PEMBAHASAN
A. Akibat Hukum dilakukannya Hibah Atas Tanah terhadap Hak Usaha Bagi Hasil
yang masih berlangsung
1
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan ke-31, Jakarta: Intermasa, 1985, hlm. 104
Pengecualian hibah tanpa Akta Notaris diatur dalam Ketentuan Pasal 1687
menyatakan bahwa:
“Hadiah dari tangan ke tangan berupa barang bergerak yang berwujud atau
surat piutang yang akan dibayar atas tunduk, tidak memerlukan akta notaris
dan adalah sah bila hadiah demikian diserahkan begitu saja kepada orang
yang diberi hibah sendiri atau kepada orang lain yang menerima hibah itu
untuk diteruskan kepada yang diberi hibah.”
Batal demi hukum adalah ketika sesuatu menjadi tidak berlaku dan/atau tidak sah
karena menurut hukum memang begitu adanya. 3 Apabila perjanjian batal demi hukum,
artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian, dan dengan demikian tidak
pernah ada suatu perikatan. Dalam hal ini ada beberapa alasan mengapa suatu perjanjian
menjadi batal demi hukum, yaitu :
a) Batal demi hukum karena syarat perjanjian formil tidak terpenuhi. Perjanjian
formil disini maksudnya bukan mengenai perjanjian tersebut didasarkan atas
kesepakatan para pihak, tetapi mengenai oleh Undang-Undang disyaratkan
sebuah formalitas tertentu yang harus dipenuhi agar perjanjian tersebut sah secara
2
Munir Fuady, Hukum Kontrak, Buku Kesatu, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2015, hlm.60
3
Elly Erawati dan Herlien Budiono, Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian, Nasional Legal
Reform Program, Jakarta, 2010, hlm.1
hukum.4 Formalitas terebut misalnya tentang bentuk atau format perjanjian yang
harus dibuat dalam bentuk tertentu, yakni dengan akta otentik. Akta otentik
adalah akta yang dibuat oleh notaris atau pejabat lain yang diberi wewenang
menurut Undang-Undang.
b) Batal demi hukum karena syarat obyektif sahnya perjanjian tidak terpenuhi.
Menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pada poin keempat,
suatu perjanjian dianggap sah secara hukum apabila mengatur suatu hal tertentu
dan suatu sebab yang tidak terlarang, maka apabila syarat obyektif ini tidak
terpenuhi perjanjian tersebut batal demi hukum. Hal ini dipertegas dalam Pasal
1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang memuat “suatu perjanjian
tanpa sebab atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang,
tidak mempunyai kekuatan”. Kemudian pada Pasal 1337 Kitab UndangUndang
Hukum Perdata mengatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila suatu
sebab tersebut dilarang oleh Undang-Undang atau bertentangan dengan
kesusilaan atau ketertiban umum.
c) Batal demi hukum karena dibuat oleh orang yang tidak berwenang melakukan
perbuatan hukum. Mengenai hal ini harus dimengerti bahwa antara
ketidakcakapan seseorang dan ketidakwenangan seseorang untuk melakukan
perbuatan hukum adalah dua hal yang berbeda. Orang yang tidak berwenang
disini artinya adalah orang yang oleh Undang-Undang dilarang melakukan
tindakan hukum tertentu.5
d) Batal demi hukum karena ada syarat batal yang terpenuhi. Syarat batal dalam
sebuah perjanjian disini maksudnya adalah suatu kondisi yang belum tentu terjadi
dimasa depan namun para pihak dalam perjanjian tersebut sepakat bahwa apabila
kondisi tersebut terjadi dikemudian hari maka perjanjian tersebut menjadi batal.6
Hal ini memberi jaminan bagi penggarap bahwa perjanjian bagi hasil itu akan
berlangsung selama waktu yang telah ditentukan, walaupun tanahnya oleh pemilik telah
dipindahkan ketangan orang lain. Namun bagi pemilik baru ada kemungkinan untuk
meminta diputuskannya perjanjian tersebut, tetapi terbatas pada hal-hal dan menurut
ketentuan-ketentuan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang
Perjanjian Bagi Hasil tersebut.
Dalam kasus tersebut mengenai hibah tersebut tidak disertai dengak akta notaris.
