Anda di halaman 1dari 7

Tugas Asas-Asas Hukum Dagang

Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

Oleh:

Kadek Denny Baskara Adiputra

1506676563

Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Depok, 2017
Syarat Sahnya suatu Perjanjian

Manusia sebagai mahluk sosial pada hakekatnya tidak bisa hidup sendiri; segala kebutuhan
manusia terpenuhi dengan adanya hubungan dengan manusia lainnya berdasarkan suatu perjanjian.
Hubungan tersebut terbentuk dengan kerjasama antar individu, dimana salah satu pihak
menawarkan suatu barang atau jasa dan pihak lainnya memberikan kontraprestasi yang pada
umumnya berupa pembayaran. Jika definisi perjanjian ditinjau dari Pasal 1313 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPer) maka:

Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih.

Hubungan antar dua pihak ini disebut sebagai perikatan. Dasar dari perikatan tersebut merupakan
perjanjian yakni ketika berbentuk suatu rangkaian kata-kata yang mengandung janji maupun
kesanggupan yang tertulis maupun tidak tertulis.1 Oleh sebab itu, perjanjian melahirkan perikatan
dan menjadi salah satu sumber utama dari suatu perikatan.

Jika hukum perjanjian dibandingkan dengan hukum benda, maka hukum perjanjian memiliki
sistem yang terbuka. Sistem terbuka disini dimaksudkan agar pihak-pihak yang terlibat dalam
perjanjian tersebut memiliki hak untuk seluas-luasnya mengadakan perjanjian selama tidak
melanggar undang-undang dan kesusilaan. Dalam hukum perjanjian pun, ketentuannya tidak
exhaustive seperti hukum benda yang memberi batasan-batasan yang rigid. Batasan-batasan yang
terdapat dalam pasal-pasal hukum perjanjian merupakan suatu optional law dan masyarakat boleh
memilih untuk mengesampingkan hukum tersebut untuk memperluas cangkupan perjanjiannya.
Sehingga, pasal-pasal dalam hukum perjanjian bersifat sebagai pelengkap saja, terlebih lagi jika
dalam suatu perjanjian biasanya para pihak tidak mengaturnya secara rinci, namun pokok-
pokoknya saja.2

Meskipun hukum perjanjian memiliki sistem terbuka, bukan berarti seseorang bebas mengadakan
suatu perjanjian. Terdapat beberapa hal yang sangat penting untuk diperhatikan untuk memastikan
keabsahan suatu perjanjian. Hal ini disebut sebagai syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur

1
Aneka Perjanjian, Subekti, Hal.1
2
Ibid., Hal.13
dalam Pasal 1320 KUHPer yang kemudian diperjelas dari pasal 1321-1337 KUHPer. Adapun
bunyi pasal 1320 tersebut adalah sebagai berikut:

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;


2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal

Dalam doktrin ilmu hukum, syarat pertama dan kedua disebut sebagai unsur subjektif dari sebuah
perjanjian karena mengacu kepada subjek atau pihak yang terlibat dalam perjanjian, sedangkan
unsur ketiga dan keempat merupakan unsur objektif karena mengatur mengenai objek yang
diperjanjikan.3 Keempat unsur dalam sahnya suatu perjanjian bersifat kumulatif, yakni jika salah
satu saja tidak terpenuhi maka akan menyebabkan perjanjian dapat dibatalkan (jika unsur subjektif
tidak terpenuhi) dan batal demi hukum (jika unsur objektif tidak terpenuhi). Tentu implikasi dari
tidak terpenuhinya unsur subjektif atau objektif akan berbeda. Untuk memahami unsurnya lebih
lanjut maka unsur tersebut akan diuraikan satu per satu.

Unsur pertama yakni sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengacu pada asas
konsensualitas dalam hukum perjanjian dimana jika pihak yang terlibat dalam perjanjian sudah
mengikatkan dirinya ketika sepakat meskipun hanya secara lisan maka perjanjian sudah dianggap
telah terjadi dan tidak membutuhkan formalitas.4 Selanjutnya, unsur tersebut dijelaskan lebih
lanjut dalam Pasal 1321 KUHPer yakni tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan
karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Sepakat yang dimaksud
disini adalah dimana kedua belah pihak telah sekata, setuju, dan memang memiliki kehendak yang
sama dalam suatu perjanjian tanpa paksaan.5 Kesepakatan disini harus diawali dengan sebuah
penawaran yang diajukan oleh salah satu pihak. Setelah itu, pihak lain menanggapi penawaran
tersebut dengan memberikan tanggapannya; jika setuju maka akan terjadi kesepakatan namun jika
tidak setuju dapat memberikan counter-offer. Proses ini akan terus berlanjut hingga akhirnya

