Anda di halaman 1dari 6

CONTOH KASUS HUKUM PERDATA

INTERNASIONAL

1. Kasus Pertama: IPB dan Amerika serikat pada April 2017


IPB melakukan perjanjian untuk mengirim 800 kera ke Amerika, Kera tersebut hanya
akan diambil anaknya saja dan induknya akan dikembalikan ke Indonesia. Harga perekor
disepakati sebesar 80 (delapan puluh) juta rupiah dan pihak amerika serikat hanya
membutuhkan anaknya saja dan dalam perjanjian Kera tersebut harus beranak di Amerika
serikat. Ketika posisi pesawat masih di Swiss, seekor monyet stress dan terlepas lalu
melahirkan anaknya. Karena induknya telah dilumpuhkan dan mati, maka dokter hewan IPB
menyuntik mati anak monyet tersebut karena pertimbangan rasa kasihan. Namun, Amerika
serikat menuntut IPB atas dasar perlindungan satwa dan dianggap tak memenuhi prestasi
dengan sempurna serta membunuh seekor anak monyet. Di Amerika Serikat, Kera
merupakan satwa yang harus mendapat perlindungan.

Forum yang berwenang


 Pengadilan mana yang berwenang mengadili kasus ini? Yaitu pengadilan bogor
karena sesuai dengan prinsip actor sequitor forum rei yaitu gugatan diajukan ke
pengadilan, tempat dimana tergugat bertempat tinggal. Karena tergugat (IPB)
bertenpat tinggal di Bogor, maka forum yang berwenang harus di tempat tinggal
tergugat.
 Titik taut primer adalah factor-faktor/keadaan yang menciptakan hubungan HPI
dalam kasus ini yang merupakan titik taut primer harus dilihat/ditinjau dari
pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa ini. Menurut pandangan PN
bogor perkara ini adalah perkara HPI karena ada unsure asingnya yaitu pihak
penggugat berkewarganegaraan Amerika.

Identifikasi kasus
Kasus ini termasuk kualifikasi hukum perjanjian dan perbuatan melawan hukum.
 Kualifikasi hukum perjanjian karena mengenai wanprestasi dari pihak IPB (jumlah
kera yang dikirim menjadi berkurang satu adalah yang seharusnya 800 ekor kera.)
 Kualifikasi perbuatan melawan hukum, karena pihak IPB menyuntik anak monyet
sampai mati, kera menurut amerika serikat merupakan satwa yang harus/mendpat
perlindungan. Sehingga perbuatan IPB menyuntik mati anak kera diklasifikasikan
sebagai perbuatan melawan hukum.

Factor-faktor yang menentukan hukummana yang harus diberlakukan


Dalam kasus ini, klasifikasi perjanjian karena dalam perjanjian yang dibuat oleh IPB
dengan amerika serikat tidak ada pilihan hokum maupun pilihan forum, maka yang menjadi
titik taut sekundernya bisa ada beberapa antara lain:
1. Lex loci contractus
2. Lex loci solusionis
3. The proper law of the contract , Digunakan untuk mengedepankan apa yang dinamakan
“intention of the parties” hukum yang ingin diberlakukan untuk perjanjian tersebut karena
dikehendaki oleh para pihak yang bersangkutan. Hukum yang dikehendaki itu bisa
dinyatakan secara tegas yaitu dicantumkan dalam perjanjian, bisa pula tidak dinyatakan
secara tegas apabila ditegaskan keinginan para pihak,maka hukum yang diberlakukan
adalah yang ditegaskan. Apabila tidak ditegaskan, maka harus disimpulkan oleh
pengadilan dengan melihat pada isi perjanjian, bentuknya unsure-unsur perjanjian
maupun peristiwa-peristiwa disekelilingnya yang relevan dengan perjanjian tersebut.
4. The most characteristic connection adalah untuk menentukan hokum mana yang berlaku
adalah hokum dari Negara dengan mana kontrak bersangkutan mempunyai prestasi yang
paling kuat

