPN di

daerah, dibentuk Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional di provinsi

dan Kantor Pertanhan di Kabupaten/kota.

1
Pasal 1 ayat (1) Perpres No. 63 Tahun 2013 tentang Badan Pertanahan Republik Indonesia.
Dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan

dibantu oleh PPAT. Tugas dari PPAT adalah membuat akta otentik

mengenai perbuatan hukum atas tanah sesuai dengan daerah kerjanya

sesuai dengan Peraturan Jabatan PPAT. Dalam Pasal 1 angka 8 Peraturan

Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 1 Tahun 2006

tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998

tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Permen

ATR/BPN Nomor 1/2006) memberi definisi daerah kerja PPAT adalah

suatu wilayah yang menunjukan kewenangan seorang PPAT untuk

membuat akta mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah

Susun yang terletak didalamnya. Hal ini berarti daerah kerja PPAT terbatas

dimana PPAT hanya berwenang untuk membuat akta otentik dalam

wilayah tertentu saja.

Akta otentik PPAT mengenai perbuatan hukum meliputi:

a. Jual beli

b. Tukar menukar

c. Hibah

d. Pemasukan ke dalam perusahaan

e. Pembagian hak bersama

f. Pemberian hak guna bangunan/ hak pakai atas tanah hak milik

g. Pemberian kuasa membebankan hak tanggungan


Dapat disimpulkan bahwa dalam menjalankan jabatannya PPAT

memiliki syarat-syarat tertentu agar akta otentik yang dibuat mempunyai

kekuatan pembuktian yang sempurna sebagaimana dalam Pasal 1870

KUHPerdata. Kekuatan pembuktian yang sempurna dalam suatu akta

merupakan perpaduan dari beberapa kekuatan pembuktian dan persyaratan

tertentu. Akta otentik menurut Pasal 1868 KUHPerdata ialah suatu akta

yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau

dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu

dibuat. PPAT berwenang untuk membuat akta otentik dengan tujuan

sebagai alat bukti dengan kekuatan pembuktian yang sempurna. PPAT

mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik mengenai perbuatan

hukum tertentu di daerah kerjanya saja.

Kewenangan PPAT dalam membuat akta otentik mengenai suatu

perbuatan hukum tertentu yang akan dibahas dalam penelitian ini

khususnya mengenai perbuatan jual beli. Pasal 1457 KUHPerdata

mendefinisikan arti perbuatan jual beli sebagai suatu persetujuan dengan

mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu

barang dan pihak lain untuk membayar harga yang dijanjikan. Akta jual

beli merupakan bukti yang sah secara hukum sebagai bukti seorang telah

membeli tanah dan/atau bangunan dari pihak penjual secara lunas. Asas
jual beli adalah terang, tunai dan riil.2 Terang artinya jual beli dilakukan di

hadapan pejabat yang berwenang dalam hal ini PPAT, tunai artinya

peralihan haknya dilakukan seketika itu juga, pada saat terjadi pembayaran

dari pembeli ke penjual. Wujud konkret dari perbuatan jual beli berupa

Akta Jual Beli yang dibuat oleh PPAT.

Sebelum melakukan Akta Jual Beli biasanya bilamana ada urusan-

urusan yang belum terselesaikan dilakukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli

atau PPJB. PPJB yang berkaitan dengan proses peralihan hak atas tanah

tidak diatur secara spesifik dalam peraturan perundang-undangan. Namun

pada Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 (PP Nomor 12/2021)

tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016

tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Pemukiman (PP

Nomor 14/2016) mendefinisikan istilah PPJB. Berdasarkan Pasal 1 angka

11 PP Nomor 12/2021, Perjanjian Pendahuluan Jual Beli atau Perjanjian

Pengikatan Jual Beli yang selanjutnya disebut PPJB adalah kesepakatan

antara pelaku pembangunan dan setiap orang untuk melakukan jual beli

Rumah atau satuan rumah susun yang dapat dilakukan oleh pelaku

pembangunan untuk rumah susun atau dalam proses pembangunan rumah

tunggal dan rumah deret yang dibuat dihadapan notaris.

2
Boedi Harsono, Op. Cit., hal 207
PPJB pada dasarnya merupakan kesepakatan antara penjual dengan

pembeli bahwa penjual berjanji akan menjual tanah kepada pembeli dan

sebaliknya pembeli berjanji akan membeli tanah dari penjual. Namun

demikian, hal tersebut belum dapat dilakukan karna sebab-sebab tertentu

seperti tanah masih sebagai jaminan di bank, pajak tertentu yang belum

dibayarkan dan sebagainya sehingga belum dapat melakukan proses

penyerahan. PPJB bertujuan untuk mengikat calon penjual agar pada saat

yang telah diperjanjikan ia akan menjual tanah tersebut kepada pembeli,

begitu pula sebaliknya pada saat yang telah diperjanjikan pembeli akan

membeli tanah tersebut dari penjual.

PPJB dapat dilakukan di bawah tangan, yang isinya hanya

menerangkan perjanjian untuk melakukan jual beli namun belum ada hak

peralihan atas tanah yang diperjualbelikan. Hak atas tanah dapat dialihkan

dengan perbuatan jual beli yang dicantumkan dalam Akta Jual Beli yang

dibuat dihadapan pejabat yang berwenang yaitu PPAT. Akta Jual Beli

dimaksud menjadi sumber data Kantor Pertanahan untuk melakukan

peralihan hak atas tanah yang diperjualbelikan.

Dilihat dari definisi jual beli adanya pihak-pihak yang mengikatkan diri

satu dengan lainnya, sesuai dengan definisi perikatan menurut Subekti

adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih, dimana pihak

yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang
lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.3 Maka dapat

dikatakan bahwa jual beli merupakan bentuk perikatan dengan perjanjian

yang dituangkan dalam Akta Jual Beli oleh PPAT. PPAT hanya berwenang

untuk membuat akta tanah yang merupakan akta otentik mengenai

perbuatan hukum jual beli di daerah kerjanya saja sesuai ketentuan Pasal 3

PP 37/1998.

Perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPer adalah suatu perbuatan dimana

satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.

Dalam menerapkan suatu perjanjian yang sah telah diatur syarat-syarat

sebagaimana tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

3. Suatu pokok persoalan tertentu

4. Suatu sebab yang tidak terlarang.

Dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subjektif, karena

mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian,

sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat objektif karena

mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang

dilakukannya itu.4

3
Subekti, Op. Cit, hal. 1
4
Ibid, hal. 17
Dalam penerapannya pada perbuatan jual beli berarti penjual dan pembeli

harus sepakat dan mengikatkan diri perbuatan jual beli tersebut. Sepakat

berarti perjanjian dilakukan dengan asas konsensualisme, kedua belah

pihak sepakat untuk melakukan jual beli dan mempunyai pemahaman yang

sama akan perbuatan hukum yang dilakukan tersebut. Jual beli termasuk

dalam perjanjian obligatoir dimana perbuatan hukum ini menimbulkan hak

dan kewajiban baik bagi pihak penjual maupun pihak pembeli.

Kecakapan dalam perbuatan jual beli berarti seorang penjual harus orang

yang memiliki hak atas tanah tersebut. Hak kepemilikan atas tanah

dicatatkan dalam buku tanah dan dibuktikan dengan sertifikat tanah yang

dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional.

Berdasarkan PP 24/1997, buku tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar

yang memuat data yuridis dan data fisik suatu obyek pendaftaran yang

sudah ada haknya. Sertifikat adalah surat tanda bukti hak atas tanah, hak

pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak

tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang

bersangkutan. Hak atas tanah meliputi:

a. Hak milik

b. Hak guna-usaha

c. Hak guna-bangunan

d. Hak pakai

e. Hak sewa
f. Hak membuka tanah

g. Hak memungut hasil hutan

h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang

akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya

sementara.

Peralihan hak atas tanah melalui jual beli dibuktikan dengan akta yang

dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan perundang-

undangan yang berlaku. Pembuatan akta tersebut dihadiri oleh para pihak

yang melakukan jual beli bersangkutan dan saksi sekurang-kurangnya 2

(dua) orang saksi yang memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi

dalam perbuatan jual beli tersebut.

