Anda di halaman 1dari 9

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Akibat Hukum dilakukannya Hibah Atas Tanah terhadap Hak Usaha Bagi Hasil
yang masih berlangsung

Pengertian dalam Pasal 1666 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan


bahwa Hibah adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyerahkan dengan
cuma-cuma dan secara mutlak memberikan suatu benda pada pihak yang lainnya, pihak
mana menerima pemberian itu. Sebagai suatu perjanjian, pemberian itu seketika
mengikat dan tak dapat dicabut kembali begitu saja menurut kehendak satu pihak.
Adanya klausula tak dapat dicabut kembali, artinya suatu hibah yang telah diberikan
tidak dapat dibatalkan sehingga putusan hakim yang menyatakan batalnya objek hibah
ialah tidak sesuai dengan pengertian sebagaimana di Pasal 1666 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.
Disamping itu jika dilihat dari pembatalan suatu hibah baru dapat dilakukan
apabila dipenuhinya unsur-unsur yang dimaksud dalam Pasal 1688 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, yaitu: 1
1. Pemberian hibah tidak dilakukan sebagaimana disyaratkan, misalnya tidak
diberikan berdasarkan akta otentik, pemberi hibah dalam keadaan sakit ingatan,
sedang mabuk atau usia belum dewasa.
2. Penerima hibah telah bersalah karena melakukan atau membantu melakukan (ikut
serta melakukan) kejahatan yang bertujuan membunuh pemberi hibah.
3. Jika pemberi hibah tidak memberikan tunjangan nafkah yang telah dijanjikan
dalam akta hibah pada saat pemberi hibah jatuh dalam kemiskinan.
Apabila dikaji berdasarkan kasus tersebut maka sesuai unsur pertama yang
tercantum sebagaimana dalam Pasal 1688 Kitab Undang-Undang Perdata. Menurut Pasal
1682 Kitab Undang-Undang Perdata menyatakan bahwa “Tiada suatu penghibahan pun
kecuali termaksud dalam Pasal 1687 dapat dilakukan tanpa akta notaris, yang minut
(naskah aslinya) harus disimpan pada notaris dan bila tidak dilakukan demikian maka
penghibahan itu tidak sah.”

1
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan ke-31, Jakarta: Intermasa, 1985, hlm. 104
Pengecualian hibah tanpa Akta Notaris diatur dalam Ketentuan Pasal 1687
menyatakan bahwa:
“Hadiah dari tangan ke tangan berupa barang bergerak yang berwujud atau
surat piutang yang akan dibayar atas tunduk, tidak memerlukan akta notaris
dan adalah sah bila hadiah demikian diserahkan begitu saja kepada orang
yang diberi hibah sendiri atau kepada orang lain yang menerima hibah itu
untuk diteruskan kepada yang diberi hibah.”

Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1682, penghibahan harus


dilakukan akta notaris, yang minut (naskah aslinya) harus disimpan pada notaris dan bila
tidak dilakukan demikian maka penghibahan itu tidak sah, kecuali hadiah dari tangan ke
tangan berupa barang bergerak yang berwujud atau surat piutang yang akan dibayar atas
tunduk. Didalam pasal tersebut sudah sangat jelas adanya larangan untuk melakukan
perjanjian penghibahan tanpa akta notaris, sehingga penghibahan antara Nenek A kepada
Nenek B adalah sebuah perbuatan melawan hukum.

Suatu perjanjian yang dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, berdasarkan


ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang syarat sah nya
perjanjian pada poin yang keempat yaitu suatu sebab yang tidak terlarang, maka
perjanjian hibah antar Nenek A dan Nenek B tersebut tidak memenuhi syarat sah
perjanjian tersebut sehingga mengakibatkan perjanjian tersebut batal demi hukum. Suatu
kontrak tanpa suatu kausa yang legal merupakan kontrak yang batal demi hukum.2

Batal demi hukum adalah ketika sesuatu menjadi tidak berlaku dan/atau tidak sah
karena menurut hukum memang begitu adanya. 3 Apabila perjanjian batal demi hukum,
artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian, dan dengan demikian tidak
pernah ada suatu perikatan. Dalam hal ini ada beberapa alasan mengapa suatu perjanjian
menjadi batal demi hukum, yaitu :