LEX CAUSE
Hukum yang dipakai untuk menyelesaikan perkara
1. Apabila perjanjian dibuat di Indonesia maka berdasarkan lex loci contractus, maka hokum
Indonesia yang dipakai. Tetapi kalau perjanjian dibuat di Amerika serikat, maka hokum
amerika serikat yang dipakai.
2. Berdasarkan lex loci solusionis. Apabila isi perjanjian dilaksanakan di Indonesia, maka
hokum Indonesia yang dipakai, apabila isi perjanjian dilaksanakan di Amerika
serikat,maka hokum AS yang dipakai.
3. Berdasarkan the most characteristic connection, aka hokum yang berlaku adalah Hukum
Indonesia karena yang melakukan prestasi paling kuat/paling dominan adalah IPB sebagai
penjual kera, karena IPB yang harus menyerahkan kera,merawat dan menjaga kera
dengan baik sampai nanti kera diserahkan kepada pihak amerika serikat.

2. Kasus Ketertiban Umum, E.D. &F. Man Sugar Ltd v. Yani


Haryanto
Pertama, Mahkamah Agung untuk pertama kalinya memberikan eksekutur terhadap
putusan arbitrase asing sejak MA mengeluarkan PERMA 1/1990. Kedua, dalam waktu yang
tidak terlalu lama penetapan MA tentang pemberian eksekuatur itu kemudian dibatalkan
sendiri melalui putusan kasasi. Kasus ini dikenal dengan sebutan “Kasus Gula” karena objek
sengketa tersebut memang mengenai jual beli gula.Selengkapnya rangkaian perjalanan
permohonan eksekusi putusan arbitrase London dalam perkara antara E.D. & F.MAN
(SUGAR) Ltd melawan Yani Haryanto, dapat disimak berikut ini.
Pada tahun 1982 pengusaha Indonesia Yani Haryanto bertindak sebagai pembeli
mengadakan perjanjian jual beli gula denganeksportir Inggris E.D. & F, Man Sugar Ltd.
Sugar quay London, sebagai penjual. Perjanjian tersebut dituangkan dalam dua bentuk
kontrak dagang, yaitu:
1) Contract for White Sugar No. 7458, tanggal 12 Februari 1982 untuk jual beli gula
sebanyak 300.000 metrik ton.
2) Contract for White Sugar No. 7527, tanggal 23 Maret 1982untuk jual beli gula
sebanyak 100.000 metrik ton.