Akta PPAT merupakan salah satu sumber data bagi pemeliharaan data

pendaftaran tanah. Maka wajib dibuat sedemikian rupa sehingga dapat

dijadikan dasar yang kuat untuk pendaftaran pemindahan dan pembebanan

hak bersangkutan. Oleh karena itu PPAT bertanggungjawab untuk

memeriksa syarat-syarat untuk sahnya perbuatan hukum yang

bersangkutan. Antara lain mencocokan data yang terdapat dalam sertifikat

dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan.5

Pertanggungjawaban PPAT merupakan terapan tanggungjawab strict

liability, dimana PPAT bertanggungjawab secara langsung dengan akta

5
Boedi Harsono, Op. Cit., hal. 507
yang dikeluarkannya. Sesuai isi sumpah jabatan PPAT pada Pasal 34

Permen ATR/BPN Nomor 1/2006 bahwa PPAT akan merahasiakan isi

akta-akta yang dibuat dan protokol yang menjadi tanggungjawab PPAT

yang menurut sifatnya atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Tanah dapat menjadi salah satu harta dalam perkawinan. Konsep harta

benda perkawinan di Indonesia ada 2 yaitu berdasarkan KUHPerdata dan

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan).

KUHPerdata menganut sistem pencampuran utuh sesuai ketentuan Pasal

119, dimana pada saat terjadinya perkawinan semua harta milik suami

maupun isteri baik yang sudah ada maupun yang akan ada termasuk dalam

harta benda perkawinan. Sedangkan berdasarkan paham UU Perkawinan,

harta benda dibagi menjadi 2 yaitu harta bersama dan harta bawaan. Pada

dasarnya harta bersama merupakan harta yang didapat selama

berlangsungnya perkawinan sehingga hak atas harta tersebut merupakan

hak bersama dan harta bawaan merupakan harta yang didapat sebelum

berlangsungnya perkawinan sehingga hak atas harta tersebut merupakan

hak masing-masing suami/isteri sepanjang para pihak tidak menentukan

lain. Pemberlakuan konsep harta benda dalam perkawinan menurut

KUHPerdata atau UU Perkawinan berdasarkan waktu kapan perkawinan


tersebut berlangsung. UU Perkawinan berlaku pada tanggal 01 Oktober

19756 jadi sebelum itu hukum perkawinan berlaku KUHPerdata.

Perkawinan yang sah menurut UU Perkawinan apabila dilakukan menurut

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya serta dicatatkan

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan dapat

putus karna perceraian, kematian dan atas keputusan pengadilan. Selain

mengakibatkan putusnya perkawinan, kematian juga membuka pewarisan

sebagaimana dalam Pasal 830 KUHPerdata. Yang berhak menjadi ahli

waris ialah keluarga sedarah.

Ketika seorang suami atau isteri meninggal dunia, harta dalam perkawinan

tersebut perlu dibagi menjadi dua karena merupakan hak bersama bila tidak

ada perjanjian kawin sebelumnya. Setengah dari harta bersama itu menjadi

harta warisan yang diwariskan kepada ahli waris sesuai dengan ketentuan

KUHPerdata.

Pendaftaran peralihan hak karena pewarisan diwajibkan dalam rangka

memberi perlindungan hukum kepada ahli waris dan demi ketertiban tata

usaha pendaftaran tanah, agar data yang tersimpan dan disajikan selalu

menunjukan keadaan yang mutakhir.7

Akta PPAT terkait pewarisan adalah Akta Pembagian Hak Bersama. Akta

Pembagian Hak Bersama merupakan wujud konkret dari pembagian harta

6
Berdasarkan PP no. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU no. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
7
Boedi Harsono, ibid, hal. 519
warisan berupa tanah sebagai turunan dari Akta Keterangan Waris dan

Akta Perjanjian dan Pemisahan Harta Waris. Akta Keterangan Waris

memuat tentang siapa saja ahli waris atas harta warisan sedangkan Akta

Perjanjian dan Pemisahan Harta Waris memuat tentang persetujuan para

ahli waris terkait perbuatan hukum atas harta warisan tersebut.

Pengaturan mengenai jual beli dan tanah warisan merupakan dua aspek

berbeda sehingga dalam hal perbuatan jual beli tanah warisan harus

memperhatikan ketentuan-ketentuan dan persyaratan mengenai peralihan

hak atas tanah warisan melalui jual beli. Perbuatan jual beli harus dibuat

dengan Akta Jual Beli yang dibuat oleh PPAT sehingga PPAT dalam

membuat Akta Jual Beli terkait tanah warisan selain memperhatikan aspek

jual beli juga harus memperhatikan kaidah-kaidah hukum mengenai harta

waris.

Jual beli merupakan salah satu bentuk perikatan karena perjanjian. Syarat

yang harus dipenuhi dalam jual beli tanah warisan sebagai terapan dari

syarat sah perjanjian pada Pasal 1320 KUHPerdata:

a. Penjual dan Pembeli sepakat untuk melakukan jual beli tanah waris

b. Penjual merupakan ahli waris yang memiliki hak atas tanah waris

tersebut sebagaimana tercantum dalam Akta Keterangan Waris dan

Akta Perjanjian dan Pembagian Harta Waris.


c. Pembeli merupakan orang yang berhak membeli tanah yang dibelinya

sebagaimana ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan

peralihan tanah hak milik di Indonesia diatur dalam Pasal 21 UUPA.

d. Tanah warisan yang dijual tidak dalam kondisi sengketa dan

memenuhi bentuk hak atas tanah sebagaimana dalam Pasal 16 UUPA

e. Pengalihan hak atas tanah warisan melalui jual beli harus dilakukan

dengan Akta Jual Beli yang dibuat oleh PPAT.

Kewenangan PPAT dalam membuat akta otentik berkaitan erat dengan

tanggung jawabnya sebagai pejabat umum. Beberapa kewajiban PPAT

dalam Pasal 3 Kode Etik IPPAT:

1. Bekerja dengan penuh rasa tanggung jawab, mandiri, jujur, dan tidak

berpihak

2. Memberikan perlayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat

3. Memberikan penyuluhan hukum kepada masyarakat yang

memerlukan jasanya dengan maksud agar masyarakat menyadari dan

menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan anggota

masyarakat

PPAT bertanggungjawab atas akta jual beli yang dibuatnya. Selain itu,

PPAT juga berkewajiban memberikan penyuluhan hukum terhadap penjual

dan pembeli agar memahami hak dan kewajibannya dalam menjual tanah

warisan. Penjual atas tanah tersebut harus merupakan pihak cakap yaitu

ahli waris yang memiliki hak atas tanah tersebut. Tanah warisan yang
hendak dijual harus dengan persetujuan para pihak yang tercantum Akta

Keterangan Waris dan Akta Perjanjian dan Pembagian Harta Warisan.

Dengan dialihkannya ha katas tanah melalui jual beli, penerima hak milik

harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di Indonesia. Pasal 21

UUPA menyebutkan hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hak

milik. Dengan demikian tanah hak milik yang hendak dialihkan harus

dialihkan ke warganegara Indonesia.

Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang

Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) pada Pasal 147 mengatur mengenai

penerbitan tanda bukti hak atas tanah secara elektronik menjadi dasar

hukum bagi penerbitan sertipikat dalam bentuk elektronik. Peraturan

Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas

Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah (PP Nomor 18/2021)

Bab VII mengatur mengenai pendaftaran tanah. Berdasarkan PP Nomor

18/2021 menyatakan bahwa penyelenggaraan dan pelaksanaan Pendaftaran

Tanah dapat dilakukan secara elektronik. Penerapan Pendaftaran tanah

elektronik dilaksanakan secara bertahap dengan mempertimbangkan

kesiapan sistem elektronik yang dibangun oleh Kementrian. Pasal 86 PP

18/2021 menyatakan bahwa pembuatan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah

dapat dilakukan secara elektronik. Sertipikat Elektronik lebih lanjut diatur

dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2021 tentang Sertipikat Elektronik


(Permen ATR/BPN No. 1/2021). Sertipikat Elektronik yang selanjutnya

disebut Sertipikat-el adalah sertipikat yang diterbitkan melalui sistem

elektronik dalam bentuk dokumen elektronik.

