NBI : 1311501715
Mata Kuliah : Delik-delik tertentu di dalam KUHP.
Kelas : A (ganjil)
DELIK PENGHINAAN
Pasal 207
“Tindak pidana di depan umum menghina kekuasaan umum”
Menurut Lamintang :
Komentar :
A. Unsur Subjektif : Dengan sengaja
B. Unsur-unsur objektif :
1. Menghina dengan lisan atau dengan tulisan.
2. Di depan umum.
3. Suatu kekuasaan yang diadakan di indoensia atau suatu
lembaga umum yang terdapat di sana.
Kata menghina dalam rumusan pasal 207 KUHP mempunyai pengetian yang
sama dengan kata menghina dalam rumusan pasal 310 KUHP, yakni dengan
sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain.
Perbuatan menghina dengan lisan menurut ketentuan pidana yang ddiatur dalam
pasal 310 KUHP disebut smaad, sedangkan penghinaan dengan tulisan disebut
smaadschrift, Tindak pidana dalam pasal ini adalah delik biasa, tidak seperti pasal
310 yang memerlukan suatu pengaduan.
Menurut Andi Hamzah :
Komentar :
A. Subjek (normadressaat) : barangsiapa
B. Bagian inti delik (delicts bestanddelen) :
Menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum
dengan lisan atau tulisan.
Menghina suatu penguasa umum atau badan umum yang ada di
Indonesia.
Koster Henke memberi contoh : menghina presiden yang mempunyai
kekuasaan pegawai negeri, badan umum, termasuk korporasi public,
seperti DPR. Menghina badan hukum swasta tidak dapat dipidana dengan
pasal ini, melainkan dengan Pasal 138. Dan Mahkamah Agung pada 1
September 1964, mengatakan bahwa “hakim dan jaksa adalah termasuk
dalam pengertian kekuasaan yang ada dalam negara yang dimaksud
dalam Pasal 207.”
C. Ancaman Pidana : Pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Menurut R.Sugandhi :
Penjelasan :
Yang diancam dengan pasal ini ialah perbuatan dengan sengaja menghina
di muka umum dengan lisan maupun tulisan terhadap suatu kekuasaan yang
diadakan di daerah Republik Indonesia atau suatu badan umum yang diadakan di
Negara tersebut.
- Kekuasaan yang diadakan di daerah Republik Indonesia, misalnya :
Gubernur, Bupati, Walikota, Camat dan lain sebagainya.
- Badan umum yang diadakan dalam Negara, misalnya : MPR, DPR Pusat,
DPR Daerah dan lain sebagainya.
- Sasaran penghinaan ditujukan kepada sesuatu kekuasaan atau badan
umum, berarti mengarah pada kekuasaan Gubernur dan lain sebagainya.
Apabila yang dihina orangnya sebagai Gubernur yang sedang melakukan
kewajibannya dijerat dengan Pasal 316 KUHP. Tetapi apabila penghinaan
itu ditujukan kepada segolongan penduduk, misalnya : Suku Jawa, Suku
Sunda dan lainnya dikenakan Pasal 156 KUHP.
- Maksud pasal ini ialah menjamin alat-alat Negara supaya dihormati
rakyatnya.
Pasal 310
“Menyerang kehormatan orang lain dengan menuduh/menista”
Menurut R.Sugandhi :
Penjelasan :
Penghinaan dalam arti sebenarnya menurut pengertian umum, “menghina”
adalah menyerang kehormatan dan nama baik seseorang yang berakibat
malunya seseorang. Kehormatan disini bukan dalam bidang seksual, tetapi
kehormatan menyangkut nama baik. Perbuatan yang menyinggung kehormatan
bidang seksual tergolong kejahatan terhadap kesusilaan yang tersebut dalam
Pasal 281 s/d 303.
Penghinaan dalam bab ini ada 6 macam, yakni menista (pasal 310 ayat 1),
menista dengan surat (pasal 310 ayat 2), memfitnah (pasal 311), penghinaan
ringan (pasal 315), mengadu secara memfitnahb (pasal 317), dan menuduh
secara memfitnah (pasal 318). Semua penghinaan dapat dituntut, hanya apabila
ada pengaduan dari orang yang dihina kecuali penghinaan terhadap seorang
pegawai negeri yangs edang melakukan tugasnya (pasal 316 & 319). Sasaran
dari penghinaan tersebut harus diarahkan kepada manusia perseorangan.