a) Batal demi hukum karena syarat perjanjian formil tidak terpenuhi. Perjanjian
formil disini maksudnya bukan mengenai perjanjian tersebut didasarkan atas
kesepakatan para pihak, tetapi mengenai oleh Undang-Undang disyaratkan
sebuah formalitas tertentu yang harus dipenuhi agar perjanjian tersebut sah secara
2
Munir Fuady, Hukum Kontrak, Buku Kesatu, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2015, hlm.60
3
Elly Erawati dan Herlien Budiono, Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian, Nasional Legal
Reform Program, Jakarta, 2010, hlm.1
hukum.4 Formalitas terebut misalnya tentang bentuk atau format perjanjian yang
harus dibuat dalam bentuk tertentu, yakni dengan akta otentik. Akta otentik
adalah akta yang dibuat oleh notaris atau pejabat lain yang diberi wewenang
menurut Undang-Undang.
b) Batal demi hukum karena syarat obyektif sahnya perjanjian tidak terpenuhi.
Menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pada poin keempat,
suatu perjanjian dianggap sah secara hukum apabila mengatur suatu hal tertentu
dan suatu sebab yang tidak terlarang, maka apabila syarat obyektif ini tidak
terpenuhi perjanjian tersebut batal demi hukum. Hal ini dipertegas dalam Pasal
1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang memuat “suatu perjanjian
tanpa sebab atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang,
tidak mempunyai kekuatan”. Kemudian pada Pasal 1337 Kitab UndangUndang
Hukum Perdata mengatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila suatu
sebab tersebut dilarang oleh Undang-Undang atau bertentangan dengan
kesusilaan atau ketertiban umum.
c) Batal demi hukum karena dibuat oleh orang yang tidak berwenang melakukan
perbuatan hukum. Mengenai hal ini harus dimengerti bahwa antara
ketidakcakapan seseorang dan ketidakwenangan seseorang untuk melakukan
perbuatan hukum adalah dua hal yang berbeda. Orang yang tidak berwenang
disini artinya adalah orang yang oleh Undang-Undang dilarang melakukan
tindakan hukum tertentu.5
d) Batal demi hukum karena ada syarat batal yang terpenuhi. Syarat batal dalam
sebuah perjanjian disini maksudnya adalah suatu kondisi yang belum tentu terjadi
dimasa depan namun para pihak dalam perjanjian tersebut sepakat bahwa apabila
kondisi tersebut terjadi dikemudian hari maka perjanjian tersebut menjadi batal.6

Menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi


Hasil menyatakan bahwa perjanjian bagi-hasil tidak terputus karena pemindahan hak
milik atas tanah yang bersangkutan kepada orang lain. Semua hak dan kewajiban pemilik
berdasarkan perjanjian bagi-hasil itu beralih kepada pemilik baru.Jika penggarap
meninggal dunia maka perjanjian bagi hasil itu dilanjutkan oleh ahli warisnya, dengan
hak dan kewajiban yang sama.
4
Ibid, hlm.6
5
Ibid, hlm.13
6
Ibid.
Diatur lebih lanjut dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang
Perjanjian Bagi Hasil menyatakan bahwa Pemutusan perjanjian bagi hasil hasil sebelum
berakhirnya jangka waktu perjanjian hanya mungkin dalam hal sebagai berikut :
a. Atas persetujuan kedua belah pihak yang bersangkutan dan setelah mereka
laporkan ke kepala desa.
b. Dengan izin kepala desa atas tuntutan si pemilik, didalam hal penggarap tidak
mengusahakan tanah yang bersangkutan sebagaimana mestinya atau tidak
memenuhi kewajibanya untuk menyerahkan sebagian dari hasil tanah yang telah
ditentukan kepada pemilikatau tidak memenuhi beban-beban yang menjadi
tanggungannya.

Hal ini memberi jaminan bagi penggarap bahwa perjanjian bagi hasil itu akan
berlangsung selama waktu yang telah ditentukan, walaupun tanahnya oleh pemilik telah
dipindahkan ketangan orang lain. Namun bagi pemilik baru ada kemungkinan untuk
meminta diputuskannya perjanjian tersebut, tetapi terbatas pada hal-hal dan menurut
ketentuan-ketentuan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang
Perjanjian Bagi Hasil tersebut.

Apabila pemilik meninggal dunia diperlukan pembaharuan perjanjian dengan


pemiliknya yang baru, yang tergantung pada kesediaan pemilik yang baru itu. Ahli waris
penggarap yang akan melanjutkan perjanjian bagi hasil dengan hak dan kewajiban yang
sama harus memenuhi pula syarat-syarat penggarap.