4.1.2 Akibat Hukum Akta Jual Beli Dikarenakan Kelalaian PPAT

Akta Jual Beli merupakan akta yang dibuat oleh PPAT untuk menjamin

kepastian hukum perbuatan jual beli tersebut serta sebagai syarat

didaftarkannya peralihan hak atas tanah. Akta Jual Beli dibuat dengan

ketentuan perundang-undangan yang berlaku dengan tetap memperhatikan

Pasal 1320 KUHPerdata sebagai dasar syarat sah perjanjian. Akibat hukum

dilanggarnya syarat subjektif pada Pasal 1320 KUHPerdata adalah

perjanjian dapat dibatalkan. Dapat dibatalkan berarti suatu perjanjian

mempunyai ‘celah’ untuk dibatalkan sedangkan Akta PPAT pada dasarnya

mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, terutama dalam hal

peralihan hak atas tanah.

Menurut peraturan perundang-undangan dan literatur, bahwa faktor-faktor

yang melatarbelakangi pembatalan perjanjian jual beli tanah yang diikat

dengan akta jual beli yang dikeluarkan oleh PPAT adalah:8

a. Tidak terpenuhinya persyaratan yang ditetapkan undang-undang untuk

jenis perjanjian formil, yang berakibat perjanjian batal demi hukum;

8
Rafiq Adi Wardana, I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, Op. Cit., hal 5
b. Tidak terpenuhinya syarat sah perjanjian;

c. Terpenuhinya syarat batal pada jenis perjanjian yang bersyarat;

d. Pembatalan oleh pihak ketiga atas dasar actio pauliana

Sedangkan menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik

Indonesia, bahwa faktor yang melatarbelakangi pembatalan perjanjian jual

beli tanah yang diikat dengan akta jual beli yang dikeluarkan oleh PPAT

dapat dikelompokan sebagai berikut:9

1. Kebatalan perjanjian karena tidak memenuhi syarat subjektif

perjanjian, yaitu kesepakatan dan kecakapan para pihak sebagaimana

diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata

2. Kebatalan perjanjian karena tidak memenuhi syarat objektif sahnya

perjanjian, yaitu hal tertentu dan sebab yang halal sebagaimana diatur

dalam Pasal 1320 KUHPerdata;

3. Kebatalan karena hak membeli Kembali objek dalam perjanjian jual

beli;

4. Kebatalan dalam hak jual beli harta bersama

5. Kebatalan dalam hal keadaan darurat (noodtoestand)

6. Kebatalan perjanjian mengenai hak atas tanah

PPAT mempunyai tanggung jawab atas akta yang dibuatnya. Terapan

pertanggungjawaban PPAT adalah strict liability dimana PPAT

9
Ibid, hal. 6
bertanggung jawab langsung terhadap akta yang dibuat. Namun konsep

strict liability tidak secara gamblang diterapkan dalam tanggungjawab

PPAT karena PPAT mempunyai peran aktif sekaligus pasif dalam setiap

pembuatan akta. Aktif dalam arti PPAT harus melakukan pemeriksaan data

dan semua peraturan perundang-undangan terkait sebagai persiapan

pembuatan akta, pasif artinya PPAT membuat akta berdasarkan

kesepakatan para pihak yang menghadap untuk melakukan perbuatan

hukum tertentu. Sehingga untuk menentukan seorang PPAT berbuat lalai

dalam membuat akta dilihat dari persiapan pembuatan akta tersebut sudah

sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait perbuatan hukum

tersebut atau tidak. Jika kelalaian terkait persiapan pembuatan akta maka

PPAT bertanggungjawab penuh atas itu sehingga berlaku penerapan strict

liability.

Sesuai dengan Pasal 55 Permen ATR/BPN Nomor 1/2006 yang

menyatakan PPAT bertanggung jawab secara pribadi atas pelaksanaan

tugas dan jabatannya dalam setiap pembuatan akta. Sanksi bagi PPAT yang

melakukan pelanggaran dalam menjalankan jabatannya tercantum dalam

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2018 tentang

Pembinaan dan Pengawasan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Permen

ATR/BPN Nomor 2/2018). Pelanggaran yang dilakukan PPAT

berdasarkan Pasal 12 ayat (2) Permen ATR/BPN Nomor 2/2018 meliputi:

a. Pelanggaran atas pelaksanaan jabatan PPAT


b. Tidak melaksanakan kewajiban yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan

c. Melanggar ketentuan larangan yang duatur dalam peraturan

perundang-undangan

d. Melanggar kode etik

Pemberian sanksi atas pelanggaran-pelanggaran tersebut dapat berupa:

1. Teguran tertulis

2. Pemberhentian sementara

3. Pemberhentian dengan hormat

4. Pemberhentian dengan tidak hormat

Jenis pelanggaran dan sanksi tercantum dalam Lampiran II Permen

ATR/BPN Nomor 2/2018. Dalam lampiran tersebut tercantum untuk jenis

pelanggaran PPAT memberikan keterangan tidak benar dalam akta yang

mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan sanksinya dapat

diberhentikan dengan tidak hormat.

Suatu akta dapat dikatakan sebagai akta autentik harus memenuhi

persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1868 KUHPerdata,

sebagai berikut:10

a. Akta harus dibuat “oleh” (door) atau “di hadapan” (ten overstaan)

seorang Pejabat Umum;

10
Alwesius, “Dasar-Dasar Teknik Pembuatan Akta Notaris”, (Depok: Universitas Indonesia, 2019),
hal. 10-11
b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang

c. Pejabat umum oleh – atau dihadapan siapa akta itu dibuat, harus

mempunyai wewenang untuk membuat akta itu

Tidak dipenuhinya salah satu syarat tersebut dapat mengakibatkan akta

yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian seperti akta

yang dibuat dibawah tangan, apabila ditandatangani oleh para pihak,

sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 1869 KUHPerdata, yang

menentukan:11 “suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya

pegawai termaksud di atas atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak

dapat diperlakukan sebagai akta autentik namun demikian mempunyai

kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ia ditandatangani oleh para

pihak”

Akta PPAT wajib dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan

dasar yang kuat untuk pendaftaran pemindahan hak dan pembebanan hak

yang bersangkutan. Berdasarkan PP Nomor 24/1997, peralihan tanah dan

benda-benda diaasnya dilakukan dengan akta PPAT. Pengalihan tanah dari

pemilik kepada penerima disertai dengan penyerahan yuridis (juridische

levering), yaitu penyerahan yang harus memenuhi formalitas undang-

11
Ibid
undang, meliputi pemenuhan syarat; dilakukan melalui prosedur yang

ditetapkan; menggunakan dokumen; dibuat dihadapan PPAT.12

Persiapan pembuatan akta diatur dalam Peraturan Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

(Permen ATR/BPN Nomor 3/1997). Sebelum melaksanakan pembuatan

akta mengenai pemindahan atau pembebanan hak atas tanah, PPAT wajib

terlebih dahulu melakukan pemeriksaan pada Kantor Pertanahan mengenai

kesesuaian sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan dengan daftar-

daftar yang ada di Kantor Pertanahan setempat dengan melihat setifikat

asli. Pemeriksaan ini dilakukan untuk setiap pembuatan akta oleh PPAT.

Dalam Pasal 37 PP 24/1997 ditetapkan bahwa peralihan hak atas tanah

dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli hanya dapat

didaftarkan jika dapat dibuktikan dengan akta yang dibuat PPAT yang

berwenang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.13 Akta

Jual Beli kemudian didaftarkan agar peralihan hak atas tanah dapat terjadi.

Dengan dilakukannya peralihan hak atas tanah seorang akan memperoleh

surat-surat sebagai tanda bukti kepemilikan hak atas tanah tersebut. Pasal

12
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Harta Kekayaan , Cetakan I, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1994,
hal 55-56.

