Anda di halaman 1dari 9

TUGAS HUKUM ACARA PERDATA

Disusun oleh: o Ayunda Agutine Hildayani

(1111100627) o Dena Dwimaya Agustiani

(1111100944) o o Dewi Febriany .G (1111100762) Richa Septiawan (1111100659)

Semester/Kelas: IV/B

Macam-macam alat bukti: Menurut HIR, dalam acara perdata hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang berati hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang yang termuat dalam Pasal 164 HIR. 284 RBG. 1866 BW, yaitu: alat bukti tertulis, pembuktian dengan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah. 1. Alat bukti tertulis Alat bukti tertulis diatur dalam pasal 138, 165,167 HIR, 164, 285-305 Rbg. S 1867 No. 29 dan Pasal 1867-1894 BW (baca juga pasal 138-147 Rv). Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran sesorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi dua, yaitu: 1) Surat yang merupakan akta (akta otentik dan akta dibawah tangan) 2) Surat-surat lain yang bukan akta

Akta adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian

A. Surat yang merupakan akta Akta otentik adalah surat atau akta yang sejak semula dengan sengaja

secara resmi dibuat untuk pembuktian (Pasal 1868 KUHPer, Pasal 165 HIR, 285 Rbg). Jadi akta otentik dibuat dan ditentukan oleh undang-undang yang dilakukan di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu dan ditempat dimana akta itu dibuat . Otentik tidaknya suatu Akte tidaklah cukup apabila Akta itu dibuat oleh atau dihadapan Pejabat saja, namun Akta Otentik haruslah dibuat menurut ketentuan yang ditetapkan oleh Undang-undang. Akta Otentik dapat dibagi menjadi dua, yaitu : o o Akta yang dibuat oleh pejabat Akta yang dibuat oleh para pihak

Akta dibawah tangan adalah Akta yang sengaja dibuat untuk

pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang Pejabat. Aka ini dibuat berdasarkan kepantingan para pihak. Ada ketentuan khusus mengenai Akta dibawah tangan yaitu: 1. Akta yang memuat hutang sepihak 2. Untuk membayar sejumlah uang tunai, atau menyerahkan suatu benda 3. Harus ditulis seluruhnya dengan tangan sendiri oleh orang yang menandatangani 4. Suatu keterangan untuk menguatkan jumlah atau besarnya yang harus dipenuhi.
Akta harus ditanda tangani apabila ingin dianggap sebagai alat bukti (Pasal 1869 BW). Pegawai atau Pejabat umum yang dimaksud adalah Notaris (Pasal 1868 KUHPer, Pasal 1 Peraturan Pejabat Notaris). Berdasarkan Pasal 165 HIRM 285 Rbg, 1868 BW.

B. Surat-surat lainnya yang bukan Akta Macam-macam surat lainnya: o o o Buku daftar atau register Surat-surat rumah tangga Catatan-catatan yang dibukukan oleh seorang kreditur pada suatu alas hak yang selamanya dipegang olehnya. Kekuatan hukum surat bukan Akta diserahkan kepada pertimbangan Hakim (Pasal 1881 ayat 2 BW, Pasal 1883, 1887, 1891 BW, Pasal 294 ayat 2 Rbg). 2. Keterangan saksi Keterangan saksi yang diberikan oleh saksi harus tentang peristiwa atau kejadian yang dialaminya sendiri, sedang pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berfikir tidaklah merupakan kesaksian. Hal ini dapat disimpulkan dari pasal 171 ayat 2 HIR (Pasal 308 ayat 2 Rbg, 1907 BW). Disinilah letak bedanya antara keterangan yang diberikan saksi dan ahli: seorang saksi dipanggil dimuka sidang untuk member tambahan keterangan untuk menjelaskan peristiwanya, sedang seorang ahli dipanggil untuk membantu Hakim dalam menilai peristiwanya. Keterangan saksi itu haruslah diberikan secara lisan dan pribadi dipersidangan, jadi harus diberitahukan sendiri dan tidak diwakilkan serta tidak boleh dibuat secara tertulis (Pasal 140 ayat 1 HIR, Pasal 166 ayat 1 Rbg, dan 148 HIR, Pasal 176 Rbg). Yang dapat didengar sebagai saksi adalah pihak ketiga dan bukan salah satu pihak yang berperkara (Pasal 139 ayat 1 HIR, 165 ayat 1 Rbg). Kesaksian merupakan alat bukti yang wajar, karena keterangan yang diberikan kepada Hakim dipersidangan itu berasal dari pihak ketiga yang melihat atau mengetahui sendiri peristiwa yang bersangkutan. Pihak ketiga pada umumnya melihat peristiwa yang bersangkutan lebih objektif daripada pihak yang berkepentingan sendiri: Para pihak yang berperkara pada umumnya akan mencari benarnya sendiri. Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152, 168-172 HIR (pasal 165-179 Rbg), 1895 dan 1902-1912 Bw

Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan. Merentangkan jari telunjuk dan jari tengahnya (pasal 1 S. 1920 no. 69) mengucapkan sumpah sebagai berikut : saya bersumpah bahwa saya akan menerangkan yang benar dan tidak lain daripada yang sebenarnya. Semoga Tuhan menolong saya Arti sumpah ini ialah bahwa apabila saksi melakukan sumpah palsu ia dikenakan pidana (pasal 242 KUHP) Seperti yang ternyata dari pasal 172 HIR (pasal 309 Rbg, 1908 BW) maka hakim tidak wajib an tidak dipaksa untuk mempercayai saksi. Dengan demikian kesaksian sebagai alat bukti, berlainan dengan alat bukti tertulis, tidak bersifat memaksa.

3. PERSANGKAAN Pasal 164 HIR (pasal 284 Rbg, 1866 Bw) menyebut sebagai alat bukti ssudah saksi: persangkaan-persangkaan (vermoedens, presumptions). Pada hakekatnya yang dimaksud persangkaan tidak lain adalah alat bukti yang bersifat tidak langung. Misalnya saja pembuktian daripada ketidakhadiran seseorang pada sewaktuwaktu ditempat tertentu dengan membuktikan kehadirannya pada waktu yang sama ditempat lain. Dengan demikian setiap alat bukti dapat menjadi persangkaan. Apakah alat bukti itu termasuk persangkaan atau bukan terletak pada persoalan apakah alat bukti itu memberikan kepastian yang langsung mengenai peristiwa yang diajukan untuk dibuktikan atau mengenai peristiwa yang tidak diajukan untuk dibuktikan, tetapi ada sangkutpautnya dengan peristiwa yang diajukan untuk dibuktikan. Surat yang tidak ditandatangani, yang langsung ada sangkutpautnya dengan suatu perjanjian yang disengketakan, bukan merupakan persangkaan, demikan pula keterangan saksi yang samarsamar tentang apa yang dilihatnya dari jauh mengenai perbuatan yang melawan hukum. Menurut ilmu pengetahuan persangkaan merupakan bukti yang tidak langsung dan dibedakan sebagai berikut: 1. Persangkaan bedasarkan kenyataan (feitelijke atau rechterlijke vermoedens, praesumptiones facti)

Pada persangkaan pada kenyataan, hakimlah yang memutuskan berdasarkan kenyataannya, apakah mungkin dan sampai berapa jauhkah kemungkinannya untuk membuktikan suatu peristiwa tertentu dengan membuktikan peristiwa lain. 2. Persangkaan berdasarkan hukum (wetterlijke atau rechtsvermoedens, praesumptiones juris) Pada persangkaan berdasarkan hukum, maka undang-undanglah yang menetapkan hubungan antara peristiwa yang diajukan dan harus dibuktikan dengan peristiwa yang tidak diajukan. Persangkaan diatur dalam HIR (pasal 172), Rbg (pasal 310) dan BW (pasal 1915-1922). Menurut pasal 1915 BW maka persangkaan adalah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atau hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terang nyata kearah peristiwa lain yang belum terang kenyataannya. Satu-satunya pasal dalam HIR yang mengatur tentang persangkaan adalah pasal 173 (pasal 310 Rbg). Pasal tersebut tidak menguraikan apa yang dimaksud dengan persangkaan, akan tetapi hanyalah menegmukakakn bilamanakah persangkaan itu boleh diperhatikan sebagai alat bukti, yaitu bahwa persangkaan saja yang tidak disandarkan pada ketentuan undang-undang hanya boleh diperhatikan oleh hakim pada waktu menjatuhkan putusuannya apabila persangkaan itu penting, seksama, tertentu, dan ada hubungannya satu sama lain. 4. PENGAKUAN Pengakuan (bekentenis confession ) diatur dalam HIR (pasal 174,175,176), Rbg (pasal 311,312,313) dan BW, (pasal 1923-1928). Pengakuan dapat diberikan dimuka nhakim di persidangan atau luar persidangan. Pengakuan di muka hakim di persidangan ( gerechttelijke bekentenis ) merupakan keterangan sepihak , baik tertulis maupun lisan yang tegas dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam perkara di persidangan, yang membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari suaru peristiwa , hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya, yang mengakibatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim tidak perlu lagi. Pengakuan merupakan keterangan sepihak, karena tidak memerlukan persetujuan dari pihak lawan. Pengakuan merupakan pernyataan yang tegas, karena pengakuan secara diam-diam tidaklah memberi kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu peristiwa, pada hal alat bukti dimaksudkan untuk memberi kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu

peristiwa.dalam hal ini HIR tidak terlalu menunjukkan pendirian yang tetap : pada suatu ketika pengakuan secara diam-diam diterima. Tetapi pada saat lain menolak pengakuan secara diam-diam. Pengakuan merupakan keterangan keterangan yang membenarkan peristiwa, hak aatau hubungan hukum yang diajukan oleh lawan. Pasal 1918 BW menentukan bahwa kekuatan yang diberikan pada pengakuan merupakan persangkaan menurut undang-undang. Dengan adanya pengakuan maka sengketanya dianggap selesai, sekalipun pengakuannya itu tidak sesuai dengan kebenaran, dan hakim tidak perlu meneliti kebenaran pengakuan tersebut. Maka oleh karena itu pada hakekatnya pengakuan bukanlah merupakan pernyataan tentang kebenaran, sekalipun biasanya memang mengandung kebenaran, akan tetapi lebih merupakan pernyataan kehendak untuk menyelesaikan perkara. Maka sekalipun dimuat sebagai alat bukti dalam pasal 164 HIR (pasal 284 Rbg. 1866 BW ) pada hakekatnya pengakuan bukanlah merupakan alat bukti. Pasal 174 HIR ( pasal 311 Rbg , 1925 BW) tidak menentukan apa yang disebut pengakuan di muka hakim di persidangan , akan tetapi hanya menentukan bahwa pengakuan merupakan bukti sempurna terhadap yang melakukannya, baik secara pribadi maupun diwakilkan secara khusus. Dalam pasal 1926 BW bahwa pengakuan dimuka hakim di persidangan tidak dapat di tarik kembali. Jenis-jenis pengakuan : a. Pengakuan di depan sidang. Pengakuan di depan sidang adalah pengakuan yang diberikan oleh salah satu pihak dengan membenarkan/mengakui seluruhnya atau sebagian saja. Pengakuan di depan sidang merupakan pembuktian yang sempurna. Pengakuan di depan sidang tidak dapat ditarik kembali kecuali pengakuan yang diberikan terdapat suatu kekhilafan mengenai hal-hal yang terjadi. Pengakuan dapat berupa pengakuan lisan dan tertulis, pengakuan dalam jawaban dipersamakan pengakuan lisan di depan persidangan. b. Pengakuan di luar sidang. Pengakuan di luar baik secara tertulis maupun lisan kekuatan pembuktiannya bebas tergantung pada penilaian hakim yang memeriksa. Pengakuan di luar sidang secara tertulis tidak perlu pembuktian tentang pengakuannya. Pengakuan di luar sidang secara lisan memerlukan pembuktian atas pengakuan tersebut.

5. Sumpah Sumpah adalah pernyataan yang diucapkan dengan resmi dan dengan bersaksi kepada Tuhan oleh salah satu pihak yang berperkara bahwa apa yang dikatakan itu benar. Apabila sumpah diucapkan maka hakim tidak boleh meminta bukti tambahan kepada para pihak. Sumpah terdiri dari: a. Sumpah promissoir Sumpah promissoir yaitu sumpah yang isinya berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. b. Sumpah confirmatoir Sumpah confirmatoir yaitu sumpah yang berisi keterangan untuk meneguhkan sesuatu yang benar. Sumpah confirmatoir terdiri dari: - Sumpah supletoir Sumpah supletoir atau sumpah pelengkap atau sumpah penambah yaitu sumpah yang dibebankan oleh hakim kepada para pihak untuk melengkapi dan menambah pembuktian. Sumpah pelengkap harus ada bukti terlebih dahulu namun bukti belum lengkap sedangkan untuk mendapatkan bukti lain tidak mungkin. Sumpah pelengkap dibebankan kepada para pihak oleh hakim karena jabatannya. - Sumpah decisoir Sumpah decisoir atau sumpah pemutus adalah sumpah yang dibebankan oleh salah satu pihak kepada pihak lawannya. Sumpah pemutus dimohonkan kepada majelis hakim oleh salah satu pihak agar pihak lawan mengangkat sumpah. Sumpah pemutus dikabulkan hakim apabila tidak ada alat bukti sama sekali. Sumpah pemutus dapat dikembalikan kepada pihak lain yang meminta apabila mengenai perkara timbal balik. Apabila salah satu pihak berani mengangkat sumpah maka pihak yang mengangkat sumpah perkaranya dimenangkan. - Sumpah aestimatoir Sumpah asstimatoir yaitu sumpah yang dibebankan hakim kepada penggugat untuk menentukan jumlah kerugian.