Dalam ayat 1 pasal ini harus dengan maksud agar tuduhan itu tersiar
(diketahui orang banyak, ayat 2 itu termasuk golongan “menista dengan surat”,
ayat 3 menyatakan perbuatan yang disebut dalam ayat 1 dan 2 tidak dapat
dihukum, apabila tuduhan itu dilakukan demi membela “kepentingan umum”.
Dalam hal ini hakim baru dapat mengadakan pemeriksaan apakah
penghinaan yang dilakukan itu benar untuk membela kepentingan umum atau
membela diri, bila terdakwa meminta untuk diperiksa (Pasal 312).
Tetapi apabila yang dikatakan pembelaan terhadap kepentingan umum
atau membela diri tidak dapat dianggap pantas oleh hakim, dan apa yang
dituduhkan itu tidak benar maka terdakwa dikenakan “menista” Pasal 311
(memfitnah). Jika penghinaan itu berupa suatu pengaduan yang berisi fitnahan
yang ditujukan kepada pembesar yang berwajib, maka dikenakan Pasal 317.
Pasal 311
“Melakukan fitnah”
Menurut R.Sugandhi :
Penjelasan :
Kejahatan ini dianamakan “memfitnah” lihat penjelasan Pasal 310 di atas.
Pasal 312
“Hal-hal yang diperlukan pembuktian atas tuduhan”
Menurut R.Sugandhi :
Penjelasan :
Yang dimaksud “membela kepentingan umum” itu misalnya menunjukkan
kekeliruan-kekeliruan dan kelalaian-kelalaian yang nyata-nyata merugikan atau
membahayakan pada umum dari pihak yang berwajib.
Sedangkan yang dimaksud “membela diri” misalnya menunjukkan orang
yang sebenarnya salah dalam hal ini oleh orang yang disangka melakukan
perbuatan itu, padahal ia tidak melakukannya.
Lihat penjelasan pasal 310 mengenai pegawai negeri lihat pasal 92.
Pasal 313
“Tidak diperbolehkan pembuktian atas pengaduan tidak diajukan”
Menurut R.Sugandhi :
Penjelasan :
Makna daripada pasal 313 ini dimisalkan sebagai di bawah ini.
Seseorang telah menyiarkan tuduhan bahwa seseorang lain telah
melakukan perbuatan zina menurut pasal 284, dengan keterangan bahwa
disiarkannya tuduhan itu karena ia membela kepentingan umum atau membela
diri. Maka dalam hal ini tidak boleh diadakannya pemeriksaan tentang benar atau
tidaknya soal perzinahan itu apabila dalam hal peristiwa perzinahan itu tidak
diajukan pengaduan oleh pihak yang menderita (suami/istri yang melakukan zina).
Mengenai penjelasan “delik aduan” lihat pasal 72.
Pasal 314
“Dipidana atau tidak dipidana atas fitnah”
Pasal 315
“Penghinaan di depan umum dengan lisan, perbuatan dan tulisan”
Menurut R.Sugandhi :
Penjelasan :
Supaya dapat dituntut menurut pasal ini, kata-kata hinaan yang
dikemukakan secara lisan atau tertulis itu harus dilakukan di tempat umum. Dalam
keadaan demikian, yang dihina tidak perlu berada di tempat itu.
Namun, apabila tidak dilakukan di tempat umum maka supaya dapat
dituntut dengan pasal ini :
1. Dengan lisan atau perbuatan, orang yang dihina harus berada disitu
(melihat atau mendengar sendiri).
2. Dengan surat atau tulisan, surat itu harus dialamatkan (disampaikan)
kepada yang dihina.
Beberapa perbuatan yang dapat dianggap sebagai penghinaan misalnya :
1. Meludahi dahi.
2. Memegang kepala orang Indonesia.
3. Mendorong peci sampai lepas yang dikenakan orang Indonesia.
4. Sodokan, pukulan, tempelengan, dorongan yang seharusnya dapat
digolongkan sebagai penganiayaan, namun apabila dilakukan tidak
demikian keras, dapat pula dianggap sebagai penghinaan.
Pasal 316
“Tambahan pidana sepertiga”
Menurut R.Sugandhi :
Penjelasan :
Yang diancam hukuman dengan pidana tambahan sepertiga dalam pasal
ini ialah orang yang melakukakn penghinaan tersebut dalam pasal-pasal 310 s/d
315 terhadap pegawai negeri yang sedang melakukan tugasnya yang sah.