13
Boedi Harsono, Op. Cit, hal. 506
19 ayat (2) huruf c UUPA menyebutkan bahwa surat-surat tanda bukti hak

berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Dalam menentukan Akta PPAT sebagai alat bukti yang sempurna harus

memperhatikan dan memenuhi syarat materiil dan syarat formil. Syarat

formil merupakan syarat yang menentukan sahnya jual beli tersebut,

berupa:

a. Pembeli merupakan pihak yang berhak membeli tanah bersangkutan

b. Penjual merupakan pihak yang berhak menjual tanah bersangkutan

c. Tanah yang bersangkutan tidak sedang dalam sengketa atau mengikat

hak-hak tertentu atas tanah

Mengenai syarat formil mengenai jual beli khususnya hak atas tanah

berhubungan dengan prosedur jual beli hak atas tanah tersebut sah menurut

hukum, harus disesuaikan dengan UUPA dan PP 24/1997 sebagai

peraturan terkair perbuatan jual beli hak atas tanah. Pasal 37 ayat (1) PP

No. 24 Tahun 1997 maka saat beralihnya hak atas tanah dari penjual kepada

pembeli ialah ketika dilakukan jual beli oleh dan dihadapan PPAT sehingga

melahirkan Akta Jual Beli sebagai Akta PPAT. Pasal 45 ayat (1) Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menentukan bahwa: Akta PPAT

merupakan alat untuk membuktikan telah dilakukannya suatu perbuatan

hukum. Oleh karena itu, apabila perbuatan hukum itu batal atau dibatalkan,

akta PPAT yang bersangkutan tidak berfungsi lagi sebagai bukti perbuatan

hukum tersebut.
Akibat hukum dalam hal akta jual beli dibuat melanggar syarat objektif

pada Pasal 1320 KUHPerdata adalah batal demi hukum. Akta yang dibuat

dianggap tidak pernah terjadi dan perbuatan hukum yang dituangkan dalam

akta tersebut tidak mengikat. Sedangkan akibat hukum dalam hal akta jual

beli yang dibuat melanggar syarat subjektif pada Pasal 1320 KUHPerdata

adalah dapat dibatalkan. Dengan demikian akta PPAT terkait harus

diajukan pembatalannya melalui pengadilan.

Dalam suatu gugatan yang menyatakan bahwa akta otentik tidak sah,

maka harus dibuktikan keabsahannya baik dari aspek lahiriah, formil dan

materiil. Jika tidak dapat membuktikannya, maka akta yang bersangkutan

tetap sah mengikat bagi para pihak yang berkepentingan atas akta tersebut.

jika akta tersebut dapat dibuktikan di persidangan, maka ada salah satu

aspek yang menyebabkan cacatnya akta, sehingga akta tersebut dapat

menjadi akta yang terdegradasi atau akta dibawah tangan, bahkan menjadi

batal demi hukum. Berdasarkan Pasal 1870 KUHPerdata mengenai

kekuatan pembuktian mengikat dan sempurna, suatu akta otentik yang

mengikat dan sempurna, suatu akta yang mengikat berarti hakim terikat

untuk percaya atas akta tersebut selama hal yang menjadi

ketidakbenarannya tidak dapat dibuktikan, sedangkan maksud dari


sempurna berarti sudah dianggap cukup sebagai alat bukti tanpa perlu ada

alat bukti lain.14

Mengenai pertanggungjawaban pejabat menurut Kranenburg dan Vegtig

ada dua teori yang melandasinya yaitu:15

a. Teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian

terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena

tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban

tanggungjawab ditujukan pada manusia selaku pribadi

b. Teori fautes de services, yaotu teori yang menyatakan bahwa kerugian

terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang

bersangkutan. Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan kepada

jabatan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan

pula apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat

atau kesalahan ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan

berimplikasi pada tanggung jawab yang harus ditanggung.

Berdasarkan teori fautes personalles diatas, peneliti berpendapat bahwa

PPAT bertanggung jawab atas pembuatan akta yang mengandung cacat

hukum, dimana seharusnya dalam pembuatan akta PPAT dituntut teliti agar

dapat mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Akta otentik yang

14
Lidya Christina Wardhani, Tanggung Jawab Notaris/PPAT terhadap Akta yan Dibatalkan oleh
Pengadilan, Lex Renaissance No. 1 vol. 2 Januari 2017; (Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia)
15
Rafiq Adi Wardana, I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, Op. Cit., hal. 8
cacat hukum mempunyai kekuatan pembuktian yang terdegradasi sehingga

membuat akta sama dengan akta dibawah tangan. Akta di bawah tangan

membutuhkan alat bukti pendukung agar akta tersebut dapat tervalidasi

kebenarannya.

Selain itu pertanggungjawaban hukum oleh PPAT atas kelalaian

pembuatan akta juga dapat dilihat dari aspek administrasi dan perdata:

1. Tanggung Jawab Perdata

Jika ditarik dalam Hukum Perdata, segala peraturan mengenai perikatan

pertanahan ada dalam Bab III KUHPerdata sehingga segala perbuatan

hukum yang dilakukan oleh PPAT juga menyangkut

pertanggungjawaban secara perdata. Pertanggungjawaban perdata

biasanya mencakup ganti rugi baik secara materiil dan imateriil. Akta

Jual Beli merupakan salah satu akta yang dapat dibuat PPAT dalam

kewenangannya. Berdasarkan Pasal 1457 KUHPerdata menyebutkan

bahwa Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak satu

mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang dan pihak yang

lain untuk membayar harga yang dijanjikan. Selain memperhatikan

definisi Jual Beli dalam KUHPerdata juga harus memperhatikan syarat

sah perjanjian pada Pasal 1320. Maka dari itu PPAT bertanggungjawab

secara hukum dalam aspek perdata karena dasar hukum yang dilakukan

dalam menjalankan jabatannya juga berdasarkan ketentuan-ketentuan

perdata.
2. Tanggung Jawab Administratif

Pertanggungjawaban PPAT secara administratif diatur dalam Pasal 62

PP 24/1997 yang berbuyi: “PPAT yang dalam melaksanakan tugasnya

mengabaikan ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

38, Pasal 39 dan Pasal 40 serta ketentuan dan petunjuk yang diberikan

oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk dikenakan tindakan

administrative berupa teguran tertulis sampai pemberhentian dari

jabatannya sebagai PPAT, dengan tidak mengurangi kemungkinan

dituntut ganti kerugian oleh pihak-pihak yang menderita kerugian yang

diakibatkan oleh diabaikannya ketentuan-ketentuan tersebut.

4.2 Ratio Decidendi Putusan Nomor 1/PDT.G/2018/PN SMG Jo. Putusan

Nomor 561/PDT.G/2018/PT SMG Jo. Putusan Nomor 481K/ PDT/2020

Terhadap Akta Jual Beli Yang Cacat Hukum Akibat Kelalaian PPAT

Dalam analisa kasus peneliti mengambil asumsi berdasarkan nama dari para

pihak merupakan keturunan tionghoa sehingga penelitian ini mengacu pada

KUHPerdata dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku di

Indonesia. Ratio decidendi merupakan suatu pertimbangan hukum sebagai

dasar atau alasan yang menentukan untuk diambilnya suatu putusan oleh hakim

yang dirumuskan dalam amar putusan. Dalam ratio decidendi dilihat apakah

putusan hakim beserta dengan pertimbangan-pertimbangan hukumnya sudah

sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku. Batu uji untuk ratio decidendi
menggunakan teori-teori dan konsep dan kaidah hukum yang belaku, yang

dijabarkan menjadi dua bagian dalam bab ini.

4.2.1 Kasus Posisi

Dalam kasus gugatan perdata di Pengadilan Negeri Semaarang Putusan No.