Kedua kontrak tersebut ditandatangani oleh kedua belah pihak pada bulan Februari
dan Maret 1982. Dalam kedua kontrak di atas parapihak bersepakat bahwa segala sengketa
yang terjadi dalam pelaksanaan perjanjian jual beli gula ini, kedua belah pihak sepakat
diselesaikan oleh suatu “Dewan Arbitrase Gula” atau yang disebut “The Council of the
Refened Sugar Association” yang berkedudukan di London berdasarkan ketentuan dalam The
Rules of the Refened – Sugar Association Relating to Arbitration.
3.      Kasus Penyelundupan Hukum
Kasus Eddy Maliq Meijer lahir pada April 2007 merupakan anak dari perkawinan
campuran dari ayahnya Frederik J Meijer yang berkewarganegaraan Belanda dan ibunya
Maudy Koesnaedi yang warga Negara Indonesia juga merupakan subjek hukum. Dalam
kasus Eddy, terjadi perkawinan campuran antara ayahnya Warga Negara Belanda dan ibunya
Warga Negara Indonesia. Berdasarkan pasal 8 UU No.62 tahun 1958, seorang perempuan
warga negara Indonesia yang kawin dengan seorang asing bisa kehilangan
kewarganegaraannya, apabila selama waktu satu tahun ia menyatakan keterangan untuk itu,
kecuali apabila dengan kehilangan kewarganegaraan tersebut, ia menjadi tanpa
kewarganegaraan.
Apabila suami WNA bila ingin memperoleh kewarganegaraan Indonesia maka harus
memenuhi persyaratan yang ditentukan bagi WNA biasa. Karena sulitnya mendapat ijin
tinggal di Indonesia bagi laki laki WNA sementara istri WNI tidak bisa meninggalkan
Indonesia karena berbagai factor, antara lain :
 faktor bahasa
 budaya
 keluarga besar
 pekerjaan
 pendidikan
 dll
Maka banyak pasangan seperti terpaksa hidup terpisah. Pengaturan di Indonesia
Menurut UU No.62 tahun 1958 Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal, dimana
kewarganegaraan anak mengikuti ayah, sesuai pasal 13 ayat (1) UU No.62 Tahun 1958 :
“Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai hubungan hukum
kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu memperoleh kewarga-negaraan Republik
Indonesia, turut memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia setelah ia bertempat
tinggal dan berada di Indonesia. Keterangan tentang bertempat tinggal dan berada di
Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anak yang karena ayahnya memperoleh kewarga-
negaraan Republik Indonesia menjadi tanpa kewarga-negaraan.”
Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari perkawinan
campuran bisa menjadi warganegara Indonesia dan bisa menjadi warganegara asing . Dalam
kasus Eddy yang telahir dari hasil perkawinan campuran ibunya Warga Negara Indonesia dan
Ayahnya Warga Negara Belanda, anak tersebut sejak lahirnya dianggap sebagai warga negara
asing sehingga harus dibuatkan Paspor di Kedutaan Besar Ayahnya, dan dibuatkan kartu Izin
Tinggal Sementara (KITAS) yang harus terus diperpanjang dan biaya pengurusannya tidak
murah.
Dalam hal terjadi perceraian antara orang tua Eddy, akan sulit bagi Maudy sebagai ibu
untuk mengasuh anaknya, walaupun pada pasal 3 UU No.62 tahun 1958 dimungkinkan bagi
seorang ibu WNI yang bercerai untuk memohon kewarganegaraan Indonesia bagi anaknya
yang masih di bawah umur dan berada dibawah pengasuhannya, namun dalam praktek hal ini
sulit dilakukan. Masih terkait dengan kewarganegaraan anak, dalam UU No.62 Tahun 1958,
hilangnya kewarganegaraan ayah juga mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan anak-
anaknya yang memiliki hubungan hukum dengannya dan belum dewasa (belum berusia 18
tahun atau belum menikah).
Hilangnya kewarganegaraan ibu, juga mengakibatkan kewarganegaraan anak yang
belum dewasa (belum berusia 18 tahun atau belum menikah) menjadi hilang apabila anak
tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya. Di dalam Undang-Undang
kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal.
Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut: Asas ius sanguinis
(law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan
keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.

a. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan
terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
b. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi
setiap orang.
c. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan
ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda ataupun tanpa
kewarganegaraan.

Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini


merupakan suatu pengecualian. Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka hilangnya
kewarganegaraan ayah atau ibu apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan
ayahnya tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang
Berdasarkan UU ini Eddy yang merupakan anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita
WNI dengan pria WNA diakui sebagai warga negara Indonesia. Eddy akan
berkewarganegaraan ganda , dan setelah dia berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus
menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat
3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin. Namun pemberian
kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari atau
tidak.Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi, dalam kasus ini
antara Indonesia dan Belanda.

Analisis
Pengaturan baru. Pengaturan status hukum anak hasil perkawinan campuran dalam
UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia memberi peraturan
baru yang positif karena secara garis besar Undang-undang baru ini memperbolehkan dwi
kewarganegaraan yang terbatas dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul dari
perkawinan campuran. Permasalahannya adalah menyangkut dwi kwarganegaraan pada anak,
jika nantinya anak menganut terus dwi kewarganegaraanya maka harus ada penyelundupan
hukum jika anak tersangkut suatu kasus pada suatu negara. Dan apakah ketika anak
mendapatkan permasalahan hukum nantinya ada perlindungan dari negara dimana ia tinggal,
karena menyangkut mengenai dwi kewarganegaraan.

Anda mungkin juga menyukai