3
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang lahir dari perjanjian, hal.93
4
Ibid., hal 35
5
Subekti, Aneka Perjanjian, op.cit., hlm. 17
tercapai persetujuan yang menjadi kesepakatan.6 Perlu diketahui bahwa selama terjadinya proses
tawar-menawar hingga kesepakatan maka tidak boleh dilakukan dengan paksaan, penipuan atau
dalam kekhilafan. Pengertian dari paksaan dapat kita jumpai pada pasal 1324 KUHPer yang berisi
paksaan telah terjadi, apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seseorang
yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut
bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata.
Berdasarkan definisi tersebut, maka contoh yang tepat untuk menggambarkannya adalah ketika
seseorang (Si A) hendak membeli rumah dari pemilik rumah (Si B). Namun, dalam proses tawar-
menawar untuk mendapatkan harga yang murah, Si A mengancam akan membunuh keluarga Si B
jika tidak menyutujui transaksi tersebut. Akibat ketakutakan, akhirnya Si B setuju untuk menjual
rumahnya dibawah harga pasaran. Dalam skenario seperti ini maka jelas terlihat bahwa Si B
dihadapkan pada ketakutan akibat ancaman yang terang dan nyata terhadap keluarganya sehingga
ia bertindak in a way he would not have jika ia tidak dipaksa. Paksaan ini juga harus didasari
atas sesuatu yang dilarang oleh undang-undang, sehingga jika paksaan dilakukan dengan ancaman
akan menggugat di depan hakim dengan penyitaan barang, maka itu bukan merupakan suatu
pemaksaan.7 Dalam keadaan dimana suatu perjanjian terdapat kekhilafan maka hal tersebut bukan
merupakan alasan untuk membatalkan perjanjian. Namun pasal 1322 menyebutkan bahwa ada dua
alasan yang dapat menyebabkan batalnya perjanjian karena kekhilafan yakni: 1) hakikat
kebendaan yang menjadi inti dari perjanjian tidak sesuai dengan yang dijanjikan; 2) perjanjian
hanya dibuat untuk seseorang secara spesifik.8 Kemudian, mengenai penipuan disebutkan dalam
pasal 1328 yang menjelaskan penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian,
apabila tipu-muslihat, yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang
dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu-
muslihat tersebut. Penipuan disini dimaksudkan dimana seseorang yang sepakat terhadap suatu
perjanjian sebenarnya secara terang dan nyata tidak akan sepakat jika penipuan tersebut tidak
dilakukan.

Unsur subjektif kedua yang harus dipenuhi agar suatu perjanjian sah adalah kecakapan pihak yang
terlibat dalam perjanjian tersebut. Pasal 1330 KUHPer memberikan parameter yang jelas

6
Kartini, Op.cit., hlm. 96
7
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2003), Hlm. 135
8
Kartini, Op.cit., hlm. 105
mengenai pihak-pihak yang tidak cakap dalam membuat suatu perjanjian, yakni: 1) orang-orang
yang belum dewasa; 2) mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; 3) orang-orang perempuan,
dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa
undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Usia dewasa memang berbeda-beda dalam berbagai peraturan perundang-undangan, namun dalam
Burgelijk Wetboek ditentukan dalam pasal 330 yakni belum dewasa adalah mereka yang belum
mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin. Oleh sebab itu,
pihak-pihak yang belum kawin atau belum berumur dua puluh satu tahun dianggap belum dewasa
dan tidak cakap untuk melakukan perjanjian. Akibatnya adalah perjanjian yang terjadi dapat
dibatalkan. Contohnya adalah ketika seorang anak membuat perjanjian jual-beli dengan pihak
yang cakap maka anak tersebut sebagai pihak yang tidak cakap berhak menuntut pembatalan
perikatan-perikatan yang telah mereka perbuat berdasarakan pasal 1331 KUHPer. Sedangkan,
seseorang yang berada dibawah pengampuan dianggap secara mental tidak sanggup
bertanggungjawab atas suatu perikatan sehingga statusnya dipersamakan dengan seorang anak
yang belum dewasa dan membutuhkan pengampu atau kurator.9 Kemudian mengenai seorang
perempuan yang tidak cakap merujuk pada perempuan yang memiliki suami dimana perempuan
tersebut memerlukan izin yakni kuasa tertulis untuk melakukan suatu perikatan, keadaan ini
dikenal sebagai maritale macht.10 Namun, keadaan ini sudah tidak berlaku lagi sejak adanya surat
edaran Mahkamah Agung No.3 tahun 1963 yang mencabutnya.11