1/Pdt.G/2018/ PN Smg, pada dasarnya merupakan perkara kelalaian PPAT

dalam menerapkan syarat subjektif dalam menjalankan wewenang

membuat akta otentik berupa Akta Jual Beli. PPAT lalai dalam menerapkan

Pasal 1320 KUHPerdata dimana syarat subjektif tidak terpenuhi

Dalam perkara perdata ini yang merupakan para pihak adalah

Octavianus Irwan Kurniadi. SH sebagai Penggugat I, Maria Theresia Dwi

Ajuni sebagai Penggugat II, Julius Bambang Kurnia Susanti sebagai

Penggugat III, Natalia Kusuma Dewi sebagai Penggugat IV, Lucian

Karisma Dewi Susanto sebagai Penggugat V (selanjutnya secara bersama-

sama disebut sebagai Para Penggugat) melawan Herwanto sebagai

Tergugat I, Sri Juni Dharmawati yang merupakan notaris di Semarang

sebagai Tergugat II, dan Badan Pertanahan Nasional Kota Semarang

sebagai Turut Tergugat.

Bahwa Para Penggugat merupakan ahli waris dan anak dari pernikahan

Alm. Tn. Freddy Susanto Handjajano dengan Alm. Ny. Dewi Susanti

Setiawan pada tanggal 28 Desember 1967 sebagaimana tercatat dalam Akta

Perkawinan Nomor 478/1967 yang dikeluarakan oleh Kantor Catatan Sipil

Semarang. Ny. Dewi Susanti Setiawan meninggal dunia pada tanggal 24


September 1982, selama masa pernikahan antara Alm. Freddy Susanto dan

Ny. Dewi Susanti Setiawan memperoleh harta gono-gini berupa sebidang

Tanah dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 42/Plamongansari,

sebagaimana diuraikan dalam Gambar Situasi tanggal 5 Mei 1981, Nomor:

2217/1981, Kelurahan Plamongansari Kecamatan Pedurungan Kota

Semarang dengan Luas Tanah 1980 m2 yang terletak di Jalan Sawo Eddie

Wibowo Nomor 55 Kelurahan Plamongansari Kecamatan Pedurungan

Kota Semarang tercatat atas nama Freddy Susanto (selanjutnya disebut

“Tanah Warisan”).

Bahwa setelah kematian Alm. Ny. Dewi Susanti Setiawan, Alm. Tn.

Freddy Susanto dan Para Penggugat membuat Akta Keterangan Waris

Nomor 13 pada tanggal 7 Juni 2010 yang dibuat dihadapan Notaris Riefki

Adian yang pada dasarnya menyebutkan bahwa karena kematian Ny. Dewi

Susanti Setiawan maka ahli warisnya adalah Tn. Freddy Susanto dan Para

Penggugat.

Tanah Warisan termasuk dalam harta bersama antara Tn. Freddy

Susanto dan Ny. Dewi Susanti Setiawan sebagai pewaris, untuk

mewariskan tanah tersebut kepada Para Penggugat maka Tn. Freddy

Susanto dan Para Penggugat membuat Akta Perjanjian Pembagian dan

Pemisahan Harta Waris Nomor 14 tanggal 7 Juni 2010 yang dibuat

dihadapan Notaris Riefki Adian. Bahwa dalam Akta Perjanjian Pembagian

dan Pemisahan Harta Waris, terkait Tanah Warisan dijelaskan bahwa


terkait penjualan harta warisan tersebut harus melalui persetujuan dari

Alm. Tn. Freddy Susanto dan Para Penggugat.

Bahwa kedua belah pihak dan ahli waris Alm. Ny. Dewi Susanti Setiawan

yaitu Alm. Tn. Freddy Susanto dan para penggugat telah setuju dan sepakat

untuk membuat Akta Kuasa Nomor 13 tanggal 7 Juni 2010 yang dibuat

dihadapan Notaris Riefki Adian bahwa dalam akta tersebut dijelaskan

bahwa Alm. Tn. Freddy Susanto memberikan kuasa kepada Para

Penggugat untuk menjual Tanah Warisan.

Bahwa pada tanggal 15 Desember 2016 Tn. Freddy Susanto telah

menjual Tanah Warisan tersebut kepada Herwanto (Tergugat I) senilai Rp

1.825.000.000 melalui Akta Jual Beli Nomor 82/2016 tertanggal 15

Desember 2016 yang dilakukan di hadapan Notaris-PPAT Sri Juni

Dharmawati (Tergugat II). Pada saat dilakukan penandatanganan minuta

Akta Jual Beli Nomor 82/2016 perihal Tanah Warisan, para ahli waris yaitu

Penggugat yang merupakan anak-anak dari pernikahan antara Alm. Tn.

Freddy Susanto dan Ny. Dewi Susanti Setiawan tidak pernah diberitahu,

diminta hadir dan dimintai persetujuannya dan tandatangannya terkait Akta

Jual Beli Tanah Warisan tersebut.

Setelah Ny. Dewi Susanti Setiawan meninggal, Tn. Freddy Susanto

menikah lagi untuk kedua kalinya dengan Ny. Enggawati Sanjoto namun

dalam persidangan tidak dicantumkan Akta Kawin, asumsi peneliti

keduanya menikah setelah tahun 1982 dimana hukum perkawinan yang


berlaku mengacu pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan.

Herwanto sebagai pembeli sekaligus Tergugat I telah mengetahui

bahwa tanah dan bangunan Sertifikat Hak Milik Nomor 42/Plamongansari

merupakan harta gono-gini yang diperoleh pada saat pernikahan antara

Alm. Freddy Susanto dan Alm. Ny. Dewi Susanti Setiawan tetapi tetap

melaksanakan transaksi pembelian dan menandatangani minuta Akta Jual

Beli Nomor 62/2016 perihal jual beli tanah dan bangunan dengan Sertifikat

Hak Milik Nomor 42/Plamongansari tercatat atas nama Freddy Susanto

dihadapan Notaris-PPAT Ny. Sri Juni Dharmawati tertanggal 15 Desember

2016.

Tindakan jual beli yang dilakukan antara Tergugat I dan Tergugat II

merupakan suatu perbuatan melawan hukum karena dilakukan tanpa

sepengetahuan Para Penggugat sebagai ahli waris. Selain itu terdapat

kejanggalan dalam transaksi jual beli dimana harga tanah dan bangunan

senilai Rp 1.825.000.000,- merupakan harga yang sangat rendah karena

harga per meter hanya dinilai Rp 923.000,- sedangkan nilai tanah per meter

adalah kisaran Rp 3.000.000,- sampai Rp 4.000.000,-. Tindakan ini

merupakan kerugian bagi Para Penggugat sebagai ahli waris.

Setelah Tergugat I melakukan transaksi jual beli Tanah Warisan tersebut,

Tergugat I melakukan perobohan dan perusakan bangunan yang berada di

lokasi objek sengketa tersebut padahal bangunan tersebut merupakan


tempat kerja dan workshop pembuatan peti mati milik Penggugat, tindakan

perobohan dan perusakan tersebut dilakukan oleh Tergugat I tanpa

pemberitahuan secara lisan maupun tertulis kepada Penggugat sebagai

pemilik bangunan tersebut. Objek Jual Beli sudah dibalik nama oleh Badan

Pertanahan Nasional sebagai Turut Tergugat I.

Atas gugatan ini Majelis Hakim mengupayakan perdamaian diantara para

pihak melalu mediasi sebagaimana diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun

2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dengan menunjuk Sdr. Edy

Suwanto, Hakim pada Pengadilan Negeri Semarang sebagai Mediator;

tertanggal 20 Pebruari 2018 namun berdasarkan laporan Mediator tanggal

20 Pebruari sampai dengan tanggal 06 Maret 2018 upaya perdamaian

tersebut tidak berhasil.

Dalam eksepsi, Herwanto sebagai Tergugat I menerangkan bahwa

Tergugat I sebagai pembeli dengan itikad baik, hal mana dibuktikan dengan

adanya Akta Jual Beli Nomor 82/2016. Bahwa dalam Akta Jual Beli

tersebut menyebutkan Alm. Tn. Freddy Susanto mengaku sebagai

pemegang hak atas sebidang tanah dan bangunan sebagaimana bukti

Sertifikat Hak Milik Nomor 42/Plamongansari. Bahwa Alm. Tn. Freddy

Susanto sebagai penjual mengaku telah mendapatkan persetujuan dari Ny.

Enggawati Sanjoto selaku isteri dari Alm. Tn. Freddy Susanto.