Selain kelima alat bukti diatas, diluar Pasal 164 HIR tersebut terdapat alat-alat bukti lain yang dapat dipergunakan untuk memperoleh kepastian mengenai kebenaran suatu peristiwa

yang menjadi sengketa, yaitu: pemeriksaan setempat (descente), dan keterangan ahli (expertise). 6. Pemeriksaan setempat (descente) Pemeriksaan setempat atau descente adalah pemeriksaan mengenai perkara oleh hakim karena jabatannya yang dilakukan diluar gedung atau tempat kedudukan pengadilan, agar hakim dengan melihat sendiri memperoleh gambaran atau keterangan yang member kepastian tentang peristiwa-peristiwa yang menjadi sengketa. Memeriksa barang barang oleh hakim pada umumnya tidak mengalami kesulitan karena barang bergerak mudah dibawa atau diajukan dipersidangan yang berlangsung dimuka pengadilan, karena pada asasnya persidangan berlangsung di gedung pengadilan (Pasal 26, 90 RO, 35 Rbg). Tetapi jika yang menjdi objek pemeriksaan bersifat tetap, maka akan menjadi sulit untuk mengajukan barang tetap itu di persidangan di gedung pengadilan. Jika hakim ingin memperoleh kepastian dan tidak hanya menggantungkan kepada keterangan saksi atau surat, maka persidangan haruslah dipindahkan ke tempat barang tersebut berada untuk mengadakan pemeriksaan setempat dan hal ini dimungkinkan oleh Pasal 90 RO. Dalam prakteknya, pemeriksaan setempat dilakukan sendiri oleh Hakim Ketua Pengadilan, namun hal ini dilakukan berdasrakan putusan, baik atas permintaan para pihak maupun karena jabatannya. Jadi, pemeriksaan setempat bukanlah pemeriksaan oleh hakim secara pribadi, melainkan pemeriksaan oleh hakim karena jabatannya, karena pemeriksaan yang bersifat pribadi oleh hakim tidak boleh dijadikan sebagai bukti. Pemeriksaan setempat pada hakekatnya merupakan pemeriksaan perkara dalam persidangan, yang ternyata dari keharusan membuat berita acara oleh panitera, hanya saja persidangan tersebut perlangsung diluar gedung dan tempat kedudukan pengadilan, tetapi masih di dalam wilayah hukum pengadilan yang bersangkutan. Jika pemeriksaan setempat itu dilakukan diluar wilayah hukum pengadilan tertentu, maka dilakukan delegasi atau limpahan pemeriksaan. Meskipun pemeriksaan setempat tidak tercantum dalam pasal 164 HIR sebagai alat bukti, namun karena tujuan pemeriksaan setempat adalah agar hakim memperoleh kepastian tentang peristiwa yang menjadi sengketa, maka pertimbangan hakim. fungsi pemeriksaan setempat pada hakekatnya adalah sebagai alat bukti, dimana kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada

7. Keterangan Hakim (expertise) Keterangan ahli adalah keterangan pihak ketiga yang obyektif dan bertujuan untuk membantu hakim dalam pemeriksaan guna menambah pengetahuan hakim sendiri. Pada umumnya hakim menggunakan keterangan ahli agar memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam tentang sesuatu yang hanya dimiliki oleh seorang ahli tertentu, misalnya tentang hal-hal yang bersifat teknis, kebiasaan (usance) dalam lalu lintas dagang dsb, termasuk mengenai hukum. Keterangan ahli diatur dalam Pasal 154 HIR (ps 181 Rbg, 215 Rv), yang menentukan bahwa apabila pengadilan berpendapat bahwa perkaranya dapat dijelaskan oleh seorang ahli, maka atas permintaan salah satu pihak atau karena jabatannya pengadilan dapat mengangkat seorang ahli. Ahli itu diangkat oleh hakim untuk diminta pendapatnya dan pengangkatan itu berlaku selama pemeriksaan itu berlangsung. Siapa atau apa yang disebut ahli tidak ditegaskan oleh pasal 154 HIR, sehingga demikian tentang ahli atau tidaknya seseorang tidak ditentukan oleh pengetahuan atau keahliannya yang khusus, melainkan ditentukan pengangkatannya oleh hakim. Seorang ahli yang telah diangkat oleh hakim tidak ada kewajiban untuk menerima atau memenuhi pengangkatannya, dan dapat menunjuk ahli lain sebagai gantinya atau hakim dapat mengangkat ahli secara ex officio (ps 222 Rv). Laporan seorang ahli yang telah diangkat dapat diberikan baik secara lisan maupun tertulis, yang diteguhkan dengan sumpah. Fungsi sumpah disini adalh untuk menjamin obyektivitas keterangannya. Jika seorang ahli yang telah disumpah untuk memberikan pendapatnya tidak memenuhi kewajibannya, maka dapat dihukum untuk mengganti kerugian. Apabila seseorang telah memberikan pendapatnya sebagai seorang saksi, maka tidak diperbolehkan untuk diangkat sebagai saksi ahli dalam perkara tersebut.

Anda mungkin juga menyukai