Selanjutnya unsur yang harus dipenuhi adalah suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu.
Unsur ini merupakan unsur ketiga dari sahnya perjanjian dan merupakan salah satu unsur objektif.
Unsur ini diuraikan lebih lanjut dalam pasal 1333 yakni suatu perjanjian harus mempunyai
sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Maksudnya adalah,
setidaknya suatu hal dalam perjanjian sudah harus ditentukan, namun quantitas dari hal tersebut
tidak diperlukan selama masih dapat dihitung atau ditetapkan di kemudian hari. Unsur ini menjadi
penting dalam sebuah perikatan untuk memberikan kepastian kepada pihak-pihak yang terlibat
dalam perikatan tersebut. Contohnya adalah dalam perjanjian jual-beli maka hal yang diperjual-
belikan sudah harus jelas dan ditentukan sehingga tidak akan ada keraguan; seperti halnya membeli

9
Subekti, Aneka Perjanjian, op.cit., hlm. 18
10
Ibid.
11
Ibid., hlm.19
motor, kita harus mengetahui spesifikasi dari mesinnya, keadaannya, dan lain sebagainya.12 Selain
itu, alasan mengapa unsur ini menjadi penting adalah ketika di kemudian hari terdapat
permasalahan mengenai perjanjian tersebut. Hak-hak dan kewajiban dari masing-masing pihak
harus jelas karena jika suatu perselisihan terjadi sehingga nanti penuntutan dan penyelesaian
masalahnya menjadi lebih mudah.13 Barang-barang yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian
ditentukan dalam pasal 1332 dan 1334. Pasal 1332 menjelaskan bahwa hanya barang-barang yang
dapat diperdagangkan yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Sedangkan pasal 1334
mengatur mengenai barang yang baru akan ada di kemudian hari yang dapat menjadi pokok suatu
perjanjian.

Unsur terakhir yang juga merupakan unsur objektif adalah sebab yang halal. Dalam konsep
kebebasan berkontrak, tidak dipermasalahkan kehendak dari pihak yang terlibat dalam suatu
perikatan dalam undang-undang. Sebab yang halal disini bukan tujuan dari seseorang untuk
melakukan perikatan tersebut seperti halnya menjual mobil untuk membayar hutang. Namun, yang
dipermasalahkan merupakan isi dari perjanjian tersebut. Sehingga, meskipun seseorang membeli
pisau dengan tujuan untuk membunuh orang maka itu tetap merupakan causa yang halal karena
pada dasarnya merupakan perjanjian jual-beli, yang menjadi permasalahan adalah jika dalam
perjanjian jual-beli penjual hanya akan menjual pisaunya jika digunakan untuk membunuh
seseorang.14 Kemudian, suatu perjanjian dianggap tetap sah meskipun memiliki sebab lain yang
diatur dalam pasal 1336 yakni jika tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang
halal, ataupun jika ada suatu sebab lain, daripada yang dinyatakan perjanjiannnya namun demikian
adalah sah. Namun, keadaan dimana suatu perjanjian berdasarkan pasal 1335 tidak memiliki
kekuatan adalah jika perjanjian tersebut tidak memiliki sebab, atau karena sebab yang palsu atau
terlarang. Konsep dari terlarang ini dijelaskan secara jelas dalam pasal 1337 dimana suatu sebab
adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan
baik atau ketertiban umum. Sehingga, dapat disimpulan bahwa undang-undang tidak
mempersoalkan apa yang menjadi motivasi dalam sebuah perjanjian, namun yang
dipermasalahkan adalah apakah prestasinya dilarang oleh hukum.15

12
Kartini, Op.cit., hlm. 156
13
Subekti, Hukum Perjanjian, Op.cit., hlm. 18
14
Ibid., hlm. 19
15
Kartini, Op.cit., hlm. 163
Daftar Pustaka

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2003.

Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 2005.

Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 2003.

Anda mungkin juga menyukai