Yang mana objeknya merupakan hak milik atas tanah yang dilekatkan hak usaha bagi
hasil. Sehingga apabila mengacu pada pasal 1682 juncto Pasal 1666 juncto Pasal 1320
Kitab Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hibah tersebut tidak sah dan batal demi
hukum. Serta Hak atas tanah yang dilekatkan suatu Perjanjian bagi hasil tidak terputus
karena pemindahan hak milik atas tanah yang bersangkutan kepada orang lain. Semua hak
dan kewajiban pemilik berdasarkan perjanjian bagi hasil itu beralih kepada pemilik baru.
Dan jika penggarap meninggal dunia, maka perjanjian bagi hasil itu beralih kepada ahli
warisnya, dengan hak dan kewajiban yang sama.
B. Keberlangsungan Perjanjian Bagi Hasil Apabila Salah satu pihak Meninggal Dunia
Perjanjian merupakan suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan
diri terhadap satu orang lain atau lebih, hal ini sebagaimana dalam Pasal 1313 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Menurut J. Satrio dalam buku,
perikatan (yang dilahirkan melalui perjanjian ini) dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu:7
1. Untuk memberikan sesuatu;
2. Untuk melakukan/berbuat sesuatu;
3. Untuk tidak melakukan sesuatu.
Hak usaha bagi hasil tidak akan hapus dengan berpindahnya hak milik atas tanah
yang bersangkutan kepada pihak lain. Dalam hal ini, hak- hak dan kewajiban pemilik
lama beralih kepada pemilik yang baru. Dan apabila penggarap meninggal dunia maka
perjanjian bagi hasil itu dilanjutkan oleh ahli warisnya, dengan hak dan kewajiban yang
sama. Dalam hal pemilik yang meninggal, diperlukan pembaruan perjanjian dengan
pemilik yang baru, hal mana akan tergantung pada kesediaan pemilik baru. Ketentuan ini
terdapat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok
Dasar Agrari beserta penjelasanya. Ketentuan ini kurang memberi jaminan bagi
penggarap, karena sewaktu-waktu hak penggarap untuk menggarap tanah hilang, akibat
meninggalnya pemilik tanah, bila pemilik tanah yang baru tidak bersedia melanjutkan
perjanjian bagi hasil.
Meskipun begitu ketentuan dalam pasal ini memberi jaminan bagi penggarap,
bahwa perjanjian bagi hasil itu akan tetap berlangsung selama waktu yang telah
ditentukan, meskipun tanahnya oleh pemilik telah dipindahkan ke tangan lain. Karena
pemutusan perjanjian oleh pemilik baru sebelum jangka waktu berakhir hanya
dimungkinkan dalam hal-hal seperti yang disebutkan dalam Pasal 6 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil, yaitu:
2) Atas ijin kepala desa setempat atas tuntutan pihak pemilik tanah. Jadi pemilik
tanah menuntut pemutusan perjanjian bagi hasil, jika ternyata
kepentingannya merasa dirugikan oleh penggarap, yaitu dalam hal:
7
J. Satrio, Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya, Bandung: Alumni, 1993, hlm. 50
b) Penggarap tidak memenuhi kewajibannya untuk menyerahkan sebagian
hasil dari tanah yang telah disepakati bersama kepada pemilik.
3. Jika penggarap meninggal dunia maka perjanjian bagi hasil itu dilanjutkan
oleh ahli warisnya, dengan hak dan kewajiban yang sama.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan pada BAB IV, terkait akibat hukum dilakukannya hibah
atas tanah terhadap hak usaha bagi hasil yang masih berlangsung dan keberlangsungan
perjanjian bagi hasil apabila salah satu pihak meninggal dunia, dapat disimpulkan hal-hal
sebagai berikut:
1. Dalam mengadakan perjanjian hibah, para pihak serta masyarakat lainnya harus
mengerti pengaturan-pengaturan serta akibat-akibat hukum yang dapat muncul dari
perjanjian hibah tersebut. Serta perlunya edukasi hak usaha bagi hasil kepada
masyarakat agar. Hal ini agar mencegah terjadinya konflik hukum dikemudian hari.
2. Alangkah lebih baiknya dalam pelaksanaan sebuah perjanjian baik itu perjanjian
biasa maupun perjanjian bagi hasil, para pihak memikirkan dan mencantumkan
mengenai bagaimana pengurusan selanjutnya jika salah satu pihak meninggal dunia.