Dalam pembelaannya bahwa berdasarkan kebenaran materiil dan formil

sudah sesuai dengan Kartu Keluarga milik Alm. Tn. Freddy Susanto,
tercatat bahwa Ny. Enggawati Sanjoto merupakan isteri yang sah dari Alm.

Tn. Freddy Susanto. Dalam pembelaannya Pihak Tergugat mengutip Surat

Edaran Mahkamah agung Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum

Hasil Rapat Pleno Tugas Bagi Pengadilan. Bagian Hasil Rapat Kamar

Perdata Sub Kamar Perdata Umum, angka Romawi IX ditegaskan:

“Perlindungan harus diberikan kepada pembeli yang


beritikad baik sekalipun kemudian diketahui bahwa penjual
adalah orang yang tidak berhak (objek jual beli tanah).
Pemilik asal hanya dapat mengajukan gugatan ganti rugi
kepada penjual yang tidak berhak”

Dalam perjanjian jual beli antara Alm.Tn. Freddy Susanto dengan Tergugat

I sebagaimana termuat dalam Akta Jual Beli 82/2016 di hadapan Notaris-

PPAT Ny. Sri Juni Dharmawati tertanggal 15 Desember 2016 telah juga

mendapatkan persetujuan isteri Alm. Tn. Freddy Susanto yang bernama Ny

Enggawati Sanjoto sehingga seharusnya dijadikan Tergugat. Dikarenakan

pihak Penjual yaitu Alm. Tn. Freddy Susanto sudah meninggal maka dari

itu seharusnya yang menjadi Tergugat adalah Ny. Enggawati Sanjoto

sebagai isterinya.

Menurut Tergugat I bahwa tidak benar jika Para Penggugat tidak

mengetahui adanya jual beli tanah warisan tersebut. Pada sekitar bulan

Maret 2016, Alm. Tn Freddy Susanto bersama dengan Ny. Enggawati

mendatangi Tergugat I dan menerangkan bahwa tanah warisan tersebut

akan dilelang oleh Koperasi Adil Sentosa berkedudukan di Semarang


karena dijadikan jaminan Hak Tanggungan dan tidak mampu melunasi

hutangnya. Alm. Tn. Freddy Susanto menawarkan Tergugat I untuk

membeli tanah yang akan dilelang oleh Koperasi Adil Sentosa tersebut.

Karena hubungan baik antara keduanya, maka Tergugat I setuju untuk

melunasi hutang Tn. Freddy Susanto dan membeli tanah warisan tersebut

dengan harga yang disepakati Rp 6.000.000.000,- meskipun dalam Akta

Jual Beli Nomor 82/2016 yang dibuat dihadapan Ny. Sri Juni Dharmawati

tertera Rp 1.825.000.000,- namun Tergugat telah melunasi harga beli

sebesar Rp 6.000.000.000,-. Menurut keterangan Tergugat I bahwa Para

Penggugat telah menerima pembagian uang hasil penjualan tanah warisan

tersebut dibuktikan dengan beberapa bukti transfer kepada Para Penggugat.

Tentang pertimbangan hukum hakim pengadilan negeri menerangkan hal-

hal sebagai berikut:

- Bahwa benar pada tanggal 15 Desember 2016 Alm. Tn. Freddy Susanto

melakukan perbuatan jual beli tanah warisan dengan Tergugat I senilai

Rp 1.825.000.000,- yang dituangkan dalam Akta Jual Beli No. 82/2016

yang dibuat dihadapan Ny. Sri Juni Dharmawati, Notaris-PPAT di

Semarang dan telah dibalik nama oleh BPN atas nama Tn. Herwanto.

- Bahwa penggugat adalah ahli waris dan anak dari pernikahan Alm. Tn.

Freddy Susanto dan Alm. Ny. Dewi Susanti Setiawan yang

perkawinannya dilaksanakan pada tanggal 28 Desember 1967 dan

dibuktikan dengan Akta Perkawinan Nomor 478/1967.


- Bahwa Alm. Ny. Dewi Susanti Setiawan meninggal dunia pada tanggal

24 September 1982 sebagaimana dicatatkan dalam Akta Kematian yang

dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota

Semarang. Perolehan objek sengketa diperoleh pada tanggal 05 Mei

1981, sehingga merupakan harta gono gini yang diperoleh dalam masa

pernikahan Alm. Tn. Freddy Susanto dan Alm. Ny. Dewi Susanti

Setiawan.

- Setelah kematian Ny. Dewi Susanti Setiawan, Tn. Freddy Susanto dan

Para Penggugat membuat Akta Perjanjian Pembagian dan Pemisahan

Harta Waris Nomor 14 tanggal 7 Juni 2010, terkait dengan adanya harta

warisan yang berupa sebidang tanah dan bangunan dengan sertifikat

Hak Milik Nomor 42/Plamongansari.

- Bahwa dalam Akta Perjanjian Pembagian dan Pemisahan Harta Waris

Nomor 14 tersebut dijelaskan bahwa terkait penjualan harta warisan

tersebut harus melalui persetujuan dari Alm. Freddy Susanto dan Para

Penggugat.

- Kedua belah pihak dari ahli waris Alm. Ny. Dewi Susanti Setiawan

setuju dan sepakat membuat Akta Kuasa Nomor 13 tanggal 7 Juni 2010,

bahwa akta tersebut dijelaskan Alm. Freddy Susanto memberikan kuasa

kepada Penggugat untuk menjual tanah warisan tersebut.

Pokok gugatan dalam Putusan No. 1/Pdt.G/ 2018/ PN. SMG:


- menyatakan batal menurut hukum atas Akta Jual Beli No 82/2016

tertanggal 15 Desember 2016 yang dibuat di hadapan Ny. Sri Juni

Dharmawati, Notaris-PPAT di Semarang

- menyatakan segala Akta Kuasa Jual dan Akta lainnya terkait jual beli

bangunan dan tanag dengan Sertifikat Hak Milik Nomor

42/Plamongansari dinyatakan batal menurut hukum

- menyatakan batal demi hukum Jual Beli bangunan dan tanah dengan

Sertifikat Hak Milik Nomor 42/Plamongansari

- membatalkan balik nama Sertifikat Nomor 42/Plamongansari atas

nama Tn. Herwanto untuk dikembalikan atas nama Tn, Freddy Susanto

Atas duduk perkara sebagaimana telah diuraikan, hakim pengadilan negri

dengan Nomor Putusan 1/Pdt. G/ 2018/ PN. SMG memberikan

pertimbangan terkait akta jual belinya: “tergugat II yang membuat Akta

Jual Beli atas objek sengketa tanpa persetujuan Para ahli waris dari tanah

objek sengketa tersebut, jelas merupakan perbuatan melawan hukum dan

melanggar hak subjektif para ahli waris.”

Fakta yang ditemukan di persidangan bahwa berdasarkan saksi yang

dihadirkan, penandatanganan Akta Jual Beli dilakukan tanpa kehadiran

dari Tergugat I, penandatangan dilakukan dihadapan staff Notaris-PPAT,

penandatanganan dilakukan di rumah Tn. Freddy Susanto padahal dalam

akta berbunyi “menghadap di hadapan saya, Notaris-PPAT Ny. Sri Juni

Dharmawati”, penandatanganan tanpa mengikutsertakan Penggugat dan


tanpa persetujuan dan pemberitahuan kepada Penggugat sebagai ahli waris

objek sengketa tersebut.

Dalam amar putusan pengadilan tingkat pertama, hakim pengadilan negeri

terkait akta jual beli menyatakan (1) Akta Jual Beli Nomor 82/2016 yang

dibuat dihadapan Notaris-PPAT Ny. Sri Juni Dharmawati tertanggal 15

Desember dinyatakan batal menurut hukum; (2) Menyatakan segala Akta

Kuasa Jual dan Akta lainnya terkait Akta Jual Beli bangunan dan tanah

dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 42/Plamongansari atas nama Freddy

Susanto yang dibuat oleh Notaris-PPAT Ny. Sri Juni Dharmawati

tertanggal 15 Desember 2016 dinyatakan batal demi hukum.