Dalam kasus tersebut mengenai hibah tersebut tidak disertai dengak akta notaris.
Yang mana objeknya merupakan hak milik atas tanah yang dilekatkan hak usaha bagi
hasil. Sehingga apabila mengacu pada pasal 1682 juncto Pasal 1666 juncto Pasal 1320
Kitab Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hibah tersebut tidak sah dan batal demi
hukum. Serta Hak atas tanah yang dilekatkan suatu Perjanjian bagi hasil tidak terputus
karena pemindahan hak milik atas tanah yang bersangkutan kepada orang lain. Semua hak
dan kewajiban pemilik berdasarkan perjanjian bagi hasil itu beralih kepada pemilik baru.
Dan jika penggarap meninggal dunia, maka perjanjian bagi hasil itu beralih kepada ahli
warisnya, dengan hak dan kewajiban yang sama.

B. Keberlangsungan Perjanjian Bagi Hasil Apabila Salah satu pihak Meninggal Dunia
Perjanjian merupakan suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan
diri terhadap satu orang lain atau lebih, hal ini sebagaimana dalam Pasal 1313 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Menurut J. Satrio dalam buku,
perikatan (yang dilahirkan melalui perjanjian ini) dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu:7
1. Untuk memberikan sesuatu;
2. Untuk melakukan/berbuat sesuatu;
3. Untuk tidak melakukan sesuatu.
Hak usaha bagi hasil tidak akan hapus dengan berpindahnya hak milik atas tanah
yang bersangkutan kepada pihak lain. Dalam hal ini, hak- hak dan kewajiban pemilik
lama beralih kepada pemilik yang baru. Dan apabila penggarap meninggal dunia maka
perjanjian bagi hasil itu dilanjutkan oleh ahli warisnya, dengan hak dan kewajiban yang
sama. Dalam hal pemilik yang meninggal, diperlukan pembaruan perjanjian dengan
pemilik yang baru, hal mana akan tergantung pada kesediaan pemilik baru. Ketentuan ini
terdapat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok
Dasar Agrari beserta penjelasanya. Ketentuan ini kurang memberi jaminan bagi
penggarap, karena sewaktu-waktu hak penggarap untuk menggarap tanah hilang, akibat
meninggalnya pemilik tanah, bila pemilik tanah yang baru tidak bersedia melanjutkan
perjanjian bagi hasil.
Meskipun begitu ketentuan dalam pasal ini memberi jaminan bagi penggarap,
bahwa perjanjian bagi hasil itu akan tetap berlangsung selama waktu yang telah
ditentukan, meskipun tanahnya oleh pemilik telah dipindahkan ke tangan lain. Karena
pemutusan perjanjian oleh pemilik baru sebelum jangka waktu berakhir hanya
dimungkinkan dalam hal-hal seperti yang disebutkan dalam Pasal 6 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil, yaitu:

1) Atas persetujuan kedua belah pihak yang bersangkutan setelah mereka


laporkan kepada kepala desa.

2) Atas ijin kepala desa setempat atas tuntutan pihak pemilik tanah. Jadi pemilik
tanah menuntut pemutusan perjanjian bagi hasil, jika ternyata
kepentingannya merasa dirugikan oleh penggarap, yaitu dalam hal:

a) Penggarap tanah tidak mengusahakan tanah garapan dengan


sebagaimana mestinya.

7
J. Satrio, Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya, Bandung: Alumni, 1993, hlm. 50
b) Penggarap tidak memenuhi kewajibannya untuk menyerahkan sebagian
hasil dari tanah yang telah disepakati bersama kepada pemilik.

c) Penggarap tidak memenuhi beban-beban yang menjadi tanggungannya,


yang telah disetujui dalam surat perjanjian.

d) Penggarap tanpa ijin pemilik tanah, mengalihkan pengusahaan tanah


kepada pihak lain. Namun lain halnya bila penggarap meninggal dunia,
kewajiban penggarap tanah bisa beralih kepada ahli warisnya, Karena
hal ini merupakan jaminan khusus bagi penggarap (Pasal 6 ayat (1)
huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi
Hasil).

Kepala desa memberi ijin pemutusan perjanjian bagi hasil dengan


mempertimbangkan kepentingan masing-masing pihak, bila usahanya untuk
mendamaikan mereka memenuhi jalan buntu, terhadap keputusan kepala desa ada
kemungkinan banding pada instansi yang lebih tinggi, yaitu camat. Hal ini ditempuh
apabila pihak penggarap dan pihak pemilik tanah tidak puas dengan keputusan yang
diberikan oleh kepala desa. Dalam memberikan keputusannya Camat akan dibantu oleh
suatu badan pertimbangan, yang akan memberikan pertimbanganya kepada Camat, baik
atas permintaan camat maupun inisiatif sendiri. Pemberian keputusan oleh dua instansi
setempat tersebut kiranya yang sebaik-baiknya bagi kepentingan kedua belah pihak.
Karena itu tidak perlu lagi campur tangan badan-badan pengadilan. Keputusan Camat ini
wajib disampaikan kepada Bupati agar dapat diselenggarakan pengawasan yang sebaik-
baiknya.
Namun, apabila penggarap melaksanakan kewajiban-kewajibannya dengan baik,
maka perjanjian bagi hasil itu akan berakhir setelah jangka waktu yang ditetapkan habis.
Bisa juga perjanjian bagi hasil hapus karena tanah yang diusahakan itu musnah dimana
dengan sendirinya hak usaha bagi hasil juga ikut hapus. Kemudian Pasal 5 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil, disebutkan tentang
pemindahan hak milik tanah dalam perjanjian bagi hasil, yaitu :

1. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 6, maka


perjanjian bagi hasil tidak terputus karena pemindahan hak milik atas tanah
yang bersangkutan kepada orang lain.
2. Didalam hal termaksud dalam ayat 1 diatas semua hak dan kewajiban pemilik
berdasarkan perjanjian bagi-hasil itu beralih kepada pemilik baru.

3. Jika penggarap meninggal dunia maka perjanjian bagi hasil itu dilanjutkan
oleh ahli warisnya, dengan hak dan kewajiban yang sama.

Melihat Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi


Hasil tersebut, dapat disebut sebagai hal yang tepat, karena sudah mengantisipasi terkait
adanya orang yang dirugikan baik karena hak tanahnya dijual kepada orang lain, ataupun
pemiliknya meninggal dunia ataupun penggarapnya meninggal dunia. Sehingga,
perjanjian bagi hasil tetap diteruskan dan dilanjutkan oleh ahli waris ataupun yang
memperolehkan secara sah hak atas tanah tersebut.
Jika mengacu pada penjabaran di atas, maka berkaitan dengan keberlangsungan
perjanjian bagi hasil apabila salah satu pihak meninggal dunia dalam Kasus pada Perkara
Nomor 81 PK/Pdt/2003, maka perjanjian bagi hasil atas tanah yang digarap oleh LK
Tu'ba bin Sahu tersebut tetap berlangsung dan digarap walaupun LK Tu’ba bin Sahu
sudah meninggal dunia penggarapan tersebut tetap dilanjutkan oleh ahli warisnya yaitu
Rahim bin Tu’ba dengan hak dan kewajiban yang sama.
BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan pada BAB IV, terkait akibat hukum dilakukannya hibah
atas tanah terhadap hak usaha bagi hasil yang masih berlangsung dan keberlangsungan
perjanjian bagi hasil apabila salah satu pihak meninggal dunia, dapat disimpulkan hal-hal
sebagai berikut:

1. Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1682, penghibahan


harus dilakukan akta notaris, yang minut (naskah aslinya) harus disimpan
pada notaris dan bila tidak dilakukan demikian maka penghibahan itu tidak
sah. Didalam pasal tersebut sudah sangat jelas adanya larangan untuk
melakukan perjanjian penghibahan tanpa akta notaris, sehingga penghibahan
antara Nenek A kepada Nenek B adalah sebuah perbuatan melawan hukum.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
tentang syarat sah nya perjanjian pada poin yang keempat yaitu suatu sebab
yang tidak terlarang, maka perjanjian hibah antar Nenek A dan Nenek B
tersebut tidak memenuhi syarat sah perjanjian tersebut sehingga
mengakibatkan perjanjian tersebut batal demi hukum. Serta Hak atas tanah
yang dilekatkan suatu Perjanjian bagi hasil tidak terputus karena pemindahan
hak milik atas tanah yang bersangkutan kepada orang lain.
2. Tidak sahnya hibah tidak mempengaruhi keberlangsungan perjanjian bagi
hasil atas penggarapan tanah yang ada di atas tanah tersebut. Perjanjian bagi
hasil tetap berlangsung walaupun pihak penggarap pertama kali sudah
meninggal dunia dalam hal ini perjanjian tersebut dilanjutkan oleh ahli
warisnya, hal ini sebagaimana Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960
tentang Perjanjian Bagi Hasil.
SARAN

1. Dalam mengadakan perjanjian hibah, para pihak serta masyarakat lainnya harus
mengerti pengaturan-pengaturan serta akibat-akibat hukum yang dapat muncul dari
perjanjian hibah tersebut. Serta perlunya edukasi hak usaha bagi hasil kepada
masyarakat agar. Hal ini agar mencegah terjadinya konflik hukum dikemudian hari.
2. Alangkah lebih baiknya dalam pelaksanaan sebuah perjanjian baik itu perjanjian
biasa maupun perjanjian bagi hasil, para pihak memikirkan dan mencantumkan
mengenai bagaimana pengurusan selanjutnya jika salah satu pihak meninggal dunia.

Anda mungkin juga menyukai