- Mengenai pegawai negeri lihat pasal 92.
- Mengenai “sedang menjalankan tugasnya yang sah”. Lihat penjelasan
pasal 211 dan 212.
Penghinaan terhadap pegawai negeri bukan delik aduan (pasal 319).
Menurut R.Sugandhi :
Penjelasan :
Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang dengan sengaja :
a. Memasukkan surat pengaduan yang palsu tentang seseorang kepada
pembesar negeri.
b. Menyuruh menuliskan surat pengaduan yang palsu tentang seseorang
kepada pembesar negeri.
Sehingga kehormatan atau nama baik terserang. Perbuatan ini sedianya
bukan untuk mengelabui mata pembesar yang berwajib, akan tetapi sekadar
menyerang kehormatan dan nama baik seseorang. Sehingga penuntutannya
membutuhkan pengaduan dari orang yang diserang kehormatan atau nama
baiknya. Pengaduan atau pemberitahuan palsu yang dilakukan tidak dengan
maksud untuk menyerang kehormatan dan nama baik seseorang dikenakan pasal
220 KUHP.
Pasal 318 KUHP
“Tuduhan Memfitnah”
Menurut R.Sugandhi :
Penjelasan :
Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang dengan sengaja
melakukan sesuatu perbuatan yang menyebabkan orang lain secara tidak benar
terlibat dalam suatu tindak pidana.
Melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan orang lain secara tidak
benar terlibat dalam suatu tindak pidana, misalnya : dengan diam-diam
menaruhkan barang asal dari kejahatan di dalam rumah orang lain, dengan
maksud agar orang itu dituduhkan melakukan kejahatan.
Kejahatan ini dinamakan “tuduhan memfitnah”
Menurut R.Sugandhi :
Penjelasan :
Semua penghinaan tersebut dalam pasal 310 s/d 321 ini adalah delik
aduan, kecuali pasal 316 (penghinaan yang dilakukan terhadap pegawai negeri
yang sedang melakukan tugasnya yang sah). Penuntutannya untuk pasal ini tidak
membutuhkan pengaduan dari orang yang dihina (bukan delik aduan). Dalam
prakteknya, pegawai negeri yang dihina itu disuruh membuat pengaduan.
Penghinaan-penghinaan lain yang bukan delik aduan ialah penghinaan
yang tersebut dalam pasal 134, 137, 142, 143, 144, 177, 183, 207 dan 208.
Mengenai “pegawai negeri” lihat pasal 92, sedangkan mengenai
“pengaduan” lihat penjelasan pada pasal 72 s/d 75.
Pasal 320 KUHP
“Penghinaan terhadap orang yang sudah mati”
Menurut R.Sugandhi :
Penjelasan :
Penghinaan ringan tersebut dalam pasal 315 terhadap orang yang telah
meninggal dunia, tidak dihukum. Tetapi mencemar dengan tulisan tersebut dalam
pasal 310 terhadap orang yang telah mati, dapat dituntut dengan pasal 320.
Mengenai “keluarga sedarah” dan “keluarga semenda” lihat penjelasan
pasal 72 dan 73.
Menurut R.Sugandhi :
Penjelasan :
Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang menyiarkan,
mempertunjukkan atau menempelkan surat atau gambar yang isinya menghina
atau mencemarkan nama baik seseorang yang sudah mati dengan maksud
supaya isi surat atau gambar itu diketahui oleh umum. Penyiaran ini misalnya
dengan surat-kabar, surat-selebaran dan lain sebagainya. Supaya dapat dituntut
menurut pasal ini, harus dapat dibuktikan bahwa maksud orang yang menyiarkan,
mempertunjukkan dan menempelkan surat atau gambar itu ialah supaya isi tulisan
atau lebih tersebar luas lagi. Mengenai arti kata “mencemar” atau “menista” lihat
penjelasan pasal 310. Perbuatan ini adalah delik aduan. Yang berhak mengajukan
pengaduan ialah salah seorang keluarga sedarah atau keluarga semenda dalam
keturunan lurus atau menyimpang sampai derajat kedua dari orang yang
meninggal atau atas pengaduan suami/istrinya.
Apabila dalam daerah itu berlaku adat-istiadat keturunan ibu yang
menjalankan kekuasaan bapak (di Minangkabau), maka orang inilah yang berhak
mengajukan pengaduan.