Tergugat I mengajukan banding atas Putusan No. 1/Pdt. G/ 2018/ PN SMG

dengan pihak-pihak sebagai berikut:

- Tn. Herwanto sebagai Pembanding semula Tergugat I

Konvensi/Penggugat Kovensi; melawan

- Octavianus Irwan Kurniadi sebagai Terbanding I semula Penggugat I

Rekonvensi/ Tergugat I Rekonvensi

- Maria Theresia Dwi Ajuni sebagai Terbanding II semula Penggugat II

Rekonvensi/ Tergugat II Rekonvensi

- Julius Bambang Kurnia Susanto sebagai Terbanding III semula

Penggugat III Rekonvensi/ Tergugat III Rekonvensi

- Natalia Kusuma Dewi sebagai Terbanding IV semula Penggugat IV

Rekonvensi/ Tergugat IV Rekonvensi


- Lucian Karisma Dewi Susanto sebagai Terbanding V semula

Penggugat V Rekonvensi/ Tergugat V Rekonvensi; dan

- Ny. Sri Juni Dharmawati sebagai Turut Terbanding I semula Turut

Tergugat I Rekonvensi/Turut Tergugat I Rekonvensi

- Badan Pertanahan Nasional Kota Semarang sebagai Turut Terbanding

II semula Turut Tergugat II Rekonvensi/ Turut Tergugat II Rekonvensi

Pertimbangan Hakim Pengadilan Tinggi dalam Putusan No.

561/Pdt/2018/PT.SMG terkait perbuatan jual beli dan akta jual beli:

“menimbang bahwa dengan bukti-bukti penerimaan masing-masing bagian

kepada Para Terbanding/ Para Penggugat, maka dapat diartikan bahwa Para

Terbanding/Para Tergugat telah mengetahui dan menyetujui adanya jual

beli yang dilakukan antara Freddy Susanto dengan Herwanto. Apabila

tidak menyetujui adanya perjanjian jual beli atas objek perkara tentu Para

Terbanding/Para Penggugat tidak mau menerima atas pemberian uang hasil

penjualan tersebut, karena yang tersebut adalah merupakan uang hasil jual

beli tanah dan bangunan dengan SHM Nomor 42/Plamongansari. Bahwa

sikap menerima disini dapat diartikan telah menyetujui adanya kejadian

jual beli antara Freddy Susanto dengan Herwanto pada 15 Desember 2016

dan apabila menyatakan bahwa jual beli atas objek perkara adalah tidak sah

karena tanpa persetujuan Para Terbanding/ Para Penggugat sudah barang

tentu sejak awal akan menolak hasil penjualan obyek perkara tersebut serta

mengembalikan uang hasil penjualan dimaksud. Oleh karena itu apabila


Para Terbanding/Para tergugat telah mendalilkan bahwa Pembanding/

Tergugat II, Turut Terbanding I/ Tergugat II dan Turut Terbanding II/

Turut Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum dan meminta

agar akta jual beli yang dilakukan oleh Freddy Susanto Handjajano alias

Freddy Susanto dengan Herwanto untuk dibatalkan tanap alasan yang sah

sepatutnya untuk ditolak”

Pengadilan Tinggi Semarang menyatakan sah dan berharga Akta Jual Beli

Nomor 82/2016 tertanggal 15 Desember 2016 yang dibuat di hadapan Ny.

Sri Juni Dharmawati, Notaris-PPAT di Semarang, Perjanjian Pengosongan

Nomor 1 tanggal 15 Desember 2016 yang dibuat di hadapan Ny. Wiwik

Kristiana, Notaris di Demak.

Permohonan kasasi dengan Putusan Nomor 418K/Pdt/2020, menolak

permohonan kasasi karena berdasarkan pertimbangan Pengadilan Tinggi,

putusan judex facti Pengadilan Tinggi Jawa Tengah di Semarang dalam

perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang.

4.2.2 Analisis Kasus

Perolehan tanah dan bangunan dengan Sertifikat Hak Milik

42/Plamongansari diperoleh Alm. Tn. Freddy Susanto dan Alm. Ny. Dewi

Susanti Setiawan diperoleh dalam masa perkawinan sehingga merupakan

harta gono gini.


Pernikahan Alm. Tn. Freddy Susanto dan Alm. Ny. Dewi Susanti Setiawan

dilaksanakan pada tanggal 28 Desember 1967 sebagaimana tercatat dalam

Akta Perkawinan Nomor 478/1967. Bila dilihat dari waktu

dilaksanakannya perkawinan, hukum perkawinan mengacu pada

KUHPerdata. Dalam KUHPerdata menganut pencampuran harta sesuai

Pasal 119 sehingga seluruh harta yang diperoleh baik sebelum maupun

selama masa perkawinan menjadi harta bersama yang penguasaan dari

harta tersebut merupakan hak bersama selama tidak ditentukan lain dalam

perjanjian kawin.

Hak atas tanah dimaksud merupakan hak milik, dimana berdasarkan Pasal

20 UUPA hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang

dapat dipunyai orang atas tanah, hak milik dapat beralih dan dialihkan

kepada pihak lain. Sifat-sifat daripada hak milik yang membedakan dengan

hak-hak lainnya. Hak milik adalah hak “terkuat dan terpenuh” yang dapat

dimiliki orang atas tanah. Kata-kata “kuat dan terpenuh” itu bermaksud

untuk membedakannya dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak

pakai dan lain-lainnya. Kata “turun-temurun” menurut KBBI adalah dari

nenek moyang turun kepada cucu; berpindah-pindah dari orang tua kepada

anak, kepada cucu, dan seterusnya.

Akta Jual Beli No. 82/2016 dilakukan dengan persetujuan Ny.

Enggawati, berarti pada saat persiapan pembuatan akta terkait dibuktikan

dengan Akta Perkawinan Tn. Freddy Susanto dan Ny. Enggawati. Dalam
persiapan pembuatan akta seharusnya terlihat waktu perolehan tanah

tersebut dan waktu perkawinan sehingga seharusnya tidak memerlukan

persetujuan dari Ny. Enggawati.

Perkawinan Tn. Freddy Susanto dengan Ny. Enggawati Sanjoto

berdasarkan Pasal 35 UU Perkawinan dimana mengenai harta benda dalam

perkawinan menganut sistem harta bersama dan harta bawaan. Harta

warisan termasuk dalam harta bawaan dimana hak atas tanah tersebut

merupakan hak masing-masing suami/isteri. Maka terkait perbuatan

hukum atas tanah warisan tidak memerlukan persetujuan dari Ny.

Enggawati karena merupakan harta warisan dimana pemegang hak atas

harta tersebut adalah Tn. Freddy Susanto dan anak-anaknya. Menurut

peneliti, PPAT kurang teliti mempersiapkan pembuatan akta karena

seharusnya tercantum tanggal pekawinan Tn. Freddy Susanto dan Ny.

Enggawati bila dicocokan dengan tanggal perolehan tanah dimaksud dapat

dilihat tanah diperoleh sebelum masa perkawinan.

Terkait pernyataan Tergugat I sebagai pembeli bahwa objek sengketa

sebagai jaminan di Koperasi Adil Sentosa, berdasarkan Undang-Undang

No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT), pada Pasal 1 terakit

definisi hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas

tanah, berikut benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah

itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan utama

pada keditor tertentu dan kreditor lainnya. Bila dikaitkan dengan kasus
yang telah diuraikan, jaminan pada Koperasi Adil Sentosa seharusnya

dibebankan hak tanggungan. Berdasarkan Pasal 13 UUHT Pemberian hak

tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Pendaftaran hak

tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku-

tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah

yang menjadi objek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada

sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan.

Hal ini berarti seharusnya pada saat persiapan akta, PPAT yang

memeriksa Sertifikat Hak Milik 42/Plamongansari tercatat sedang

dibebankan hak tanggungan. Memperhatikan klausul Akta Jual Beli Pasal

2 yang berbunyi: “Pihak Pertama menjamin, bahwa objek jual beli tersebut

di atas tidak tersangkut dalam suatu sengketa, bebas dari sitaan, tidak

terikat sebagai jaminan untuk sesuatu utang yang tidak tercatat dalam

sertifikat, dan bebas dari beban-beban lainnya yang berupa apapun”,

klausul tidak dapat terpenuhi karena objek jual beli masih dibebankan hak

tanggungan sehingga perbuatan jual beli tidak dapat diikat dengan Akta

Jual Beli melainkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli. Perjanjian Pengikatan

Jual Beli tidak dapat dijadikan sumber data untuk Kantor Pertanahan

mendaftarkan peralihan hak atas tanah tersebut. Namun dalam hal hak

tanggungan tidak tercatat dalam sertifikat maka PPAT tidak salah

menerapkan Akta Jual Beli.


Dalam mempertimbangkan Akta Jual Beli seharusnya memperhatikan

aspek formil dan materil dari perbuatan jual beli tersebut. Aspek formil

yang termuat dalam Akta Jual Beli No. 82/2016 sudah terpenuhi dimana

perbuatan tersebut dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang dan

pembeli dan penjual merupakan pihak yang mempunyai ha katas tanah

yang menjadi objek perjanjian. Namun hakim dirasa kurang

memperhatikan sisi materiil dari perbuatan jual beli yang dilakukan Tn.

Freddy Susanto dan Tn. Herwanto. Secara materiil Akta Jual Beli No.

82/2016 yang dibuat dihadapan PPAT Sri Juni Dharmawati tidak

memenuhi syarat materiil karena tidak ditanda-tangani oleh para ahli waris.

Terkait pertimbangan hakim Pengadilan Tinggi yang menyatakan

menerima uang hasil penjualan tanah warisan sebagai bukti menyetujui

perbuatan jual beli yang dilaksanakan Tn. Freddy Susanto sebagai penjual

dengan Tn. Herwanto sebagai pembeli. Sepanjang tidak ada penolakan ahli

waris, selain Pasal 838 KUHPerdata yang menyatakan syarat patut

mewaris, hak mewaris tersebut tidak dapat digantikan sebagaimana

tercantum dalam Pasal 847 KUHPerdata bahwa tak seorang pun boleh

menggantikan orang yang masih hidup. Berdasarkan hal tersebut maka hak

mewaris ahli waris tidak dapat digantikan, hak atas tanah warisan menjadi

harta bersama para ahli waris sehingga hak tersebut melekat dan tidak

boleh digantikan. Perbuatan menjual tanah warisan secara sepihak oleh Tn.

Freddy Susanto para ahli waris merupakan perbuatan menggantikan hak


para ahli waris lainnya atas tanah warisan tersebut. Syarat cakap dalam

Pasal 1320 KUHPerdata artinya dalam suatu perjanjian yang mengikat para

pihak haruslah pihak yang memiliki hak atas objek perjanjian tersebut.

Dalam hal tanah warisan hak kepemilikannya merupakan hak bersama,

dalam melakukan suatu perbuatan hukum harus mendapatkan persetujuan

dari semua ahli waris, maka perbuatan hukum jual beli ini tidak cakap dan

melanggar syarat subjektif Pasal 1320 KUHPerdata.

Mengutip dari bagian menimbang Putusan No. 561/Pdt/2018/PT Smg,

“bahwa berdasarkan Undang-Undang tentang jabatan Notaris dan Pejabat

Pembuat Akta Tanah (PPAT) yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014

tantang Jabatan Notaris dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998

tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, menyatakan

bahwa pihak Pejabat Pembuat Akta Tanah tidak ada keharusan atau

kewajiban untuk menelusuri sampai jauh tentang kebenaran atau penyebab

dijualnya tanah atau kejadian-kejadian lain, dan kehadiran para pihak di

depan Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam hal ini penjual dan

pembeli serta kelengkapan dan kecocokan surat seperti sertifikat, Kartu

Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga sudah memenuhi syarat secara formil

tentu harus mensyahkan adanya jual beli atas tanah dimaksud”, peneliti

tidak setuju dengan pertimbangan tersebut karena pada dasarnya PPAT

dalam persiapan pembuatan akta sudah diatur sedemikian rupa agar akta

yang dibuat tidak cacat hukum, sehingga pernyataan tersebut seakan-akan


PPAT mempunyai peran pasif padahal PPAT bertanggungjawab atas akta

yang telah dibuatnya.


4.3 Hasil Analisis Pertanggungjawaban Hukum Terhadap Akta Jual Beli Yang

Cacat Hukum Akibat Kelalaian PPAT

Norma hukum Kasus Ketepatan penerapan

hukum

Para Pasal 852a Para penggugat merupakan Penerapan hukum sudah

Penggugat KUHPerdata ahli waris dan anak dari tepat.

pernikahan Alm. Tn. Freddy

Susanto dan Alm. Ny. Dewi

Susanti Setiawan.

Harta waris Pasal 852a Harta waris merupakan harta Penerapan hukum sudah

KUHPerdata bersama berdasarkan hukum tepat, Tanah hak milik

KUHPerdata (Pasal 119) menurut Pasal 20 UUPA

karena perkawinan antara Tn. merupakan hak turun-

Freddy Susanto dengan Ny. temurun. Tanah hak

Dewi Susanti milik dapat diwariskan

berdasarkan pewarisan

Pasal 852a KUHPerdata

Harta Waris berupa tanah

dengan Sertifikat Hak Milik

Nomor 42/Plamongansari.
PPAT PP Nomor 37 Notaris-PPAT Sri Juni Notaris-PPAT tepat

Tahun 1998 Dharmawati berwenang untuk menerapkan hukum

membuat akta otentik berupa terkait kewenangan

PP Nomor 24 akta jual beli, Notaris-PPAT pembuatan akta dalam

Tahun 20 di Semarang membuat akta wilayah kerjanya.

perbuatan hukum atas tanah di

Permen wilayah kerjanya.

ATR/BPN

Nomor 3/1997 PPAT bertugas melaksanakan PPAT melakukan

pendaftaran tanah dengan pendaftaran tanah

membuat akta sebagai bukti namun tidak teliti saat

telah dilakukannya perbuatan persiapan pembuatan

hukum tertentu mengenai hak akta.

atas tanah.

PPAT wajib terlebih dahulu

melakukan pemeriksaan pada

Kantor Pertanahan mengenai

kesesuaian sertipikat hak atas

tanah yang bersangkutan

dengan daftar-daftar yang ada


di Kantor Pertanahan

setempat dengan melihat

setifikat asli.

Akta Jual Pasal 1320 Perbuatan jual beli oleh Tn. Hakim Pengadilan

Beli KUHPerdata Herwanto dan Tn. Freddy Tinggi kurang tepat

Pasal 1470 Susanto yang dituangkan menerapkan hukum

KUHPerdata dalam Akta Jual Beli Nomor yang menyatakan sah

82/2016 dengan tidak akta jual beli tersebut

melibatkan ahli waris lainnya padahal melanggar hak

melanggar hak subjektif para subjektif para ahli waris.

ahli waris. Dengan demikian Adanya ketidakpastian

akibat dari terlanggarnya hukum pada akta otentik

syarat subjektif perjanjian mengakibatkan

pada Pasal 1320 KUHPerdata kekuatan pembuktian

seharusnya akta tersebut dapat akta tersebut

dibatalkan. terdegradasi.

Akta Jual Beli atas tanah Penerapan hukum

warisan tersebut dilakukan kurang tepat, karena

tanpa persetujuan ahli waris perkawinan Tn. Freddy

lainnya namun dilakukan Susanto dan Ny.


dengan persetujuan isteri Tn. Enggawati dilakukan

Freddy Susanto yaitu Ny. berdasarkan UU

Enggawati. Seharusnya dalam Perkawinan. Dalam UU

persiapan pembuatan akta, Perkawinan telah

Notaris-PPAT Sri Juni menganut sistem

Dharmawati memeriksa pembagian harta dalam

perolehan tanah dengan SHM perkawinan yaitu harta

42/Plamongansari diperoleh bersama dan harta

sebelum perkawinan Tn. bawaan.

Freddy Susanto dengan Ny.

Enggawati.

Anda mungkin juga menyukai